Keris Sumbawa


Di Jawa keris disebut juga Dhuwung atau Curiga; di Minangkabau disebut Kerieh; di Lampung disebut Terapang; a

Sejarah dan Gaya Keris Sumbawa
DI Jawa keris disebut juga Dhuwung atau Curiga; di Minangkabau disebut Kerieh; di Lampung disebut Terapang; atau Punduk; di Sulawesi disebut Sale atau Kreh; di Bali disebut Kedutan; di Nusa Tenggara Barat disebut Keris (Lombok) dan Sampiri (Bima). Sedangkan di luar Indonesia, seperti di Filipina keris dinamakan Sundang, dalam bahasa Inggris disebut Creese, yaitu serapan dari keris (bahasa Indonesia). Kata keris pertamakali ditemukan pada Prasasti Karang Tengah yang terbuat dari perunggu dari Karang Tengah, Magelang yang berangka tahun 748 Caka (824 Masehi), serta Prasasti Poh dari Jawa Tengah yang berangka tahun 829 Caka (907 masehi).

Sejarah Keris di Sumbawa
Pada Masa Majapahit (abad XIV) keris telah mencapai masa puncaknya, kemudian menyebar ke wilayah kekuasaannya antara lain: Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Bali, Lombok, Sumbawa (Dompu, Bima, Taliwang), termasuk juga Malaysia, Brunei, Filipina, Kamboja, dan Thailand.

Gaya keris Sumbawa baik dari suku bangsa Mbojo (Bima dan Dompu) maupun suku bangsa Samawa (Sumbawa) mirip gaya keris Sulawesi Selatan (Bugis). Berarti budaya keris yang masuk melewati lintas utara, yakni melalui Bugis-Makasar masuk ke Sumbawa.

Di desa Penana (Bima), masih ada beberapa kelompok pande besi yang pada abad ke-20 masih membuat keris. Pada waktu dahulu, di kalangan Kesultanan Bima, bila akan membuat keris akan dipanggil semua tukang ke istana untuk membuat bilah keris dan kelengkapannya sesuai dengan keinginan raja. Tidak seperti keris Jawa, keris Sumbawa tidak jelas tangguh-nya sehingga tidak mudah untuk mengetahui di mana keris tersebut dibuat. Belum diketemukan prasasti atau naskah yang menyebutkan pembuatan keris atau asal keris di Sumbawa.

Bentuk dan Gaya Keris Sumbawa
Keris Sumbawa lebih pendek ukurannya yaitu 34-51 cm, dibandingkan keris Jawa yang berukuran sedang yaitu 49-51 cm. Keris Sumbawa tidak banyak berbeda bila dibandingkan dengan keris Mbojo. Keris yang berpenampilan mewah disebut keris tatarapang. Keris tatarapang milik Kesultanan Bima bernama Lasmpraja; milik Kesultanan Dompu bernama Balaba; sedangkan milik Kesultanan Sumbawa bernama Baruwayat. Keris jenis ini bagian gandar maupun wrangka-nya dilapisi perak atau emas yang ditatah. Di wilayah Sumbawa khususnya Kabupaten Bima juga ada keris yang berukuran sedang, yang disebut Saronggi. Ada juga keris yang berukuran besar, yang disebut Sunda, yang bisanya dipakai oleh para pegawai Kesultanan Bima pada masa lalu. Pamor pada Keris Sumbawa kurang bervariasi dan kurang jelas. Keris Sumbawa diperkirakan menggunakan bahan pamor dari Luwu Sulawesi Selatan, yang bukan berupa batu meteor tetapi dari biji besi.

Bilah keris dari Sumbawa juga mempunyai dua bentuk yaitu lurus dan luk (berkelok). Jumlah luk keris dari Sumbawa mulai dari luk tiga hingga luk lima belas. Motif pamor keris Sumbawa secara umum sama dengan pamor keris Jawa. Ada sedikit perbedaan, misalnya; pamor kalisu (useran kepala) pada keris Bima, untuk keris Jawa bernama pamor mailut.

Hulu keris Sumbawa berbentuk ekor lebah, kepala burung, dan ular, yang biasanya terbuat dari kayu, gading, atau tulang, dipakai oleh rakyat biasa. Hulu berbentuk Sang Bima, hanya dipakai pada keris Tataparang yang menjadi pegangan para Sultan Bima. Hulu berbentuk raksasa Niwata Kawaca hanya dipakai oleh para petugas yang memimpin penjagaan di perbatasan. Keris dengan hulu berbentuk Burung Garuda dipakai oleh pejabat kerajaan sekte Manggapo Donggo, sedangkan yang berbentuk naga dipakai oleh pejabat kerajaan sekte Bilmana, dan yang berbentuk manusia duduk dipakai oleh pemuka agama.

Mendak dan selut terbuat dari logam lebih lunak yaitu emas, perak, tembaga, atau kuningan. Mendak berbentuk bulat menyerupai cincin, terletak di antara ganja dan hulu. Sedangkan selut (bungkus) berbentuk bulat pepat, membungkus pangkal hulu dan berssun terhadap mendak. Keris Sumbawa memakai mendak yang menyatu dengan selut, yang dinamakan kili-kili, yang berhias dengan pola tumpal, sulur, bunga, geometris, yang dibuat dengan teknik patrian atau tatahan.

Pada waktu dahulu di Sumbawa, keris yang perhiasannya terbuat dari emas hanya boleh dipakai oleh bangsawan istana, sedangkan rakyat biasa hanya boleh memakai keris yang perhiasannya terbuat dari perak. Perhiasan keris Sumbawa membungkus seluruh sisi wrangka.

Fungsi Keris bagi Masyarakat Sumbawa
Di Bima dan Dompu yang berasal dari satu etnis Mbojo, yang mendiami bagian timur Pulau Sumbawa, mempunyai tradisi menganugerahkan keris kepada anak laki-lakinya yang dikhitan. Tradisi ini dinamakan compo sampiri, yang masih berlangsung sampai sekarang. Si anak yang telah dianugerahi keris (compo) dari kakeknya (sampii), kemudian melakukan maka dengan ucapan: "Mada dau raga, wau jaga sarumbu" yang artinya "saya laki-laki jantan, sanggup menjaga diri atau membela diri."

Pada masyarakat Sumbawa, untuk memenuhi tuntutan religi dan spiritual dalam daur hidupnya (perjalanan hidupnya), masih melakukan upacara ritual yang menggunakan keris, misalnya pada acara khitanan dan perkawinan. Sehingga menimbulkan suasana rapi, bersih, anggun dan mewah. Cara memakai keris pada masyarakat Sumbawa dengan menyelipkannya pada pinggang depan sebelah kanan yang disebut salongi (Mbojo) atau bagadu (Sumbawa).

Di Kesultanan Bima, keris tatarapang menjadi tanda atau lambang kekuasaan sultan, sehingga pada waktu penyerahan kekuasaan kesultanan ditandai dengan penyerahan keris. Keris juga dapat digunakan sebagai lambang status sosial, misalnya berdasarkan tanda hulu atau perhiasan yang ada. Pada upacara sorong serah aji krama, pembayun membawa salah satu unsur arta gegawan berupa keris yang disebut kao tindoq (kerbau tidur), yang melambangkan keamanan dan ketentraman.

Keris juga dapat digunakan sebagai benda yang mengandung tuah, daya kesaktian, serta dapat digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan kepercayaan diri, menyembuhkan penyakit, menolak hama, menghindarkan diri dari gangguan magic atau roh jahat, serta untuk mencari rejeki.

Karena masyarakat Sumbawa masih berpegang teguh pada adat dan tidak bertentangan dengan norma-norma agama, maka keris masih bertahan sebagai kelengkapan busana, bahkan dianggap sebagai kesopanan dalam berbusana secara adat. Keris sebagai benda budaya warisan nenek moyang yang dapat dihargai sebagai ungkapan ide, nilai seni, nilai filosofi, nilai teknologi, nilai simbolis, benda pajangan, serta sebagai obyek keilmuan dan kebudayaan.

Pada saat ini hampir semua bentuk dan gaya dari berbagai jenis keris di Pulau Sumbawa, telah dikoleksi oleh Museum Negeri Propinsi Nusa Tenggara Barat di Mataram, yaitu berjumlah lebih dari 100 buah. Keris-keris tersebut berasal dari Suku Samawa dan Suku Mbojo di Pulau Sumbawa. (Drs Sunarno Sastroatmojo)(Asdep Konservasi & Pemeliharaan/Proyek Pemanfaatan Kebudayaan)