Metamorfosis Zapin Melayu

Oleh : Ilham Khoiri

Pada mulanya, Zapin adalah tarian yang bertumpu pada gerak kaki dengan iringan musik gambus dan marwas di pesisir Melayu. Seni tradisional yang tumbuh sejak abad ke-13 Masehi itu lantas melahirkan berbagai kreasi tari dan musik baru. Kini, di pentas nasional, Zapin menelusupkan warna Melayu yang rancak-mendayu.

Orang yang setia dengan tari Zapin tradisional barangkali bakal terkejut menyaksikan Semarak Zapin Serantau yang diselenggarakan Dewan Kesenian Kabupaten Bengkalis, Riau, awal September lalu. Festival yang diikuti kelompok-kelompok penari dari berbagai daerah dan Singapura itu ternyata lebih banyak menyajikan tarian hasil kreasi baru ketimbang tarian Zapin klasik yang baku. Selain kemeriahan, acara itu menyuguhkan keberagaman ekspresi Zapin zaman sekarang.

Tari Gasing Bersiku karya koreografer Iwan Irawan Permadi yang dibawakan para penari dari Pusat Latihan Tari (PLT) Laksemana, Pekanbaru, menyajikan tarian yang berbeda dengan lazimnya Zapin. Sejumlah penari laki-laki dan perempuan meliuk-liuk dan berputar bersama di atas panggung, Ragam gerak Zapin tradisional Riau yang dicau –seperti pecah delapan, gelek, atau titi batang– nyaris tenggelam di antara eksplorasi gerak tari yang bebas.

Penampilan PLT Awang Sambang dari Tanjung Balai Karimun lebih atraktif lagi. Tiga penari laki-laki dan dua perempuan berjingkrak dan melompat-lompat di atas pangung dalam tari Zapin Berawal Salam. Para penari dari Majlis Pusat Kirana Seni atas Singapura memakai tongkat dalam tari Kreasi Baru. Begitu juga Sanggar Panglima yang menampilkan tari Tuah Negeri yang memanfaatkan payung untuk menari.

“Wah, itu sudah bukan Zapin tradisi lagi. Lebih tepat dibilang hasil kreasi baru,” kata Muhammad Yazid (80), tokoh penari Zapin sepuh di Bengkalis, yang kiat mengajarkan ragam gerak Zapin tradisional.

Gerakan yang bebas, musik campura, dan dengan alat peraga memang bukan ciri Zapin tradisional. Dalam pakem lama, penari dituntut tampil lebih santun. Meski bergerak mengikuti pola-lantai, gerakan tangan dan kaki masih tetap rapat. Kaki tidak boleh mengangkang, tangan tak bisa diangkat tinggi-tinggi.

Pakaian penari biasanya hanya baju kurung atau cekak musang yang dililit kain sarung atau songket di pinggang. Iringan musik sederhana dihasilkan dari tepakan marwas dan petikan gambus serta lantunan syair-syair Melayu. Irama musik dan gerak diulang-ulang agak monoton.

“Kami memberi sentuhan baru pada Zapin. Kami tak hendak merusak pakem lama, tapi justru mengembangkan karya baru,” kata Iwan Irawan Permadi, memberikan alasan atas karyanya yang tampak “melenceng” dari pakem Zapin tradisi itu.

Pentas Nasional
Di pentas nasional, Zapin jadi sumber inspirasi untuk mengembangkan seni tari dan musik yang lebih segar. Dalam bidang tari, berkibar nama koreografer Tom Ibnur yang sudah menjelajahi Zapin tradisional di pelosok Nusantara. Dia menciptakan tari Zapin kreasi baru yang diramu dengan tari etnis lain atau modern.

Karya Tom, Zapin Neo Zapin, pernah dipentaskan pada Semarak Zapin Serantau di Bengkalis tahun 2003. Dia juga membawa Zapin pada pembukaan Festival Istiqlal II di Jakarta tahun 1995.

Di bidang musik, Zapin lebih kerap diangkat dengan sentuhan warna baru. Dalam perhelatan Malacca Strait Jazz, di Pekanbaru, Juni lalu, kelompok Geliga mencoba memasukkan unsur musik zapin Melayu ke dalam jazz pada lagu Ya Zapin.

Sebelumnya, Heri Syahrial (42) mengeluarkan album Zapin Cemeti (2004) dan Zapin Negeri (2005). Dalam album itu juga dikawinkan marwas dan gambus dengan instrumen modern, seperti bas, drum, gitar, dan keyboard. “Tempo Zapin yang berdasar ketukan perkusi itu bisa dimasukkan dalam banyak warna musik lain,” kata lelaki yang akrab disapa Eri Bob itu.

Yang paling fenomenal, tentu saja Zapin-dut yang melambungkan nama Iyeth Bustami. Tahun 2003, penyanyi kelahiran Bengkalis itu meluncurkan album bertajuk Zapin-dut: Laksmana Raja di Laut. Suara Iyeth yang kuat-mendayu di tengah iringan rentak Zapin Melayu berwarna dangdut ternyata memikat telinga banyak orang.

Musik yang digarap Mara Karma itu memang enak dinikmati selain juga memicu kontroversi soal siapa pencipta lirik lagu itu. Kasus ini kemudian dimenangi masyarakat Melayu Riau di Pengadilan Negeri Medan tahun 2006 dan diperkuat kasasi Mahkamah Agung awal tahun 2007.

“Zapin asli belum diterima masyarakat luas, sedangkan dangdut sudah lama digemari. Saya mencoba mengangkat Zapin lewat dangdut dan ternyata diterima luas,” kata Iyeth. Kini, dia tengah menyiapkan album Zapindut kedua bertajuk Danau Raja.

Dalam lagu Laksmana Raja di Laut, Mara Karma mempertahankan rentak Zapin. Tapi, rentak itu dimasuki gendang dan suling dangdut. Agar lebih memancing minat orang lagi, disertakan juga gitar dengan warna rock.

Zapin yang dibangun dari tepukan marwah punya entakan-entakan yang memancing emosi orang-orang untuk bergoyang. Jadi, suasana gembira. Ini yang menarik,” kata Mara Karma yang memimpin kelompok Orkes Kharisma Group itu.

Modal
Menurut etnomusikolog Rizal di Siagian, Zapin memberikan bentuk ekspresi seni dalam satu paket tari-musik yang memiliki struktur jelas. Ada bagian pembuka yang biasa jadi improvisasi, bagian tengah yang diulang-ulang untuk lagu dasar, dan variasi kendang (takhtum). Seperti halnya sonata atau simfoni di Barat, Zapin di Nusantara juga bisa jadi modal bagi para seniman untuk berkreasi dalam bentuk itu.

“Musik Zapin itu ear catching, enak didengar, melodinya sederhana, dan punya rempak kendang yang atraktif,” katanya. Rizaldi pernah memproduksi album Zapin sendiri bertajuk Ceracap (tahun 2000) dan Zapin Tanda-tanda (1987).

Kreasi tari dan musik baru yang berangkat dari Zapin semakin meramaikan ajang seni di Tanah Air. Bagi seniman yang giat berkarya, kreativitasnya bakal semakin memperluas massa penggemar seni tradisional itu. Mungkin saja itu bisa mengantar orang-orang untuk semakin menemukan warna melayu dalam seni tari-musik Indonesia.

Sumber : Harian Kompas, Minggu, 16 September 2007