Dinamika Pemilihan “Putri Indonesia” Pada Masa Orde Bru

Oleh : Mutiah Amini

Pengantar
Ajang pemilihan putri Indonesia pada masa Orde Baru merupakan sebuah fenomena sosial yang sangat menarik. Ajang ini menghadapi berbagai macam pro-kontra, mulai dari larangan resmi dari pemerintah hingga counter sosial dari masyarakat. Akan tetapi, di tengah-tengah pro-kontra tersebut, pemilihan putri Indonesia tetap saja berlangsung. Bahkan, pengiriman kontestan untuk ajang pemilihan putri tingkat internasional tetap terjadi. Berbagai tujuan pun mewarnai pemilihan ini, mulai dari sekadar mencari wajah cantik untuk dijadikan duta majalah atau kosmetika tertentu hingga memilih perempuan “berbakat” untuk dijadikan figur putri Indonesia “sejati”.

Bertitik tolak dari fenomena sosial yang dihadapi dalam ajang pemilihan putri, tulisan ini lebih jauh mendiskusikan ajang pemilihan putri di Indonesia dalam segala bentuknya. Untuk itu, istilah putri Indonesia yang digunakan tidak terbatas pada ajang pemilihan putri yang diselenggarakan oleh industri kosmetika Mustika Ratu, tetapi mencakup ajang-ajang sejenis yang diselenggarakan oleh industri lainnya. Akan tetapi, ajang kontes mode yang seringkali disejajarkan dengan ajang pemilihan putri tidak menjadi fokus kajian tulisan ini.

Sebagaimana dikatakan Cohen, ”Dalam kontes kecantikan yang lebih ditonjolkan adalah penampilan feminin seseorang (individu), kecantikan, dan kompetisi itu sendiri. Oleh karena itu, dalam kontes kecantikan (ajang pemilihan putri) isu-isu politik seringkali melingkupi kehidupan kontestan, sponsor, orang yang mengorganisasi, dan penggemar. Dengan demikian, kontes kencantikan sarat dengan standar nilai dibandingkan kontes mode.

Masa Orde Baru sengaja dipilih sebagai pembabakan waktu dalam tulisan ini karena dari masa Orde Baru-lah dapat diamati banyak hal. Dalam periode ini berbagai kebijakan pemerintahan disusun serta berbagai kemajuan masyarakat diraih, tetapi dalam periode ini pula berbagai permasalahan sosial kemudian muncul. Pada masa Orde Baru pun berbagai kebijakan publik tersentralisasi. Untuk itu, melalui studi ini penulis ingin melihat bagaimanakah sebenarnya kebijakan pemerintahan Orde Baru terhadap masyarakatnya—baik laki-laki maupun perempuan—dilakukan.

Guna mengkaji permasalahan tersebut, gender sebagai sebuah perspektif digunakan dalam tulisan ini. Untuk itu, beberapa pertanyaan mendasar yang dapat diajukan dalam tulisan ini adalah bagaimanakah perempuan sebagai individu ditampilkan dan dinilai dalam sebuah arena publik. Kebijakan pemerintahan apakah yang muncul serta kontrol sosial seperti apa yang kemudian terjadi atas penampilan perempuan tersebut. Selanjutnya, perlu dilihat untuk apakah sebenarnya pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk perempuan dan membangun kontrol sosial?

Ketika Perempuan Tampil dan Dinilai di Arena Publik
Di Indonesia, tampilnya perempuan di arena publik—khususnya dalam ajang pemilihan figur seorang putri—bukanlah hal yang baru. Pada masa kolonial, ajang pemilihan putri sudah dilakukan, yaitu ketika ajang pemilihan ibu sejati diselenggarakan di Semarang pada Agustus 1938. Meskipun pemilihan ibu sejati diselenggarakan di Semarang, gaung acara tersebut terdengar hingga ke kota-kota terdekat, seperti Solo, Yogyakarta, dan Magelang. Dalam ajang ini sebanyak 62 peserta ikut ambil bagian dan sekitar 3.000-an penonton hadir. Sebagai sebuah fenomena sosial, ajang pemilihan ini tentu saja mendapat sambutan meriah dari penonton, juga dari para pejabat pemerintahan kolonial. Akan tetapi, di balik kesuksesan ajang ini, tampilnya perempuan di arena publik kemudian mengundang kecaman dari berbagai organisasi sosial dan politik.

Kontrol masyarakat kolonial terhadap penampilan perempuan di arena publik sejalan dengan semakin luasnya pergaulan perempuan pada awal abad ke-20. Dalam periode inilah perempuan dapat bergaul secara luas antarkomunitas, baik di arena domestik maupun di arena publik. Di arena domestik, misalnya, para nyai atau para pembantu dalam sebuah rumah tangga dapat bergaul dengan komunitas etnis yang berbeda secara lebih intens. Demikian halnya dalam arena publik, seperti di lembaga pendidikan, arena rekreasi, dan dunia kerja yang menjangkau pergaulan perempuan antaretnis memunculkan kontrol sosial tersebut.

Kontrol sosial yang demikian keras pada masa kolonial semakin berkurang pada era 1950-an. Hal ini terlihat pada ajang pemilihan putri yang diselenggarakan di hampir semua kota besar di Indonesia yang berjalan dengan lancar. Bahkan, acara ini dapat berjalan secara lebih intens. Di Yogyakarta, misalnya, ajang pemilihan putri yang didukung sepenuhnya oleh kelas pelajar di kota ini dilaksanakan hampir setiap tahun. Karena ajang ini diselenggarakan oleh para pelajar, mereka yang ikut sebagai peserta dan terpilih sebagai pemenang adalah mereka yang dapat dikatakan mewakili figur seorang putri yang cerdas dengan latar belakang sosial yang baik. Para pemenang kemudian akan tampil sebagai model untuk sampul-sampul majalah lokal, sekaligus akan mempromosi kan batik dan lurik dalam ajang kontes mode yang diadakan di Yogyakarta.

Pada masa pemerintahan Orde Baru, ajang pemilihan putri kerap dilaksanakan oleh berbagai pihak, mulai dari industri kosmetika hingga industri pers. Hal ini diawali dengan pengiriman wakil Indonesia untuk mengikuti ajang Miss International pada 1967, yang diikuti dengan penyelenggaraan ajang pemilihan sejenis secara berturut-turut. Terhitung 32 ajang pemilihan putri tingkat nasional yang diselenggarakan untuk menjaring wakil Indonesia yang akan dikirim guna mengikuti ajang sejenis di forum internasional, seperti untuk pemilihan Miss International, Miss Asia Quest, Queen of the Pacific, Miss Charming International, Miss World, hingga Miss Universe—yang masih berjalan hingga saat ini. Dari keseluruhan ajang yang diikuti, putri Indonesia yang diwakili oleh Irene Rebecca Sutanto pernah meraih gelar Queen of the Pacific pada 1973. Bahkan, dalam ajang Miss Asia Quest yang dilaksanakan di Manila pada 1977, Linda Emran menjadi pemenang ke-1 (Miss Asia 1977). Begitu pula dengan Francisca Warastoeti yang dinobatkan sebagai Queen of the Pacific pada 1975. Belum lagi putri-putri Indonesia yang dinobatkan sebagai miss-miss pendukung lainnya dalam sebuah ajang pemilihan putri. Dari keseluruhan ajang yang diikuti oleh para kontestan, terdapat dua kali pembatalan pengiriman karena tidak memperoleh visa. Mereka adalah Andi Nana Riwayati Basoamier yang batal mengikuti ajang pemilihan Miss Asia Pacific pada 1980 dan Rosje Suratman yang batal mengikuti ajang pemilihan Miss Universe pada 1981. Selain itu, terdapat juga wakil Indonesia yang berangkat ke forum internasional hanya sebagai peninjau karena kontroversi di tingkat nasional yang begitu gencar. Mereka adalah Indira Soediro sebagai peninjau dalam ajang Miss Universe di Mexico City pada 1992 dan Venna Melinda sebagai peninjau dalam ajang Miss Universe di Manila pada 1994.

Cara Pandang Orde Baru terhadap “Diri” Perempuan
Sensitivitas sebuah pemerintahan terhadap isu-isu gender dapat dilihat dari seberapa besar perhatian—khususnya konstruk sosial yang dibangun terhadap diri laki-laki dan perempuan. Karena alasan tersebut, gender dalam tulisan ini dipahami sebagai sebuah “pengetahuan” mengenai perbedaan seks. Jadi, bukan pada perbedaan seks itu sendiri. Pengetahuan dalam hal ini merupakan pemahaman yang dihasilkan oleh budaya dan masyarakat mengenai hubungan manusia—hubungan antara laki-laki dan perempuan.9 Untuk itu, hal-hal mendasar yang perlu dilihat pada masa Orde Baru adalah seberapa besar sensitivitas masa ini terhadap isu-isu laki-laki maupun perempuan.

Memahami cara pandang Orde Baru atas gender dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan dalam periode tersebut. Tiga kebijakan sangat penting yang mendasari cara pandang Orde Baru terhadap laki-laki dan perempuan dapat dilihat melalui kebijakan pembentukan Dharma Wanita, PKK, dan kampanye Program Keluarga Berencana. Tiga kebijakan yang sangat penting menurut pemerintahan Orde Baru tersebut dipandang oleh aktivis gerakan perempuan sebagai cara Orde Baru untuk membatasi peranan perempuan.

Dalam Dharma Wanita, pemerintah mengorganisasikan para perempuan elite—terutama para istri pegawai negeri—untuk aktif bergerak mengiringi langkah kerja suaminya. Di dalam Dharma Wanita ini pula para perempuan dikerahkan untuk aktif dan berpartisipasi dalam pelayanan pembangunan nasional, dalam rangka untuk mendorong kemajuan karier suami. Karena Dharma Wanita sepenuhnya dimasukkan ke dalam kekuasaan publik yang berada di tangan laki-laki, kepemimpinan organisasi tersebut sudah pasti ditentukan bukan atas bakat seorang perempuan, tetapi secara otomatis menurut kedudukan suami di dalam hierarki pemerintahan. Hal ini pula yang kemudian berpengaruh pada sapaan (panggilan) bagi seorang ibu yang didasarkan atas nama suaminya. Organisasi Dharma Wanita semakin kuat posisinya ketika pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 10 Tahun 1983 yang di dalamnya menyebutkan bahwa seorang pegawai negeri laki-laki harus meminta izin atasannya apabila ia akan menceraikan istrinya atau menikahi istri keduanya.

Berbeda dengan Dharma Wanita yang ditujukan untuk para istri pegawai, perempuan di pedesaan diminta untuk bergabung di dalam cabang-cabang PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga). Seperti halnya Dharma Wanita, PKK juga milik pemerintah. Di dalam PKK status istri pun menentukan status kepemimpinannya. Secara nasional, PKK berkantor di Departemen Dalam Negeri dan dipimpin oleh siapa pun yang menjadi istri menterinya. Kriteria yang sama berlaku juga untuk tingkat pemerintahan yang lebih rendah di pedesaan, di mana cabang PKK dipercayakan kepada istri kepala desa. Cabang PKK di tingkat desa mempunyai fungsi ganda, salah satunya menaburkan ideologi pemerintah mengenai gender di kalangan wanita pedesaan, yang menekankan pada tanggung jawab mereka sebagai pengurus rumah tangga serta untuk melahirkan dan memelihara generasi penerus bangsa Indonesia. PKK juga dibuat untuk mengikutsertakan wanita desa di dalam program pemerintah untuk kesehatan ibu dan anak.

Hal ketiga yang sangat penting pada masa Orde Baru adalah kebijakan Keluarga Berencana (KB). Untuk mewujudkan program ini, pemerintah membentuk Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Dua tahun kemudian, pemerintah meningkatkan status badan ini menjadi sebuah badan koordinasi yang melaporkan langsung segala kegiatan dan hasil-hasilnya kepada presiden.

Orde Baru dan Fenomena Pemilihan Putri Indonesia
Berangkat dari kebijakan-kebijakan pemerintahan yang dikeluarkan untuk mengatur kehidupan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, pemerintahan Orde Baru juga melakukan hal yang sama pada ajang pemilihan putri. Walaupun dalam kenyataannya industri kosmetika, majalah, dan lain-lain berhasil menyelenggarakan ajang pemilihan putri sebanyak 21 kali untuk ajang nasional dan 32 kali untuk ajang nasional yang dilanjutkan ke ajang internasional, tak pelak ajang ini menimbulkan kontroversi di dalam masyarakat. Seperangkat aturan pun kemudian disusun dan dikeluarkan. Meskipun kontroversi terus berlanjut di dalam masyarakat, 53 kali ajang yang diselenggarakan dengan kompetisi dan iklan yang muncul merupakan sebuah hal yang sangat unik.

Kontroversi terhadap ajang ini muncul karena masyarakat selalu mengaitkan ajang pemilihan putri Indonesia dengan ajang Bathing Beauty.Bathing beauty merupakan sebuah festival pakaian renang yang diselenggarakan oleh perusahaan Catalina Swimwear di Long Beach, California, USA yang diselenggarakan pada 1950-an. Meskipun dalam beberapa hal ajang pemilihan putri tidak memiliki keterkaitan dengan bathing beauty, masyarakat tetap saja melihat bahwa pemilihan putri identik dengan bathing beauty.

Larangan pemerintah paling terang-terangan terjadi pada 1970-an. Meskipun demikian, pada 1980-an hingga 1983, secara diam-diam beberapa perempuan Indonesia tetap mengikuti ajang pemilihan putri tingkat internasional, yang penjaringannya (casting) dilakukan secara tertutup dan tidak melalui pemilihan secara besar-besaran. Mengenai larangan yang dilontarkan, pemerintah Orde Baru secara eksplisit tidak pernah memberikan alasan lebih jauh. Diduga pelarangan ini muncul karena Ibu Tien Soeharto, selaku istri presiden, tidak pernah berkenan dengan ajang putri-putrian seperti ini. Alasannya, tentu bertitik tolak dari anggapan moral dan tidak bermoralnya ajang ini. Selain larangan resmi versi pemerintah, terdapat juga countercounter sosial dari masyarakat. Counter sosial tersebut berupa demonstrasi maupun ungkapan-ungkapan bernada sinis di media massa. Ungkapan-ungkapan yang isinya tak jauh dari sebuah hujatan bahwa ajang pemilihan putri, khususnya pengiriman putri ke forum internasional, merupakan suatu pelanggaran norma susila. Akan tetapi, bagi para putri dan mereka yang berada di balik ajang ini, counter sosial tersebut sulit untuk dapat diterima alasan logisnya Perempuan dan Simbol-Simbol Kecantikan yang dibangun.

Dari pembahasan sebelumnya dapat dilihat bahwa meskipun ajang pemilihan putri Indonesia mendapatkan larangan keras dari pemerintah, yang diiringi dengan counter sosial yang bertubi-tubi dari masyarakat, penyelenggaraan ajang ini selalu dapat berjalan dengan lancar. Apalagi jika ditilik dari jumlah keseluruhan ajang yang diselenggarakan sepanjang Orde Baru yang mencapai lebih dari lima puluh kali. Hal ini membuktikan bahwa di balik ajang pemilihan putri terdapat kepentingan sosial-ekonomipolitik yang sebenarnya sedang dibangun. Keterkaitan ketiga kepentingan, yakni kepentingan sosial, ekonomi, dan politik tampak karena meskipun larangan pemerintah (yang dibayangkan sebagai pemerintahan yang sentralistik) dan diikuti dengan counter sosial dari masyarakat, tetap saja mereka yang berada di balik ajang ini mampu menjaga keberlangsungan ajang pemilihan putri. Bahkan, sebenarnya jika pemerintah dan masyarakat serius menanggapi permasalahan ini, pengiriman putri Indonesia ke forum internasional tentu dapat dihentikan.

Mesikpun demikian, beberapa sponsor dan mereka yang memegang lisensi sebagai penyelenggara di tingkat nasional, hujatan dan larangan pemerintah tentu merupakan pukulan yang tidak ringan. Hal itu dapat dilihat, misalnya dari kasus Nurhayati, seorang pemegang lisensi untuk pengiriman di ajang Miss World. Setelah Nurhayati berhasil mengirimkan Titi Dwi Jayati, ia segera memutuskan untuk melepaskan lisensi miliknya. Ia juga kemudian melepaskan lisensi Miss Asia Quest. Dilepaskannya lisensi oleh Nurhayati menyebabkan Indonesia absen selama dua tahun dalam pengiriman ajang pemilihan putri tingkat internasional. Baru pada 1992, Indonesia kembali menggelar ajang pemilihan putri Indonesia. Kali ini yang menjadi sponsor utamanya adalah industri kosmetika Mustika Ratu. Industri kosmetika Mustika Ratu pun berturut-turut berhasil mengirimkan wakil Indonesia secara diam-diam pada 1995 (Susanty Manuhutu) dan 1996 (Alya Rohali).

Berbeda dengan pengiriman putri sebelumnya yang terhalang karena larangan pemerintah maupun counter sosial dari masyarakat, pada 1997 dan 1998 pemilihan putri terhenti. Akan tetapi, yang menjadi alasan pemberhentian ajang pemilihan putri adalah karena krisis moneter dan terjadinya reformasi pasca-pemerintahan Orde Baru Mustika Ratu tentu mempunyai alasan mengapa industri kosmetika ini mau menjadi sponsor utama ajang pemilihan putri. Tampaknya benar yang dikatakan oleh Kathy Peiss dan Joselit. Menurutnya, ajang pemilihan putri sebenarnya merupakan arena untuk mempromosikan kepentingankepentingan ekonomis karena dalam kontes sebuah produk yang dikemas baik dan seringkali lebih glamor dipamerkan atau dikompetisikan. Akan tetapi, dalam beberapa hal kontes juga berdimensi sosial. Artinya, mereka yang terlibat di dalamnya seakan-akan menjadi bagian dari kelas sosial tempat mereka berada. Mereka sekaligus menjadi bagian dari identitas kelompok yang terbentuk. Karena identitas kelompok yang terbentuk itulah seringkali perempuan membayangkan untuk menjadi bagian di dalamnya.

Simbol kecantikan, kecerdasan, dan masa depan yang terjamin menjadi harapan mereka. Mereka pun tak pelak terjebak dalam mitos-mitos kecantikan yang dibangun karena sarat dengan kepentingan sosial-ekonomi-politik yang bermain di dalamnya sehingga konsep-konsep ideal dalam ajang pemilihan putri pun dibangun. Tidak mengherankan jika kemudian wajah perempuan yang mulai menua, misalnya, tidak akan pernah menjadi andalan dalam pemilihan putri ini. Selain itu, waktu diadakannya pemilihan pun sangat menentukan versi baru mitos kecantikan ini. Sebelum Revolusi Industri, misalnya, rata-rata perempuan tidak mempunyai nilai rasa yang sama tentang apa yang disebut “kecantikan”. Hal ini berbeda dengan perempuan modern yang mengalami mitos tersebut sebagai perbandingan yang terus-menerus dengan standar fisik ideal yang disebarluaskan secara massal. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika kemudian simbol-simbol kecantikan yang diciptakan pun seakan menjadi simbol-simbol ideal dan diinginkan oleh para perempuan.

Kesimpulan
Tampilnya perempuan di arena publik merupakan kontroversi yang selalu diperdebatkan sepanjang pemerintahan Orde Baru. Kontroversi tersebut tampak dari reaksi yang diberikan oleh masyarakat seiring dengan penyelenggaraan ajang pemilihan putri. Hal serupa diberikan oleh pemerintahan Orde Baru yang secara terang-terangan mengeluarkan berbagai larangan penyelenggaraan ajang tersebut. Dari reaksi masyarakat dan pemerintahan yang muncul berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan putri Indonesia dapat dilihat bagaimana sebenarnya perempuan ditempatkan. Seperti halnya berbagai kebijakan pemerintahan yang lain, seperti pembentukan Dharma Wanita, kelompok PKK, dan program Keluarga Berencana, perempuan pun sebagai sebuah individu dibuatkan seperangkat aturan yang mengatur tampilnya mereka di ruang publik.

Tampaknya di sinilah sebenarnya domestikasi pemerintah terhadap peremuan terjadi. Reaksi keras dari pemerintahan Orde Baru maupun masyarakat pendukungnya muncul karena dalam ajang pemilihan putri inilah sebenarnya “kecantikan” perempuan dinilai dan dikompetisikan. Munculnya penilaian dan kompetisi dalam hal ini memperlihatkan bahwa kecantikan perempuan tidak terlepas dari standar yang diciptakan. Standar tersebut bisa berupa wajah cantik, pribadi menarik, atau lainnya bergantung pada latar belakang penyelenggara ajang pemilihan putri. Oleh karena itu, jelas bahwa latar belakang penyelenggara ajang pemilihan menjadi sangat penting.

Terlepas dari kontroversi yang muncul mengiringi ajang pemilihan putri tampak bahwa sentralitas kepemimpinan Orde Baru mengiringi juga ajang pemilihan putri tersebut. Gaung penolakan tidak hanya muncul dari Kementerian Peranan Wanita yang dibentuk oleh pemerintah Orde Baru, tetapi juga dari Ibu Tien Soeharto selaku istri presiden. Oleh karena itu, di sepanjang sejarahnya walaupun pengiriman kontestan dalam ajang pemilihan putri dilakukan, begitu Ibu Tien Soeharto melarang pengiriman kontestan, ajang pemilihan pun dengan mudah dapat dihentikan. Tentu saja hal ini menunjukkan bagaimana tingkat kepatuhan masyarakat Orde Baru terhadap sentralitas kebijakan yang sengaja dibangun sepanjang pemerintahan Orde Baru tersebut. [db]

Artikel ini pernah dipresentasikan pada konferensi nasional sejarah VII, November 2006 di Jakarta

Daftar Pustaka
Aquarini Priyatna Prabasmoro. 2003. Representasi Ras, Kelas, Feminitas, dan Globalitas dalam Iklan Sabun. Bandung: Jalasutra.

Cohen, Colleen Ballerino, Richard Wilk, dan Beverly Stoeltje. 1996. Beauty Queens on the Global Stage: Gender, Contests, and Power. New York: Routledge.

Jawa Pos, Jumat 25 November 2005.

Joselit, Jenna Weissman. 2001. A Perfect Fit: Clothes, Character, and the Promise of America. New York: Metropolitan Books-Henry Holt and Company.

Julia I. Suryakusuma. 1996. “The State and Sexuality in New Order Indonesia.” Dalam Laurie J. Sears (ed.). Fantasizing the Feminine in Indonesia. Durham and London: Duke University Press.

Kontroversi Ratu Sejagat, dikutip dari http://www.cybermq.com, 6 Juni 2005.

Locher-Scholten, Elsbeth. 2003. ”Morals, Harmony, and National Identity: ’Companionate Feminism’ in Colonial Indonesia in the 1930s”. In Journal of Womens History. Vol. 14 No. 4, winter 2003.

————. 1998. ”So Close and Yet So Far: The Ambivalence of Dutch Colonial Rhetoric on Javanese Servants in Indonesia, 1900-1942. Dalam Julia Galncy-Smith and Frances Gouda (ed.). Domesticating the Empire, Race, Gender, and Family Life in French and Dutch Colonialism. London: University Press of Virginia.

Miss Indonesia Online, diakses pada 9 Agustus 2006.

Mutiah Amini. 2005. “Kontes Mode sebagai Simbol Baru Perempuan Kota: Yogyakarta pada 1950-1960’an.” Laporan Penelitian dalam proyek City Simbols and Street Images yang diselenggarakan oleh PSSAT UGM bekerja sama dengan NIOD.

————. 2005. “Pengaruh Kemajuan Kota terhadap Gaya Berpakaian dan Potongan Rambut Perempuan Surabaya pada Awal Abad ke- 20.” Laporan Penelitian dalam proyek Penelitian Dasar DIKTI 2005.

Peiss, Kathy. 2001. “On Beauty and the History of Business”. In Beauty and Business: Commerce, Gender, and Culture in Modern America. Edited by Philip Scranton. New York-London: Routledge.

Putri Indonesia Jual Aurat di Amerika, dikutip dari it’S my jOuRnaL, pada 12 Agustus 2006

Robinson, Kathryn. 2001. Wanita: Dikotomi versus Keragaman. Dalam Donald K. Emmerson. Indonesia Beyond Soeharto. Jakarta: Gramedia.

Schott, Joan Wallach. 1988. Gender and the Politics of History. New York: Columbia University Press.

http://www.pageantopolis.com, diakses pada 21 Oktober 2006.

Wawancara dengan Ibu Lss (model, juri berbagai ajang pemilihan putri, dan mantan mahasiswa UGM), lahir 1943.

Wawancara dengan Ibu Atk (model serta ketua komunitas mode di salah satu kota di Indonesia), lahir 1951.

Wawancara dengan Ibu Knt (juri berbagai ajang pemilihan putri), lahir 1964.

Wolf, Naomi. 2004. Mitos Kecantikan: Kala Kecantikan Menindas Perempuan. Yogyakarta: Niagara.

Sumber : http://sejarah.fib.ugm.ac.id