Orang Melayu Bangka

Oleh : Drs. Akhmad Elvian
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Pangkalpinang

Ada beberapa pengertian tentang Melayu, antara sebagai ras (bangsa) dan sebagai suku bangsa. Dalam tulisan ini, yang dimaksudkan dengan Melayu adalah salah satu suku bangsa yang merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang majemuk. Sebutan Melayu yang paling awal muncul sebagai nama sebuah kerajaan yang berpusat di hulu Sungai Jambi. Kerajaan ini pernah disinggahi selama dua bulan oleh seorang pendeta agama Budha berasal dari Cina bernama IT-SING dalam perjalannya dari Kanton ke India pada tahun 644 M. Dalam salah satu bukunya yang ia selesaikan antara tahun 690 dan 692 ada keterangan yang menyatakan, bahwa sementara itu Melayu telah menjadi kerajaan Sriwijaya (Soekmono,1973;38). Selanjutnya dari lima prasasti peninggalan Kedatuan Sriwijaya termasuk prasasti Kota Kapur di Bangka ditulis dengan menggunakan huruf Pallawa dengan menggunakan bahasa Melayu kuno.

Definisi Melayu kemudian berkembang dengan ditandai runtuhnya Keprabuan Majapahit dan mulai berkembangnya Islam yang dimulai dari Pasai pada tahun 1400 M, selanjutnya terbentuklah wadah baru berupa komunitas Islam yang disebarkan dari Malaka ke segenap penjuru Nusantara. Penyebaran Islam disertai pula dengan pembukaan jalur perdagangan Islam melalui Aceh (Pasai), Kedah, Teluk Benggala, Malabar, Baghdad, Oman, Persia dan Mesir. Malaka menjadi Bandar Dunia dan pusat penyebaran Budaya Melayu. Masyarakat Islam yang berada di bawah pengaruh budaya dan Imperium Malaka itu disebut orang Melayu. Penduduk orang Melayu tersebut ialah penduduk di Semenanjung tanah Melayu (Malaya), Singapura, Thailand Selatan, kemudian Pesisir Timur Sumatera (di tepi Selat Melaka dan Laut Cina Selatan) yaitu Temiang, Langkat, Deli-Serdang, Asahan, Labuhan Batu, Riau, Pesisir Jambi, Pesisir Palembang, Bangka, Belitung. Selanjutnya meliputi juga wilayah Kalimantan Barat, Serawak dan Brunei serta beberapa tempat diaspora seperti Kompong Chom (Kamboja), di Sri Lanka dan Afrika Selatan (Luckman Sinar, 2003). Melayu yang dimaksudkan adalah Melayu prazaman kolonial yaitu jenis manusia pribumi di gugusan Kepulauan Melayu atau dalam bahasa Inggris ”The Malay Archipelago”. Wilayah ini termasuklah bumiputera dari Siam, Semenanjung Tanah Melayu, Kepulauan India Timur (East Indies) yang sekarang digelar Indonesia dan pulau-pulau yang sekarang digelar Philipines (Shafie, 1995).

Seorang Melayu adalah seseorang yang beragama Islam, berbahasa Melayu, beradat Melayu dan mengakui Melayu (Luckman Sinar, 2001). Kemudian istilah Melayu yang dipakai di Bangka Belitung mempunyai beberapa penafsiran antara lain pertama, merujuk pada mereka yang beragama Islam. Dengan penggunaan rujukan ini maka “siapa saja” yang beragama Islam dapat digolongkan sebagai orang Melayu. Di Bangka setiap orang yang masuk Islam dan bersunat atau berkhitan disebut dengan masuk Melayu. Selanjutnya di Bangka ada orang Mapur (suku terasing) yang sudah masuk Islam digolongkan sebagai orang Melayu (sedangkan yang tidak beragama Islam menyandang sebutan orang Lom, yang bermakna ”Lom (belum) masuk Islam”. Tentu saja dengan rujukan ini orang Cina yang masuk Islam, secara ringan hati diterima di masyarakat sebagai orang Melayu (walaupun pada awalnya kebanyakan pekerja parit dari Cina kawin dengan perempuan Melayu). Sebelum agama Islam menjadi agama yang dianut oleh masyarakat Bangka, pada sekitar abad 16, penduduk asli, dikenal dengan sebutan ”orang darat (disebut juga orang gunung”) dan ”orang laut”. Pada tahun 1803, J. Van Den Bogaart seorang pegawai Pemerintah Kolonial Belanda mengunjungi Bangka dan mendiskripsikan bahwa ada empat kelompok atau group masyarakat yang mendiami Pulau Bangka (Heidhues, 1992;87). Pada waktu itu tinggal di Pulau Bangka yaitu, orang-orang Cina, orang Melayu termasuk di dalamnya etnis lain dari berbagai pulau di Nusantara, Hill People sering disebut orang gunung, atau orang darat sekarang masih tersisa disekitar Gunung Maras yang disebut komunitas adat masyarakat Mapur dan Sea Dwellers disebut orang laut seperti komunitas masyarakat Sekak yang masih tersisa di Kedimpel, Tanjunggunung dan Jebu. Horsfield sebagaimana dikutip Heidhues pada tahun 1813 mencatat bahwa dimasa itu orang darat atau orang gunung dan orang laut masih sedikit dipengaruhi oleh Islam. Ini menjadikan alasan J. Van Bogaart tidak menggolongkan orang darat dan orang laut sebagai orang Melayu.

Kemudian istilah Melayu juga dirujuk berdasarkan persamaan penggunaan bahasa induk yaitu bahasa Melayu Bangka. Sebagaimana daerah lain di Nusantara Pulau Bangka memiliki bahasa daerah yang digunakan oleh masyarakatnya yaitu Bahasa Daerah Melayu Bangka. Dalam bahasa Melayu Bangka secara umum, bunyi [e] ditulis sebagai é dan diucapkan seperti pada ngapé, siapé, bunyi [e] ditulis sebagai e seperti kemane, siape, pada daerah Bangka Barat (Mentok bunyi gabungan huruf [a] dan [e] dibaca sebagai e lemah ditulis dengan lambang ∂ seperti contoh tumb∂k, emp∂s, dan ada tanda baca yang dipakai sebagai berikut /e/  Elang, perimpeng, kemane, ape. /é/  siapé, kemané, apé dan tanda ?  dibaca huruf /q/ contoh aso? Dibaca /asoq/. Tanda ? dan q dibaca sebagai klemah, huruf GH=/R/ contoh tepeghuq, dibaca/tepe Ruq/.

Kesinambungan penggunaan bahasa Melayu Bangka sebagai bahasa ibu antar generasi (intergenerational mother tongue continuity) saat ini merupakan salah satu identitas atau jatidiri dari masyarakat Melayu Bangka. Saat ini bahasa daerah Melayu Bangka mempunyai lima dialek utama yaitu dialek Mentok, dialek Belinyu, dialek Toboali, dialek Sungailiat dan dialek Pangkalpinang (Silahidin, 2001). Dialek tersebut seperti, bahasa Bangka dialek Toboali, Bangka Selatan dengan ciri, dalam pengucapan huruf S sering diucapkan atau diganti dengan huruf H seperti sabun menjadi habun namun tidak semua huruf S berubah menjadi H seperti susu tetap susu bukan huhu, sisir tetap sisir tidak menjadi hihir. Kemudian bahasa Bangka dialek Pangkalpinang vokal umumnya sama dengan bahasa Bangka secara umum seperti [e] yang diucapkan é seperti siapé, letéh, ngapé lalu vokal U diucapkan menjadi O seperti déq kaloq a artinya tidaklah, ku jadi ko artinya aku, kemudian adalagi bahasa Bangka dialek Belinyu (Bangka Utara), vokal a dalam bahasa Indonesia dan e dalam bahasa Bangka dialek yang lain berubah atau sering diucapkan o pada ragam dan dialek Belinyu khususnya pada akhir kata seperti contoh belanja menjadi belanjo, mengapa menjadi ngapo dan terakhir bahasa Bangka dialek Mentok (Bangka Barat), vokal a dalam bahasa Indonesia, é dan o dalam bahasa Bangka dialek yang lain diucapkan e seperti contoh siapa menjadi siape, apa menjadi ape (Hartini dkk, 2003). Namun ada hal yang spesifik dalam ragam dan dialek bahasa Mentok ada gabungan huruf gh yang dibaca R contoh légégh dibaca légér artinya tong atau drum.

Dalam bahasa daerah Melayu Bangka tidak ada perbedaan istilah halus (kromo) dengan bahasa biasa (ngoko), tapi ada istilah kata ganti sebagai penghormatan untuk orang tua seperti enté, ikam (artinya kamu untuk orang yang lebih tua), datu? (dia) dan hade’ kata ganti untuk orang ketiga terhadap orang yang lebih tua pada bahasa Bangka dialek Toboali (ibukota Kabupaten Bangka Selatan) dan Koba (ibukota Kabupaten Bangka Tengah). Sebutan datu? disini tidak hanya terbatas pada kata ganti untuk orang ketiga terhadap orang yang lebih tua akan tetapi lebih ditujukan kepada penghargaan dan penghormatan kepada seseorang yang sangat dihormati di masyarakat. Dalam ungkapan tradisional masyarakat dikenal beberapa sebutan datuk yaitu Datuk Tematuk yang berarti orang yang sudah tua dan memiliki sifat bijaksana, Datuk Suntuk yaitu orang yang dituakan karena usianya memang sudah tua kemudian Datuk Belatuk yaitu orang yang sudah tua tetapi sifatnya kurang baik atau merusak (Elvian, 2006;95).
Orang Melayu Bangka menganut sistem sosial kemasyarakatan sebagaimana suku bangsa Melayu pada umumnya. Bagi masyarakat Melayu Bangka kontak dengan dunia luar adalah suatu hal yang biasa karena wilayah tempat tinggal orang Melayu Bangka kebanyakan menghuni wilayah pesisir dan bandar. Ada tiga kemungkinan bagi suatu masyarakat dalam menghadapi sentuhan dengan dunia luar (budaya asing). Kemungkinan yang pertama adalah melawan, kedua menyingkir, dan yang ketiga menerima. Tampaknya masyarakat Melayu Bangka memilih alternatif yang ketiga yaitu menerima budaya asing tetapi dengan syarat tidak merusak jatidirinya. Orang Melayu Bangka sangat ramah dan memiliki sikap toleransi serta menjadi tuan rumah yang adil. Tetapi jika terdesak, orang Melayu sangat melawan dan bisa mengamuk. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Budisantoso, dkk (1986) mengatakan bahwa struktur sosial masyarakat Melayu terbuka, artinya, mereka menerima siapa saja dengan catatan tidak mengusik adat istiadat (budaya) mereka yang bernafaskan Islam, sehingga budaya Melayu tetap kekal sebagaimana yang diikrarkan oleh Laksamana Hang Tuah yang sangat terkenal itu, yaitu: ”Tuah sakti hamba negeri, Esa hilang dua terbilang, patah tumbuh hilang berganti, Tak Melayu hilang di bumi”.

Keterbukaan struktur masyarakat Melayu dan kebudayaannya sangat memungkinkan untuk mengakomodasi perubahan-perubahan kebudayaan dan penyerapan unsur-unsur kebudayaan yang berbeda-beda, sepanjang perubahan dan penyerapan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama Islam, adat istiadat dan sopan santun Melayu. Itu pula sebabnya orang Melayu di Kepulauan Bangka Belitung cenderung dapat menerima kehadiran orang-orang lain yang bukan Melayu untuk hidup bersama dan membaur dalam suatu komunitas, baik dalam kontek pemukiman, kampung, rukun warga, maupun dalam konteks bertetangga atau bersebelahan rumah, bahkan banyak pula yang sudah merambah dalam bentuk hubungan yang lebih dekat lagi yaitu ikatan perkawinan (Nuraini, 2007;8). Sebagai contoh bagaimana rukunnya masyarakat Melayu dengan orang - orang Cina di Bangka sehingga ada pepatah yang mengatakan ”Fangin Tongin Jitjong” yang berarti orang Melayu dan orang Cina yang tinggal di Bangka sama saja tidak ada perbedaan. perkawinan antara orang Cina dengan orang Melayu di Bangka merupakan hal yang biasa, malah ada anggapan bahwa orang Cina Bangka sekarang adalah keturunan perempuan Melayu karena pada waktu mereka datang ke Bangka sebagai pekerja- pekerja di tambang-tambang timah (parit) mereka tidak membawa anak dan istri. Dalam bahasa Cina setempat dikenal istilah mencari ”Fan to” yang berarti mencari teman hidup atau pasangan hidup, yaitu perempuan Melayu.

Orang Melayu Bangka sangat mengutamakan musyawarah dan mufakat dalam segala hal seperti dalam hal perkawinan dengan cara betason. Melaksanakan pembangunan negeri dengan adat nganggung sepintu sedulang, juga dalam mengerjakan ladang atau ume dan mendirikan rumah dengan besaoh. Masyarakat juga sangat menjaga moral, penjagaan moral sangat dipentingkan pada masyarakat Melayu yang Islam, terutama dalam hal budi sebagai perlambang dari peradaban yang tinggi seperti budi daya, budi bahasa, budi pekerti dan lain-lain. Konsekuensi dari budaya budi itu, orang Melayu mengutamakan sopan-santun, bercakap tidak kasar, bahkan menegur orangpun dengan menggunakan pantun, berbaju menutup aurat dengan pakaian yang disebut baju kurung dan pakaian Paksian. Seseorang dalam berpakaian harus dapat memfungsikan pakaian yang melingkupi tubuhnya (mengurung) sebagai pelindung tubuh dari cuaca dan iklim, fungsi keamanan karena tertutupnya aurat, memiliki nilai kesopanan dan fungsi keindahan serta keanggunan. Dari segi warna pakaian yang dikenakan dapat diketahui status pernikahannya serta warna yang sama untuk pakaian atas dan bawah sebagai symbol keserasian dan keselarasan dalam kehidupan. Menurut tradisi, jenis pakaian adat untuk wanita dibedakan antara pakaian seorang gadis, wanita setengah baya dan pakaian orang-orang tua. Biasanya pakaian adat ini memiliki empat macam corak warna bagi wanita dan hanya ada satu corak warna untuk pria. Bahan pakaian biasanya terbuat dari kain dasar tenun asli. Untuk baju kurung biasanya menggunakan warna merah tua, warna ungu terung atau warna ungu Kemilik (sejenis umbi-umbian yang ditanam di ume), warna biru muda ataupun warna biru tua. Para gadis atau dayang biasanya lebih suka memilih warna merah tua untuk baju kurung. Pilihan ini juga disukai oleh wanita-wanita yang belum bersuami dan kadang dilengkapi pakaian kain sarung bersusur atau berbenang emas serta selendang bersusur (Elvian, 2006;15).

Selanjutnya orang Melayu menjauhkan pantangan dan larangan agama serta adat, tidak mempermalukan orang, menjaga marwah keluarga dan keturunan serta harga diri (contoh tentang kebiasaan budaya pembuatan rumah vernakuler masyarakat Bangka, pada bagian belakang rumah dekat dapur biasanya dibuat pintu yang sering disebut dengan Pintu Penebus Malu). Masyarakat sangat menghargai fungsi tanah karena tanah adalah kepunyaan kesatuan hukum kampung dan bukan kepunyaan pribadi. Hasil hutan dan tanah dapat saja dikerjakan oleh masyarakat asal seizin Kepala Kampung jika ternyata tidak ada yang mengklaimnya. Tetapi apabila tanah ditelantarkan dan tidak dikerjakan menurut tujuan semula, maka tanah dapat diambil kembali oleh kesatuan hukum (rechtsgeenschap) untuk diberikan kepada orang lain yang memerlukannya. Kemudian ada bagian tanah yang difungsikan untuk hal-hal tertentu seperti untuk kuburan, tempat yang dikeramatkan, tanah untuk perluasan kampung, tanah untuk konservasi alam seperti kelekak, lelap, tumbek, hutan larang, kebun atau ladang rumbia. Disamping hal di atas masyarakat Melayu Bangka memiliki semangat kebersamaan, seperti pepatah yang menyebutkan ”Persahabatan tidak dapat ditukar dengan uang dan kekayaan”, kemudian orang Melayu Bangka sangat cinta pada negerinya seperti pepatah ”dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung”.

Sumber : http://tampukpinang.info