Menelusuri Pelacuran ABG di Sejumlah Kota (2).


Tasikmalaya – Jawa Barat.
Menggaet Mangsa di Depan ATM
SEORANG gadis remaja berdiri di antara antrean orang-orang yang akan melakukan transaksi di sebuah ATM di salah satu mal di Jl HZ Mustofa, Tasikmalaya, Jawa Barat.

Keke nama gadis itu, usianya 16 tahun. Antre di depan ATPM adalah cara gadis ABG satu ini dalam menggaet mangsanya. "Yang mengambil uang di sini pasti banyak uangnya," kata Keke yakin. Ia menuturkan, teman-temannya juga melakukan cara itu.

Di Tasikmalaya, gadis ABG semacam Keke, disebut anyanyah. Melihat gaya Keke, sepintas sangat polos.

Namun di balik kepolosannya itu, putri ketiga dari empat bersaudara yang kini yng masih duduk di bangku kelas III salah satu SLTP swasta di Tasikmalaya (Jabar), ternyata menyimpan banyak pengalaman yang tidak kalah bersaing dengan wanita tuna susila (WTS) yang sudah kenyang pengalaman, termasuk pengalamannya berkencan dengan pria dari berbagai kelompok usia.

Kalau melihat latar belakang keluarganya, Keke tidak semestinya terjun ke dunia prostitusi ABG. Karena sang ayah adalah mantan pejabat teras di Tasikmalaya yang kini beralih profesi menjadi pengusaha sukses di Ciamis.

Keke mulai terjun ke dunia prostitusi ABG sejak kelas II SLTP, ia memiliki wajah dan postur tubuh yang tidak kalah menariknya dengan artis-artis ABG yang sering kita lihat di televisi.
Sepintas Keke mirip artis bom seks Sarah Azhari yang terlibat kasus foto porno. Wajar apabila banyak orang yang ingin tahu, apa sebenarnya yang melatarbelakangi gadis cantik sampai terjun ke dunia prostitusi.

Keke menceritakan pengalamannya mulai dari serbaketakutannya menghadapi dunia di luar rumahnya, hingga timbul keberanian melayani pria hidung belang. Bahkan, Keke tidak menyadari bahwa dirinya kini sudah menjadi wanita penghibur papan atas dan menjadi gadis rebutan pria berduit.

Bermula dari kecemburuannya terhadap wanita simpanan bapaknya, umur si wanita tersebut tidak jauh dari umurnya. Keke sempat tergoncang, apalagi setelah mengetahui orang tuanya bercerai, terlebih yang melatarbelakangi perceraian orang tunya itu setelah ibunya mengetahui ayahnya berselingkuh dengan wanita lain. Setelah orang tuanya bercerai, Keke memilih tinggal bersama ayahnya, karena Keke masih membutuhkan biaya sekolah.

Kecemburuan Keke semakin menjadi, setelah ia sering melihat ayahnya berduaan dengan teman kencannya, ditambah pernah memergoki ayahnya sedang bermesraan dengan pacarnya di ruang tamu.

Lalu lama-kelamaan Keke merasakan ada gejolak seks di tubuhnya, ditambah dengan keseringan nonton VCD porno bersama teman-teman sekolah.

Semula Keke menolak saat diminta menceritakan pengalamannya terjun ke dunia prostitusi, "Sudahlah, saya jadi menyesal menuturkan segala pengalaman saya, tapi tidak apalah itu kan pengalaman yang tidak mungkin terlupakan,'' kata Keke dengan nada suara sedikit gugup. Kegugupan Keke sangat kelihatan sekaligus mencerminkan bahwa dirinya belum lama terjun ke dunia prostitusi.

Keke meminta agar tidak ditulis nama lengkapnya. ''Maklum ayah saya sering baca koran dan pengalaman saya ini takut dibaca keluarga saya di rumah,'' kata Keke.

Keke juga berkencan dengan pria asing. Kencan terakhirnya dengan pria setengah baya warga negara Jepang yang baru dikenalnya dua hari di pusat perbelanjaan.

Meski usianya masih muda belia, Keke lebih suka berkencan dengan usia jauh di atasnya. Menurutnya, berkencan dengan pria setengah baya sangat menyenangkan serta tidak banyak menuntut. Berbeda jika berkencan dengan usia muda. Menurutnya, selain rewel juga banyak menuntut yang aneh-aneh.

Keke menuturkan, berkencan dengan pria warga negara asing lebih mendalam. Pria asing jika berkencan seolah dirinya dianggap istrinya sendiri. ''Malah ujung-ujungnya, pria asing tersebut ingin menikahi saya,'' aku Keke seraya tertawa.

Di seputar Jalan HZ Mustofa, Kotif Tasikmalaya, memang tempat nongkrong pada ABG. Mereka biasanya menikmati hidangan kafetaria yang terletak di lantai II gedung pusat perbelanjaan.

Tarif mereka bervariatif mulai dari Rp 150.000 hingga Rp 500.000 sekali kencan. Tidak hanya itu, mereka juga memasang tarif khusus bila kencan tidak sampai berhubungan badan.

Misal bila hanya ingin memegang payudara, si pria iseng akan dikenakan tarif Rp 15 ribu, paha Rp 10 ribu, berciuman Rp 25 ribu, dan memegang alat vital Rp 50 ribu.

Para pelacur ABG yang di Tasikmalaya dikenal dengan sebutan anyanyah ini tidak hanya nongkrong di pusat perbelanjaan (mall-dept store) melainkan di sejumlah cafe dan hotel.

Misalnya di Hotel Padjadjaran Jalan Ir H Juanda dan Hotel Ramayana Jalan Raya Indihiang. Para pelacur ABG mulai melakukan aksinya sekitar pukul 21.00 WIB. Cara mereka untuk menarik perhatian pria hidung belang sangat beragam.

Ada yang memberikan nomor hand phone-nya ke pegawai hotel, juga ada di antara mereka ada yang langsung menunggu di ruang tamu hotel. Cara demikian sering dilakukan oleh ABG yang sudah memiliki germo resmi. Tarif mereka antara Rp 150 ribu sampai dengan Rp 300 ribu.

"Itu bukan harga mati, apabila si pria bisa merayunya harga untuk berkencan tidak sampai demikian, bisa saja gratis atau hanya membayar kamar hotel. Jadi gimana kitanya,'' ujar salah seorang karyawan hotel di Tasikmalaya.

Cara lain yang lebih unik yang banyak dilakukan oleh para pelacur ABG yakni dengan berpura-pura belanja atau sekadar mengambil uang di ATM yang terletak di dalam mal, cara unik ini tidak bisa dilakukan oleh pelacur ABG sembarangan, karena dengan cara tersebut hanya pelacur ABG berparas cantik dan berpenampilan glamour yang bisa melakukannya. Dengan cara demikian, pria yang berhasil mereka pancing kebanyakan orang menengah ke atas.

Sejak merebaknya sejumlah mal dan departement store di Tasikmalaya, para pelacur ABG semakin merajalela. Kebanyakan para ABG masih berstatus pelajar (SLTP dan SMU) serta mahasiswi.

Cianjur – Jawa Barat
Salah-salah, Bisa Terperangkap yang Palsu
BILA Anda ke Cianjur dan bertemu seorang gadis dengan tahi lalat di dagu sebelah kiri, kulit putih, hidung mancung, dan tingginya 165 cm. Dia adalah Dian, putri salah seorang pegawai bank milik pemerintah di daerah berhawa dingin itu.

Dian yang baru saja tamat SLTA, terjun ke 'dunia hitam' sejak di kelas 1 SLTA. "Pacar saya tidak bertanggung jawab," katanya. Ia bercerita, kegadisannya direnggut oleh sang pacar, lalu ditinggal pergi. Ia kebingungan dan putas asa.

Dalam kondisi yang tidak menentu itu, ia bertemu dengan seorang teman yang menjanjikan bisa memberikan ketenangan. "Saya diberi pil dengan bayaran Rp 30.000. Saya jadi lupa segalanya," katanya. Ia kemudian ketagihan.

Dian biasa nongkrong di salah satu diskotek. Ia sering kali mengenakan T-shirt kuning dan celana hitam. Lalu bagaimana menggaet Dian. Tidak terlalu susah, "Beliin saja dia 10 butir, pasti dia mau," kata seorang germo bernama Helmy. Ketika ditelusuri, ternyata Dian ini memang anak seorang pejabat bank pemerintah di Cianjur dan tinggal di kawasan elite. Dian tidak terlalu memilih pasangan, yang penting disediakan pil 'gila' itu.

Untuk mendapatkan 10 butir ekstasi. Helmy bisa mengusahakan dalam waktu sekejap dengan harga Rp 30.000 per butir.

Menurut pengakuan Dian, selain karena perlakuan pacarnya, ia juga merasa tidak betah di rumah. "Ibu dan bapak sering bertengkar, tanpa saya tahu penyebabnya," kata Dian.
Dian belum berniat untuk kuliah. "Orang tua juga tidak memaksa saya, yang penting saya happy dulu deh," katanya.

Bila diajak, Dian tidak pernah menuntut bayaran. Ia lebih mengutamakan bersenang-senang, "Untuk kebutuhan sehari-hari, saya cukup," ujarnya.

Lain lagi cerita Novi. Gadis berusia 16 tahun ini, memang mencari uang. Saat ini sekolah di sebuah SLTA swasta di Cianjur. Gadis berkulit putih dengan tinggi 162 cm, datang ke Cianjur awal 1997 untuk melanjutkan studi. Dia sendiri berasal dan lahir di sebuah desa, di Kecamatan Sindangbarang, sekitar 120 kilometer dari Kota Cianjur.

Uang bulanan yang dikirim ayahnya yang menjadi petani, ternyata tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup di Cianjur. "Hanya diberi uang Rp 100 ribu tiap bulan, sangat tidak cukup untuk seorang gadis seperti saya," ujarnya.

Setelah satu tahun di Cianjur, dia mulai mengenal yang namanya diskotek dan kehidupan malam lainnya. Sampai suatu ketika, dia diajak teman sekolah pria, Michael, ke sebuah hotel di kawasan Puncak dan dikenalkan kepada pria setengah baya yang menghuni sebuah kamar di hotel berbintang. ''Saya diminta melayani laki-laki itu selama dua jam,'' kata Novi.

Sejak saat itulah dia menjadi ketagihan, karena mendapat uang secara mudah. Diakui pula, pertama menerima uang sebesar Rp 200 ribu, itu pun melalui teman prianya tadi.

''Saya sendiri tidak tahu berapa yang diberikan kepada teman pria saya itu,'' katanya polos. Selanjutnya, teman prianya itulah yang menjadi 'manajer' sampai saat ini.

"Kebetulan Michael di rumahnya punya telepon, jadi segalanya lancar,'' ungkap Novi, yang mengaku hingga kini masih kos di sebuah kamar ukuran 2 x 3 meter dengan biaya sewa Rp 50 ribu/bulan.

Gadis berwajah oval ini, memasang tarif untuk short time antara Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu. ''Tapi kadang-kadang bisa Rp 150 ribu atau Rp 100 ribu bila saya suka kepada yang mem-booking saya," katanya.

Penghasilannya dibagi 60:40 dengan Michael. Tapi dia tidak mau diajak menginap. ''Takut ketahuan ibu kos,'' tambahnya.

Umumnya, tarif ABG di Cianjur antara Rp 150 ribu hingga Rp 200 ribu. Selain di diskotek di kawasan Puncak, mereka bisa dijumpai di beberapa salon kecantikan.

Di daerah itu, ada dua 'jenis' ABG, yaitu anak sekolahan dan ABG 'liar'. Yang masih sekolah biasanya tinggal di rumah kos atau rumah orang tuanya. Sedangkan yang 'liar' kebanyakan tinggal di rumah kontrakan.

Kendati ciri-cirinya sudah diketahui, untuk bisa bertemu ABG 'murni' di Cianjur memang gampang-gampang susah. Salah-salah, malah bisa bertemu dengan wanita yang menyamar sebagai ABG.

Besarnya minat para hidung belang kepada ABG ini justru dimanfaatkan germo-germo di lokalisasi WTS. Mereka mendandani WTS muda usia, dan meng-up grade-nya seolah-olah WTS itu pelajar yang sering pula menyebut-nyebut nama sekolah tertentu. Harga WTS itu kemudian menjadi mahal dan menjadi saingan para ABG. Tidak jarang para WTS itu mangkal di kafe-kafe dan diskotek dengan lagak seorang pelajar.

ABG tidak 'bertindak' sendiri-sendiri, selalu menggunakan perantara.
Para germo, juga dari kalangan pelajar atau karyawan. Ruddy, 28 tahun, misalnya karyawan sebuah BUMN di Cianjur, menjadi perantara ABG berawal dari rapat kerja badan usahanya tempat dia bekerja yang dihadiri pejabat di tingkat pusat.

''Saat itu saya disuruh pimpinan saya di Cianjur untuk mencari sedikitnya delapan ABG yang bisa dikencani bos-bos dari Jakarta," katanya.

Memang, awalnya cukup rikuh, tapi lama-lama jadi terbiasa ''Setiap ada meeting/rapat kerja yang memerlukan partai besar, saya selalu dihubungi, baik itu dari perusahaan saya sendiri maupun instansi lain yang membutuhkan. Tapi saya lihat-lihat dulu orang yang menghubungi saya, bisa dipercaya atau tidak,'' kata Rudy.

Seorang karyawan hotel di kawasan puncak, Andri, juga sering menjadi pemasok ABG bagi tamu-tamu hotelnya baik rombongan maupun perseorangan. "Biasanya jika hendak memesan, harus satu hari sebelumnya,'' kata Andri.

Alasannya, dia harus mengontak dulu para ABG itu masing-masing di sekolahnya. Ia tidak segan-segan menyebut nama-nama sekolah para ABG yang bisa dihubungi.

"Biasanya kami ketemu di warung-warung sekitar sekolah, dan saya mengaku sebagai keluarga mereka dari daerah. Setelah itu kami janjian ketemu di suatu tempat,'' kata Andri.

Biasanya tempat rendezvous berikutnya di sebuah restoran di bilangan Jl Mangunsarkoro atau di salon-salon kecantikan.
Selain menggunakan jasa germo terselubung, kalangan ABG bisa dijumpai di diskotek-diskotek di kawasan Cipanas, Puncak, setiap malam Sabtu dan Minggu. Mereka biasanya bergerombol dan membawa teman pria yang berfungsi sebagai perantara.

Batam- Sumut.
"SAYA hanya mencari uang," kata Tati. Gadis berusia 15 tahun itu, bisa ditemukan di salah satu karaoke di Nagoya, Pulau Batam. Ia dipajang dalam etalase dengan nomor dada 16.

Di dalam etalase, Tati selalu tersenyum. Ia sengaja duduk dengan menopangkan kaki kakan di atas kaki kirinya, sehingga rok mini yang dikenakan sedikit tersingkap.

Bagaimana cara berkenalan dengan Tati? Seorang petugas di tempat itu akan dengan gampang memanggil Tati ke luar etalase, jika menyebut angka yang terpampang di dadanya. Bukan hanya Tati, puluhan gadis lain yang dipajang di tempat itu, bisa keluar dengan sekali menyebut angka.
Belakangan ini, Batam sudah menjadi 'gudang' pelacur ABG. Jumlahnya bisa mencapai ribuan orang. Para gadis berusia antara 14 sampai 19 tahun ittu ditampung di ratusan rumah toko (ruko) di kawasan Nagoya dan Sei Jodoh. Pada malam hari, mereka menjadi 'pemikat' di sekitar 30 tempat hiburan yang tersebar di Batam.

Umumnya tempat hiburan seperti diskotek, karaoke, panti pijat, menyimpan sekitar 50 sampai 100 orang wanita muda yang masih tergolong 'anak baru gede' (ABG) sebagai karyawan untuk menjaring tamu-tamu yang haus hiburan.

Kecuali pub, hampir semua tempat hiburan menyimpan wanita. Meski tidak langsung terlihat di etalase tempat hiburan, karena ada larangan dari pemerintah dan Otorita Batam, namun hampir tidak ada tempat hiburan yang tidak menyediakan wanita.

Di setiap tempat hiburan itu, para ABG dikordinasi oleh seorang germo, yang biasa dipanggil dengan sebutan mami. Jika ada yang memesan, si mami dengan gampang menuntun para ABG seperti Tati untuk duduk di samping pria.

Tati mengaku, berasal dari sebuah desa di Jawa Barat. Ia datang ke tempat itu bertujuan mencari uang sebanyak mungkin. Untuk itu ia belajar berbagai hal, termasuk memilih parfum yang bisa memancing gairah pria. Ia juga sudah pandai menyanyi.

Tati juga sudah terbiasa menyapa orang dengan bahasa yang sangat santun. Bila bicara dengan pria, dia selalu merapatkan mulutnya ke telinga lawan bicaranya, dengan napas agak diembuskan. "Itu cara mengundang pria," katanya.

Dengan berbagai cara, Tati selalu berupaya agar pria yang ditemani bisa langsung mengajaknya ke 'lantai atas'. Sebutan untuk tempat tersedianya kamar tidur.

"Semakin banyak pria yang saya temani, semakin besar penghasilan saya," katanya. Itu makanya, Tati selalu mencari akal agar pria yang didampingi bisa segera di ajak ke 'lantai atas'.

Sebagai wanita pencari uang, Tati tidak pernah memilih teman kencannya. Dia bersedia menerima siapa saja, "Saya sering melayani pria tua dari Singapura," katanya.

Tati merasa betah di tempat itu. Sejak datang dari Jawa Barat, Tati telah dua kali memperpanjang kontrak dengan perusahaan tempatnya bekerja. Satu ikatan kontrak lamanya empat bulan. Sepanjang waktu itu, dia tidak boleh keluar kecuali seizin mami atau diboking pria.

"Kontrol terhadap kami sangat ketat, sehingga tidak bisa sesuka hati pergi ke suatu tempat," katanya. Germonya, harus tetap mengetahui di mana posisi mereka setiap saat, karena kadang-kadang ada 'pesanan' mendadak.

Di perusahaan itu, ada sekitar 80-an wanita seperti Tati. Untuk membawa mereka selama 1 malam, harus membayar Rp 300.000. Mereka boleh dibawa sore hari atau malam hari, sampai besok harinya paling lambat pukul 09.00 WIB.

Mereka hanya memperoleh sebagian kecil dari tarif yang dikenakan oleh pengelola hiburan. Itu sebabnya, para ABG banyak yang memilih untuk tinggal di luar agar gampang menjaring pelanggan tanpa ikatan.

"Kami hanya mendapat Rp 40.000 untuk short time, sementara untuk satu malam, kami hanya mendapat Rp 100.000," ujar Iis, 16 tahun. Pengaturan tarif sebesar itu dilakukan karena untuk short time, perusahaan memberikan Rp 40.000 untuk sewa kamar, Rp 20.000 bagi sopir taksi atau pengantar, dan Rp 60.000 ke perusahaan.

Setelah uangnya terkumpul, mereka biasanya pulang kampung. "Tapi tidak selalu banyak dibawa ke kampung, karena banyak potongan tinggal di sini," ujar Titi, 18 tahun. Pada masa kontrak empat bulan lalu, Titi mengaku hanya membawa uang sebesar Rp 2 juta ke kampung.

Wanita berkulit kuning langsat itu mengakui dirinya memang boros. Majikannya sering membawa pakaian-pakaian yang menarik dan dibagikan kepada mereka, yang mengambil harganya dihitungkan pada akhir masa kontrak. Umumnya harga pakaian itu jauh di atas harga normal.

Akibat pemerasan oleh majikan itu, banyak ABG yang melarikan diri, "Karena tidak ada uang masuk, sementara biaya hidup di sini semakin tinggi," ujar Yayang, 17 tahun. Semula, wanita penghuni karaoke tempat Yayang bekerja berjumlah 120 orang, sekarang tinggal 60 orang.

Di luar tempat hiburan, terdapat ABG yang memang berasal dari Batam atau daerah sekitarnya dan masih sekolah di SLTA. Tapi jumlahnya hanya sedikit. Mereka bisa ditemukan di pusat keramaian Nagoya, Pelita, dan Jodoh, Batam Timur.

ABG-ABG itu juga biasa mangkal di sejumlah diskotek, Lucky Plaza dan hotel-hotel. Cirinya, mereka menggunakan pakaian dengan dada terbuka, sepatu hak tinggi, serta menyandang tas kecil di punggung. Mereka keluar dari rumah sekitar pukul 21.00 WIB hingga tengah malam.

Konsumen wanita ABG ini cukup beragam. Mulai dari pemuda yang bekerja di sejumlah industri atau sektor informal, hingga pria tua bangka dari Singapura atau Malaysia.

Bahkan sejumlah pria berumur dari Singapura menjadikan para ABG itu sebagai istri simpanan.
Mereka diberi biaya hidup yang memadai, yakni mulai dari Sin$500 per bulan hingga Sin$1.500 per bulan. Atau jika dirupiahkan, para istri simpanan itu akan menerima tunjangan biaya hidup sebesar Rp 1 juta hingga Rp 4 juta per bulan.

Mereka akan berada kembali di 'remang' malam begitu 'suaminya' pulang ke Singapura. Para istri simpanan itu, tidak terlalu susah digaet. Mereka bisa diajak ke diskotek hanya dengan modal ekstasi.
Rata Penuh
Manado - Sulawesi Utara
SYENY marah-marah ketika seorang pria memberinya uang setelah selesai berkencan, "Memangnya saya pelacur. Saya tidak sudi dibayar," katanya dengan nada tinggi, sambil bergegas meninggalkan kamar sebuah hotel di Manado, Sulawesi Utara.

Gadis berusia 16 tahun, siswa sebuah SMU di Manado itu, menceritakan pengalamannya berkencan dengan seorang eksekutif muda, hanya untuk mencari pengalaman.

"Biasanya orang yang lebih dewasa, lebih berpengalaman," ujarnya. Pengalaman yang hendak ditimba dari pria dewasa, akan 'ditularkan' lagi kepada pacarnya.
Syeny biasa berkeluyuran dari satu diskotek ke diskotek lainnya. Bila akan menggaet 'mangsa' di dalam diskotek, Syeny selalu mencari pria yang duduk sendirian. "Saya ajak dia berbincang-bincang. Biasanya berakhir di kamar hotel," ujarnya.

Ia tidak mau mendekati sembarangan pria. Pilihannya, yang kelihatan berwibawa, dewasa, necis, dan ganteng. Pria dengan ciri-ciri seperti itu, menurut Syeny, tidak perlu diragukan lagi, pasti kantongnya tebal, "Tapi saya tidak pernah mengincar kantong pria. Tapi saya percaya, pria berkantong tebal pasti memiliki banyak pengalaman dengan wanita. Itu yang ingin saya dapatkan," tuturnya.

Gadis berkulit bersih itu berterus terang bahwa dirinya agak 'gila' seks. Pertama kali, ia melakukan hubungan seks dengan pacarnya setelah menonton VCD porno di rumahnya. Hubungan kedua, ketiga, sampai kelima kali tetap dilakukan dengan sang pacar. Tetapi Syeny merasakan tidak ada variasi, tidak seperti yang ditonton di VCD.

Didorong oleh keinginan mendapatkan 'perubahan' ia mencoba-coba mendekati pria yang sedang menyendiri di sebuah diskotek, "Rasanya memang berbeda," ujarnya. Setelah itu, Syeny pun terperangkap dalam pelukan sejumlah lelaki hidung belang.

Bicara soal diskotek, Syeny memang anak diskotek. Ia sudah menjelajah semua diskotek yang ada di Manado. Ia acap kali masuk ke tempat hiburan itu bersama pacarnya. "Tapi sekarang saya ke diskotek bersama teman-teman wanita. Kadang-kadang juga sendiri," tuturnya.

Ketika ia mengincar seorang pria di dalam diskotek, teman-temannya pun melakukan hal serupa. Tetapi teman-temannya kebanyakan bertujuan mencari uang, "Sekadar tambahan uang jajan," kata Sisca.

Tarif yang dipasang para ABG itu bervariasi antara Rp 100.000 sampai Rp 300.000. Soal tarif, tergantung tampang dan sikap pria. Bila ganteng dan menyenangkan, bisa dapat harga murah.

Tidak setiap malam mereka bisa mendapatkan pria, karena harus bersaing dengan wanita lain yang memang sudah terkoordinasi dengan rapi, "Kami harus bergerilya, dan berpura-pura sudah mengenal pria yang kami dekati," kata Sisca.

Selain di diskotek, mereka juga sering bergentayangan di mal. Salah satu mal yang dijadikan tempat mangkal para gadis ABG di Manado, adalah mal di Jl Sam Ratulangi, yang berhadapan persis dengan markas Korem 131/Santiago.

Di mal tersebut, mulai tengah hari sampai menjelang tutup, banyak gadis ABG yang berkeliaran. Cara mereka memancing pria nakal, berpura-pura menunggu seseorang sampil berusaha tersenyum bila bertatapan dengan seorang pria.

Di tempat-tempat terbuka seperti di mal-mal, para ABG Manado biasanya mondar-mandir. Cara jalan mereka persis sedang beraksi di atas cat-walk. Dan untuk mendapatkan mereka, tak perlu main kucing-kucingan. Biasanya diawali dengan makan bersama atau belanja. Seterusnya, terserah Anda, bisa di motel di luar kota, atau di hotel.

Para pria yang sering berkencan dengan ABG pun sudah hafal betul gaya mereka. Bila menjumpai ABG yang tersenyum, langsung didekati dan ngobrol 'ngalor-ngidul' sebentar, kemudian mencari tempat.

Menurut Meity, gadis ABG yang mangkal di mal tersebut, paling enak menggaet pria yang dari luar kota, "Biasanya saya berpura-pura menyapanya. Bila ada tanda-tanda dia suka, ya kami berangkat. Biasanya saya yang menentukan tempatnya, kalau dia tidak tinggal di hotel," katanya.
Uang yang diperoleh Meity setiap bulannya bisa mencapai Rp 1 juta. Ia tidak bisa menghitung penghasilan harian, "Kan tidak setap hari. Lagi pula saya tidak serius mencari uang dengan cara ini, hanya iseng," kata gadis berambut pendek, berusia 18 tahun itu.

Bicara mengenai uang, memang agak peka di kalangan ABG Manado, "Jangan pernah bicara uang saat sebelum, sedang, maupun sesudah main. Itu tabu. Kalau memang mau kasih, silakan," ujar Joice, 17 tahun, rekan Meity.

Salah seorang pria yang sering berkencan dengan ABG mengatakan, ia hampir tidak pernah mengeluarkan uang dalam berkencan dengan ABG. Ia mengeluarkan uang paling untuk membeli makanan dan sewa kamar hotel.

"Di sini yang diperlukan adalah semangat hunting. Daya juang seorang pemburu memang diuji di Manado. Seorang pemburu terkadang tak perlu modal uang, tetapi kewibawaan dan kecerdikan. Sebab, ABG di Manado sangat sok gengsi. Mereka berani melempar bundelan uang jutaan ke luar mobil, bila tersinggung. Mereka tidak gila duit. Jangan bergaya sok kaya di hadapan mereka. Wajar-wajar saja, necis, dan sopan," kata Ruddy, 45, seorang eksekutif muda yang cukup berpengalaman bergaul dengan para ABG itu.

Wilayah operasi para ABG Manado memang tak sulit dijumpai. Selain lokasi di seputaran mal di Jalan Sam Ratulangi, baik di luar maupun di dalam gedung, para ABG Manado dapat pula ditemui di sejumlah kafe di Manado Boulevard, atau di beberapa tempat hiburan malam.
Sangat sulit menjumpai mereka di hotel-hotel berbintang. "Itu sudah pasarannya wanita bayaran," ujar Joice.

Joice menuturkan, ia tidak mau dibawa terlalu lama, apalagi diajak ke luar kota, "Saya mesti ada di rumah paling lambat pukul 19.00," kata Joice. Ia tidak mau orang tuanya mencurigainya.

ABG Manado senang 'bermain' dengan para eksekutif muda dan tanpa harus dibayar, selain untuk kepuasan, juga ada sesuatu yang cukup besar yang mereka incar, yaitu pekerjaan.

"Banyak juga kawan kami yang bisa memperoleh pekerjaan di beberapa perusahaan bonafid, apakah itu di Manado, Bitung, bahkan di Jakarta dan kota-kota lainnya, hanya karena makin akrab berhubungan dengan para eksekutif muda," ungkap Meity.

Kalimantan Timur
"DI SEMAK-semak saja," kata Elin, ketika diajak melanjutkan 'acara' ke sebuah hotel di Tanjung Selor, ibu kota Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur. Ia merasa tidak aman masuk ke hotel dengan pakaian sekolah.

Gadis dari pedalaman Kalimantan yang berusia 17 tahun itu bercerita, ia biasa berkencan di balik pohon. "Saya tidak biasa di hotel. Di tempat lain juga boleh, pokoknya jangan di hotel. Di semak-semak juga tidak apa-apa, tidak ada yang lihat. Kan cuma sebentar," katanya.

Umumnya kencan dilakukan di semak-semak, atau di balik pohon, di tempat kost bila siang hari, atau di atas kapal yang banyak bertambat di daerah ini, atau bahkan di dalam mobil.

Para ABG paling takut bila diajak kencan di hotel maupun penginapan setempat. Kalaupun bersedia, maunya hotel atau penginapan di Kota Madia Turakan, sekitar satu jam setengah dari Tanjung Selor, bila menggunakan long boat.

ABG yang bisa diajak kencan di Tanjung Selor, banyak berkeliaran menjelang masa ulangan umum. Menurut Elin, banyaknya ABG yang 'turun ke jalan' pada saat-saat seperti itu karena mereka membutuhkan uang untuk keperluan sekolah.

Elin mengakui bahwa mereka yang dari pedalaman sangat kekurangan uang. Untuk membiayai kehidupan sehari-hari memang mencukupi, tapi bila kebutuhan uang mulai agak besar seperti menjelang ulangan umum atau ujian, mereka hampir tidak berdaya. Orang tuanya yang berada jauh di pedalaman hanya petani atau peladang berpindah.

Ketika berangkat dari kampung halamannya untuk melanjutkan sekolah ke kota, mereka memang sudah dipersiapkan sedemikian rupa oleh orang tuanya agar terhindar dari 'malapetaka' kehamilan. Seperti Elin misalnya, untuk 'menjaga diri' agar tidak hamil, oleh ibunya ia diberikan jarum yang sudah dimantera-mantera.

Setiap hari menjelang keluar rumah atau mau berkencan, ia merendam jarum bermantera itu ke dalam segelas air, lalu airnya diminum. Sampai sekarang, Elin aman-aman saja kendati sudah berkali-kali melakukan hubungan seks.

"Berbahaya bila tidak minum air jarum," katanya. Ia menceritakan pengalaman temannya yang kehilangan jarum bermantera, setelah berkencan temannya itu hamil dan melahirkan anak tanpa ayah. Kemudian menjadi pelajar di Tarakan.

Banyak sudah gadis remaja di kota itu karena terlalu sering melakukan seks bebas, kemudian terjerumus menjadi pelacur. Menurut Elin, selain karena persoalan tersebut, banyaknya ABG menjadi pelacur karena ulah sejumlah oknum aparat.

Para ABG itu, tadinya merasa aman bila berhubungan dengan mereka, yang di sana dikenal dengan istilah kombet. Para kombet, awalnya melindungi mereka dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab, tapi ujung-ujungnya para gadis itu dijual.

Seperti pengalaman Inge, juga berhenti dari SLTA saat mengetahui ada janin bayi dalam perutnya, 'hadiah' dari seorang oknum aparat kepolisian dari satuan provost. Pacaran tetap berlanjut, hingga menyeberang ke Tawan, Malaysia.

Di Tawan, janinnya digugurkan. Sementara sang pacar bolak-balik Tawan-Tanjung Selor karena masih berdinas di Polres Bulungan. Singkat cerita, menurut Inge yang masih takut menyebutkan nama pacarnya tersebut, Inge dijual kepada para hidung belang di Tawan, berkisar seharga 200 hingga 250 ringgit Malaysia atau berkisar Rp 360 ribu hingga Rp 450 ribu untuk setiap kali kencan.

Menurut Inge, jaringan penjualan gadis ABG ke Tawan cukup rapi. Pada pedagang gadis lengkap dengan mata-mata dan tukang pukulnya. Mereka umumnya orang Indonesia yang memiliki kebebasan keluar masuk ke negara tetangga itu. Harga seorang wanita, dihargai cukong 4.000 ringgit atau Rp 7,2 juta (satu ringgit Rp 1.800).

Tapi saat ini Inge sudah lepas dari cengkeraman kombet. Inge melarikan diri dan lolos kembali ke kampung halamannya, ketika para tukang pukul berpesta, menikmati hasil penjualan wanita.

Selain ditempatkan di hotel-hotel di Tawan, juga ada yang dijual lagi ke cukong di Singapura, Sandakan, dan Kinabalu.

Menurut pengakuan Inge, memikirkan melarikan diri dari sarang maksiat, muncul saat Inge sedang haid namun dipaksa melayani tamu. Karena Inge menolak, ia lalu dipukuli dan dicaci maki, perlakuan yang sama juga dialami wanita-wanita lainnya.

Inge belum berani mengungkapkan siapa-siapa oknum yang terlibat dalam penjualan wanita-wanita, dia hanya menjelaskan di antara rekan-rekan wanitanya waktu masih di Tarakan, Tanjung Selor, maupun asal Pulau Jawa, rata-rata terbujuk dengan janji dapat kerja dengan gaji besar. Hal itu dibuktikan si pembawa dengan membelikan pakaian mewah dan pehiasan emas.

Namun setelah berada di sana, pakaian dan perhiasan dipreteli untuk diambil lagi. Hasil kencan dengan tamu juga diambil. Mereka dilarang kirim surat ke keluarga.
Lain lagi cerita ABG di Samarinda, mereka rata-rata anak putus sekolah dengan usia 14 sampai 17 tahun. Setiap hari mereka bisa ditemukan di sepanjang tepian Mahakam, terutama di Jl Slamet Riady atau lebih dikenal dengan sebutan Karang Asam.

Pria yang singgah di sana, ditawari oleh sejumlah wanita untuk minum sambil makan jagung manis. Kepada tamu, mereka hampir selalu mengatakan, "Mampir Mas, sambil minum dan bercinta." Kata 'bercinta' itulah yang menjadi daya tarik.

Pada pukul 19.00 hingga 21.30 di tempat itu biasa nongkrong anak sekolah. Di antaranya Yeyen berusia 17 tahun. Kepada tamu, ia sering kali minta diantar pulang.

Dalam perjalanan, Yeyen berkata, ''Eh... baru jam delapan malam, bagusnya kita ke mana ya?'' Penghuni rumah kost di Jalan Rahui Rahayu itu pulang sekitar pukul 22.00.

Di tepian Mahakam, menurut Yeyen ada empat ABG berstatus pelajar. Mereka adalah teman-teman sekolahnya. Semua temannya terjun ke dunia pelacuran, bukan karena kekurangan uang, tapi didorong oleh kebiasaan menelan ekstasi.

Selain mendapat ekstasi, mereka juga bisa mengantongi uang. Bila malam Minggu, penghasilannya berkisar antara Rp 200 ribu hingga Rp 350 ribu. "Saya biasanya hanya sanggup melayani dua orang," kata Yeyen.

Makasar - Sulawesi
Berbeda lagi dengan Ogi, menggeluti dunia pelacuran memang semata-mata karena butuh uang untuk hidup. Anak bungsu dari dua bersaudara ini, orang tuanya hanya daeng becak (tukang becak).

Gadis berparas cantik ini, dalam usia yang sudah 16 tahun, hidupnya lebih mapan. Ia memiliki handphone dan pakaian serta alat kecantikan yang diapakai dari merek-merek terkenal.

Ia adalah salah satu penghuni Losari, yang oleh teman-temannya dianggap sudah 'sukses', karena sudah pernah kawin kontrak dengan seorang pria warga negara Jepang.

Ia meninggalkan Pantai Losari, karena mendapat lokasi lain yang lebih menjanjikan, "Ada yang mengajak saya kerja sebagai pelayan di salah satu karaoke," katanya.

Berangkat dari situ, ia ingin meraih 'prestasi'. Ia ingin memerankan peran ganda baik sebagai pelayan bir maupun sebagai budak nafsu. "Mulanya saya ragu menawarkan diri," katanya. Namun alangkah girangnya bukan main ketika seorang warga negara keturunan Tionghoa memberinya uang Rp 200.000 setelah diajak kencan.

Selain di tempat itu, mereka juga bisa ditemui di bioskop Studio 21 atau di pinggir Jalan Dr Sam Ratulangi. Salah satu ABG yang mangkal di Jl Sam Ratulangi, Ogi, 18 tahun. Ia hanya mau diajak kencan oleh orang-orang gedongan dengan imbalan Rp 250.000 hingga Rp 400.000.

"Gengsi dong kencan dengan sembarang orang," katanya. Dengan demikian, wajar jika bisa memakai handphone serta pakaian bermerek lainnya. "Kalau bukan di hotel saya tidak mau kencan," katanya. Paling tidak, hotel kelas melati.

Sebenarnya, Ogi bukanlah berasal dari kalangan keluarga miskin. Tetapi mengapa sampai terjerumus ke lembah nista? Menurut dia, akibat kegagalan membina hubungan dengan kekasihnya, telah membuatnya kehilangan harapan. Yang membuatnya lebih sakit, karena yang merebut kekasihnya itu adalah keluarganya sendiri. Akhirnya lari dari rumah untuk hidup di 'alam bebas', "Saya sekarang ngontrak rumah," katanya.

Ia kini telah hidup sebagai istri peliharaan dari seorang pengusaha berkewarganegaran Tionghoa, selain juga berkencan dengan banyak pria.

Cici, 16 tahun juga memasang tarif cukup mahal, Rp 250 ribu sekali kencan. Penampilan sama sekali tidak mengesankan sebagai etek. Bahkan bisa dibilang sangat sopan. Ia juga tidak ingin menjajakan diri secara terbuka. "Saya tidak biasa mangkal di tempat terbuka," katanya. Selama ini ladang operasinya, lebih banyak menjaring mangsa di night club seperti Ziqzaq di Makassar Golden Hotel (MGH) atau di M Club Kawasan perumahan elite Panakukang Mas.

Etek 'elite' ini, dalam beroperasi memiliki kata sandi. Biasanya mereka mengatakan mau ke ATM jika ditanya oleh rekan-rekannya saat ke luar dari rumah, "ATM, kan identik dengan uang," tutur Cici.

Menurut dia, sudah banyak pria yang mengajaknya kencan di berbagai hotel, kelas melati maupun berbintang. Ia menyebut beberapa hotel seperti yang terletak di Jl Emy Saelan, Jl Cenderawasih, Jl Bhayangkara, Jl Penghibur, dan Jl Dr Samratulangi. Soal tarif, bagi pria yang tidak begitu dikenalnya tidak ada kompromi. "Nginap bisa Rp 400.000. Kalau hanya dua sampai tiga jam saja, Rp 250.000 sampai Rp 300.000," ujarnya.

Bagi Cici, tidak semua uang diperolehnya berasal dari 'hasil keringat' begituan, "Ada juga ngasih uang karena pertemanan," ujar. Pengalamannya, tidak semau laki-laki hidung belang yang mengajak kencan langsung masuk kamar. "Keliling kota dulu atau menikmati hidangan di warung atau restauran," ujarnya lagi.

Cara mencari mangsa, tidak terang-terangan. Mereka tetap berusaha menahan diri. Biasanya diawali obrolan basa-basi di dalam night club, "Lelaki yang punya pengalaman, tentu langsung bisa menangkap apa arti obrolan itu," ujar Cici.

Mereka juga bisa mencari mangsa melalui germo atau cukung. Salah seorang cukong, Sun, 26, tahun mengaku mendapat penghasilan Rp 50.000 tiap malam, "Satu wanita komisinya Rp 10.000," ujarnya.

Sun yang kawasan operasinya di Makassar Golden Hotel (MGH) tidak sungkan mempromosikan 'produknya', "Ada namanya Yana, Evi. Semuanya anak belasan tahun yang penampilannya oke," katanya.

Menurut Cici, yang paling tidak menyenangkan kencan dengan pria, kalau menuntutnya macam-macam, seperti oral seks atau melalui bagian 'belakang'. Karena segan lantaran sudah dibayar, biasanya dipenuhi juga, "Sebenarnya jijik. Tapi cara mengatasinya, merem aja," ujarnya.

Palembang
'Membaca' Sinyal di Jl Merdeka
TENGAH hari, sekitar pukul 12.30, saat bubaran sekolah, sejumlah siswi bergerombol di Jl Merdeka. Di antara mereka ada yang memberi sinyal kepada kendaraan pribadi yang melintas.

Apa isyaratnya? Siswi yang masih mengenakan seragam putih abu-abu itu melemparkan senyuman ke arah kendaraan. Begitu disambut dengan klakson dan berhenti agak jauh, dia akan menghampiri dengan sedikit malu-malu.

Salah satu di antaranya, adalah Fitri. ABG berusia 16 tahun, yang tinggal di kawasan Talang Semut, Palembang itu, bercerita hampir setiap hari menjaring mangsa di tempat tersebut.

"Siapa yang tidak tahu Jl Merdeka, sudah terkenal sekali. Dapat dipastikan hampir semua pria yang melintas di jalan itu pada tengah hari, sedang mencari sesuatu yang bisa diajak," kata siswi kelas II sebuah SMU swasta di Palembang itu.

Menurut pengakuan Fitri, dipilihnya teman kencan yang bermobil hanya untuk lebih memudahkan bernegosiasi karena lebih aman dan terlindung kerahasiaan. "Biar begini, kami ini masih punya rasa malu. Harus bedakan dengan WTS," kata Fitri sembari mengepulkan asal rokok mentolnya.

Memang, ciri-ciri gadis ABG yang menjual diri di kawasan Merdeka tidak begitu kentara, apalagi ketika di tengah-tengah gerombolan teman-temannya. Tapi, bila suasana agak sepi, maka tampak kelompok-kelompok remaja putri masih bercengkrama di pinggir jalan. Biasanya mereka ngobrol di bawah pohon sambil melihat orang berlalu lintas. Nah, bila ada mobil jalan perlahan-lahan dan berhenti agak jauh dari tempat mereka, selanjutnya para ABG pelan-pelan sembari malu-malu mendekati mobil tersebut.

Tanpa basa-basi, ABG mereka langsung membuka pintu mobil, seolah-olah mobil jemputannya. "Kami langsung kenalan dan nego tentang tarif," cerita Juli, 15, siswa SMA swasta di Jl Merdeka dengan polos.

Gadis mungil ini mengaku, dirinya biasa dibawa ke sebuah hotel di JL Kol Barlian arah Bandara Sultan Machmud Badarudin II. "Tapi tidak boleh terlalu lama, biar tidak dicurigai orang tua," katanya. Paling lama dia hanya bersedia dibawa selama dua jam.

Hari Sabtu dan Minggu siang mereka agak leluasa. "Habis belajar, aku dan kawan-kawan pasti pergi ke disko pada hari Sabtu. Makanya, dalam tas sudah disiapkan pakaian ganti seperti celana jins dan kaus oblong," kata Fitri yang ditemui di diskotek Hotel Princess, Palembang.

Senada dengan Fitri, rekannya bernama Uci, 15, mengungkapkan, keluyuran di diskotek setiap Sabtu merupakan hiburan semata-mata. "Tapi kalau ada yang mengajak kencan, boleh-boleh saja, asalkan sama-sama memberi keuntungan," ujar Uci.

Ia berterus terang mengenai latar belakang terceburnya dia dan kawannya ke bisnis kenikmatan sesaat ini, karena tergoda ekstasi. Fitri dan Uci bersama tiga kawannya yang ABG di diskotek itu, terus mengoyang-golyangkan kepala dan badannya di tengah ingar bingar musik 'gedek-gedek' (house music), yang sambung-menyambung. Itu tanda mereka sedang triping.

Diskotek tersebut memang 'gudang' gadis ABG. Pekan lalu, saking membludaknya, tak ada ruang lagi, ratusan ABG yang memenuhi diskotek di lantai V, hotel di kompleks pertokoan Ilir Barat Permai itu, tidak leluasa lagi berimprovisasi dalam menggoyangkan badannya.

Entah kapan mulainya para ABG di Palembang melakukan bisnis esek-esek. Tapi, yang jelas fenomena ini mulai marak sejak krisis moneter melanda. Jumlah ABG yang berpraktek sampingan, semakin hari semakin bertambah. Di pusat-pusat keramaian ABG ini terlihat jelas seperti di Jl Merdeka mulai dari kediaman Wali Kota Palembang hingga ke kantor Pemda Tk II Palembang, diskotek Hotel Princess, Hotel Lembang, Dharma Agung, Dian Cottages, dan di kawasan Jalan Pagaralam.

Fitri maupun Uci, keluarganya yang tergolong orang terpandang di Palembang, tidak sembarangan memilih teman kencan. "Duit bukan tujuan utama, yang penting kita bisa sama-sama happy. Ya, apalagi kalau bukan dengan triping," tambah Fitri, yang selalu memberi tahu orang tua bahwa setiap Sabtu dirinya ikut les pelajaran bahasa Inggris.

Ada juga ABG yang memang tujuan utamanya mengejar uang, "Saya mau kalau dikasih uang Rp 100 ribu sekali kencan," ujar Juli terus terang. Cewek bertempat tinggal di Plaju ini bercerita, uang itu diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan dirinya seperti transpor, biaya sekolah, dan kebutuhan adik-adiknya. Menurutnya, sampai saat orang tuanya yang pensiunan PNS ini tak tahu-menahu 'profesi' barunya.

Biasanya, kata Juli, dia di-booking om-om yang berduit. Alasannya, kata gadis berparas lumayan ini, selain tidak pelit, om-om senang itu sangat menjamin kerahasiaannya. Termasuk kerahasiaan pribadi om-om tersebut.

"Yang penting, orang tua saya tidak berat lagi menanggung beban sekolah saya dan adik-adiknya yang empat orang," ujar Juli. Ia bercita-cita menjadi seorang perawat.
Bisnis esek-esek para ABG ini sangat kentara di diskotek Hotel Princess. Hotel yang terletak di kawasan pertokoan Ilir Barat Permai ini sengaja membuka acaranya hari Sabtu siang dari pukul 13.00 WIB sampai pukul 17.00 WIB.

Acara ekstrashow itu juga dilanjutkan dengan Minggu pagi keesokan harinya. Makanya, pada Sabtu siang, hotel bintang tiga ini banyak dikunjungi para ABG. Lobi di lantai bawah terlihat penuh sesak karena daya tampung tidak memadai.

Untuk menjaring ABG yang berasal dari keluarga yang tidak mampu, maka si lelaki iseng cukup menunggu di lobi hotel. Sebab, rombongan ABG ini biasanya menawarkan diri untuk naik ke atas (diskotek) karena tidak mampu membayar cover charge seharga Rp 15 ribu per orang.

"Kita tunggu saja dan pilih mana yang suka," kata seorang pengusaha pupuk yang mengincar ABG yang hendak triping tersebut. Dan memang banyak ABG yang dengan manjanya mengajak kencan sambil triping.

Para gadis ABG sudah senang bila ditraktir minuman, rokok, dan cover charge. "Kalau mereka mau triping, harus disediakan pil ekstasi," kata seorang penjaga pintu diskotek terkenal di Palembang itu.

Mereka juga bisa langsung dibawa ke kamar hotel itu. "Makanya, setiap Sabtu dan Minggu, kamar Hotel Princess selalu penuh," kata seorang pengunjung.

Manajer Hotel Princess, Tommy mengatakan, dirinya hanya penyedia tempat hiburan saja. Soal ada transaksi antara ABG dan pengunjung, dirinya tidak tahu, katanya.


Sumber : http://idur.tripod.com
Photo : http://bulletinmetropolis.com