I Gusti Putu Arya Tirtawira (Sastrawan )


Riwayat singkat
Penampilannya biasa saja, apabila diihat secara sepintas sepertinya tidak ada keistimewaan yang terdapat dalam dirinya, biasa-biasa saja. Itulah yang terdapat dalam sosok tubuh I Giusti Putu Arya Tirtawirya yang lebih dikenal dengan nama Putu Arya Tirtawirya. Namun dibalik sosok yang tampak pendiam tersebut tercermin suatu kehidupan yang kaya rasa dan berlangsung dalam aktivitas kehidupannya.

Ia adalah seorang sastrawan yang cukup potensial dan karya-karyanya telah banyak dipublikasikan lewat berbagai media massa, bahkan hasil karyanya berupa buku sudah sering diterbitkan. Adapun hasil karyanya adalah berupa puisi, cerpen, essei, sajak, bahkan ia juga dijuluki sebagai seorang kritikus sastra. Hasil karya I Giusti Arya Tirtawirya dapat dibaca di harian Mimbar Indonesia, Harin Kami, Sinar Harapan dan Kompas.

Sastrawan kondang ini dilahirkan pada tanggal 10 Mei 1940 di Karang Sibetan, Mataram, Nusa Tenggara. Barat. Ia juga termasuk salah seorang pendiri Himpunan Penulis Pengarang clan Penyair Nusantara (HP3N).

HP3N didirikan bulan Februari tahun 1985 dan merupakan suatu wadah tempat para pengarang muda untuk dapat saling kontak atau tukar informasi dibidang kesusastraan. HP3N bermarkas di Mataram tepatnya di Jalan HOS Cokroaminoto No. 22 Mataram (83122). Untuk daerah lain dibentuk koordinator seperti daerah Kupang, Sumbawa, Sumatra Selatan dan daerah lainnya, yang masing-masing koordinat akan menghadirkan buletin sastra.

Seperti apa yang dikatakan oleh Putu Arya Tirtawirya bahwa kesenioran yang dimilikinya di bidang tulis menulis bukanlah diperoleh secara mudah, melainkan suatu usaha yang mengalami proses cukup panjang dan ia mengakui bahwa hal tersebut didukung dengan adanya bibit seni yang tertanam dalam jiwanya.

Sejak Putu Arya Tirtawirya duduk di Sekolah Dasar bakat seni yang dimilikinya sudah kelihatan. Ia begitu gemar membaca buku cerita roman dan juga cerita pendek. Selain ituia juga banyak membaca hasil karya para sastrawan Pujangga Baru yang diperoleh dari Perpustakaan Rakyat. Di perpustakaan ini pula ia bisa menikmati lebih leluasa untuk membaca majalah Mimbar Indonesia, Siasat dan majalah Kisah. Dengan demikian semakin luaslah wawasan Putu Arya Tirtawirya menekuni dan menikmati karya-karya sastra yang merupakan suatu kepuasan batin tersendiri. Pada waktu itu tokoh sastrawan Barat yang menjadi idolanya adalah Karl May dan Mar Twain.

Akibat dari seringnya ia membaca buku-buku tersebut, maka timbul suatu dorongan dari dalam dirinya untuk menulis. Hal itu barn dapat terwujud sejak ia duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Pada mulanya cerpen yang dikirim tidak mendapat sambutan dari Mas Media. Akan tetapi penolakan tersebut tidaklah menjadikan ia patch semangat, justru menjadikan dirinya semakin bersemangat bahkan semakin menggebu-gebu. Untuk itu ia terus berlatih dan membaca karya-karya para pengarang Indonesia yang sudah ternama.

Adapun karya para sastrawan yang pernah dibaca oleh Putu Arya Tirtawirya adalah karya Idrus Abdullah, Pramudya Ananta Toer, Gayus Siagian, Nugroho Notosusanto, Sitor Sutimorang, Trisno Sumardjo, Muchtar Lubis, Umar Kayam, Gerson Poyk dan lain-lain. Untuk memantapkan pemikirannya serta keahliannya di samping menelaah hasil karya para sastrawan tersebut, ia juga mempelajari teori sastra, sejarah sastra dan kritik sastra.

Tahun 1958 kembali Putu Arya Tirtawirya mengirim hasil tulisannya berupa dongeng, sajak dan cerita bergambar ke koran dan majalah seperti Teruna dan Garuda. Tahun 1960 cerpennya yang pertama sekali berhasil di muat di Harlan Sinar Harapan. Dari kenyataan tersebut Putu Arya Tirtawirya semakin memiliki semangat untuk berkarya.

Untuk lebih memantapkan hasil karyanya, kunci utama yang dilakukan oleh Putu Arya Tirtawirya adalah selalu tekun untuk berlatih, bayak membaca karya para sastrawan serta membaca buku dari disiplin ilmu yang lain seperti filsafat, sosiologi, psikologi, politik, dan bahasa acing. Disiplin ilmu ini bertujuan untuk mengembangkan hasil tulisannya.

Dengan motto "nex time better" yang selalu menjadi landasan hidupnya, sehingga dari tangannya sudah mampu melahirkan beberapa buku sastra seperti Pasir Putih Pasir Laut (kumpulan cerpen) penerbit Balai Pustaka, Malam Pengantin penerbit Pustaka Jaya, Kegelapan di Bawah Matahari penerbit Nusa Indah, Saat Kematian Semakin Akrab penerbit Nusa Indah. Selain hasil karya berupa buku tersebut ia juga menulis berupa kumpulan dongeng dan cerita anak-anak seperti Pan Balang Tamak dan Pan Camplung.

Untuk cerpennya yang berjudul Orang Kaya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman dan dimuat di Merian, terbitan Hamburg, kemudian cerpennya yang lain terpilih mengisi Antologi 30 Cerpen Indonesia dengan editor Styagraha Hoerip, buku ini terbit di Malaysia.

Judul buku karyanya Putu Arya Tirtawirya yang lainnya adalah Apresiasi Puisi dan Prosa, Antologi Esai dan Kritik Sastra, Kritik Sastra Sebuah Antologi dan Pilar-Pilar, berupa kumpulan sajak hasil karya bersama dengan Diah Hadaning.

Keberhasilan yang diperoleh oleh Putu Arya Tirtawirya itu adalah berkat pergaulannya dengan para wartawan daerah terutama dengan Max Arifin, pemimpin redaksi SKU sebuah media yang pernah terbit di Mataram. Bagi Putu Arya Tirtawirya bahwa hal yang paling mendukung keberhasilannya adalah kesempatannya untuk membaca buku di Perpustakaan Negara perwakilan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Barat, di sinilah tempat ia bekerja dengan pangkat Pengatur Muda Tingkat I. Dengan demikian waktunya cukup banyak untuk menulis dan ia selalu memanfaatkan waktu luangnya. Self Study dan Write Short Story merupakan prinsip hidupnya.

Dengan pedoman tersebut ia selalu bersemangat untuk melakukan kreativitasnya dan imajinasinya selalu muncul tepat pada waktunya. Dengan demikian goresan tangannya selalu menghiasi halaman surat kabar baik yang terbit di daerah maupun di ibu kota. Di samping kegiatan tersebut ia juga melakukan kebiasaan untuk menikmati karya orang lain dan ini baginya suatu kebahagiaan tersendiri bagi jiwanya yang disebutnya sebagai "kebahagiaan kembar". Di mana sastra dianggap oleh Putu mampu meningkatkan vitalitas pribadi dan bisa berkomunikasi secara jujur dengan para pembaca yang memiliki Apresiasi Sastra.

Espita Riama
Daftar Bacaan
Merdeka,
17 November 1985 Merdeka, 13 April 1986
Merdeka, 5 Februari 1989 Merdeka, 20 Agustus 1982 Suara Karya, 27 Agustus 1982 Pelita, 8 November 1985 Sinar Harapan, 13 Juli 1986 Harlan Abadi, 10 Maret 1973
Photo : http://2.bp.blogspot.com

Sumber:
Ibrahim, Muchtaruddin, dkk. 1999. Ensiklopedi Tokoh Kebudayaan IV. Jakarta. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan