Museum Dan Perpustakaan “Prof. Dr. R. Soegarda Poerbakawatja”


Prof. Dr. R. Soegarda Poerbakawatja telah mengabdikan dirinya dalam dunia pendidikan sejak tahun 1921, disamping mengajar ia juga aktif dalam masyarakat. Ia keras serta tegas dalam prinsip dan disiplin terhadap diri sendiri, jujur, rajin bekerja tanpa pamrih, dan studi terus tentang pendidikan. Cita-citanya selalu menginginkan kemajuan bagi masyarakat sesuai sifatnya yang merakyat. Meskipun telah pensiun, ia selalu bersedia dipanggil pemerintah. Ia patuh pada cita-cita dan patuh terhadap pemerintah. Prof. Dr. R. Soegarda Poerbakawatja selalu kritis terhadap pertumbuhan dan perkembangan pendidikan. Ia termasuk penganut aliran teosofi, ilmu jaWa, kebatinan dan ohiba.

Menurut Prof. Zaenudin Sutan Kerajaan, Prof. Dr. R. Soegarda Poerbakawatja ber-IQ tinggi (belum genie), tekun dan rajin luar biasa, mempunyai harga diri yang cukup tinggi, lemah lembut, berwibawa, berpakaian rapi sederhana, tampil sebagai seorang gentlemen dan taat beragama. Terhadap atasan dan bawahannya, ia selalu hormat, simpatik, sugestif dan bergairah mengajak bekerja. Tantang kejujuran, disiplin diri sendiri dan terhadap bawahannya. Ia berdisiplin amat tinggi terhadap diri sendiri untuk menjadi contoh kepada bawahannya. Disiplinnya terhadap waktu hampir setaraf dengn pribadi Bung Hatta.

Prof. Dr. R. Soegarda Poerbakawatja memperoleh hadiah pendidikan dari pemerintah atas dasar kesetiaan dan ketekunannya serta dedikasinya yang tinggi terhadap profesi pendidik selama puluhan tahun secara terus menerus. Hal ini terbukti dengan kegiatannya dibidang pendidikan dan hingga sekarang ia masih menjalankan tugasnya sebagai rektor Universitas 17 Agustus 1945 ( UNTAG) di Jakarta. Prof. Dr. R. Soegarda Poerbakawatja memperoleh prestasinya melalui pendidikan non-formal, dengan membaca buku-buku dan terus belajar dan serta menerapkan ilmunya dalam kehidupan bermasyarakat dengan semboyan “ belajar sambil bekerja dan bekerja sambil belajar”.

Prof. Zainuddin Sutan kerajaan hampir tidak melihat kelemahan serta kekurangan pada diri Prof. Dr. R. Soegarda Poerbakawatja. Dalam pergaulan memang sekali-sekali terjadi pertentangan pendapat tentang pendidikan dan kemasyarakatan, tetapi hal yang demikian merupakan hal yang lumrah. Kadang-kadang ada kecenderungan kearah eerzuch (ambisi) yang tidak mendalam.

Prof. Dr. R. Soegarda Poerbakawatja betul-betul mengabdi kepada pendidikan. Seluruh jiwa dan raganya ia serahkan pada bidang pendidikan. Dalam bidabg kemasyarakatan banyak hal yang berhubungan dangan pendidikan yang ia tangani misalnya masalah asrama, bea siswa, kesejahteraan anak,vacantie koloni, olah raga bagi para remaja dan pemuda, kenduan, camping, darma wisata dan sebagainya. Di zaman pemerintahan kolonial Belanda ia banyak mengikuti kongres-kongres pendidikan yang diadakan oleh para cerdik pandai bersama-sama karena pendidik terutama dalam tahun-tahun tigapuluhan.

Di zaman Belanda persatuan Guru Hindia Belanda yang kemudian berubah dengan berkembangnya rasa Nasionalisme menjadi Guru Indonesia dan pada Zaman Republik menjadi Persatuan Guru Republik Indonesia. Organisasi itu ikut serta didalam pencarian sistem dan metoda pendidikan yang lebih mengena pada sasaran. Anggota PGHB, PGI dan PGRI ikut secara aktif menentukan kebijaksanaan pendidikan dalam suasana kolonial. Prof. Dr. R. Soegarda Poerbakawatja menjadi anggota Badan Penasihat Pendidikan dan Pengajaran (onderswijs raad). Dengan demikian Indonesia selaku ikut serta dalam penentuan kebijaksanaan pendidikan. Pada tahun 1941 Prof. Dr. R. Soegarda Poerbakawatja menjadi anggota Hollandsh Inlandsche Onderwijs Commisie.

Sebagai seorang Guru Prof. Dr. R. Soegarda Poerbakawatja selalu memperhatikan kebutuhan anak didiknya. Jasmani, rohani, kesehatan, lingkungan, makan dan minum serta perkembangan intelektualnya. Organisasi merupakan alat untuk memperlancar semua kegiatan di bidang pendidikan. Organisasi Guru dan Orang tua murid diciptakan untuk menggalang kerjasama yang baik demi perkembangan dan pertumbuhan dan perkembangan yang sehat bagi anak didik. Uang memang merupakan alat penting, tetapi uang tidak perlu menjadi persoalan. Karena itu unsur-unsur dan lembaga-lembaga yang ada di dalam kehidupan masyarakat supaya dimanfaatkan. Misalnya gotong royong menjadi cirri khas masyarakat perlu dimanfaatkan.

Pada waktu Jepang masuk ke Indonesia, di pulau Jawa timbul berbagai masalah dalam bidang pendidikan. Sekolah-sekolah ditutup. Murid-murid dari luar jawa kehilangan hubungan dengan orang tuanya dan tidak dapat menerima biaya untuk kehidupannya di Yogyakarta. Yogyakarta pada waktu itu menampung banyak murid dari luar jawa. Yakni dari Sumatra, Kalimantan, Maluku, Kepulauan Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Pak Garda bersama dengan dua-tiga orang temannya segera membentuk panitia kecil untuk memberikan pertolongan. Pertolongan pertama adalah memberitahu kepada semua induk semang di tempat-tempat pemondokan supaya murid-murid yang menumpang atau indekos berurusan dengan panitia. Dengan demikian anak-anak terhindar dari kesulitan pembayaran.

Karena Yogyakarta di tinggalkan oleh Tentara dan Polisi, maka keamanan rakyat tidak ada yang mengurusnya. Pak Garda dengan empat belas orang gurunya dari HIS keputran menawarkan kepada wedana kota untuk ikut mangatur keamanaan. Semula mereka ditertawakan karena dianggap tidak akan sanggup dan mampu untuk memberi bantuan untuk urusan keamanaan tersebut. Pak Garda dan kawan-kawannya tersebut kemudian membagi kota menjadi 7 sektor. Tiap-tiap sektor diserahkan kepada dua orang guru untuk memberi penyuluhan dan bantuan dalam menyusun badan keamanaan. Setelah mereka pun mengundurkan diri.

Berhubung dengan tugas baru, yaitu memelihara anak-anak sekolah dari luar Jawa, mereka minta sumbangan dalam bentuk beras dari gudang-gudang yang di tinggalkan oleh Belanda. Mereka selaku panitia memperoleh 40 kuintal beras yang sekaligus dan diangkut oleh para siswa yang badanya besar dan kuat ke rumah pak Garda dengan gerobak yang disewa sendiri oleh pak Garda. Pada waktu itu kira-kira 600 siswa yang harus di tolong. Masing-masing mendapat 1 kg sehari ditambah 2 sen untuk lauk pauk. Siswa-siswa itu masih tetap pada induk semangnya. Asrama-asrama dilengkapi dengan penerangan gratis. Kambat laun siswa-siswa pindah ke asrama-asrama dengan seorang sukarelawan yang di anggap mampu mengurus asrama-asrama itu bersama sama dengan siswa-siswa yang dapat membantu dalam pengorganisasian. Satu hal lagi yang di usahakan oleh panitia yaitu minta kepada pemerintah jepang untuk sedikit memukangkan siswa-siswa dari luar Jawa. Jepang bersedia juga memberikan bantuan biaya dan panitia hanya minta 10 sen perorang perhari sehingga sekaligus mendapat 2000 gulden.

Di Yogyakarta banyak terjadi bentrokan antara Jepang dengan pemuda-pemuda, karena kehadiran sultan sangat membantu situasi umum. Sekolah-sekolah di Yogyakarta tidak dikenakan penggundulan seperti tempat-tempat lain. Murid-murid kerap kali mengadakan perangan-perangan sebagai suatu latihan yang membuat mereka mampu berperang. Sesudah Jepang pergi, banyak diantara murid-murid menjadi perwira tinggi.

Dalam masa revolusi, murid-murid sekolah menengah berangkat ke garis depan. Di Yogyakarta murid-murid berangkat ke garis depan tanpa senjata dan kembali ke bangku sekolah secara bergiliran tiap bulan. Dengan demikian mereka tidak jadi buas seperti di Jawa timur dimana murid-murid dengan senjata lengkap pergi ke garis depan dan kembali dengan senjata lengkap.

Perbedaan sikap murid di Jawa Timur dan Jawa Tengah tampak di sekolah-sekolah. Di Jawa Tengah situasi lekas dapat di atasi, tetapi di Jawa Timur sampai lama ujian-ujian tidak dapat di selenggarakan secara normal. Yang jelas, masa pendudukan Belanda dan Jepang membuat pemuda-pemuda kita sadar atas kewajibannya dan haknya.

Sesudah republik Indonesia berdiri, mulailah masalah-masalah pendidikan menjadi masalah penting untuk dipikirkan dan dipecahkan. Badan pekerja KNIP menginstruksikan kepada menetri P dan K membentuk suatu Panitia Penyelidik Pengajaran dengan Ki Hajar Dewantara sebagai ketua dan Soegarda Poerbakawatja sebagai sekretaris. Semua golongan dan aliran di dalam masyarakat pendidikan diwakili oleh panitia itu. Panitia berkedudukan di Yogyakarta dan pesertanya datang dari Surakarta, Jakarta dan dari Yogyakartasendiri. Sekretariat hanya terdiri dari Soegarda Poerbakawatja dan dibantu oleh mahasiswa JCT, Simorangkir. Semua pekerjaan surat-menyurat, penyelenggaraan rapat-raoat dan pembuatan laporan dikerjakan oleh kedua orang iru. Sesudah selesai pekerjaan panitia, Soegarda Poerbakawatja ditugaskan oleh menteri P dan K untuk melaksanakan hasil Panitia Penyelidik Pengajaran itu mulai dari kepala urusan sekolah-sekolah, kemudian kepala inspeksi-inspeksi sekolah (inspektur jendral). Sesudah menjadi kepala jawatan pengajaran kementrian P dan K merangkap inspektur jendral.

Di Yogyakarta ia masih sempat mengalami pengajuan rencana undang-undang pendidikan dan pengajaran ke Badan Pekerja KNIP oleh menteri Ki Mangunsarkoro yang kemudian terkebal dengan Undang-Undang No. 4 tahun 1950. Bahan-bahan untuk undang-undang itu dikumpulkan dari golongan-golongan di dalam masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran, ditambah dengan hasil dari Panitia Penyelidik Pengajaran. Dalam zaman RIS harus diadakan penyesuaian antara undang-undang dengan peratuan-peraturan di Yogyakarta dan negara-negara bagian yang diselesaikan dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang-undang no. 4 tahun 1950 masih berjalan sampai tahun 1954. Demi kesatuan sistem pendidikan di seluruh indonesia maka Undang-undang no.4 tahun 1950 dinyatakan sebagai undang-undang no. 12 tahun 1954 yang berlaku di seluruh Indonesia.

Pada waktu diselenggarakan konvrensi di Bangkok pada tahun 1951 dibicarakan kemungkinan diperolehnya bantuan dari Unesco untuk kewajiban belajar, untuk science tesching dan untuk texbook produktion. Dua yang pertama berhasil dengan memuaskan, dan yang ketiga karena ikut campurnya Kementrian Penerangan lalu menyimpang dari tujuan.

Selama 10 tahun pertama Soegarda Poerbakawatja memegang pimpinan pengajar bekerjasama dengan berbagai lembaga yang diselenggarakan utnuk pengajaran bahasa Inggris, pendidikan teknik dan bidang pendidikan tinggi. Yang terakhir ini ditangani oleh Biro Perguruan Tinggi yang mendampingi menteri pendidikan dan pengajaran. Selama pak Garda menjadi kepala jawatan pengajaran, ia juga berkesempatan menyusun konsepsi Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) bersama almarhum DH Queljoe, yang kemudian menjadi guru besar Illinois (telah meninggal). Konsepsi Soegarda dimaksud untuk meningkatkan pendidikan pada umumnya dan untuk mengembalikan the dignity of the teaching pression. Dengan memberi pendidikan tinggi kepada calon guru. Di dalam masyarakat mereka kemudian mempunyai status sosial yang tidak brbeda denga kaum terpelajar lainnya.

Perubahan dari PTPG ke FKIP adalah rencana dan inisiatif dari Soegarda Poerbakawatja pada tahun 1958. Sedangkan tahun 1963 Menteri Priyono mendirikan IPG sebagai tandingan FKIP. Karena adanya dualisme dalam lembaga pendidikan guru ini, bekas presidan Indonesia pertama Ir. H. Soekarno terpaksa turun tangan dan terjadilah fusi antara FKIP dan IPG menjadi IKIP.dari FKIP kemudian diambil KIP-nya dan dari IPG diambil I-nya. IKIP yang dicita-citakan pak Garda menjadi lembaga pendidikan guru yang mampu mengolah masalah-masalah pendidikan dan mengadakan penelitian demi perbaikan serta mampu memberikan saran-saran kepada masyarakat dan pemerintah tentang pendidikan.

(Diolah dan ditulis ulang oleh: Adi Purwanto, SS.,M.Si. Pengelola Museum Budaya Prof.Dr.R. Soegarda Purbalingga)

Peresmian Museum Dan Perpustakaan
Didirikan atau diresmikan Museum Prof. DR. R. Soegarda pada tanggal 24 April 2003 dengan nama UPTD Perpustakaan Umum dan Museum budaya "Prof. DR. R. Soegarda Poerbakawatja" Kabupaten Purbalingga.

Lokasi Museum
Alun-alun Utara No.1, Purbalingga 53311 - Jawa Tengah
Telp. (0281) 892086 / Pesawat 354

Transportasi
Jarak tempuh dari Bandar udara : 70 Km
Jarak tempuh dari Pelabuhan Laut : 70 Km
Jarak tempuh dari Terminal Bus : 2 Km
Jarak tempuh dari Stasiun KA : 25 Km

Koleksi
Koleksi Museum Prof. DR.
R. Soegarda Poerbakawatja berupa : Batu, Kertas, Kayu, Logam, Foto, Keramik, Plastik, Kulit hewan.

Jadwal Kunjung
Museum
dibuka pada hari Senin s/d Minggu

Fasilitas
Luas Tanah / Luas Bangunan : 1.200 m2 / 250 m2
- Ruang Pameran Tetap
- Ruang Pameran Temporer
- Ruang Auditorium
- Ruang Perpustakaan
- Ruang Administasi
- Ruang Penyimpanan Koleksi
- Audio Visual
- Toilet

Organisasi
Jumlah Pegawai 5 orang
Preparator/Tata Pameran : 1 orang
Bimbingan Edukasi : 1 orang
Tenaga Administrasi : 1 orang
Keamanan : 1 orang
Cleaning Service : 1 orang

Program Museum
Pameran Keliling, Ceramah, Diskusi, Workshop, Seminar, Penyuluhan, Penelitian, Penerbitan, Lomba/Festival.

Sumber :
http://www.museum-indonesia.net
http://www.purbalinggakab.go.id
Photo : http://1.bp.blogspot.com