Melayu dan Masa Depan Riau Ke Arah Pembentukan Provinsi Melayu Riau

Oleh : Dr H Alfitra Salamm APU

Dalam sejarahnya, setiap daerah, setiap provinsi memiliki keunikan tersendiri dalam proses pembentukannya sehingga menjadi suatu wilayah terbagi-bagi sesuai dengan keunikan dan kekhususan yang dialami oleh masyarakat bersangkutan. Riau sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), memiliki kekhususan tersendiri yang kemudian membedakan dengan sejumlah provinsi lain di Indonesia. Memang, selayaknya sebuah sejarah tentang kekhususan, sekaligus memberikan cerita perbandingan dengan daerah lain. Akan tetapi, dalam pembicaraan ini tidak dilakukan, karena kekhususan Riau sudah dianggap sebagai sebuah “pengetahuan umum”, sehingga pembicaraan ini justru berprentensi untuk menganalisis “pengetahuan umum” tersebut.

Keberadaan Provinsi Riau, tidak ada yang sama dengan provinsi lain. Bukan semata-mata karena berbatasan langsung dengan negara lain yang sangat maju, dan ini menyebabkan Riau berposisi strategis. Bukan pula karena kekayaan SDA di atas rata-rata provinsi lain di Indonesia; (tetapi SDA tersebut terbatas dan bisa habis). Selain itu, bukan karena keragaman suku dan ras yang dimiliki, bukan karena Riau menjadi asal sumber bahasa nasional Bahasa Indonesia, bukan karena Riau secara signifikan tidak mengalami penjajahan yang serius, dan bukan pula karena di Riau tidak mengalami gejolak dan konflik-konflik yang mengguncang. Akan tetapi, lebih dari itu adalah bahwa di Indonesia, Riau-lah letak dan pusat Kultur Melayu, yang tidak ada duanya di dunia.

Akan tetapi, mengapa dan ada apakah Kultur Melayu tersebut sehingga dia menjadi penting untuk dipahami kembali, diberdayakan kembali, di-”eksiskan” kembali, atau dipraksiskan kembali. Sebuah persoalan besar karena selama ini Kultur Melayu tidak lebih sebagai wacana-wacana akademis, wacana-wacana seni-budaya, tetapi tidak berimplikasi luas terhadap masyarakat Melayu Riau itu sendiri.

Jika melihat sejarahnya, pada zaman dulu daerah Semenanjung Melayu dan Riau merupakan daerah bandar-bandar yang produktif sehingga wilayah itu mendapat kunjungan yang beragam dari orang-orang manca negara. Mereka melakukan perdagangan, berakulturasi dengan penduduk lokal, dan secara signifikan penduduk lokal beradaptasi dengan para pendatang tersebut. Artinya, dari dulu masyarakat Melayu Riau merupakan masyarakat yang bersahabat, adaptif, ramah, tidak suka konflik, santun, dan bersahaja. Untuk menjalankan komunikasi, ada sebuah bahasa yang menjadi lingua franca, yang dikuasai orang banyak, atau yang kemudian biasa disebut dengan Bahasa Melayu Rendah, dan dipergunakan secara luas di berbagai komunitas bandar-bandar di Asia Tenggara. Di kemudian hari, pada tahun 1920-an diadopsi menjadi bahasa nasional, bahasa Indonesia.

Lebih kurang setelah abad ke-13, Islam masuk Melayu. Karena masyarakat Melayu yang adaptif dan ramah, terjadilah suatu percampuran yang khas. Kultur Melayu merupakan percampuran yang khas antara faktor-faktor kepercayaan dan adat-istiadat lokal di daerah Semenanjung dan Riau berosmosis dengan faktor relijiusitas Islam. Dalam percampuran tersebut, sifat dan ruh kepercayaan serta adat-istiadat lokal dan relijiusitas Islam menjadi suatu kombinasi persenyawaan yang khas Kultur Melayu, yakni suatu bentuk kebudayaan yang sepenuhnya bersandar pada relijiusitas Islami.

Dengan demikian, sesuatu dikatakan berkultur Melayu jika orientasi peradaban dan budayanya merupakan persenyawaan kultur lokal yang ramah, santun, dan sekaligus berpegang pada syariah Islami. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan terhadap jenis kebudayaan seperti itu, karena kebudayaan seperti itu adaptif, menerima apa saja dan dari mana saja, yang kemudian menjadi diri dan peradaban etis keluarga-keluarga di Riau.1 Jejak-jejak peninggalan Kultur Melayu di sejumlah wilayah, baik dalam pengertian tanjibel dan intajibel yang diwariskan hingga kini, merupakan bukti kongkret bahwa Kultur Melayu memberikan kekhasan kepada masyarakatnya. Dalam sejarahnya, kultur ini berpengaruh besar terhadap perkembangan kebudayaan di Indonesia. Dapat dilihat seberapa jauh Kultur Melayu yang relijius tersebut berperan terhadap perjuangan kemerdekaan dan pasca kemerdekaan.

Berkat Kultur Melayu yang santun, terbuka, dan adaptif, kerajaan Melayu di Riau dengan senang hati memberikan hasil SDA-nya kepada negara Indonesia dengan jumlah ratusan trilyun per tahun, dari tahun 1930-an hingga sekarang. Akan tetapi, saat ini, siapa yang memberikan sumbangan signifikan kepada masyarakat dan Kultur Melayu sehingga perkembangannya mengalami keterhambatan karena masyarakat Melayu dengan Kultur Melayu itu ternyata sebagian besar adalah masyarakat miskin, masyarakat yang tidak berdaya mengembangkan kebudayaannya, masyarakat yang tidak berdaya mengembangkan eksistensi dirinya.

Hal yang agak pribadi itu —Setelah selesai SD, saya lebih dari sebelas tahun di Jogjakarta, bertahun-tahun hidup di Jakarta, dan hampir seluruh daerah di Indonesia ini sudah saya kunjungi, tetapi hampir tidak pernah saya mendengar orang Melayu bermasalah, atau bikin gara-gara dengan orang lain. Itu karena Kultur Melayu yang dimiliki orang Melayu menjadi bagian yang terintegrasi dalam diri orang Melayu sehingga ia bisa menerima dan diterima di mana saja. Memang, ini sebuah kesan pribadi. Bisa kita teliti lagi secara bersama-sama. perlu disampaikan agar mereka yang tidak berasal dari Riau— ketika ia di Riau, maka ia selayaknya segera menjadi Melayu, atau paling tidak orang Melayu segera menganggap mereka bagian dari masyarakat Melayu. Cerita bahwa orang dari mana saja bisa berkerja dan bermastautin di Riau dengan nyaman adalah cerita yang tidak mengada-ada, tetapi mungkin tidak demikian sebaliknya. Sekali lagi, ini sebuah kenyataan bahwa Kultur Melayu memberikan ciri yang khas sehingga setiap orang merasa nyaman dalam kultur tersebut.

Dr H Alfitra Salamm APU, Peneliti Senior Lembega Penelitian Indonesia (LIPI).

Sumber: Riaupos.com