Melayu dan Non-Melayu : Masalah Pembauran Kebudayaan

Oleh : Prof. Dr. H. Muchtar Lutfi

Interaksi orang Melayu dan non-Melayu yang telah berlangsung lama ternyata berpengaruh besar terhadap pembauran kebudayaan dan pendidikan masyarakat Melayu. Pembauran rasial dan etnik, percampuran unsur-unsur kebudayaan, dan perpaduan pendidikan diperoleh dari interaksi damai, saling menghormati, serta saling menyesuaikan dengan non-Melayu kawasan Asia-Afrika yang beragama Islam. Interaksi dengan motif politik yang bersifat agresif dominatif dan kolonial dari non-Melayu Eropa telah mengakibatkan orang Melayu terjajah dan terbelakang dalam hal pendidikan, keilmuan, dan teknologi.

1. Pendahuluan
Ketika cucu-cucu Laksamana Hang Tuah, pahlawan Melayu, menghadapi penyerbuan Peninggi (Portugis) yang hendak menghancurkan Kerajaan Melayu Melaka pada awal abad ke-16, mereka kembali mengumandangkan semboyan Hang Tuah “Esa hilang dua terbilang, tak kan Melayu hilang di bumi”. Dengan semboyan dan segenap kekuatan angkatan laut kerajaan, mereka menangkis serangan Peninggi yang jauh lebih besar dan kuat. Kerajaan Malaka akhirnya terpaksa mengakui keunggulan lawannya, sehingga runtuhlah Kerajaan Melayu Malaka dan digantikan oleh Kerajaan Melayu Johor pada tahun 1530 M.

Kerajaan Melayu Johor juga diserang oleh bangsa non-Melayu dari Barat, sehingga hanya mampu bertahan sampai abad ke-15. Pada abad tersebut muncul pula Kerajaan Melayu Riau yang berpusat di Lingga dan bertahan sampai awal abad ke-20. Kerajaan ini habis “dipreteli” Belanda.

Secara politik, negeri Melayu telah hilang dari muka bumi. Muncullah pertanyaan, “Apakah semboyan Hang Tuah tidak berlaku lagi?” Jika semboyan tersebut adalah semboyan politik, maka jawabannya “ya”. Akan tetapi jika semboyan tersebut berupa semboyan nonpolitik, maka jawabnya pasti “tidak”. Secara kultural, semboyan tersebut masih berlaku dan hidup sampai saat ini, bahkan sampai akhir zaman, karena budaya Melayu merupakan salah satu unsur budaya nasional bangsa-bangsa di Asia Tenggara, seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Budaya Melayu perlu dilestarikan, karena di dalamnya terdapat nilai-nilai tinggi, seperti dalam budaya lainnya.

2. Pengertian Melayu Dan Non-Melayu
Orang Melayu sendiri sering bingung bila dihadapkan pada kata Melayu dan non-Melayu, karena kedua kata tersebut mengandung berbagai pengertian. Pengertian pertama ialah Melayu dalam arti satu ras, di antara ras lainnya. Ras Melayu adalah ras yang kulitnya berwarna cokelat. Ada teori yang mengatakan bahwa ras Melayu adalah hasil campuran dari ras Mongol yang berkulit kuning, Dravida yang berkulit hitam, dan Aria yang berkulit putih. Dalam pengertian ini, semua orang di Nusantara (Asia Tenggara) yang berkulit cokelat adalah Melayu, sehingga sering terdengar sebutan Melayu Aceh, Melayu Riau, Melayu Minangkabau, Melayu Jawa, Melayu Bugis, Melayu Semenanjung, Melayu Batak, dan sebagainya. Yang disebut non-Melayu tentunya orang-orang dari ras lain, seperti Cina (ras Mongol), Eropa (ras Kaukasia), Afrika (ras Negro), dan sebagainya.

Melayu dalam arti yang kedua ialah sebagai sukubangsa. Adanya perkembangan sejarah dan perubahan politik mengakibatkan ras Melayu yang tersebar di seluruh Nusantara (dari Madagaskar sampai Lautan Teduh) sekarang terbagi dalam beberapa negara, seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Filipina. Dalam kesatuan bangsa masing-masing negara, Melayu tidak dipandang sebagai ras, tetapi sebagai sukubangsa. Akan tetapi sukubangsa Melayu di Indonesia tidak sama pengertiannya dengan di Malaysia dan di Singapura, atau di negara lainnya.

Di Indonesia, yang dimaksud dengan sukubangsa Melayu adalah orang yang mempunyai adat-istiadat Melayu, terutama yang bermukim di sepanjang pantai timur Pulau Sumatra, di Kepulauan Riau, dan Kalimantan Barat. Dalam konteks ini, sukubangsa-sukubangsa lainnya seperti Aceh, Batak, Minangkabau, Jawa, Bugis, dan sebagainya adalah non-Melayu. Perbedaan sukubangsa tidak lagi dari sudut rasnya, akan tetapi dari adat-istiadat atau budayanya. Lain halnya dengan sukubangsa Melayu di Malaysia dan Singapura, misalnya. Pengertian sukubangsa Melayu di sana ialah semua orang dari ras Melayu, sehingga non-Melayu adalah sukubangsa Malaysia atau Singapura dan ras lainnya (Cina, India, Eropa, dan sebagainya).

Melayu dalam pengertian ketiga ialah yang terdapat di dalam konteks adat sukubangsa Melayu itu sendiri, yaitu Melayu yang diartikan sebagai suku. Menurut adat, orang Melayu di pesisir timur Pulau Sumatera (antara lain Kuantan dan Kampar) terdiri dari berbagai suku, misalnya Caniago, Piliang, Tiga Kampung, Lima Kampung, Cermin, Melayu, Bodi, dan lain-lain. Yang dimaksud dengan Melayu di sini ialah suku Melayu, dan non-Melayu adalah yang bukan suku Melayu.

Pengertian Melayu yang lain, terutama di Malaysia dan Singapura ialah Islam (agama Islam). Apabila seorang non-Islam melepaskan agamanya, kemudian menganut agama Islam disebut menjadi Melayu. Di Saudi Arabia (Mekkah), orang Melayu disebut orang Jawi.

3. Interaksi Melayu Dan Non-Melayu
Interaksi Melayu dan non-Melayu telah terjadi sejak dahulu, yaitu sejak adanya kontak antara keduanya, baik dilihat dari sudut pandang ras, sukubangsa, maupun adat. Kepentingan-kepentingan hidup sosial, ekonomi, dan politik telah menjadikan interaksi tersebut bervariasi, mulai dari sifatnya yang positif berupa kerja sama, tolong-menolong, sampai yang negatif, seperti perkelahian dan perang.

Interaksi untuk kepentingan hidup merupakan sesuatu yang paling asasi, karena tidak hanya terjadi antarras, antarsukubangsa, dan antarsuku saja, akan tetapi justru antarindividu. Melayu dan non-Melayu bergaul untuk memenuhi hasrat sosial dan memenuhi kebutuhan hidup mereka. Pergaulan antarjenis kelamin dapat berakhir dengan pernikahan, sehingga terjadi pembauran. Apabila dari pernikahan itu diperoleh keturunan, maka keturunan dari pernikahan ras Melayu dan non-Melayu biasa disebut peranakan, misalnya peranakan Cina, peranakan India, peranakan Inggris, peranakan Belanda, dan sebagainya.

Interaksi dalam perekonomian, terutama perdagangan telah berkembang sejak dahulu. Puncaknya terjadi pada zaman kejayaan Kerajaan Melayu, yaitu sebelum abad ke-6. Pada masa itu Melayu berdagang ke negeri-negeri non-Melayu, dan sebaliknya. Interaksi ini memberikan kekayaan dan kemakmuran pada Kerajaan Melayu.

Interaksi dalam bidang politik telah membuahkan berbagai pengalaman manis dan pahit. Melayu berdamai dan berperang dengan non-Melayu karena alasan politik. Pernikahan-pernikahan politik di kalangan keluarga raja-raja atau penguasa Melayu dan non-Melayu sering terjadi. Saling mengirimkan utusan atau duta sebagai pertanda hubungan baik dan bersahabat merupakan hal biasa antara negeri Melayu dan non-Melayu. Akan tetapi peperangan kecil maupun besar terjadi antara keduanya. Bahkan runtuhnya Kerajaan Melayu (Melaka, Johor, dan Riau) adalah akibat peperangan. Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang telah memberi warna gelap dalam interaksi dengan Melayu. Melayu menjadi jarahan dan jajahan non-Melayu.

4. Interaksi Melayu - Nonmelayu Dan Pembauran
Tidak selamanya interaksi antara Melayu dan non-Melayu menghasilkan pembauran. Akan tetapi, adanya pembauran memang berawal dari adanya interaksi. Interaksi yang menghasilkan pembauran yang relatif banyak ialah antara Melayu dengan para pendatang dari India dan Arab yang beragama Islam. Interaksi sosial dan perdagangan dengan keduanya banyak yang dilanjutkan sampai ke jenjang pernikahan. Dari pernikahan ini lahir keturunan-keturunan yang menyatu dengan masyarakat Melayu. Pembauran tidak hanya terjadi di negeri Melayu, tetapi juga di Saudi Arabia maupun di tanah suci Mekah. Pembauran ini terjadi antara Melayu dengan Arab.

Interaksi antara Melayu dengan Cina, India, dan Eropa juga menyebabkan pernikahan, namun keturunan mereka tidak membaur dengan salah satu dari keduanya, sehingga terbentuk masyarakat baru, seperti Cina peranakan yang dikenal dengan sebutan Baba, India peranakan disebut Mamak, dan Eropa peranakan disebut Indo. Mereka menjadi masyarakat sendiri dengan unsur-unsur atau ciri genetika dan budaya campuran.

Pembauran juga terjadi karena interaksi Melayu dengan suku-sukubangsa non-Melayu Nusantara, dan terjadi pernikahan antarsuku, terutama dengan sukubangsa yang seagama. Bahkan pernikahan demikian dianggap sangat menguntungkan, karena dapat memperbesar dan memperluas pertalian keluarga. Misalnya pernikahan antara Melayu dengan Bugis, Melayu dengan Jawa, dan lain-lain. Faktor utama yang menghambat interaksi tidak berlanjut ke pernikahan adalah perbedaan agama atau kepercayaan. Apabila salah satu pihak dapat meninggalkan agamanya dan masuk agama atau kepercayaan lawan jenisnya, maka pernikahan biasanya dapat terjadi.

Pernikahan antara Melayu dan non-Melayu yang beragama Islam atau antara Melayu dan non-Melayu dari ras Melayu yang bukan Islam dapat berkembang ke arah pembauran, asalkan mereka menganut agama atau kepercayaan yang sama. Orang Islam Melayu menikah dengan non-Melayu yang sudah Islam akan lebih mudah membaur daripada pernikahan Melayu yang tidak Islam dengan non-Melayu yang tidak Islam, karena orang-orang Melayu sulit menerima pembauran yang kedua.

Lain halnya dengan anggota masyarakat non-Melayu yang non-Islam, mereka masih dapat menerima pembauran dengan Melayu yang sudah seagama atau sekepercayaan dengan mereka. Dalam hal ini faktor-faktor kemelayuan dan keislaman atau kesamaan agama sangat menentukan pembauran antara Melayu dengan non-Melayu. Tidak mengherankan bila orang-orang non-Melayu yang bukan Islam meninggalkan agamanya kemudian masuk Islam. Mereka ini disebut sebagai menjadi Melayu, karena sebagian anggota masyarakat melihat bahwa Melayu dan Islam adalah identik.

5. Interaksi Melayu - Nonmelayu Dan Kebudayaan
lnteraksi antara Melayu dan non-Melayu tentu berpengaruh terhadap kebudayaan, baik terhadap budaya Melayu maupun budaya non-Melayu. Dalam segi tulisan, terlihat jelas bahwa huruf-huruf Melayu merupakan huruf Arab yang ditambah dan diberi variasi. Pemakaian huruf Arab ini secara timbal balik dapat memperkuat perasaan pembauran Melayu dan Arab, sehingga pengaruh budaya Arab dalam budaya Melayu semakin dalam. Pengaruh tidak hanya terbatas pada kebudayaan, tetapi juga peradaban, seperti cara hidup, cara bergaul, cara memperlakukan anggota keluarga, cara bermasyarakat, dan sebagainya. Dalam kebudayaan, pengaruh Arab tampak pada bahasa, seni tari, seni suara, seni musik, seni bangunan, dan lain-lain. Banyak kata-kata Arab yang menjadi kata-kata Melayu. Nama-nama orang ataupun gelar para raja dan bangsawan banyak menggunakan istilah bahasa Arab.

Kebudayaan non-Melayu yang lain juga berpengaruh terhadap Melayu, tetapi tidak sekuat dan sedalam budaya Arab. Lemahnya pengaruh budaya non-Melayu selain Arab tersebut telah melahirkan budaya baru yang bersifat campuran, yang terpisah dari budaya Melayu dan non-Melayu itu sendiri. Budaya ini hanya dimiliki oleh peranakan, seperti misalnya budaya Baba dan budaya Ceti. Dalam percampuran itu, unsur Melayu masih dominan, seperti dalam hal bahasa, adat-istiadat, kesenian, dan sebagainya. Pengaruh non-Melayu yang hampir tidak ada ialah dari budaya Eropa, karena pendeknya waktu interaksi, faktor psikologis, dan faktor agama.

Kedatangan non-Melayu Eropa yang agresif telah meninggalkan trauma pada orang Melayu. Perlakuan kolonialistik orang Portugis, Belanda, dan Inggris serta agama Nasrani yang mereka bawa menyebabkan orang-orang Melayu membenci mereka. Akibatnya, orang Eropa dipandang sebagai orang kafir. Orang Melayu memandang budaya Eropa sebagai budaya kafir yang harus dimusuhi.

6. Interaksi Melayu - Nonmelayu Dan Pendidikan
Pengaruh interaksi Melayu dengan non-Melayu yang sangat terasa ialah pada pendidikan. Interaksi Melayu dengan orang Arab yang membawa agama Islam telah menumbuhkan budaya Melayu-Arab atau Melayu yang Islam. Pendidikan yang diterima generasi muda maupun pendidikan orang dewasa diarahkan pada pembentukan pribadi muslim. Oleh karena itu, pendidikan dilakukan di rumah-rumah tangga, di masjid, dan di surau-surau.

Pengembangan agama Islam di Melayu dilakukan oleh para ahli dakwah dan pedagang-pedagang muslim. Perkembangan itu mendapat dukungan raja-raja atau kepala pemerintahan setempat, karena Islam telah masuk ke istina dan menjadi agama istana, sebelum menyebar ke pelosok negeri. Dengan demikian, kegiatan pendidikan yang dilakukan di masjid dan di surau praktis mendapat dukungan para raja.

Pendidikan ini semakin meningkatkan jumlah penganut agama Islam. Para cendekiawan dan mubalig Islam jumlahnya juga semakin besar. Merekalah motor penggerak penyebaran agama Islam ke pelosok-pelosok negeri. Mereka pulalah yang menjadi pendidik masyarakat. Citra masyarakat tentang mereka sangat baik, karena itu mereka menjadi idola generasi muda.

Pendidikan ini lebih banyak bersifat informal dan nonformal. Kurikulum menggunakan kitab suci Al Quran dan hadis-hadis Rasulullah yang diperkaya dengan pikiran ulama-ulama besar di Timur Tengah, seperti Imam Al Ghazali, Imam Syafii, Imam Malik, dan Imam Hambali. Masyarakat dibimbing pada penghayatan dan kesadaran akan kehidupan kekal abadi setelah mati. Hidup di dunia hanya bersifat sementara, sehingga hidup harus digunakan untuk mengumpulkan bekal untuk hari akhir. Bekal itu berupa amal perbuatan yang baik dan ibadah.

Akibat sistem pendidikan yang demikian, pengetahuan yang diutamakan kepada generasi muda lebih banyak bersifat keagamaan dan filsafat hidup. Ilmu pengetahuan dalam arti sains (social sciences dan natural sciences) boleh dikatakan tidak mendapat tempat. Bahkan teknologi yang berpangkal pada penemuan (invensi) dan pembaharuan (inovasi) sangat ditentang, karena dianggap berlawanan dengan hukum Tuhan. Penemuan dan pembaharuan merupakan dua kegiatan yang dipandang mengandung unsur kreativitas yang terkadang berlawanan dengan kondisi alamiah dan pranata sosial.

Datangnya orang Eropa dengan bekal pendidikan sains dan teknologi tinggi yang agresif menjejas pertahanan Melayu, semakin menambah citra bahwa sains dan teknologi benar-benar terkutuk. Kekalahan Melayu dalam menghadapi teknologi perang non-Melayu (Eropa) menyebabkan interaksi keduanya terjalin dalam wujud penjajahan.

Selama tiga abad lebih Melayu dijajah oleh non-Melayu dan selama itu Melayu mengganggap keadaan itu sebagai takdir yang diberikan Tuhan. Barat berhasil menguasai teknologi dan ilmu pengetahuan (sains) berkat pendidikan yang memupuk kecerdasan dan kreativitas generasi mudanya, ditambah dengan semangat patriotik atas kejayaan bangsa-bangsa mereka di Eropa. Sebenarnya, dalam hal patriotisme dan kedalaman agama, orang Melayu tidak terkalahkan. Mereka hanya kalah dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dengan adanya kemajuan pendidikan, ilmu, dan teknologi, non-Melayu Eropa memasuki masa industrialisasi yang memungkinkannya mengendalikan alam untuk kepentingan hidup manusia. Sementara itu, Melayu masih terlena, bergayut pada kemakmuran alam yang mengendalikan hidupnya. Orang Melayu tidak menyukai anak-anak mereka masuk ke sekolah (formal) yang didirikan oleh orang Barat yang dinilai kafir, karena pendidikannya dianggap hanya akan menjauhkan manusia dari Tuhan.

Setelah non-Melayu datang dan meletuskan meriam besar hasil teknologinya, Melayu baru tersentak sambil mencabut keris di pinggang, menghadang peluru meriam yang datang menerjang. Keris pun patah, tubuh terlentang bermandikan darah. Sebelum menemui ajalnya, cucu-cucu Laksamana Hang Tuah masih sempat memekikkan semboyan “Tak kan Melayu hilang di bumi”. Sejak itu, Melayu memang tidak hilang dari dunia, yang hilang hanya kemerdekaannya. Kedudukannya sebagai orang terjajah semakin menyudutkannya, sehingga orang Melayu semakin tetinggal dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan kecerdasan. Apalagi semangat kebangsaan mereka juga merosot.

Syukur, sekarang Melayu telah merdeka kembali dalam wadah kesatuan bangsa masing-masing negara yang berdaulat di Asia Tenggara. “Akankah sejarah ketertinggalan pendidikan berulang?” Seminar ini diharapkan dapat menjawabnya.

7. Penutup
Pendidikan dan kebudayaan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam pembangunan dan kemajuan suatu bangsa, sebab keduanya adalah bagian dari bangsa. Tanpa kebudayaan dan pendidikan, suatu bangsa tidak punya arti sama sekali. Dalam penjelasan Undang Undang Dasar 1945, secara tegas dikemukakan:

Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi daya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat di daerah-daerah seluruh Indonesia sebagai puncak-puncak kebudayaan, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dan kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.

Dalam Pasal 32 Undang-undang Dasar 1945 dikatakan, “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia”.

Sekarang, bangsa Indonesia amat menyadari bahwa kebudayaan bangsa perlu dibina dan ditingkatkan pertumbuhan serta perkembangannya. Salah satu usaha yang utama ialah melalui pendidikan. Untuk tidak mengulang sejarah, pendidikan bangsa Indonesia harus selaras. Pemenuhan kebutuhan dunia dan akhirat, material dan spiritual, kebutuhan sosial dan kemampuan intelektual harus serasi dan seimbang berlandaskan falsafah hidup Pancasila.

Seperti halnya budaya non-Melayu, budaya Melayu harus dapat memberikan andil dalam pembentukan, pengembangan, dan kemajuan budaya nasional. Manusia Indonesia yang berbudaya adalah yang bersatu-padu untuk memajukan bangsanya, antara lain dengan cara mempertebal semangat kebangsaan serta menguasai ilmu dan teknologi agar mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lainnya di muka bumi ini. Jika hal itu telah terwujud, barulah semboyan Hang Tuah patut disebut.

Daftar Pustaka
Agastja, I. K. 1951. Sejarah dan Perjuangan di Malaya. Penerbitan Nusantara.

Anonim. 1972. UUD 1945 Serta Penjelasannya. Jakarta: Yudhistira.

Asmad. 1983. Dokumentasi Seminar Sejarah Malaka, Kerajaan Malaka.

Koentjaraningrat. 1980. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

––––––––––. 1983. Pengantar Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.

Latif, A. B. A. 1984. Sejarah Malaka. Persatuan Sejarah Malaysia Cawangan Negeri Malaka.

Muchtar, L. dkk. 1977. Sejarah Riau. Pekanbaru: Universitas Riau.

Persatuan Sejarah Malaysia. 1982. “Cawang Malaka”. Jurnal Sejarah Malaka.

Reid, A. dan D. Mann. 1983. Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka. Jakarta: Grafiti Press.

Samad A., A. 1976. Zaman Gerhana. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia.

––––––––––. 1979. Sulalatussalatin (Sejarah Melayu). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia.

Suwardi. 1982. Komunikasi Antardaerah, Antarsukubangsa dan Pembauran di Daerah Riau. Makalah Seminar Sejarah Lokal, Bali, 1-4 September 1982.
___________________

Prof. Dr. H. Muchtar Lutfi, lahir di Baserah pada tanggal 16 Juli 1936. Dia adalah Guru Besar FKIP Universitas Riau dan pernah menjabat sebagai Rektor Universitas Riau. Doktor pendidikan diperolehnya dari IKIP Bandung (1979). Karya ilmiahnya antara lain “Kebudayaan dan Masyarakat dalam Era Revolusi”, yang disajikan dalam Simposium Kebudayaan tahun 1966 di Pekanbaru; “Perkembangan Anak dan Pemuda Indonesia” disampaikan pada Seminar tentang Anak dan Pemuda tahun 1968 di Jakarta; Sejarah Riau (Ed.) (1975); disertasi Doktor Kependidikan berjudul “Sistem Akreditasi pada Perguruan Tinggi di Indonesia” (1979); pidato pengukuhan Guru Besar berjudul “Penerapan Sistem Akreditasi sebagai Inovasi dalam Sistem Pendidikan di Indonesia” (1984); “Peranan Pendidikan Tinggi dalam Membina Cendekiawan Muslim”, disajikan dalam Seminar Cendekiawan Muslim, tahun 1985 di Pekanbaru; “Masalah Pendidikan dan Pemecahannya untuk Pengembangan Wilayah Perairan Daerah Riau”, disajikan pada Seminar Masalah Sumber Daya Perairan Riau, tahun 1985 di Pekanbaru; serta “Sekelumit tentang Kebudayaan Melayu Riau dan Kebudayaan Minangkabau”, disajikan pada Seminar Kebudayaan Minangkabau, tahun 1985 di Bukittinggi.
___________________

Makalah ini disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau