Mengais Jejak Kebesaran Sriwijaya

Oleh : Ilham Khoiri


"Jika Sriwijaya merupakan kerajaan maritim terbesar di Asia Tenggara, kenapa tidak meninggalkan bekas- bekas kemegahan yang dapat diamati hingga kini?" tanya seorang mahasiswa.


Pertanyaan itu segera mengundang berbagai pertanyaan dari para mahasiswa sejarah se-Sumatera yang cenderung meragukan kebesaran Sriwijaya, sebagaimana diajarkan di buku sejarah. Forum Ilmiah Mahasiswa Sejarah se-Sumatera di Museum Balaputra Dewa di Palembang, Sumatera Selatan, pertengahan Desember 2004 lalu serentak menjadi diskusi yang hangat.


Perbincangan tentang Sriwijaya selalu memancing diskusi berkepanjangan, mengingat keterangan tertulis ataupun dalam bentuk peninggalan arkeologis yang mengungkapkan kejayaan kerajaan maritim terbesar di Nusantara itu memang masih terbatas.


Sejumlah manuskrip dan prasasti tentang kerajaan yang berkembang abad ke-7 sampai dengan 13 Masehi di wilayah Sumatera itu banyak yang telah rusak, hilang, atau masih terkubur dalam tanah. Sejarah Sriwijaya justru banyak disusun berdasarkan berita-berita dari pengelana asing, seperti dari China, India, atau Arab.


Data arkeologis tentang Sriwijaya yang mula-mula muncul adalah prasasti Kota Kapur yang ditemukan JK van der Meulen di dekat Sungai Mendo, Dusun Kota Kapur, Desa Pernagan, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka, Desember 1892. Prasasti di atas tunggul batu itu berisi kutukan bagi mereka yang tidak taat kepada Raja Sriwijaya.


Nama Sriwijaya mulai dikenal sebagai kerajaan sejak G Coedes menerbitkan artikel berjudul Le Royaume de Crivijaya tahun 1918. Sejak itu, Kerajaan Sriwijaya semakin menarik perhatian para peneliti dari Indonesia dan asing. Jejak-jejak Sriwijaya terus digali, dan temuan-temuan baru pun bermunculan.


Pada 17 November 1920 ditemukan prasasti Talangtuo di Desa Gandus, Palembang. Prasasti berisi tulisan huruf pallawa berbahasa Melayu kuno bertarikh 684 Masehi itu menyebutkan tentang pembangunan Taman Sriksetra oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Pada akhir Desember 1920, ditemukan prasasti Kedukan Bukit di tepi Sungai Kedukan Bukit, Palembang. Prasasti bertarikh 682 Masehi yang dipahat di batu kali itu menceritakan perjalanan Dapunta Hyang bersama balatentaranya untuk mendirikan wanua (tempat tinggal) Sriwijaya.


Prasasti Telaga Batu ditemukan di daerah Telaga Batu, Sabokingking, Kecamatan Ilir Timur II, Palembang, tahun 1918. Prasasti yang diperkirakan berasal dari abad ke-7 Masehi ini berbentuk unik, yaitu lempengan batu selebar 1,4 meter yang bagian atasnya dihiasi tujuh kepala ular kobra. Bagian bawah lempengan dilengkapi cerat untuk mengalirkan air saat berlangsung upacara. Selain berisi kutukan, prasasti ini mencantumkan perangkat birokrasi Kerajaan Sriwijaya secara lengkap.


Prasasti lain yang juga berisi kutukan adalah prasasti Boom Baru yang ditemukan di daerah Boom Baru, Palembang, pada tahun 1992. Ada juga prasasti dari daerah lain, seperti prasasti Palas Pasemah dan prasasti Bungkuk dari Lampung. Selain itu, ditemukan potongan-potongan prasasti, arca, manik- manik, mata uang, struktur bangunan, potongan kapal, dan lebih dari 16 situs di Palembang.


Empat situs di antaranya memiliki penanggalan pasti sekitar abad ke-7 sampai dengan abad ke-8 Masehi, yaitu situs Candi Angsoka, prasasti Kedukan Bukit, situs Kolam Pinishi, dan Situs Tanjung Rawa. Peninggalan Sriwijaya juga ditemukan di Riau, Jambi, dan Thailand.


BUKU Panduan Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya menyebutkan, berbagai prasasti dan peninggalan itu menggambarkan Sriwijaya telah berkembang sebagai kerajaan maritim yang besar, yang melakukan ekspansi hingga menguasai wilayah Malayu, Pulau Bangka, dan Lampung. Dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan di sekitarnya, Sriwijaya dapat menguasai jalur perdagangan internasional, serta pelayaran dari India ke China dan sebaliknya.


Berita dari China dan Arab menyebutkan, kapal-kapal Sriwijaya juga berlayar ke China dengan membawa berbagai komoditas perkebunan, seperti cengkeh, pala, lada, timah, rempah-rempah, emas, dan perak. Barang-barang itu dibeli atau ditukar dengan porselin, kain katun, atau kain sutra.

Guru Besar Sejarah dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Raden Fatah Palembang Prof Dr Jalaluddin mengemukakan, Palembang merupakan bandar perdagangan yang strategis dan aktif mengembangkan hubungan dagang ke Persia, China, India, dan Pulau Jawa. Armada kerajaan itu telah melayari jalur perdagangan dari Teluk Parsi di pantai barat, selatan Asia, hingga ke China di pantai timur.


Kekuatan maritim dapat dilacak dari peninggalan kemudi kapal Sriwijaya yang ditemukan di Sungai Buah, Palembang, pada tahun 1960-an. Kemudi yang terbuat dari kayu onglen hitam sepanjang delapan meter tersebut saat ini tersimpan di Museum TPKS. Memperhatikan ukurannya yang besar dan panjang, kemungkinan kemudi itu digunakan untuk mengemudikan kapal besar guna mengarungi samudra.


Sriwijaya juga dikenal sebagai pusat studi agama Buddha dan pengembangan ilmu pengetahuan. Pengembara China, I Tsing, datang ke Sriwijaya dengan menumpang kapal dari Persia pada tahun 672 Masehi.


Dia mencatat, Sriwijaya saat itu telah menjadi kota dagang, kota pelajar, dengan penduduk dan raja beragama Buddha. Sarjana China itu sempat tinggal enam bulan untuk belajar tata bahasa sanskerta. Setelah berkunjung ke India, ia kemudian menetap selama sekitar tujuh tahun di bumi Sriwijaya. Dengan jumlah pendeta lebih dari 1.000 orang, pendeta Buddha yang ingin ke India dianjurkan untuk belajar setahun atau dua tahun terlebih dahulu di Sriwijaya.


Kebesaran Sriwijaya justru terlacak dari peninggalan di India dan Jawa. Prasasti Dewapaladewa dari Nalanda, India, abad ke-9 Masehi menyebutkan, Raja Balaputradewa dari Suwarnadwipa (Sriwijaya) membuat sebuah biara. Prasasti Rajaraja I tahun 1046 Masehi mengisahkan pula, Raja Kataha dan Sriwiyasa Marajayayottunggawarman dari Sriwijaya menghibahkan satu wilayah desa pembangunan biara Cudamaniwarna di kota Nagipattana, India.


Peneliti dari Balai Arkeologi Palembang, Retno Purwanti, mengutip prasasti Karang Tengah menyebutkan, Damudawardani dan Samaratungga (penguasa Sriwijaya) ikut memberikan sumbangan untuk membangun Candi Borobudur di Jawa Tengah, sekitar abad ke-8 Masehi. Ada juga keterangan tertulis yang menyebutkan raja Sriwijaya membangun candi Buddha di Thailand.


"Kalau ingin mencari candi bersama peninggalan Sriwijaya, sebaiknya datanglah ke Borobudur atau Thailand. Candi- candi itu berdiri berkat kebijakan atau bantuan dari Raja Sriwijaya," papar Retno.


Kenapa Raja Sriwijaya tidak mendirikan candi di wilayahnya sendiri, misalnya di Palembang? Menurut Retno, Sriwijaya merupakan kerajaan maritim yang berada di tepian sungai dan hutan lebat di Sumatera. Karena tidak terdapat gunung berapi yang menyimpan batu, bangunan peribadatan, istana, dan rumah-rumah penduduk dibuat dari kayu atau bahan batu bata. Akibatnya, bangunan cepat rusak hanya dalam hitungan paling lama 200 tahun.


Sebenarnya ada juga struktur bangunan candi yang besar di beberapa situs di Palembang. Namun, sebagian besar struktur bangunan itu telah hancur atau terkubur dalam tanah, dan belum digali lagi hingga sekarang. Di situs Candi Angsoka, ditemukan struktur bangunan bata pada kedalaman dua meter dari permukaan tanah. Stupa beserta struktur bata terdapat pula di areal situs Bukit Siguntang. Situs Gendingsuro juga menyimpan tujuh sisa fondasi bangunan bata dan makara.


"Struktur bata itu kemungkinan merupakan bekas candi atau bangunan lain. Hanya saja, peninggalan itu terkubur dalam tanah dan permukaannya telah menjadi perumahan penduduk. Untuk mengungkap kebesaran Sriwijaya, para peneliti harus menggalinya kembali sambil berpacu dengan pesatnya pembangunan Kota Palembang," tambah Retno.


Kerajaan Sriwijaya runtuh pada tahun 1377 setelah muncul Kerajaan Singasari dan kemudian Majapahit di Mojokerto, Jawa Timur. Palembang kemudian dikuasai secara berturut-turut oleh para perompak dari China, Kesultanan Palembang Darussalam, dan pemerintah kolonial Belanda.


Namun, Sriwijaya akan tetap dikenang sebagai kerajaan yang berhasil mengembangkan kekuatan maritim, sosial politik, perdagangan, dan pusat studi agama Buddha yang disegani negara-negara di kawasan Asia Tenggara pada masanya.


"Kebesaran Sriwijaya tidak harus diindetikkan dengan peninggalan fisik yang megah. Tetapi, yang terpenting generasi muda hendaknya tetap mengingat Sriwijaya sebagai kerajaan maritim terbesar di Asia Tenggara," tutur budayawan Palembang, Djohan Hanafiah.


Sumber : Kompas.com