Melayu Di Persimpangan Jalan

Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Banyak teori atau pendapat tentang istilah dan makna Melayu. Namun di sini hanya diungkapkan beberapa istilah dan makna Melayu yang sudah umum dan dianggap valid, yang dipetik dari berbagai sumber yang ada. Pertama, istilah dan makna Melayu dapat dirujuk dari apa yang popular dituturkan dalam kisah cerita rakyat puak Melayu yang konon berawal dari Kerajaan Bentan yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan Bintan. Raja Iskandar Syah dan rombongan menyaksikan hutan yang sedang terbakar, kayu-kayu dan ilalang yang tumbuh dengan subur sebelumnya, menjadi kering, hangus terbakar.

Sepekan setelah peristiwa di atas, Raja Iskandar Syah kembali pergi ke hutan. Dia menyaksikan ilalang tumbuh kembali dengan suburnya, walaupun kemarin diterpa oleh kebakaran. Ilalang hanya Me-Layu (me-layu) sebentar, setelah ditimpa hujan, dia kembali menghijau, berdiri tegar. Inilah dasar filosofi menurut orang Melayu, mengapa bangsa ini disebut Melayu, yang berarti bangsa yang tegar, walaupun ditimpa oleh badai dan cobaan.

Sedangkan makna kata Melayu yang kedua berarti Lari. Makna dan istilah ini berasal dari penuturan orang Jawa. Namun dilihat dari perspektif histories, makna ini dapat membuat orang menjadi keliru dalam memahami budaya Melayu dan orang Melayu. Disebut demikian, karena orang yang tidak mengerti dengan substansi Melayu bisa berkesimpulan bahwa orang Melayu merupakan orang-orang pengecut. Dan dengan demikian budaya Melayu merupakan budaya orang-orang pengecut. Kesimpulan ini, jelas kesimpulan yang keliru karena dalam sejarahnya, orang Melayu dan budaya Melayu pernah mengalami kejayaan pada abad ke 14 - 16 M. Jika orang Melayu merupakan orang-orang pengecut, tentulah mereka tidak akan pernah sampai ke puncak keemasan dalam sejarah hidupnya, dan mereka juga tidak akan memiliki budaya yang tinggi.

Orang Melayu itu dapat dibedakan dalam dua kategori yaitu Melayu Tua dan Melayu Muda (Deutro—Melayu). Disebut Melayu Tua karena mereka inilah gelombang perantau Melayu pertama yang mendiami kepulauan-kepulauan Melayu. Leluhur Melayu Tua ini diperkirakan telah eksis di kepulauan Nusantara sekitar tahun 3000—2500 SM. Keturunan Melayu Tua ini terkesan amat tradisional dan sangat teguh memegang adat istiadat dan tradisi, serta terkesan sebagai masyarakat tertutup. Mereka lebih memilih bertempat tinggal di daerah-daerah pedalaman. Sedangkan Melayu Muda atau Deutro Melayu merupakan puak Melayu yang datang kemudian, dan diperkirakan nenek moyang mereka telah tiba di kawasan-kawasan Kepulauan Melayu antara tahun 300—250 SM dalam jumlah yang cukup besar.

Seiring dengan datangnya agama Islam di tanah Melayu, karena ajarannya sesuai dengan naluri orang Melayu, mendapat tempat di hati orang Melayu, terutama Melayu Muda, sehingga menjadi agama mereka secara turun temurun. Islam dan kultur Melayu di daerah Melayu, menjadi fokus perkembangan budaya Melayu, sangat identik, sehingga tidak asing mendengar ketika orang Cina masuk Islam disebut oleh karib kerabatnya dengan istilah Masuk Melayu. Begitulah identiknya dunia Melayu dengan dunia Islam. Keadaan ini akhirnya melahirkan pengertian baru tentang Orang Melayu yakni orang yang dalam kesehariannya berkomunikasi menggunakan bahasa Melayu, berbudaya atau beradat istiadat Melayu dan memeluk agama Islam. Tiga unsur ini menurut orang Melayu bersifat akumulatif, bukan fakultatif. Jadi seseorang baru dapat disebut sebagai Orang Melayu apabila dia memenuhi tiga unsur di atas, tidak peduli dia berasal dari daerah mana, dan dari ras apa.

Budaya Melayu milik orang Melayu yang tersebar luas, khususnya di wilayah Kepulauan Nusantara dan kawasan Asia Tenggara (Proto dan Deutro Melayu). Akan tetapi kemudian berkembang sendiri-sendiri, seiring dengan persentuhannya dengan lingkungan. Secara umum, sekurang-kurangnya ada tiga ciri khusus yang membedakan orang Melayu dengan penduduk-penduduk ras lainnya, terutama di masa lampau, adalah, pertama, pola kehidupannya yang berorientasi kepada kelautan, sehingga orang Melayu menyebut dirinya dengan Orang Laut. Pola kehidupan yang berorientasi kepada kelautan (meritim) ini, kemudian berubah menjadi agrarian, seiring dengan kedatangan penjajah Eropa. Sebagai konsekuensinya, ciri kedinamisan orang Melayu cenderung berubah ke arah statis.

Ciri khas kedua orang Melayu adalah kelonggaran dalam struktur sosialnya. Sikap toleransi dan akomodatif adalah di antara bukti yang menandai struktur sosial orang Melayu yang longgar. Hal iini tercermin dari banyaknya pendatang dari ras lain yang hidup di daerah Melayu, dengan kulturnya masing-masing yang jelas berbeda dengan kultur Melayu. Sedangkan ciri khas orang Melayu yang ketiga adalah, agama Islam sebagai pedoman utama dalam kehidupannya. Agama Islam sebagai pedoman hidup orang Melayu tergambar melalui pepatah mereka yakni Adat Bersendikan Syara. Syara bersendirikan Kitabullah. Pepatah ini menunjukkan bahwa pondasi dasar orang Melayu dalam bersikap, bertutur kata dan bertingkah laku adalah agama Islam. Pondasi paling dasar inilah yang membentuk jati diri orang Melayu, sehingga sebagaimana disebutkan terdahulu, yang dimaksud dengan orang Melayu adalah orang yang beragama Islam, berbahasa Melayu dan beradat istiadat Melayu.

Tanpa ketiga unsur atau salah satu dari ketiga unsur ini, maka seseorang belumlah dapat disebut menjadi orang Melayu. Adat istiadat Melayu tercermin dalam kehidupan orang-orang Melayu sehari-hari. Adat istiadat menjadi pedoman dalam bersikap dan bertingkah laku, sehingga dapat dikatakan bahwa jati diri orang Melayu merupakan pengejawantahan dari budayanya yang tercermin dalam nilai dan norma yang disebut dengan adat Melayu.

Dalam perspektif historis, budaya Melayu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, yaitu semenjak generasi awal (Proto maupun Deutro Melayu) sampai budaya ini menemukan kesempurnaannya ketika Islam masuk, dan menjadi inti dalam system nilai budaya Melayu. Masuknya agama Islam, merevisi semua system budaya Melayu sebelumnya, untuk disesuaikan dengan ajaran Islam. Dalam kaitan ini, terlihat betapa kuatnya sinergi antara nilai-nilai ajaran Islam dan budaya Melayu sehingga istilah Melayu pun dipandang identik dengan Islam. Ini berarti secara ketat dapat dikatakan bahwa Melayu tanpa Islam adalah bukan Melayu. Itulah sebabnya di kawasan rantau Melayu berlaku sebutan bahwa orang-orang yang baru masuk islam dipandang telah menjadi orang Melayu, sebaliknya bila seseorang keluar dari agama Islam, otomatis pula dipandang telah pula keluar dari kemelayuannya.

Budaya Melayu yang sarat dengan nilai-nilai Islam itu telah memberikan kontribusi yang sangat signifikan terhadap spirit keindonesiaan, mulai dari kontribusi yang bersifat nilai-nilai normatif sampai kepada kontribusi nilai-nilai yang bersifat ekspresif dan transformatif, yang kesemuanya itu telah berperan dalam membentuk eksistensi jati diri bangsa Indonesia.

Kontribusi yang bersifat nilai-nilai normatif sangat jelas dari sumbangan budaya Melayu yang sarat dengan nilai-nilai Islam, dianut oleh masyarakat secara luas, tersebar di hampir sebagian besar Kepulauan Nusantara. Sementara kontribusi budaya Melayu dalam bentuk nilai yang bersifat ekspresif terlihat sangat nyata dari betapa besarnya jasa bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa Indonesia. Berkaitan dengan ini, agaknya dapat dinyatakan bahwa tanpa Bahasa Melayu, mungkin Bangsa Indonesia tidak memiliki bahasa nasional sebagai bahasa persatuan.

Sedangkan kontribusi budaya Melayu dalam bentuk yang bersifat transformatif, tampak pula dari sumbangannya pada pengejawantahan nilai-nilai yang berasal dari ajaran Islam ke dalam adat dan resam melayu, baik pada peringkat apa yang disebut dengan Adat yang sebenar Adat, maupun pada Adat yang Diadatkan, serta pada Adat yang Teradatkan.

Sumber : http://www.pontianakpost.com