Banten Sebelum Islam

Oleh : Ayatrohaedi


I. Pengantar

Nama Banten pertama kali muncul dalam laporan perjalanan Tome Pires (1513) sebagai salah satu bandar Kerajaan Sunda yang cukup ramai. Dikatakan bahwa Banten merupakan sebuah kota niaga yang balk, terletak di tepi sebatang sungai. Kota itu dikepalai oleh seorang syahbandar, dan wilayah niaganya menjangkau Sumatera dan bahkan Kepulauan Maladewa. Banten merupakan sebuah bandar yang besar, dan melalui bandar itu diperdagangkan beras, bahkan makanan lain, dan lada (Cortesao 1944: 168) .


Kesaksian Tome Pires itu dapat dijadikan petunjuk bahwa bandar Banten sudah berperan sebelum berdiri Kesultanan Banten (1526). Jika berita-berita mengenai Kerajaan Sunda dikaji ulang, dapat dipastikan bahwa negara itu berdiri sekurang-kurangnya pada pertengahan abad kesepuluh. Prasasti Juru Pengambat (952 M) yang berbahasa Melayu, misalnya, menyebutkan antara lain "...ba(r)pulihkan haji sunda ..." ("memulihkan (kekuasaan) raja Sunda") (NBG 1918:91). Bahkan, berita Carita Parahyangan memberikan kemungkinan bahwa kerajaan itu sudah berdiri menjelang akhir abad ketujuh dengan menyebutkan bahwa Sanjaya (yang dikenal juga dalam prasasti Canggal, 732 M) adalah menantu Maharaja Tarusbawa, Raja Sunda.


Masih menurut Tome Pires. ketika itu di Cimanuk, bandar Kerajaan Sunda yang paling timur, sudah banyak berdiam orang yang beragama Islam (Cortesao 1944:197). Tidak tertutup kemungkinan bahwa mereka itulah yang oleh Carita Parahyangan dianggap sebagai orang-orang yang merasa hidupnya tidak tenteram karena melanggar ajaran Sanghyang Siksa (Banthang Sumaclio 1984:370). Namun yang jelas, sebegitu jauh dapat diperkirakan bahwa pada awal abad ke-16 itu pengaruh Islam belum sampai kepusat Kerajaan Sunda. sebagaimana antara lain diberitakan Carita Parahyangan , "...mana mo kadatangan ku musuh ganal, musu(h) alit ..." ("karena tidak terdatangi oleh musuh kasar (dan) musuh halus"). Musuh kasar adalah balatentara, sedangkan musuh halus adalah tersebarnya kepercayaan atau agama baru, yang sama-sama dapat menyebabkan terjadinya perubahan (Atja 1967:75 - 6).


Dalam pada itu, berbagai sumber naskah dan tradisi lisan masyarakat Banten menyebutkan, setelah berhasil mengalahkan Banten (Girang). sebelum menjadi raja, Maulana Hasanuddin memindahkan pusat pemerintahan ke daerah Banten (Lama) yang terletak di tepi laut. Pemindahan pusat kekuasaan itu, di satu pihak disebabkan oleh hasrat untuk lebih "terbuka", di pihak lain disebabkan oleh pola pikir budaya Jawa yang menyatakan bahwa pusat pemerintahan yang kalah tidak boleh digunakan lagi sebagai ibukota.


Dengan demikian, pembicaraan mengenai Banten sebelum Islam pada dasarnya mengacu kepada sekurang-kurangnya dua pokok. Pertama, secara khusus membatasi diri untuk hanya mem bicarakan apa dan bagaimana bandar Banten sebelum Islam; kedua, berbicara mengenai daerah yang lebih luas, yaitu yang kemudian dikenal sebagai wilayah Kesultanan Banten. Jika pembicaraan dititik beratkan pada yang pertama, hampir dapat dipastikan bahwa sumber yang dapat digunakan akan sangat terbatas kepada toponimi dan hasil penelitian arkeologi yang pernah dilakukan disitu. Untuk kajian toponimi, dengan berbagai kekurangannya, telah dilakukan antara lain oleh Ayatrohaedi (1993). Dalam pada itu, kegiatan penelitian arkeologi yang dilakukan di Banten (Lama dan daerah sekitarnya, menghasilkan temuan yang pada umumnya berasal dari masa Kesultanan Banten. Jadi, berasal dari masa Banten Islam.


Jika demikian, berarti bahwa pembicaraan mungkin akan lebih baik berdasarkan pilihan yang kedua : Banten dalam arti wilayah yang lebih luas.


2. Bukti yang Tergali

Daerah Banten rupanya sudah dihuni manusia sejak masa nirleka. Dalam tahun 1954, di Anyer Lor ditemukan bagian-bagian rangka yang relatif masih utuh, jumlahnya banyak, atau sisa budayanya yang cukup banyak. Rangka Anyer Lor yang ditemukan dalam tempayan adalah rangka laki-laki dengan rahang bawah dan gigi-gigi berukuran sedang ; di samping itu juga ada rangka perempuan yang diduga berumur sekitar duapuluhan tahun, rahang dan giginya memperlihatkan ciri yang sama. Pada rangka itu masih terlihat ciri-ciri ras Australomelanesid (Jakob 1964:421 - 6). Selain rangka, di Anyer juga ditemukan gerabah yang rupanya digunakan sebagai bekal kubur, termasuk tempayan tempat rangka itu (Soejono 1984: 268). Walau jum lahnya tidak banyak, gerabah dan tempayan Anyer cukup menarik, karena memperlihatkan bahwa jenisnya juga ditemukan ditempat lain sehingga dapat diduga bahwa gerabah jenis itu cukup luas daerah sebarannya. Gerabah Anyer antara lain terdiri dari cawan berkaki dan kendi tanpa cerat dengan letter yang panjang tanpa hiasan, warna coklat kehitaman dan diupam. Gerabah Anyer diduga berkembang antara tahun 200 - 500 M (Kys 280). Jadi, tepat menjelang masa "sejarah" Jawa Barat.


Yang juga menarik dari temuan Anyer adalah kenyataan bahwa di daerah itu rupanya dikenal cara penguburan baik dengan wadah maupun tanpa wadah. Penguburan dengan wadah dilakukan antara lain dengan memasukan mayat kedalam wadah (tempayan) dengan sikap berjongkok; cara ini hanya biasa dilakukan untuk orang terkemuka dalam masyarakat, sedangkan anggota masyarakat biasa dikuburkan lansung tanpa wadah (Kys : 292, 294).


Diperoleh petunjuk bahwa daerah Banten sudah mulai dihuni manusia sekurang-kurangnya pada masa bercocok tanam. Banten termasuk salah satu tempat temuan beliung persegi, yaitu jenis beliung yang secara luas berkembang di Indonesia, terutama di daerah sebelah barat (Kys. :179). Sebagian beliung itu memperlihatkan ciri-ciri sudah diupam. Mengingat daerah sebarannya yang cukup luas, dan jumlahnya yang cukup banyak, diduga bahwa beliung itu merupakan hasil tempatan, dan dengan demikian juga dapat dipastikan bahwa tradisi "berkesenian" sudah dikenal masyarakat pendukung beliung persegi itu, termasuk di Banten.


Dalam pada itu, temuan nekara dari tipus Heger IV (Kys : 253) memberikan petunjuk lain lagi : Banten sudah mempunyai hubungan dengan "dunia luar", mengingat bahwa pada umumnya nekara perunggu yang ditemukan di Indonesia adalah barang yang berasal dari daerah lain. Sebenarnya petunjuk kearah itu juga diperlihatkan oleh temuan lain, berupa berbagai keramik Cina dari kurun yang cukup tua. Di daerah Banten Girang, misalnya, yang dianggap sebagai pusat pemerintahan daerah Banten sebelum Islam. dalam sebuah penggalian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, bekerjasama dengan Ecole Francais d'Extreme-Orient (1989), ditemukan antara lain pecahan keramik dari masa Dinasti Han. Di berbagai tempat lain, ditemukan juga keramik Cina dari masa Dinasti Tang, Song, dan Ming, yang semuanya dapat dianggap sezaman dengan masa sebelum Islam di Banten. Bahkan dalam waktu lima tahun terakhir, ditemukan sejumlah mata uang kepeng Cina di daerah Carita, Pandeglang.


Sebenarnya ditemukan keramik Cina di daerah Banten bukanlah suatu keanehan, mengingat daerah itu pada dasarnya merupakan salah satu jalur niaga Cina ke daerah luar. Bahkan, dalam berbagai sumber Cina yang kemudian dihimpun oleh Groeneveldt (1879) dapat diketahui bahwa Cina sudah mengenal sejumlah daerah Nusantara. Salah satu daerah yang mereka kenal pada masa Dinasti Ming (1368-643) adalah Sun la, yang dianggap lafal Cina dari Sunda (Groeneveldt 1979: 44).


Selain benda-benda dari masa nirleka dan keramik Cina, didaerah Banten juga ditemukan sejumlah benda yang dapat dijadikan petunjuk akan adanya pengaruh budaya India di sana. Benda-benda itu antara lain berupa area Ganesa dan Siwa yang terdapat di Gunung Raksa, Pulau Panaitan; prasasti Ci Danghiang, Pandeglang yang menyebutkan nama Purnawarman, dan arca batu tipus "megalitik"(menggambarkan Ganesa) di desa Candi, Sajira. Walaupun tidak banyak, semua temuan itu membuktikan bahwa daerah Banten sudah sejak awal punya hubungan dengan "dunia luar".


Hubungan dengan "dunia luar", atau sekurang-kurangnya sudah diketahuinya ada daerah di Nusantara yang dikenal oleh orang asing, dapat dikembalikan ke masa yang lebih awal. Dalam Geographike 1--lyphegesis karya Claudius Ptolemaeus, ahli ilmu bum i Yunani Purba, disebutkan ada sebuah kota bernama Argyre yang terletak di ujung barat Pulau labadiou. Nama Iabadiou disesuaikan oleh para sarjana dengan Jawadwipa 'Pulau Jawa', sedangkan Argyre berarti 'perak' (Bambang Sumadio kys:37). Selama ini Argyre dianggap sebagai nama dalam bahasa Yunani untuk Merak, sebuah kota yang memang terletak "di ujung barat Pulau Jawa°' (hys.). Namun, benarkah demikian mudahnya menganggap bunyi perak (e-keras) dapat bertukar begitu saja dengan Merak (e-pepet)? Barangkali, berita yang diperoleh dari naskah yang menyebutkan bahwa pernah ada sebuah negara bernama Salakanagara sebelum Tarumanagara, dapat dipertimbangkan. Kata Sansekerta salaka berarti 'perak', jadi sama denga Argyre dalam bahasa Yunani. Bahkan, ibukota negara itu dinamakan Rajatapura 'kota perak'. Jika berita naskah itu benar. dapat diartikan bahwa pengenalan orang Yunani terhadap keadaan masa awal tarikh Masehi di Nusantara, bukan sekedar "petai pampa".


3. Sekedar Tafsiran Budaya

Berdasarkan semua temuan yang berhasil diperoleh dan karenanya dapat dijadikan sebagai bukti mengenai keberadaan Banten sebelum Is­lam. dapat ditarik semacam tafsiran budaya sebagai berikut:


Sebagai suatu wilayah, Banten sudah mulai dihuni orang sekurang­kurangnya sejak awal tarikh Masehi, pada masa bercocok tanam. Jika cara bercocok tanam yang hingga kini masih berlangsung di daerah Kanekes dapat digunakan sebagai data banding, tidaklah akan terlalu jauh dari kenyataan jika kehidupan bercocok tanam pada masa itu adalah berladang. Dugaan ini diperkuat oleh temuan berbagai beliung persegi yang lebih tepat digunakan untuk di ladang daripada di sawah. Para pendukung tradisi itu sudah mem i I iki teknologi pembuatan gerabah, yang sebagian digunakan sebagai wadah kubur, sementara gerabah yang lebih kecil digunakan sebagai bekal kubur. Dari temuan cara penguburan dapat disimpulkan bahwa sudah sejak awal penduduk daerah Banten mengenal pelapisan masyarakat.


Letak daerah Banten di Ujung barat Pulau Jawa rupanya cukup strategic ; hal itu menyebabkan sudah sejak masa yang awal itu pula daerah itu dikenal punya hubungan "dunia luar". Hubungan yang terjalin itu antara lain dengan Cina (terutama dalam urusan niaga) dan India (terutama dalam hal keagamaan). Dalam pada itu, orang-orang Yunani pun dapat dipastikan sudah mengenal daerah Banten yang banyak menghasilkan perak.


Pada masa kejayaan Kerajaan Sunda, daerah Banten merupakan salah satu "negara bawahan"; dua buah bandar kerajaan Sunda terletak di daerah Banten, yaitu Bandar Banten dan Bandar Pontang. Di kedua bandar itu, Bandar Banter', diperdagangakan beras, basil bum i lain, dan lada. Berdasarkan toponimi yang terdapat di daerah Banten (Lama), dapat diketahui bahwa pada masa itu antara lain berasal dari India dan Cina.


Daftar Pustaka

Aca (=Atja)

1967 Tjarita Parahijangan : Titilar Kuruhun Urang Sunda Abaci Ka-16 Masehi. Bandung : Jajasan Kebudayaan Nusa Larang.


Ayatrohaedi

1993 Kata. Naina, dan Makna. Pidato Pengukuhan Penerimaan Jabatan Gurubesar Tetap pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Depok, 19 Juni.


Bambang Sumadio (penyunting)

1984 Sejarah Nasional Indonesia 2: Jaman Kuna. Edisi Ke­empat. Jakarta: PN Balai Pustaka, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.


Cortesao, Armando

1944 The Suma Oriental of Pires, 2 jilid. London: The Hakluyt Society


Groeneveldt, W P

1879 "Notes on the Malay Archipelago and Malacca Compiled from Chinese Sources", VBG 39. (dicetak ulang tahun 1960 dengan judul Notes on Indonesia and Malacca as Compiled from Chinese, Bhratara)


Jakob, T

1964 "A Human Mandible from Anyar Urn Field, Indonesia", Journal of National Medical Association 56.5 : 421 - 6


NBG

1918 NBG:91.


Soejono, R P (penyunting)

1984 Sejarah Nasional Indonesia 1: Jaman Prasejarah di Indo­nesia. Edisi keempat. Jakart PN Balai Pustaka, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.


Sumber :

Sri Sutjatingsih, 1997. Banten Kota Pelabuhan Jalan Sutra : Kumpulan Makalah Diskusi Jakarta. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan