Nanggroe Aceh Darussalam

Daerah Istimewa Aceh yang kini disebut dengan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) terletak di sebelah ujung Utara pulau Sumatera dan merupakan wilayah paling Barat negara Republik Indonesia. Batasnya ialah: sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah Barat dan Selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia dan sebelah Timur berbatasan dengan propinsi Sumatra Utara.

Di tengah-tengah Daerah Istimewa Aceh membujur Bukit Barisan, gunung-gunung yang berhutan lebat, seakan-akan membagi wilayah ini menjadi dua bagian, sebelah Barat dan sebelah Timur. Dari hutan-hutannya dapat diperoleh hasil hutan seperti damar, terpentin dan lain-lain. Di bagian Timur lebih banyak tanaman perkebunan seperti kopi, tembaku, buah-buahan dan sebagainya serta persawahan padi.

Sedangkan daerah Utara lebih dikenal dengan gas alam atau L.N.G. yang terdapat di Arun.

Penduduk Daerah Istimewa Aceh terdiri atas suku bangsa asli yakni suku bangsa Aceh yang terbagi dalam beberapa sub suku seperti : Gayo, Alas, Tamiang, Gayo Seumanah, Anek Jamee, Singkel dan lain-lain. Suku pendatang terdiri dari Jawa, Minangkabau, Palembang, Makasar, Sunda dan lain-lain, sedangkan bangsa asing pun banyak antara lain Arab, India, China dan orang-orang Eropa. Menurut mereka suku bangsa Aceh berasal dari Jazirah Arab, hal ini terlihat dari banyaknya suku bangsa Aceh yang bergelar Said, Habib dan sebagainya. Diperkirakan mereka mulai menetap di Aceh bersamaan dengan masuknya agama Islam ke Aceh. Sedangkan yang berasal dari Gujarat (India), kebanyakan bermukim di pantai.

Pengaruh Islam nampak dengan berdirinya kerajaan Islam di Peureula dan Pasai. Sehingga tidak dapat dipungkiri lagi bahwa corak kebudayaan Islam mewarnai kebudayaan masyarakatnya. Mata pencaharian pokok suku bangsa Aceh adalah bertani, terutama bertani sawah. Sebagai tempat menyimpan padi dibuat sebuah lumbung yang disebut keong pade atau keurandong. Pekerjaan bertani yang terdiri dari tahap-tahap pekerjaan, biasanya dilakukan dengan bergotong-royong yang disebut meuseuraya.

Dalam kehidupan masyarakat Aceh terutama pada masa lampau, adat tumbuh dengan kuat sesuai dengan prinsip yang hidup dalam masyarakat : Adat bak po teumerehnhorn, hukom bah syiah kuala, Kaaun bak putroe Phang, rensam bak laksamana. Beberapa peristiwa dalam kehidupan itu dipandang sakral atau suci, hingga perlu diperingati atau dirayakan secara adat, yang aturannya tak boleh dilanggar. Misalnya peristiwa kelahiran, peristiwa anak pertama kali turun tanah, cukur rambut, khitanan, perkawinan dan sebagainya. Semuanya dilakukan dengan mengadakan upacara adat setempat, dan upacara-upacara tersebut senantiasa menunjukan adanya unsur-unsur agama Islam. Hal ini tidak mengherankan karena masyarakat Aceh adalah pemeluk agama Islam yang taat dan hampir semua penduduk asli beragama Islam, sesuai dengan sebutan daerah Aceh sebagai Serambi Mekah. Kehidupan keagamaan terlihat dari adanya meunasah (sekolah) dan meusujid (mesjid) yang terdapat di setiap kampung.

Kesenian yang berkembang pada suku bangsa Aceh antara lain seni sastra, baik lisan mupun tulisan berupa prosa dan pantun. Seni tari seperti tari Seudati yang sangat terkenal, tari Saman, tari Guel, tari Bungung Rampoe dan sebagainya. Sedang seni suaranya, misalnya qasidah berzanji. Suku bangsa Aceh menyenangi hiasan manik-manik seperti kipas, tudung saji, hiasan baju dan sebagainya. Kemudian keindahan motif seni ukir dapat dilihat pada hiasan-hiasan yang terdapat pada tikar, kopiah, pakaian adat, dan sebagainya.

Di daerah Aceh, seni bina bangunan tradisionalnya berupa rumah adat yang disebut Rumoh Aceh. Menurut ukuran atau besarnya bangunan, rumah Aceh ada beberapa macam yaitu rumah Lhee Rueng, rumah Anjong, rumah Liwong Rueng atau rumah Dua Inang, dan rumah Lapan Rueng. Selain berbeda besarnya, jumlah ruangannya pun berbeda pula. Di samping bangunan rumah untuk tempat tinggal, beberapa bangunan lain yang terdapat di Aceh di antaranya meunasah, meuseujid, balai blang, Janmbo blang dan pondok pesantren atau Jedah

Rumah Aceh dibangun di atas tiang setinggi 2,5 sampai 3 meter di atas tanah. Terbuat dari kayu yang keras dan biasanya berbentuk bulat. Tiang atau tamel terdiri atas 4 deret dengan jarak antara satu dengan lainnya selalu sama, sehingga membentuk segi empat. Bangunan berbentuk segi empat atau segi empat panjang, dengan reungcum atau tangga saat memasuki rumah. Ciri khas bangunan itu adalah pintunya yang terletak di lantai rumah, dan membukanya ke atas. Dengan demikinan tangga terletak di kolong rumah. Bahan yang digunakan hampir seluruhnya dari kayu yang banyak terdapat di daerah ini. Atap dari daun rumbia yang dianyam disebut atap berahim satu. Rahim tersebut selalu memanjang dari samping kiri ke samping kanan. Pembuatan rumah Aceh tidak pernah menggunakan paku melainkan dengan pasak kayu sistem tali temali dengan rotan atau ijuk.

Sumber : www.tamanmini.com