Pelacur Menyamar


Di kawasan de Wallen, Amsterdam, tampak sebuah pemandangan mengejutkan. Di antara para pekerja seks yang berpakaian minim itu, ada dua perempuan mengenakan pakaian adat. Ini salah satu bukti bahwa seni dan budaya mulai menggantikan pelacuran di Wallen. Wisatawan kadang-kadang bingung melihat perempuan seperti itu berada di lingkungan pekerja seks: "Pelacur kuno?" atau "Pelacur yang menyamar? ". Mereka bertanya-tanya sambil ketawa genit.

Bukan, mereka bukan benar-benar pelacur. Tineke de Smet en Bregtje Buishand adalah karyawan museum Zuiderzee. Dari sebuah rumah di Oudezijds Achterburgwal 63 -jantung kawasan de Wallen di Amsterdam- mereka mencoba menggaet wisatawan untuk mengunjungi museum di Enkhuizen. "Kami bukannya mengeluh tentang jumlah pengunjung, " jelas konservator André Groeneveld. "Tapi pelancong Jepang, Amerika dan Spanyol belum mengenal kami. Kami berharap bisa menggaet mereka."

Anjing-anjing pelacur
Kedua karyawan museum itu bekerja di sebuah gedung bobrok yang sebagian besar sudah tidak layak huni. Di balik jendela tidak terlihat pelacur, tapi gordin biru mirip porselein Delfts blauw. Di belakang tampak gambar danau Ijssel. Di depan terlihat dua kaki mengenakan sepatu kayu dan dua anjing pelacur, patung yang sekitar seratus tahun lalu digunakan pelacur untuk menunjukkan bahwa mereka sedang sibuk. Ini suatu pemandangan kuno merujuk pada profesi di kawasan itu.

Di tangga di depan pintu itu, Smet dan Buishand duduk sambil merenda. Dari pakaian adat yang mereka kenakan, tidak jelas berasal dari desa mana. "Ini sengaja kami lakukan untuk menghindari reaksi negatif dari masyarakat, " tandas Groeneveld. "Mereka mengenakan kombinasi dari berbagai gaya. " Ada orang lewat tanpa peduli dan mencari hiburan lain. Para wisatawan yang berminat diberi penjelasan tentang museum Zuiderzee dan kalau mau bisa berfoto dengan perempuan-perempuan itu

Anda Paula?
Buishand menilai, ini pengalaman istimewa. "Saya berasal dari daerah, tapi saya sudah terbiasa. Tidak jauh dari sini ada papan bertulisan: pelacur Paula. Lalu turis Jerman datang ke saya dan bertanya dalam bahasa Jerman: "Anda Paula? Bukan, bukan sama sekali. Kita harus suka guyon supaya bisa bertahan di sini."

Sering terjadi para wisatawan tidak tahu persis apa yang bisa mereka harapkan dari para perempuan berpakaian adat itu. Seorang pria Italia mengira, ini aksi protes terhadap kebugilan di Wallen. Seorang perempuan dari Spanyol menduga kami adalah pelacur terselubung. Ketika kami jelaskan bahwa kami mempromosikan museum, mereka sambil ketawa memberi saran agar memasang papan bertulisan: Kami bukan pelacur. Anda tidak perlu membayar kami.

Budaya menggantikan pelacuran
Perpaduan yang mengejutkan antara pakaian tradisional dan pelacuran adalah akibat kebijakan baru yang dilancarkan walikota Amsterdam. Ibukota Belanda tersebut menutup seperempat tempat pelacuran dan beberapa rumah bordil besar di wilayah de Wallen. Tempat-tempat itu sekarang menjadi toko-toko untuk para perancang mode dan toko barang-barang seni lainnya. Walikota Amsterdam juga membenahi wilayah Museum Zuiderzee. Sepanjang musim panas, jendela-jendela di museum itu ditata. Sementara pada 16,21 dan 29 agustus, Tinneke de Smet dan Bregtje Buishand berada di museum tersebut dengan baju tradisionalnya.

Dengan masuknya seni dan budaya maka wajah De Wallen kini berubah. "Saya puas."kata seorang yang tinggal di wilayah tersebut. Perpaduan ini baik. Prostitusi tidak perlu hilang semua, untuk tidak terlampau mencolok. Apakah kebijakan walikota tidak perlu dikritik? "Tidak, saya tidak tahu lagi apa apa yang harus dikritik di sini."

Sumber : http://static.rnw.nl