Kesultanan Melayu di Riau : Kesatuan dalam Keragaman

Oleh : Prof. Drs. Suwardi, M.S.

Penulis mengemukakan tentang kesatuan kerajaan di Riau pada satu tampuk pimpinan seorang sultan atau raja yang menurutnya diawali dengan kekuasaan Raja Kecil (1717). Raja Kecil telah meletakkan dasar-dasar kesatuan tersebut dalam berbagai aspek kehidupan, seperti pemerintahan, wilayah, dan unsur-unsur budaya yang berkembang di Kesultanan Riau. Akan tetapi pada masa selanjutnya terjadi pembelahan wilayah kesultanan menjadi Siak Sri Indrapura dan Riau-Lingga (1722). Perubahan ini membawa dampak pada aspek politik, sosial, dan budaya, serta menimbulkan pembauran di Kesultanan Melayu Riau. Pembauran tersebut bermula sejak diikatnya tali persahabatan antara Sultan Riau-Lingga (Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah) dengan keturunan Daeng Relakka dari Bugis. Perubahan-perubahan yang terjadi di Kesultanan Melayu itu, menurut penulis, disebabkan oleh campur tangan pemerintah kolonial Belanda di satu pihak dan perubahan nilai-nilai pada budaya Melayu itu sendiri di pihak lain. Hal ini tentu memberi corak dan warna tersendiri pada Riau.

1. Pendahuluan
Riau sebagai wilayah bekas Kesultanan Melayu perlu dikaji lebih mendalam. Kajian ini akan memberikan implikasi terhadap kajian aspek lain atau sekurang-kurangnya akan memberikan petunjuk tentang terpilihnya Riau sebagai salah satu pusat kajian kebudayaan Nusantara.

Materi tentang Kesultanan Melayu di Riau ini cukup luas, baik menurut kurun waktunya maupun aspek-aspek yang tercakup di dalamnya. Dari pengertian kesultanan saja timbul berbagai pertanyaan, “Apakah kesultanan sebagai pemerintahan didasarkan pada gelar pemegang kekuasaan dalam pemerintahan? Apakah kesultanan sebagai suatu kerajaan yang diperintah oleh raja menjadikan agama Islam sebagai agama kerajaan? Apakah Kesultanan Melayu sebagai suatu Kerajaan Melayu mempunyai ciri agama Islam, adat, dan bahasa Melayu? Kapan Kesultanan Melayu di Riau tumbuh, berkembang, dan runtuh? Apakah Kesultanan Melayu di Riau identik dengan Kesultanan Riau-Lingga? Apakah kerajaan-kerajaan lain yang tumbuh dan berkembang di Riau, seperti Kesultanan Siak Sri Indrapura, Indragiri, Kampar, Rokan, dan sebagainya dapat disebut Kesultanan Melayu? Bagaimanakah Kesultanan Melayu di Riau menumbuhkan pemerintahan, sosial budaya, ekonomi, serta pertahanan keamanan?” Tidak semua pertanyaan ini akan dikaji di sini.

Agar tidak tumpang tindih, kajian akan diarahkan pada kesatuan dalam keragaman serta pemerintahan dan perannya dalam menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai sosial budaya Melayu, khususnya melalui usaha pembangunan antarsukubangsa. Melalui pembahasan masalah ini diharapkan kebudayaan Melayu dapat memberikan sumbangan dalam pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional. Pembahasan dilakukan dengan menggunakan sumbersumber sejarah hasil karya penulis Riau maupun ahli asing.

2. Kesatuan Kesultanan Melayu
Kajian terhadap Kesultanan Melayu di Riau tidak dapat dipisahkan dari tumbuhnya kekuasaan pemerintahan di Semenanjung Melayu (Malaysia) dan Singapura. Uraian di sini dititikberatkan pada Kesultanan Melayu di Riau.

a. Proses Tumbuhnya Kesatuan
Sultan Machmud Syah II yang bergelar Al Marhum Machmud Mangkat Di Julang merupakan keturunan Sultan Johor yang wafat pada tahun 1699. Dia mempunyai putra bernama Raja Kecil. Berbagai sumber memberikan penjelasan yang berbeda mengenai Raja Kecil, sehingga timbul pertanyaan, “Benarkah Raja Kecil putra Sultan Machmud Syah II?” Dari sumber-sumber yang ada diketahui bahwa Raja Kecil pernah dibesarkan dan dididik di Minangkabau. Setelah dewasa Raja Kecil menghimpun kekuatan untuk merebut ibukota Johor dari kekuasaan Bendera. Kekuatan yang dihimpun di pantai Timur Sumatera terdiri dari berbagai sukubangsa di Bengkalis, seperti sukubangsa Minangkabau, Bugis, dan Orang Laut. Raja Kecil berhasil merebut pemerintahan Johor pada 21 Maret 1717. Dia kemudian memindahkan pemerintahan ke Bintan (Riau) pada 1719 (Andaya, 1975: 272).

Pemerintahan yang berpusat di Bintan bertahan selama kurang lebih 4 tahun. Pada waktu itu Belanda (VOC) selalu mendapat rintangan untuk menduduki perairan Selat Malaka, karena gerilya laut yang dijalankan oleh Raja Kecil dan pengikut-pengikutnya. Belanda menjulukinya “Pemimpin Bajak Laut atau Perampok Lanun”. Di samping bergerilya, Raja Kecil juga menghadapi serangan dari pengikut Bendera Johor yang telah kehilangan tahtanya. Dengan demikian, usaha Raja Kecil untuk menegakkan hak, kekuasaan, dan kebenaran Melayu di perairan Selat Malaka selalu mendapat hambatan.

Raja Kecil merupakan seorang tokoh yang telah berjasa menumbuhkan kedaulatan di perairan Selat Malaka. Oleh karena itu, Raja Kecil sebagai tokoh yang kontroversial mempunyai peran dalam menumbuhkan kesatuan di Kesultanan Melayu. Raja Kecil merupakan pendiri Kesultanan Siak Sri Indrapura. Dia berhasil memupuk persaudaraan dengan Minangkabau sampai ia meninggal tahun 1746 (Andaya, 1975: 272).

Untuk menjamin keutuhan keturunan Melayu Nusantara, terutama dalam menghadapi kekuatan Belanda, Raja Kecil menyusun kekuatan baru di daerah aliran Sungai Siak, yaitu di Buantan, 10 km di hilir kota Siak Sri Indrapura sekarang. Dari Buantan, Raja Kecil melakukan konsolidasi pemerintahan, militer, dan memperbaiki perekonomian untuk menghadapi pihak Belanda (Lutfi dkk., 1977: 241).

Sejak tahun 1723 Siak Sri Indrapura mengalami pertumbuhan dan perkembangan sendiri. Kedaulatan dan wilayah kekuasaan Siak Sri Indrapura meliputi daratan pantai Timur Sumatera. Di bagian Utara sampai Temiang, Aceh Selatan, dan sampai batas kekuasaan Indragiri, di bagian Barat sampai ke batas kekuasaan Minangkabau, dan di bagian Timur berbatasan dengan kekuasaan Johor. Secara bertahap, Siak Sri Indrapura menjadi kesultanan sendiri yang terpisah dari Kesultanan Riau-Lingga dan Johor yang diawali oleh Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah sebagai sultannya.

b. Sultan Sulaiman Membina Kerukunan
Pembinaan hubungan yang diawali oleh Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah (1722–1761), antara sukubangsa Melayu, Bugis, Minangkabau, dan sebagainya berjalan serasi. Sultan Sulaiman berusaha meningkatkan persahabatan dengan lima bersaudara putra Daeng Relakka (Mpu Tanderi Burung), yaitu Daeng Marewa, Daeng Perani, Daeng Menambun, Daeng Celak, dan Daeng Kemasik. Ikatan persahabatan tersebut dilaksanakan dalam suatu perjanjian dengan tujuan utama untuk menghadapi tantangan dari Belanda. Perjanjian tersebut menetapkan bahwa sukubangsa Melayu sebagai Sultan dan sukubangsa Bugis sebagai Yam Tuan Muda. Untuk lebih memupuk ikatan persaudaraan sebagai suatu keluarga, Sultan Sulaiman melakukan politik pernikahan antara saudaranya dengan keturunan Bugis Daeng Relakka. Sebagai contoh, Tengku Mandah dinikahkan dengan Daeng Celak yang kemudian diangkat menjadi Yam Tuan Muda II (Arenawati, 1973).

Usaha Sultan Sulaiman dalam membina kerukunan diteruskan oleh Sultan Abdurrahman di Penyengat. Sultan Abdrrahman (1812–1832) telah melakukan pembagian kerja bagi berbagai sukubangsa yang tinggal di Riau. Sukubangsa Cina dan Boyan (Bawean) sebagai nelayan dan pedagang. Sukubangsa Cina juga ditugaskan untuk meneruskan usaha perkebunan gambir dan karet, sukubangsa Jawa didatangkan untuk meningkatkan mutu pertanian. Persahabatan antar sukubangsa tersebut juga terlihat dalam upacara adat kesultanan. Masing-masing sukubangsa diberi tempat tertentu dalam upacara tersebut (Suwardi, 1982).

Di Kesultanan Siak juga dilakukan pernikahan Putri Siak (Melayu) dengan keturunan Said (Arab), seperti Said Ali menikah dengan Tengku Embong Badaniah putri Sultan Alamuddin Syah. Dengan pernikahan itu Said Ali berhasil menjadi Sultan Siak dengan gelar Sultan Assyaidis Ali Abdul Jalil Syaifuddin (1784–1810) (Lutfi, 1977: 251).

c. Keragaman Pemerintahan
Kesatuan kedaulatan dan wilayah Kesultanan Melayu mulai pecah sejak dipusatkannya pemerintahan oleh Raja Kecil di Siak Sri Indrapura dan sejak pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah berkuasa di Riau-Johor pada 1722.

Kesultanan Siak diperintah oleh Sultan sebagai pemegang pucuk pemerintahan tertinggi dan didampingi oleh dewan kerajaan. Dewan kerajaan terdiri dari orang-orang besar yang berfungsi sebagai pelaksana pemerintahan dan penasihat utama Sultan. Orang-orang besar tersebut di antaranya datuk dari empat suku, yaitu Datuk Lima Puluh dengan gelar Sri Bejuangsa, Datuk Tanah Datar dengan gelar Sri Pekerma Raja, Datuk Pesisir dengan gelar Maharaja Keungsa, dan Datuk Laksamana Raja Di Laut. Selain itu juga terdapat pembesar-pembesar pembantu Sultan, seperti panglima perang, Datuk Hamba Raja, Datuk Bintara Kiri, Datuk Bintara Kanan, dan Datuk Bendahara.

Pemerintahan di daerah-daerah dipegang oleh kepala suku yang bergelar Penghulu, Orang Kaya, dan Batin. Wilayah kekuasaan Sultan Siak mencapai dua belas provinsi dengan pemerintahan dua belas orang Sultan. Sultan terakhir adalah Sultan Syarif Kasim II (1915–1945) yang menyerahkan kesultanan kepada pemerintah Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Di samping dua kekuasaan Siak dan Riau-Johor, tumbuh pula pemerintahan kerajaan-kerajaan lain di wilayah kekuasaan tersebut. Di wilayah Siak tumbuh Kerajaan Pelawan dan Rokam. Kedua kerajaan ini berkembang menjadi kerajaan yang berdaulat. Kerajaan Pelalawan tumbuh dan berkembang pada tahun 1530–1886, dengan pemerintahan raja yang bergelar Maharaja. Rajanya antara lain adalah Maharaja Dinda I (1590–1630) dan yang terakhir memerintah adalah Assyaidis Syarif Abu Bakar Abdurrahman Fachruddin Tengku Besar Raja Kerajaan Pelalawan (1872–1886).

Di daerah aliran Sungai Rokan juga tumbuh Kerajaan Tambusai dengan ibu negeri Dalu-dalu, Rambah dengan ibu negeri Pasir Pengaraian, Kepenuhan dengan ibu negeri Kota Tengah, Kunto Darussalam dengan ibu negeri Kota Lama, dan Rokan dengan ibu negeri Rokan IV Koto. Salah satu sumber tertulis Kerajaan Rokan adalah “Siri” dan “Tarombo Siri” yang dibacakan pada waktu pengangkatan dan penggelaran raja. Sultan dari Kerajaan Tambusai adalah Sultan Machyuddin. Orang besar kerajaan terdiri atas empat orang, yaitu Datuk Sri Maharaja, Datuk Paduko Tuan, Datuk Tumenggung, dan Datuk Paduko Rajo. Keempat datuk tersebut sebagai pemegang kerapatan adat (Lutfi, 1977: 271).

Sultan Sulaiman merupakan Yang Dipertuan Besar pertama Riau di Riau-Johor, yang berasal dari keturunan Bendahara. Dia bergelar Sultan Abdul Jalil Riaayat Syah IV (Sham, 1980). Sejak pemerintahan Sultan Sulaiman, kekuasaan Sultan sudah dibagi dengan Yam Tuan Muda dari keturunan Bugis (Daeng Perani, Daeng Marewa, Daeng Menambun, dan Daeng Celak). Pada tahap akhir, Sultan hanya sebagai simbol dan kekuasaan sehari-hari dilaksanakan oleh Yam Tuan Muda. Keadaan ini mungkin disebabkan oleh kuatnya tekanan Belanda yang menjadikan Sultan sebagai kaki tangannya dalam pemerintahan. Dalam perjanjian 18 Mei 1905 Pasal 1 Ayat 1 disebutkan, “Sri Paduka Tuan Sultan mengaku akan senantiasa setia kepada Sri Paduka Gubernur Hindia Belanda dan wakilnya, serta akan menurut dan menjunjung tinggi segala titah perintahnya” (Lutfi dkk., 1977: 857).

Pemerintahan Belanda didampingi oleh lima orang menteri yang merupakan permusyawaratan kerajaan (seperti termuat dalam perjanjian Pasal 8 Ayat 1). Sebelumnya, pelantikan pembesar dimonopoli oleh Sultan, namun sejak adanya perjanjian itu penentuan pembesar didasarkan pada hasil mufakat para pembesar dari Yam Tuan Muda, dan yang berkuasa melantik adalah Yang Dipertuan Besar (Sham, 1980a).

Wilayah kekuasaan Sultan meliputi Riau Kepulauan, pulau-pulau di muara Sungai Indragiri, Semenanjung Melayu, dan Singapura. Dengan adanya perjanjian London, wilayah kekuasaan Sultan semakin sempit. Sultan (Yang Dipertuan Besar) pindah ke Lingga dengan wilayah kekuasaannya di Pulau Lingga dan Yang Dipertuan Muda di Pulau Penyengat saja. Dengan Perjanjian London 1824, kekuasaan Yang Dipertuan Besar semakin terbatas. Akhirnya Bendahara dijadikan Raja Pahang dan Tumenggung sebagai Raja Johor (Sham, 1980a). Perjanjian London ini juga memisahkan wilayah Semenanjung Malaya dan Singapura dengan Riau. Sejak itu kesultanan lebih dikenal dengan nama Kesultanan Riau-Lingga.

Di wilayah Kesultanan Riau-Johor tumbuh Kerajaan Indragiri (1658–1838). Wilayah kerajaan ini meliputi perairan dan muara Sungai Indragiri sampai batas Cerenti di Kuantan. Kerajaan Indragiri diperintah oleh sekitar 23 orang raja (sultan). Dari besarnya jumlah raja ini terlihat bahwa Kerajaan Indragiri tentu mempunyai kedaulatan sendiri. Akan tetapi sejak pemerintahan Belanda memaksakan perjanjian kepada Sultan Indragiri pada 1838, Belanda berhasil menguasai wilayah Indragiri. Sejak itu Indragiri menjadi bagian dari Residentie Riow en Onderhoorigheden.

Kuantan merupakan wilayah di hulu Sungai Indragiri yang pada awalnya dikuasai oleh Kerajaan Kandis. Kerajaan Kandis selanjutnya lebih dikenal sebagai Kuantan. Di wilayah ini terkenal pepatah “Beraja kepada mufakat dan bersultan ke Indragiri”. Mengenai status wilayah ini perlu kajian tersendiri. Dalam adat dan hukum Kuantan berlaku adat “Datuk Perpatih Nan Sebatang”, sehingga dalam pemerintahan dikenal para datuk, di antaranya Datuk Paduko Rajo yang berkedudukan di Lubuk Ambacang, Datuk Habib yang berkedudukan di Lubuk Jambi, Datuk Bisai yang berkedudukan di Taluk, Datuk Dano Sikaro yang berkedudukan di Inuman, dan Datuk Dano Pute yang berkedudukan di Cerenti. Kelima datuk ini juga disebut “Orang Gadang” yang merupakan wakil raja dalam menjalankan pemerintahan di daerah kekuasaannya masing-masing (Lutfi, 1977: 358).

Berbatasan dengan wilayah Kuantan juga tumbuh Kerajaan Gunung Sahilan di daerah Kampar Kiri. Kerajaan ini diatur berdasarkan adat. Raja sekaligus sebagai pemimpin agama. Syarak/adat yang dianut sama dengan di Kuantan, yaitu adat “Datuk Perpatih Nan Sebatang”.

Berdasarkan kenyataan-kenyataan itu, Kesultanan Melayu Riau yang pada awalnya adalah suatu kesatuan, berkembang menjadi beberapa kerajaan yang mempunyai kedaulatan atau ciri sendiri-sendiri, tetapi mempunyai hubungan dengan pusat pemerintahan Kesultanan Melayu asal di Bintan, Ulu Riau, Lingga, dan Penyengat. Sejak 1913 kekuasaan Belanda semakin menghilangkan kedaulatan Kesultanan Melayu di Riau karena pemerintahan diatur oleh Residen dan dibantu Asisten Residen. Beberapa kepenghuluan dan kebatinan berada di bawah Amir (biasanya orang Melayu) dan Amir berada di bawah kontroleur (orang Belanda).

d. Keragaman Sosial Budaya
Sejak abad ke-18, Kesultanan Melayu Riau (Riau-Lingga) dipegang oleh dua kelompok sukubangsa, yaitu Melayu dan Bugis. Kedua sukubangsa ini selalu bersaing untuk dapat mendominasi pemerintahan kesultanan. Persaingan ini menimbulkan keretakan, sehingga terjadi perang, seperti perang melawan Raja Kecil dari Siak (1717–1726).

Namun, Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah berhasil memupuk kembali persahabatan antara Melayu dan Bugis melalui sumpah setia Melayu dan Bugis. Selanjutnya juga diadakan pernikahan antara kedua sukubangsa tersebut. Saudara-saudara Sultan Sulaiman menikah dengan keturunan Bugis. Daeng Perani dinikahkan dengan Tengku Tengah. Daeng Celak menikah dengan Tengku Mandah. Sejak itu pernikahan antar sukubangsa merupakan kebiasaan yang meluas. Akibatnya timbul pembauran antara kedua sukubangsa tersebut dan terpupuk persatuan di antara mereka.

Rasa persatuan yang telah mengikat kelompok masyarakat yang tergolong pemimpin itu berpengaruh besar terhadap tumbuhnya sistem kemasyarakatan dalam kehidupan kesultanan. Pada pihak lain kehidupan sosial yang ditumbuhkan pemerintah kolonial Belanda membedakan bumiputra dan orang asing. Terjadinya peningkatan kesadaran kelompok di kalangan bumiputra telah menumbuhkan rasa persatuan yang kuat untuk menentang sistem diskriminasi kolonial Belanda. Keadaan ini merangsang para cendekiawan Riau-Lingga untuk berjuang secara fisik (perang Raja Haji tahun 1782–1784) dan selanjutnya berjuang melalui organisasi dan tulisan-tulisan yang memupuk rasa persatuan.

Sultan Abdul Rachman mencoba meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui usaha-usaha seperti (a) penyediaan pemukiman bagi semua golongan penduduk di Penyengat, (b) penyediaan pengobatan melalui pembangunan rumah tabib, (c) penyediaan tempat ibadah dan pendidikan agama di masjid Penyengat, (d) pemberian jaminan untuk keperluan sehari-hari bagi penduduk yang berdiam di Penyengat.

Penduduk diberi tugas atau pekerjaan menurut keterampilan dan kemampuan yang dimiliki. Masing-masing sukubangsa dipercaya untuk melaksanakan pekerjaan sebagai prajurit, pedagang, nelayan, pendayung sampan, dan sebagainya. Sukubangsa Cina pun diberi kesempatan bermukim di Penyengat, yaitu di pantai timur laut Penyengat. Orang Cina diberi kesempatan seperti penduduk lainnya untuk hadir dalam upacara kesultanan.

Menjelang berakhirnya pemerintahan kesultanan (1911), timbul usaha para cerdik cendekiawan untuk membentuk perkumpulan Rusydiah Klub. Tujuan Rusydiah Klub adalah untuk memberikan dukungan kepada kesultanan dalam menghadapi pemerintah Hindia Belanda. Usahanya antara lain dengan menggalakkan penulisan. Raja Ali Haji telah mempelopori lahirnya pengarang dalam kesultanan, seperti Raja Ali Tengku Kelana, Raja Hitam, Raja Aisyah, Raja Haji Abdullah bin Hasan Riau, Raja Zaleha, Haji lbrahim, dan lainnya.

Usaha Rusydiah Klub meliputi bidang ilmu pengetahuan, syiar agama Islam, dan kegiatan politik untuk kepentingan Kesultanan Riau-Lingga. Sekitar tahun 1906 Rusydiah Klub berhasil menerbitkan majalah Al-Iman di Singapura dengan motto “Menggalang Kekuatan Umat Islam”. Akibatnya, anggota Rusydiah Klub mendapat tekanan dari Belanda dan mereka pindah ke Singapura, termasuk Sultan. Dari sana mereka meneruskan perlawanan menentang Belanda. Sejak itu Belanda berkuasa penuh di Kesultanan Riau-Lingga dan status pemerintahan menjadi Residentie Riow en Onderhorigheden.

Kesultanan Melayu Riau menjalankan pemerintahan menurut ketentuan tradisi yang turun-temurun maupun menurut ketentuan tertulis. Kesultanan sebagai daerah laut telah mempunyai ketentuan (undang-undang) tentang laut. Undang-undang ini pernah disalin kembali oleh Sultan Muzafansyah II pada tahun 1066 H atau 1665 M (Lutfi, 1977: 834).

Undang-undang yang ada antara lain Undang-undang Jabatan Riau-Lingga yang diungkapkan pada tahun 1303 H atau 1883 M dan antara lain menentukan jabatan pegawai yang dikuasakan melakukan keadilan, Undang-undang Mahkamah (Lutfi, 1977: 846), dan Undang-undang Lima Pasal dari Riau. Undang-undang Lima Pasal mungkin dikeluarkan pada masa Sultan Machmud Muzafansyah (1841–1857). Undang-undang ini antara lain memuat 1) asal raja yang mukhtasar (raja-raja yang memerintah, jabatan Yang Dipertuan Muda Riau, jabatan-jabatan Bendahara Riau, jabatan-jabatan Tumenggung Riau); 2) adat-istiadat Raja-raja Melayu (sumpah setia, peraturan kenaikan pangkat di kalangan pembesar, pelantikan berdasarkan keturunan, pekerjaan menzahirkan gelaran dan lantikan); 3) pembagian kuasa dan hak memerintah; 4) perbincangan mengenai bahasa diraja dan nobat; 5) wakil mutlak (Sham, 1980a: 65–72).

Perjanjian antara kesultanan dan Belanda selalu menjadi dasar dalam pelaksanaan pemerintahan. Salah satu perjanjian yang ditandatangani oleh Belanda dan Yang Dipertuan Muda Jaafar pada 1905 memuat tentang pengakuan Sultan atas kekuasaan Hindia Belanda di Riau-Lingga. Salah satu pasalnya menyebutkan tentang wilayah Riau-Lingga yang meliputi (a) pulau-pulau yang termasuk dalam lingkungan Lingga-Riau, Batam, Karimun, dan Pulau Tujuh Kecil; (b) pulau-pulau Natuna; (c) pulau-pulau Tambelan; dan (d) Pesisir Penca (Sumatera), meliputi Kuala-kuala Indragiri yang bernama Danai, Kateman, Mandah, Igal, dan Gaung, serta sebelah Kuala Indragiri yang bernama Reteh (Lutfi, 1977: 857).

Berdasarkan kenyataan di atas, Kesultanan Riau-Lingga sudah diatur atas hukum tertulis, sehingga dapat disebut sebagai kesultanan yang mempunyai ciri hukum dasar. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kedaulatan Kesultanan Riau-Lingga pada awalnya berada di tangan Sultan, namun pada akhirnya Sultan hanya sebagai simbol. Usaha kesultanan untuk membina kesatuan dan kemajuan masyarakat cukup tinggi, sehingga melahirkan para cendekiawan yang berhasil menumbuhkan persatuan untuk menentang penjajahan Belanda.

3. Kesatuan Dalam Keragaman Budaya
a. Pengembangan Nilai Budaya

Kesultanan Melayu di Riau, terutama masa pemerintahan Riau-Johor dan Riau-Lingga, telah berhasil menumbuhkan bahasa Melayu menjadi bahasa ragam tulis, berkat jasa para cendekiawan, seperti Raja Ali Haji dan kawan-kawan. Raja Ali Haji merupakan seorang ahli sejarah, bahasa, agama, dan penasihat dalam pemerintahan, terutama pada masa Yang Dipertuan Muda Raja Ali. Raja Ali Haji menasihati Yang Dipertuan Muda Raja Ali berdasarkan atas ajaran agama Islam. Ini terlihat dalam karyanya Mukadimah Fi Intizam al-Wasaif al-Muluk Khususan Ila Maulana wa Sahabina wa Akhina, Yang Dipertuan Muda Raja Ali Al-Mudabbir AI-Riyauwiyah wa Syair Dairathi (Sham, 1980).

Kesultanan Melayu berhasil mengembangkan agama Islam, terutama pada masa pemerintahan Yang Tuan Muda Raja Abdul Rachman (1833–1844), Yang Tuan Muda Raja Ali (1845–1857), dan Yang Tuan Muda Raja Abdullah (1857– 1858). Pada masa itu, telah didatangkan ahli agama dari luar, seperti Syekh Ahmad Jabrati, Syekh Muhammad Arsyad Banjar, dan Sayid Abdullah Bahrin (Sham, 1980). Dalam pengembangan agama Islam, juga dikembangkan satu aliran tarekat, yaitu Tarekat Naqsyabandiah. Tarekat ini dikembangkan oleh pemerintah mulai dari pemerintahan Yang Dipertuan Muda Raja Ali (1845–1857) sampai Raja Mohammad Yusof. Dari Penyengat, tarekat ini berkembang ke Babussalam, Langkat, Sumatera Utara, Semenanjung Melayu, serta Singapura-Rokan dan daerah sekitarnya (Sham, 1980: 85). Penyengat kemudian berhasil dikembangkan sebagai pusat agama, bahasa dan sastra, adat, dan kesenian Melayu yang sampai sekarang masih dapat disaksikan peninggalan dan bekas-bekasnya.

Apabila dikaji menurut adat keTumenggungan dan adat perpatih, adat keTumenggungan berkembang di kalangan keturunan bangsawan, yaitu di wilayah kesultanan. Adapun adat perpatih terdapat di Kuantan dan daerah Kampar. Islam berkembang di Kesultanan Melayu secara luas dan mendalam, sehingga tata nilai dan adat masyarakat sangat dipengaruhi ajaran Islam. Gambaran pengaruh tersebut dituangkan dalam ungkapan “Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”, walaupun masyarakat Melayu mempunyai adat-istiadat yang mengatur kehamilan, pertunangan, perkawinan, penobatan raja, dan sebagainya (Panuti, 1982). Kini, agama Islam, adat Melayu, dan bahasa Melayu yang berkembang di Kesultanan Melayu merupakan identitas masyarakat Melayu itu sendiri.

b. Budaya Melayu Menghadapi Budaya Asing
Unsur-unsur budaya yang merupakan identitas Melayu kemudian tumbuh dan berkembang, namun penetrasi kolonial Belanda yang secara bertahap menguasai wilayah Kesultanan Melayu itu menimbulkan perubahan nilai di kalangan tertentu. Masyarakat pada umumnya menentang masuknya nilai-nilai Barat tersebut. Puncak perlawanan secara fisik ditunjukkan oleh pejuang seperti perlawanan Raja Haji pada tahun 1782 hingga tahun 1784 (Suwardi dkk., 1981/1982b). Salah satu unsur budaya yang dapat membendung pengaruh budaya asing adalah kefanatikan masyarakat Melayu terhadap agama Islam. Masyarakat Melayu memandang orang Belanda sebagai orang kafir.

Di pihak lain, Belanda mencoba menanamkan nilai-nilai budayanya, seperti misalnya penggunaan bahasa Belanda dan tatakrama Barat. Pemakaian bahasa Belanda merupakan saingan terhadap pemakaian bahasa Melayu. Pada mulanya pemerintah Belanda menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa kelas dua, akan tetapi berkat usaha para cendekiawan Melayu, bahasa Melayu kemudian berkembang menjadi bahasa yang semakin sempurna. Lambat-laun Belanda terpaksa menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi pemerintahan dan bahasa pengantar di sekolah. Bahkan, bahasa Melayu kemudian ternyata berhasil mempersatukan berbagai sukubangsa di wilayah Nusantara yang kemudian bergabung menjadi satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia.

4. Kesimpulan
Raja Kecil (Sultan Abdul Jalil Rakhmat Syah) telah mengusahakan kembalinya kesatuan Melayu di perairan Selat Malaka sejak 1717. Usaha Raja Kecil mendapat perlawanan dari pihak Belanda dan suku Bugis, tetapi dalam waktu empat tahun (1719–1722), kedaulatan kembali ke Bintan. Usaha konsolidasi diteruskan Raja Kecil dari pusat pemerintahan di Bintan (Siak Sri Indrapura) sampai akhir hayatnya (1746). Sejak pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah (1723–1761), kesatuan Kesultanan Melayu kembali dipusatkan di Bintan. Kesatuan Kesultanan Melayu di Riau mencapai puncaknya dengan perlawanan Raja Haji Fisabilillah yang wafat di Teluk Ketapang, Malaka pada 1874. Retaknya kesatuan itu karena kekuasaan Yang Dipertuan Muda yang berpusat di Penyengat diperkuat oleh Belanda. Kenyataan itu menunjukkan bahwa campur tangan Belanda telah merusak kesatuan di Kesultanan Melayu. Pada pihak lain, juga berkembang berbagai kerajaan seperti Indragiri, Rokan, Kampar Kiri, dan sebagainya di wilayah Kesultanan Melayu, yang memberikan keragaman pada Kesultanan Melayu dalam bidang pemerintahan dan sosial budaya.

Sultan Sulaiman mengikat sumpah setia dengan keturunan Bugis yang menunjukkan adanya pembauran antar sukubangsa Melayu dan Bugis di Kesultanan Melayu. Pembauran diteruskan oleh penggantinya dan tampak nyata pada masa pemerintahan Sultan Abdul Rachman Muazam Syah (1812–1832). Usaha pembauran yang diiringi dengan pembentukan wadah/perkumpulan cendekiawan Riau melalui Rusydiah Klub telah mengembangkan budaya Melayu melalui tradisi tulis yang menghasilkan berbagai karya terkenal. Tradisi tulis Kesultanan Melayu Riau ini menjadi khazanah yang tidak ternilai, berupa naskah dan manuskrip yang dewasa ini tersebar di seluruh penjuru dunia. Untuk mengungkapkan kembali khazanah budaya Melayu tersebut perlu ditempuh langkah-langkah nyata. Langkah cepat yang harus diambil ialah mengumpulkan naskah-naskah yang tersebar tersebut, dan menyelamatkan naskah yang masih ada, serta mulai merintis pengkajiannya.

Daftar Pustaka
Ahmad, S. 1979. Sulatussalatin (Sejarah Melayu). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementrian Pelajaran Malaysia.

Andaya, Y. L. 1975. The Kingdom of Johor 1641–1728, Economic and Political Developments. Kuala Lumpur: Oxford University Press.

Anwar, R. 1967. Raja Kecil Bajak Laut di Selat Malaka: Sebuah Novel Sejarah. Indira.

Arenawati, 1973. Silsilah Melayu dan Bugis Raja Ali Haji. Kuala Lumpur: Pustaka Antara.

Husein, I. 1981. Sejarah Pertumbuhan Bahasa Kebangsaan Kita. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementrian Pelajaran Malaysia.

Lutfi, M. dkk. 1977. Sejarah Riau. Riau: Percetakan Riau.

Mulyono, S. 1982. Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara. Jakarta: Balai Pustaka.

Panuti, H. M. S. 1982. Adat Raja-raja Melayu. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Reid, A. dan D. Mann. 1983. Dari Raja Ali Haji hingga Hamka, Indonesia dan Masa Lalunya. Jakarta: Grafiti Press.

Sham, A. H. 1980a. Undang-undang Lima Pasal dari Riau. Jabatan Pengajian Melayu University Malaya.

––––––––––. 1980b. Muqaddimah Intizam AI-wasaif al-Muluk Khususan ila Maulana wa Sahabina Yang Dipertuan Muda Raja Ali AI-Mudadhir Li ‘i-biladi AlRiyauwiyah Wa Sairi Dairatihi. Jabatan Pengkajian Melayu Universitas Malaya.

––––––––––. t.t. Tariqat Naqsabandiah, al Tamuddin Sah.

Suwardi dkk. 1981/1982. Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Riau. Proyek IDSN, Dir. Sejarah dan Nilai Tradisional, Depdikbud.

Suwardi. 1982a. Komunikasi Antardaerah, Antar sukubangsa dan Pembauran di Daerah Riau. Makalah Seminar Sejarah Lokal, Dir. Sejarah dan Nilai Tradisional Depdikbud.

–––––––––. 1982b. Kesultanan Riau-Lingga dalam Pengembangan Islam dan Kebudayaan Melayu. Makalah Pertemuan Bahasa dan Budaya Pemuda, Penyengat, Kepulauan Riau.

__________

Prof. Drs. Suwardi, M.S., adalah dosen FKIP UNRI merangkap Ke­pala Pusat Pengabdian pada Masyarakat Universitas Riau. Lahir di Sentajo (Riau), pada tanggal 23 Juli 1939. Pendidikannya adalah SR, 6 tahun (1954); SGB, 3 tahun (1957); SGA, 3 tahun (1960); Sarjana Muda Pendidikan Jurusan Sejarah (1963); Sarjana Pendidikan Jurusan Sejarah IKIP Bandung (1966); program satu ta­hun dalam Educational Planning Macquanie University, Sydney, Australia (1975/1976). Dia aktif mengikuti seminar, melakukan penelitian, dan menulis ber­bagai karya ilmiah, baik berupa buku maupun makalah. Karyanya antara lain Sejarah Daerah Riau (IDKD Depdikbud, 1982); Sejarah Kebangkitan Na­sio­nal Daerah Riau (IDKD Depdikbud, 1982/198); Sejarah Perlawanan Ter­hadap Kolonialisme dan Im­perialisme (IDSN Depdikbud, 1981/1982); Raja Haji Marhum Teluk Ketapang Malaka; Sejarah Masa Revolusi Fisik Daerah Riau (IDKD Depdikbud, 1979/1980); Soeman Hs.: Suatu Biografi; Jalur dan Upacara Per­lengkapannya (Pustaka Wisata Proyek Media Kebudayaan Dep­dikbud, 1984/1985); dan Sejarah Riau (Ed.) (1977).
__________

Makalah ini disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau