Sedikit tentang Abu Nawas

Oleh Endang Supriatna

Pendahuluan
Dalam cerita lama terdapat kisah
Abu Nawas jenaka menghadap raja
hilang pasti nyawanya karna bersalah

namun aneh ahirnya mendapat harta
Abu Nawas ...
lucu lagi jenaka
lihat dulu orangnya
belum tentu lemah pribadinya.

.................

Begitulah bunyi penggalan lagu yang pernah populer di negeri kita pada tahun 60-70-an. Lagu ini memperlihatkan gambaran atau citra tokoh Abu Nawas, yaitu seorang jenaka atau pandai melucu dan banyak akalnya, bahkan kadang kala berlaku “konyol”. Sehingga berhasil memperdaya raja Bagdad (Khalifah Harun ar-Rasyid). Alih-alih dijatuhi hukuman, tetapi pada akhirnya malah mendapatkan hadiah uang dari raja, karena akal bulusnya dapat menyelamatkan nasibnya dari perangkap raja. Alkisah, raja selalu saja berusaha mencari akal untuk menjerat Abu Nawas agar raja memiliki alasan menghukum Abu Nawas.

Sejak berabad-abad, setidaknya sejak berpuluh tahun sepanjang yang pernah kita dengar dan kita baca dalam literatur Melayu dan Indonesia, nama Abu Nawas dikenal sebagai tokoh lucu yang cerdik. Hanya itu. Asosiasi orang pun jadi terpengaruh. Demikian besar pengaruhnya, sehingga baru namanya saja disebut, orang sudah mau tertawa. Begitu pula bila terjadi suatu peristiwa yang tak masuk akal, karena kebodohan atau karena kepintarannya, orang lalu mengaitkannya kepada Abu Nawas. Demikian pula maksud orang mengaitkan perilaku seseorang dengan tokoh Abu Nawas bisa dalam arti pujian, bahkan terkadang bisa pula dalam arti cemoohan. Begitu lekat citra yang dapat kita tangkap dari sang tokoh Abu Nawas di negeri kita dalam dongeng atau pada bubu-buku cerita. Lalu siapakah sebenarnya tokoh ini?, apakah tokoh ini merupakan tokoh rekaan para pengarang hikayat pada jaman dahulu, yang selalu dikaitkan dengan raja Harun ar-Rasyid, salah seorang khalifah dari dinasti Abasiyah ? Atau apakah tokoh Abu Nawas itu memang pernah hidup ?

Tokoh ini sebenarnya jelas sekali sejarahnya. Dalam literatur berbahasa Arab dan beberapa literatur berbahasa Barat, baik dalam penulisan sejarah sastra Arab atau biografi, tokoh ini dikenal hanya dengan satu sebutan, sebagai penyair besar dengan gaya yang khas. Abu Nawas atau sering pula disebut dengan nama Abu Nuwas, penyair Arab termasyhur pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid (786-809M) dari Dinasti Abasyiyah. Nama lengkapnya adalah Abu Nuwas al-Hasan bin Hani al-Hakami. Ayahnya seorang anggota tentara Marwan bin Muhammad, khalifah terahir Dinasti Bani Umayah di Damascus. Ibunya, Jelleban, adalah seorang wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol (bulu domba). Ketika ia masih kecil ayahnya meninggal dan kemudian ibunya membawanya ke Basra. Disana ia belajar bahasa dan sastra Arab, belajar agama (hadis dan al-Quran), sejak masih kecil sudah menampakan bakat dalam sastra terutama syair Arab. Berkat kepandaiannya dan bakat kepenyairannya, kemudian membawanya ke Ahwaz dan setelah itu ke Kufah.

Di kota Kufah ia belajar kepada penyair Arab, Khalaf al-Ahmar, yang kemudian menyuruhnya pergi berdiam di pedalaman padang pasir bersama orang Arab Badui untuk mendalami bahasa Arab selama setahun. Setelah itu pindah ke Bagdad dan berkumpul bersama para penyair di kota itu. Ia pun berhubungan dengan beberapa amir dan menggubah puisi pujian (madh) bagi mereka.

Berita tentang kepandaiannya dalam berpuisi sampai ke istana Harun al-Rasyid, khalifah Dinasrti Abasiyah, ia dipanggil untuk menjadi penyair istana dengan tugas menggubah puisi pujian untuk khalifah. Pada suatu ketika ia melantunkan puisi yang menghina kabilah Arab Mudar sehingga Khalifah murka kepadanya dan memenjarakannya. Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah dan mengabdi kepada pembesar istana dari keluarga Barmak. Ia meninggalkan Bagdad setelah keluarga Barmak dibinasakan oleh Kalifah pada tahubn 803 M. Ia pergi ke Mesir dan menggubah puisi untuk gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid al-Ajami. Setelah Khalifah Harun al-Rasyid meninggal dunia ia kembali ke Bagdad dan menjadi penyair istana bagi Khalifal al-Amin.

Pada masa tuanya, ia cenderung meninggalkan kesenangan dunia dan menjalani hidup zuhud (bertapa). Ada riwayat yang menyatakan bahwa ia meninggal akibat dianiaya oleh orang-orang suruhan Bani Nawbakht yang menaruh dendam kepadanya.

Puisi-puisi Abu Nawas (Abu Nuwas) terdiri atas beberapa tema: pujian (madh), satire (hija’), kehidupan zuhud (zuhdiyat), penggambaran khamar (khumrayat), wanita dan cinta (gazaliyat), lelucon dan senda gurau (mujuniyat). Puisi khumrayat-nya membuat dia dikenal sebagai “penyair khamar” karena ia yang pertama kali mengangkat khamar, minuman haram, sebagai tema puisi. Dalam khumrayat, dia memberikan kelezatan dan keburukan khamar, tentang buah anggur, pemerasannya dan pengolahannya, rasa khamar, warna dan baunya serta para peminumnya yang mabuk. Ia memperolok hadis yang melarang minum khamar karena menurutnya khamar dapat menyenangkan hati yang risau dan gundah, dan dapat bersenang-senang dengan wanita-wanita cantik yang menuangkan khamar ke dalamgelas. Tetapi pada masa menjelang ahir hayatnya, ia menggubah puisi zuhdiyat, mengungkapkan rasa penyesalannya dan taubat atas kesalahan dan dosa yang telah diperbuatnya dibarengi dengan keinginan untuk hidup zuhud. (Riwayat hidup Abu Nuwas (Abu Nawas) dikutip dari Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993: 45,46)

Jika menyimak riwayat hidup Abu Nawas (Abu Nuwas), sangatlah jauh perbedaan tentang gambaran tokoh tersebut dalah khzanah sastra Arab dengan gambaran pada literatur di negeri kita. Dari manakah perbedaan itu bermula?, tidak dapat diketahui secara pasti. Mungkin gambaran yang salah tentang tokoh ini pada literatur di negeri kita itu akibat pengaruh semantik bahasa?

Salah satu tema dari puisi-puisi penyair ini dalam kritik-kritik sastra yaitu puisi mujuniyat, arti kata mujun dalam bahasa Arab pada umumnya diartikan jenaka/lawak, senda gurau, atau tebal muka. Sedang dalam kamus-kamus besar seperti Lisanul Arab misalnya, kata mujun berarti “serba tak acuh terhadap yang diperbuatnya”, dan lebih khusus lagi dalam sastra ialah “pelukisan segala perbuatan maksiat, sumber-sumbernya serta pertanyaannya yang terus terang...” (dikutip dari tulisan Ali Audah, “Abu Nawas Penyair atau Pelawak”, dalam Panji Masyarakat, no. 305, Th. XXII/ 15 Oktober 1980).

Mungkinkah karena pengaruh puisi-puisinya yang bertema mujuniyat, memperteguh anggapan orang tentang gambaran tokoh ini yang jenaka atau suka melucu? Tanpa banyak mempersoalkan dari mana, sejak kapan dan bagaimana timbulnya salah persepsi tentang tokoh sang penyair ini, Abu Nawas sebagai penyair, yang ingin kita lihat dalam tulisan ini sekaligus menempatkan-nya pada tempat yang sebenarnya.

Dr. Syauqi Deif, seorang kritikus sastra Arab terkemuka, memberi penilaian dalam bukunya Tarikhul Adabil Arabi yang dikutip oleh Ali Audah, bahwa Abu Nawas adalah seorang penyair terbesar pada zamannya, jenius, tapi sinis, serba tak acuh dan kurang sekali menghargai nilai-nilai moral dan agama. Buat dia, lanjut Dr. Syauqi, hidup itu kesenangan semata, musik, minuman keras, mabuk. Kalau hidup demikian tidak ada, maka selamat tinggalah dunia, ungkap penilaian beliau tentang penyair ini.

Antologinya yang besar dan banyak dibicarakan orang, demikian penilaian Dr. Syauqi lebih lanjut, dan tema puisinya yaitu al-Khamriyat yang berarti puisi-puisi minuman keras, merupakan puisi-puisi khas bagi Abu Nawas dan belum dilakukan oleh penyair lain. Puisi al-Khamriyat-nya terutama melukiskan arti dan kedudukan anggur, mabuk, bercumbu, rayuan birahi, dan segala hidup di luar ukuran moral agama. Kata-kata mujun dalam kritik-kritik sastra yang biasa dialamatkan kepada puisi-puisi Abu Nawas adalah dalam pengertian ini, dan bukan dalam arti jenaka atau lawak seperti telah disinngung di atas. Memang, ada yang menyebutkan pribadinya simpatik, wajahnya tampan, suka pada humor dan disukai dalam pergaulan.

Apa yang dilukiskan oleh Dr. Syauqi Deif tersebut, cukup menggambarkan latar belakang kehidupannya. Banyak sekali faktor yang telah membentuk jiwa dan watak Abu Nawas sehingga ia menjadi orang yang begitu sisnis dan apatis terhadap lingkungan. Ia berdarah Persia, cepat naik darah, tapi pengetahuannya begitu luas dalam berbagai kebudayaan yang hidup di masa itu – dari kebudayaan Arab sampai kepada kebudayaan Islam, dari kebudayaan Hindu, Persia, Yunani, Yahudi dan Kristen. Hidupnya juga sudah hanyut dalam pengaruh peradaban materialisme, yang timbul masa itu dengan segala ciri-cirinya, ditambah oleh dorongan krisis jiwa yang sudah begitu mencekam karena kelakuan ibunya yang penya sejarah yang tidak sedap pada masa mudanya, begitu penjelasan Dr. Syauqi Deif.

Karena frustasi itu ia lalu memberontak terhadap segala nilai. Ia lalu menghanyutkan diri dalam perbuatan-perbuatan yang sama sekali kurang terpuji. Kadang ia memberontak sebagai orang yang tak beragama dengan caranya yang sangat kasar, seperti tampak dalam beberapa puisinya. Tetapi semua itu hanya sebagai sikap sepintas lalu, bukan sebagai ideologi hidupnya. Dengan kata lain Abu Nawas hanya hanyaut dalam perbuatan-perbuatan maksiat, bukan dalam ateisme. Mungkin ia menganggap agama dan moral sebagai penghalang terhadap segala keinginannya bermabuk-mabukan, kemaksiatan, dan perbuatan dosa lainnya. Dan atas semua ini, sebagai seorang yang beriman ia percaya Tuhan Maha Pengampun (Dr. Umar Farrukh, Abu Nawas, Beirut, 1960: 142, dikutip dari Ali Audah, dalam Panji Masyarakat).

Bagaimanapun juga kedudukan penyair ini dalam sastra Arab tinggi sekali. Pilihan kata-kata dalam sajak-sajaknya orisinal dan penggambaran yang tepat. Puisi-puisinya dianggap paling lengkap dan tepat sekali melukiskan suasana dan masyarakat masa itu di Bagdad dan sekitarnya. Sebagai seorang penyair istana, Abu Nawas pernah hidup dalam gemerlapnya istana Khalifah Harun ar-Rasyid dan penggantinya al-Amin. Tetapi tidak jarang ia meringkuk dalam penjara karena sikapnya yang dinilai kurang ajar dan sajak-sjaknya yang serba tidak peduli.

Sampai seberapa jauh Abu Nawas hidup dalam dunia yang serba maksiat, menganggap rendah nilai moral dan semua ajaran agama, ada beberapa pendapat dikemukanan orang. Ia bertobat setelah usianya makin lanjut dan mulai tampak kelemahan fisiknya. Mulai ia sadar dari mabuknya. Ia berpikir tentang arti hidup dan sebaga akibatnya, tentang maut dan hari kemudian. Ia yakin betapapun manusia melakukan perbuatan-perbuatan dosa, pintu tobat selalu terbuka. Allah Maha Pengampun. Dr. Omar Farrukh, seorang pengarang produktif tentang kebudayaan Islam, yang juga menulis biografi Abu Nawas menambahkan, bahwa mungkin juga faktor cintanya yang mendalam kepada seorang wanita Bagdad, Jinan, mendorongnya begera bertobat. Ia mencintainya sepenuh hati dan sering dinyatakannya dalam sajak-sajaknya. Dengan segala cara penyair itu ingin mendekati Jinan, dan wanita itu pun tampaknya membalas cintanya dengan sembunyi-sembunyi. Tetapi Jinan seorang wanita yang taat beragama. Cara hidup Abu Nawas dengan segala kemasyhurannya sebagai penyair besar, tidak disukainya.

Disamping itu ada pula sumber yang membantah bahwa ia pernah mencintai Jinan atau wanita lain. Sajak-sajaknya yang dibuatnya hanya sekedar bersenda gurau. Bahwa dia menunaikan ibadah haji tampaknya memang sudah dua kali, dalam rangka tobatnya itu. Hal ini terlihat juga dalam beberapa sajaknya. Dalam antologinya ada beberapa isyarat, bahwa ia sudah berkeluarga dan mempunyai anak laki-laki yang meninggal waktu kecil pada akhir usia ayahnya, dan dua anak perempuan. Hanya saja mereka tidak punya sesuatu peranan dalam sejarah. Besar sekali dugaan, bahwa penyair Abu Nawas hidup miskin pada akhir hayatnya. Penyair terkenal ini meninggal di Bagdad pada tahun 199 Hijriyah.

Sajak-sajaknya yang ditulis setelah bertobat memang mengharukan. Ia menyesali segala perbuatan dosa masa mudanya, pada salah satu sajaknya ia menuangkan perasaannya

Yakni, ia merasa menyesal sekali atas perbuatannya yang sia-sia. Salat lima waktu tak pernah dihiraukan. Dan hanya kepada Allah, Yang Maha Tinggi ia berdoa mohon pengampunan, seperti yang telah Allah berikan kepada Nabi Yunus.

Keyakinan agamanya banyak dibahas orang. Mereka menilai penyair ini dari puisi-puisinya yang beraneka ragam. Hampir semua yang dialaminya dan yang begejolak dalam pikirannya tertuang secara gamblang dalam puisi-puisinya. Orang menilai, bahwa keimanannya kepada Allah kuat sekali, begitu juga terhadap pengampunan-Nya lebih besar:

Begitu besar dosaku
Setelah kubandingkan dengan sifat kepengampunan-Mu

Ya Allah
Pengampunan-Mu lebih besar.

Mengenai harapan akan pengampunan Allah sajak berikut ini terkenal sekali, dijalin dalam kata-kata yang sangat mengharukan:

Tuhanku, kalau pun dasaku sudah begitu besar, begitu banyak
Aku pun tahu, sifat pengampunan-Mu lebih besar
Kalau yang berharap kepada-Mu hanya orang yang saleh
Kepada siapa orang yang berdosa ini akan berlindung?
Seruanku hanya kepadamu, ya Allah
Dengan sepenuh hati, seperti perintah-Mu
Kalaupun tanganku ini Kautolak
Siapalagi yang akan mengampuniku?
Tak ada jalan lain bagiku kepada-Mu
Hanya harapan dan pengampunan-Mu yang begitu indah

Di samping semua itu, aku seorang muslim (berserah diri).

Puisi-puisi zuhud-nya atau puisi keagamaan Abu Nawas memang tidak begitu banyak jumlahnya, dan dibuat pada masa tuanya. Tetapi dari segi kedalamannya dinilai banyak kritikus sastra melebihi puisi-puisi keagamaan para penyair lain yang sejaman dengannya. Sebagi penyair, baik dalam puisi mujun atau puisi zuhud, dari segi ungkapan, penggunaan kata, dan kedalaman isi, dalam sejarah sastra Islam, Abu Nawas tetap menempati kedudukan yang penting, demikian Dr. Omar Farrukh dalam biografi Abunawas memberi penilaian.

Dalam khazanan literatur kita (khususnya pada sastra Sunda) gambaran yang mendekati citra seorang pemalas, banyak akal, pandai melucu, dan tindakannya terkadang “konyol” adalah seperti citra Si Kabayan dalan dongeng-dongeng Sunda. Tetapi dibalik itu ada satire yang menggugah kesadaran kita. Bahkan “menyindir” secara halus. Namun demikian tokoh Sikabayan adalah tokoh rekaan, dan bukan tokoh yang benar-benar pernah hidup. Dalam dunia sastra Arab (Islam) dikenal pula dengan tokoh rekaan seperti tokoh Si Kabayan pada sastra Sunda. Yaitu tokoh Nasrudin Hoya, dan tokoh Juha. Dua tokoh ini, terutama tokoh Nasrudin Hoya adalah tokoh rekaan para Sufi (Ahli Tasawwuf) yang berusaha menampilkan “sindiran halus” tentang perilaku manusia seperti diwakili oleh Nasrudin Hoya. Cerita tentang tokoh Nasrudin Hoya, sangat mashur pada kalangan Sufi. Bahkan banyak tokoh Sufi yang menjadikan tokoh Nasrudin Hoya ini sebagai media pengajaran dengan menampilkan banyak sekali cerita dengan menggunakan tokoh ini. Bagi kalangan para Sufi realitas seseorang tokoh, apakah tokoh cerita itu merupakan tokoh rekaan atau tokoh yang benar-benar pernah hidup tidaklah menjadi masalah. Yang lebih penting adalah “hikmah” yang bisa dipetik dari kisah tokoh ini. Antara tokoh Si Kabayan mungkin ada kemiripan dengan tokoh Nasrudin Hoya yang selalu berupaya “menertawai” perilaku kita, manusia yang “melahirkannya”.

Yang menjadi masalah sekarang, jika harus membandingkan tokoh Abu Nawas sepeti diceritakan dalam literatur-literatur berbahasa Arab dengan tokoh Abu Nawas dalam literatur Melayu maupun literatur di tanah air kita, sangatlah sukar untuk memahaminya. Namun demikian, sebagaimana telah berlaku sejak tempo dulu hingga hari ini, begitulah citra Abu Nawas pada literatur kita.

Daftar Pustaka
Ali Audah, “Abu Nawas Penyair atau Pelawak”, dalam Panji Masyarakat, no. 305, Th. XXII/ 15 Oktober 1980

Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta: 1993

Yuzar P, dkk., Kajian Nilai Budaya Naskah Abu Nawas, Balai Kajian Jarahnitra, Bandung: 2003

------------
Drs. Endang Supriatna adalah Tenaga Peneliti Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung. Direktorat Jenderal Nilai Budaya Seni, dan Film. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata

Sumber : Buddhiracana ◙ Vol. 10\No. 1\ Januari 2005 BKSNT Bandung