Biografi Yasser Arafat


Nama :Yasser Arafat
Nama Lengkap :Mohammed Abdel-Raouf Arafat bin Qudwa al-Hussaein
Lahir : Kairo, 24 Agustus 1929
JabataPresiden Palestina
Pemimpin PLO (Palestine Liberation Organisation)
Pendiri dan Pemimpin Al-Fatah
Penghargaan : Nobel Perdamaian 1993

Simbol Perjuangan Panjang Palestina
Presiden Palestina Yasser Arafat telah menjadi simbol dan personifikasi perjalanan panjang perjuangan Palestina untuk merdeka di negeri sendiri. Sejak masa remaja, Yasser, nama panggilannya semasa kecil, sudah berjuang untuk bangsa dan negerinya. Berulangkali nyawanya terancam tapi ia tak pernah surut melawan Israel yang mencaplok negerinya. Bahkan terakhir, ia diancam usir paksa oleh Zionis Israel dari markasnya di Yerusa-lem. Tapi ia tak gentar.

Mohammed Abdel-Raouf Arafat bin Qudwa al-Hussaeini lahir 24 Agustus 1929 di Kairo. Ayahnya adalah seorang pedagang tekstil keturunan Palestina dan Mesir, ibunya berasal dari keluarga Palestina di Yerusalem. Ibunya mening-gal ketika Yasser, begitu ia biasa dipanggil, berumur lima tahun, lalu ia dikirim untuk tinggal bersama pa-man dari pihak ibu di Yeru-salem, ibukota Palestina.

Ia menceritakan sedikit sekali tentang masa kecilnya, tetapi salah satu kenangan yang tak dilupakannya adalah ketika tentara Inggris menyerbu masuk ke rumah pamannya lepas tengah malam, memukuli anggota keluarganya dan memporak-porandakan perabotan.
Setelah empat tahun di Yerusalem, ayahnya memba-wanya kembali ke Kairo, di mana kakaknya yang lebih tua menjaganya termasuk saudara-saudara kandung-nya. Arafat tidak pernah menyebut-nyebut ayahnya, yang tidak terlalu dekat dengan anak-anaknya. Arafat bahkan tidak menghadiri penguburan ayahnya tahun 1952.

Di Kairo, sebelum berumur 17 tahun, Arafat menyelundupkan senjata bagi warga Palestina untuk digunakan melawan Inggris dan Yahudi. Usia 19 tahun, selama perang antara Yahudi dan negara-negara Arab, Arafat meninggalkan studinya di Universitas Faud (sekarang Universitas Kairo) untuk berjuang melawan Yahudi di daerah Gaza.

Kekalahan negara Arab dan berdirinya negara Israel membuatnya putus asa lalu mengurus visa untuk belajar di Universitas Texas. Setelah semangatnya pulih dan keinginan untuk terus mengejar mimpinya akan tanah Palestina yang merdeka, ia kembali ke Universitas Faud mengambil jurusan teknik sipil tetapi malah menghabiskan banyak waktunya sebagai pemimpin mahasiswa-mahasiswa Palestina.

Ia berhasil mengambil gelarnya tahun 1956, sempat bekerja di Mesir lalu ditempatkan kembali di Kuwait, pertama kali bekerja di departemen pekerjaan umum, lalu kemudian berhasil menjalankan usaha sendiri, perusahaan kontraktor. Tapi ia menghabiskan sebagian waktu luangnya dalam kegiatan politik, di mana ia menggunakan sebagian besar keuntungan usahanya untuk kepentingan itu.

Pada 1958, dia dan teman-temannya mendirikan Al-Fatah, jaringan rahasia gerakan bawah tanah, dimana pada 1959 mulai menerbitkan majalah yang menganjur-kan perang melawan Israel dengan senjata. Akhir 1964, Arafat meninggalkan Kuwait untuk menjadi seo-rang revolusioner sepenuh waktu, mengorganisasikan serangan Fatah ke Israel dari Yordania.

Pada tahun yang sama pula, berdirilah Palestine Liberation Organisation (PLO), yang disponsori oleh Liga Arab, mengumpulkan semua kelompok agar bersatu membawa Palestina menjadi negara merdeka. Sikap Arab lebih bersifat kebijakan mendamaikan dibandingkan kebijakan Fatah, tetapi setelah kekalahan mereka melawan Israel tahun 1967 dalam perang selama enam hari, Fatah bangkit dari bawah tanah sebagai kelompok paling kuat dan terstruktur dengan baik dibandingkan kelompok-kelompok lainnya yang membentuk PLO.

Fatah mengambil alih organisasi itu pada 1969 ketika Arafat menjadi ketua komite eksekutif PLO. PLO tidak lagi menjadi organisasi boneka negara-negara Arab, yang menginginkan agar warga Palestina tetap diam, melainkan menjadi organisasi nasionalis independen yang berpusat di Yordania.

Arafat membangun PLO menjadi sebuah ‘negara’ yang memiliki kekuatan militer sendiri dalam negara Yordania. Raja Hussein dari Yordania, sangat terganggu dengan serangan-serangan gerilya dan metode kekerasan lainnya yang mereka lakukan terhadap Israel, hingga pada akhirnya ia memaksa PLO keluar dari negaranya. Arafat mencari jalan membangun organisasi yang sama di Lebanon, tetapi tersingkir oleh pendudukan militer Israel. Ia berjuang mempertahankan organisasi itu tetap hidup, dengan memindahkan markas besarnya ke Tunisia. Ia berulang kali bertahan hidup, lolos dari kecelakaan pesawat, lolos dari pencobaan pembunuhan oleh agen rahasia Israel, dan pulih dari penyakit stroke yang serius.

Hidupnya adalah perjalanan, berpindah dari negara yang satu ke negara yang lain untuk mempromosikan Palestina. Selalu menjaga agar gerakannya tetap bersifat rahasia, sama seperti yang dia lakukan terhadap kehidupan pribadinya. Bahkan pernikahannya dengan Suha Tawil, seorang perempuan Palestina yang berusia separuh dari usianya, tetap dirahasiakan selama lima belas bulan. Isterinya pada waktu itu sudah aktif dalam kegiatan sosial khususnya bagi anak-anak cacat di rumahnya, tetapi penampilannya yang mencolok dalam pertemuan di Oslo menjadi kejutan bagi banyak pemerhati Arafat. Sejak itu, putri mereka, Zahwa, yang diberi nama sesuai nama ibu Arafat, lahir.

Periode setelah pengusiran dari Lebanon merupakan masa sulit bagi Arafat dan PLO. Lalu gerakan protes Intifada mendorong Arafat untuk menarik perhatian dunia terhadap kesulitan yang dihadapi Palestina.

Pada 1988 terjadi perubahan kebijakan. Dalam pidatonya di PBB di Jenewa, Swiss, Arafat menyatakan bahwa PLO menolak aksi terorisme dan mendukung ‘hak semua kelompok yang bertikai di Timur Tengah untuk hidup damai dan aman, termasuk negara Palestina, Israel dan negara-negara tetangga”.

Prospek ke arah perjanjian damai dengan Israel mulai cerah. Setelah kemunduran akibat keputusan PLO mendukung Irak dalam Perang Teluk tahun 1991, proses perdamaian mulai serius dilakukan, dimulai dari Perjanjian Oslo tahun 1993. Perjanjian ini akhirnya membawa Arafat, Yitzak Rabin, dan Shimon Peres memperoleh penghargaan Nobel Perdamaian tahun 1994.

Pemimpin Nasional Paling Senior

Selama lebih dari tiga tahun terakhir, gerak Yasser Arafat terbatas di markasnya di Muqata, Ramallah (wilayah Tepi Barat). Hal itu terjadi setelah lebih dari 50 tahun aktivitas politiknya, yang dimulai sejak dia ditunjuk menjadi anggota Komite Mahasiswa Palestina di Universitas Kairo.

Beberapa tahun terakhir telah menjadi masa paling sulit dalam kariernya. Dia menghadapi serangkaian krisis pribadi dan politik.

Arafat adalah salah seorang pemimpin nasional paling senior di dunia. Dia terpilih sebagai Ketua Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pada 1968 ketika Lyndon Johnson menjadi presiden AS dan Levi Eshkol menjabat sebagai PM Israel.

Arafat lahir di Kairo, walau biografi resminya menyatakan dia lahir di Jerusalem. Sebab, dia khawatir bahwa pemimpin gerakan nasional Palestina tidak boleh berasal dari orang yang lahir di luar negeri.

Ayahnya, Abed a-Rauf al-Qadwa, berasal dari Gaza, dan ibunya, Zahava Abu Saud, berasal dari keluarga Jerusalem. Keduanya menikah pada 1920-an dan pindah ke Kairo karena ayahnya berharap memperoleh warisan sebidang tanah di pusat kota itu. Yasser Arafat lahir di Kota Kairo tersebut pada Agustus 1929.

Ketika dia berusia tiga tahun, ibunya meninggal. Dia kemudian diasuh oleh keluarga ibunya, Abu Sauds, yang tinggal di dekat Gerbang Dung, Kota Tua Jerusalem. Dia tinggal di kota itu dan bersama keluarganya di Gaza sampai ayahnya menikah lagi. Dia kemudian kembali ke Kairo, tempat dia melanjutkan sekolah.

Terlibat Politik

Pada 1946, Arafat mulai terlibat kegiatan politik Palestina ketika Haji Amin al-Husseini, seorang mufti dari Jerusalem yang selama bertahun-tahun ikut berperang di Berlin, tiba di Kairo. Al-Husseini kemudian mengorganisasikan para aktivis untuk melakukan perjuangan melawan Yahudi di Palestina.

Di Kairo, Arafat bersahabat dengan Abdel Khader al-Husseini, yang pada 1948 memimpin unit-unit Palestina di daerah Jerusalem.

Pada tahun 1948 itu, Arafat mulai kuliah di Universitas Kairo. Namun ketika dia mendengar kematian al-Husseini dalam pertempuran di Castel, April 1948, dia meninggalkan kuliahnya dan berjuang di Palestina.

Dia bergabung dengan organisasi Ikhwanul Muslimin, yang berjuang di Jalur Gaza dan bertempur di Kfar Darom. Namun dia dan teman-temannya disuruh pergi ketika AD Mesir terlibat dalam kerusuhan 15 Mei 1948.

Itu merupakan pengalaman masa mudanya. Dan dia selalu menuduh negara-negara Arab sebagai pengkhianat. Sebab mereka tidak membantu rakyat Palestina untuk memenangi pertempuran tersebut dan tidak mengizinkan mereka untuk berjuang.

Setelah menyelesaikan kuliah tekniknya di Kairo, Arafat bekerja sebagai seorang teknisi di Kuwait. Di negara itu, bersama empat temannya, dia mendirikan sebuah gerakan kecil yang disebut Fatah.

Rekan-rekannya sesama pendiri Fatah tersebut adalah Abu Jihad, yang dibunuh oleh pasukan elite Israel di Tunis pada 1988. Kemudian Abu Iyad, yang tewas di tangan seorang pembunuh pada 1991 di Tunis.

Temannya yang lain adalah Abu Said, yang meninggal karena sakit pada 1994 di Maroko. Ada pula Farouk Kaddoumi, yang memimpin Departemen Diplomasi PLO, tetapi dia dinonaktifkan karena menentang perundingan damai.

Pada 1 Januari 1965, Arafat dan teman-temannya memulai serangan militer pertama Fatah terhadap Israel. Serangan tersebut gagal meledakkan tempat persediaan air nasional di dataran rendah Galilee.

Pada 1966, dia berselisih dengan rezim Partai Baath Suriah. Sampai saat ini, perselisihan tersebut belum terselesaikan.

Menyusul kekalahan Arab dalam Perang Enam Hari, Fatah merupakan satu-satunya pasukan Arab yang terus melakukan perang gerilya terhadap pendudukan Israel. Perang gerilya Fatah tersebut meraih simpati massa di dunia Arab.

Ribuan orang bergabung dalam barisan Fatah pada 1968, yang menggusur para aktivis kawakan pimpinan Ahmed Shukri.

Semboyan Arafat

Sejak awal, semboyan Arafat adalah, rakyat Palestina hanya dapat mengandalkan diri mereka sendiri.

Dia dipenjara hampir di setiap negara Arab. Di Mesir, Rezim Nasser menuduhnya menjadi anggota Ikhwanul Muslimin. Di Lebanon, dia ditangkap karena merencanakan serangan terhadap Israel.

Suriah memenjarakannya karena dia menggerakkan unit-unit yang melawan Israel tanpa berkoordinasi dengan AD Suriah.

Di Yordania, dia diburu oleh pihak-pihak berwenang karena dituduh membentuk ''negara di dalam negara'' pada 1970 selama peristiwa September Kelabu.

Itulah sebabnya dia selalu menyerukan ''keputusan merdeka'' oleh rakyat Palestina tanpa campur tangan dari negara-negara Arab.

Setelah peristiwa September Kelabu, Arafat memindahkan markasnya ke Beirut. Di kota itu, dia mengoordinasikan berbagai aktivitas untuk melawan Israel. Namun aktivitas tersebut terhenti ketika Israel menginvasi Lebanon pada 1982.

Pada saat itu, dia bergerak di antara berbagai kamp politik dan menjadi salah seorang pemimpin Arab paling terkemuka di dunia. Dia menentang kesepakatan perdamaian yang dibuat Mesir dan Israel. Dia kemudian membentuk koalisi untuk menentang kesepakatan tersebut.

Setelah Perang Lebanon, dia memindahkan markasnya ke Tunis. Itulah saat pertama intifada pecah, pada Desember 1987. Pecahnya intifada memaksa Raja Yordania, Hussein, memutuskan hubungan dengan Tepi Barat, dan Arafat terpaksa mengubah sikapnya untuk mulai berunding dengan Israel.

Pada 1988, Dewan Nasional Palestina bertemu di Aljazair untuk menerima Resolusi PBB No 242 dan secara de facto mengakui Israel dan hak kedua negara untuk hidup berdampingan.

Kesepakatan Oslo

Langkah tersebut dilanjutkan dalam Konferensi Madrid pada 1991 ketika wakil-wakil Israel, Palestina, dan negara-negara Arab lainnya bertemu.

Atas mandat Arafat, perundingan-perundingan tertutup dilakukan dengan wakil-wakil Israel di Oslo. Perundingan tersebut berbuntut dengan penandatanganan kesepakatan sementara antara PLO dan Israel, yang mencakup pengakuan kedua belah pihak.

Menyusul kesepakatan Oslo tersebut, Arafat bertemu dengan Yitzhak Rabin di halaman Gedung Putih. Pada saat itu, mereka bersalaman di depan Presiden AS Bill Clinton.

Itu merupakan proses politik, yang memungkinkan Arafat kembali ke wilayah-wilayah yang telah bertahun-tahun melarang kehadirannya.

Dia kembali dari Mesir ke Gaza pada 1994. Dia diterima dan disambut sebagai pemimpin nasional rakyat Palestina.

Dia berulang kali bertemu dengan para pemimpin Israel, dan bergerak dengan bebas ke berbagai belahan dunia untuk menggalang dukungan bagi Otoritas Palestina.

Aktivitas Arafat dalam 10 tahun terakhir memang kontroversial. Ada yang mengklaim bahwa dia tidak pernah berhenti mengobarkan ''perlawanan bersenjata'', yang merupakan jalan pilihannya selama bertahun-tahun sebelumnya.

Sebagian lainnya yakin, dia mencoba untuk melanjutkan proses politik. Namun rakyatnya memilih cara lain. Selama tiga tahun terakhir, geraknya dibatasi hanya di Muqata oleh pasukan Israel.

Arafat menikah secara diam-diam dengan Suha, yang kala itu menjadi humas PLO, di Tunis pada 1990. Pasangan itu dikaruniai seorang putri, Zahwa, pada 1995. Namun sejak itu rumah tangga mereka berantakan dan secara de facto keduanya telah bercerai.

Kematian Yasser Arafat Akan Diselidiki
Yayasan Yasser Arafat akan membuka kembali penyelidikan atas kematian pemimpin PLO itu. Sampai saat ini, kematian Arafat pada tanggal 11 November 2004 masih menjadi teka-teki, apakah memang karena sakit yang dideritanya atau ada konspirasi jahat yang sengaja membunuhnya.

"Komite penyelidik baru ini terdiri dari sejumlah politisi dan para dokter Arab yang bertanggung jawab merawat Arafat sebelum Arafat diterbangkan ke Paris untuk mendapatkan perawatan medis," kata Nasser al-Qidwa, keponakan lelaki Arafat yang juga ketua Yayasan yang didirikan untuk mengenang Yaser Arafat.

Yasser Arafat yang pernah memenangkan hadian nobel perdamaian atas perjuangannya untuk bangsa Palestina, meninggal dunia di rumah sakit militer di Paris, Perancis. Ia diterbangkan ke Paris dari markas besar PLO di Ramallah, untuk mendapatkan perawatan medis akibat sakit yang dideritanya. Menurut laporan medis, Arafat meninggal dunia karena mengalami pendarahan hebat di otaknya.

Tapi dalam laporan itu juga disebutkan bahwa dari hasil pemeriksaan medis ditemukan gejala adanya infeksi dari semacam bakteri kuman yang meracuni darah. Namun tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang kemungkinan adanya racun atau virus yang menyebabkan kematian Arafat.

Penyelidikan baru ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk mengenang sosok Arafat sebagai salah satu tokoh perjuangan Palestina, terlepas dari pro dan kontra cara perjuangan yang dipilih Arafat semasa hidupnya. Oleh Israel, Arafat dianggap sebagai teroris dan penyebab munculnya gerakan Intifada tahun 2000. Selama tiga tahun terakhir hidupnya, Arafat hanya menjalani kehidupannya di markas besar PLO di Ramallah karena Israel mengenakan "hukuman tahanan rumah" pada Arafat.

http://tokohindonesia.com
http://www.suaramerdeka.com
http://www.eramuslim.com