Mutiara Di Selatan Bandung

Oleh: Nisrina Soewardi
SMAN 7 Bandung

Salju mencair di telapak tangan
Begitu pula sejarah yang sudah berlalu dan menjadi masa lalu
Namun lelehan itu kini telah menjadi pedoman hidup yang lebih baik
Bagi bangsa dan negara
Tangan yang lemah itu, kini sudah menjadi kuat
Suara yang lemahpun kini begitu lantang
Mereka yang dulu menindas kami
Bisa kami tundukan
Dengan kemerdekaan yang telah kami kibarkan
di Negeri kami ini

A. Pendahuluan
1.
Latar Belakang Masalah
Berbicara mengenai sejarah, pandangan kita tidak pernah lepas dari masa lampau. Dimana sejarah bukanlah sesuatu yang aneh lagi di kalangan masyarakat, walaupun masih banyak diantaranya yang belum benar–benar mengetahui bagaimana kehidupan manusia terdahulu serta belum benar–benar mengerti apa arti sebenarnya dari makna sebuah sejarah. Kata “sejarah” berasal dari bahasa Arab, yaitu syajaratun yang berarti pohon, sementara dipandang menurut bahasa Arab, sama artinya dengan sebuah pohon yang terus berkembang dari tingkat yang sangat sederhana ke tingkat yang lebih kompleks atau ke tingkat yang lebih maju. Itulah sebabnya, sejarah diumpamakan menyerupai perkembangan sebuah pohon yang terus berkembang dari akar sampai ranting yang terkecil. Dalam bahasa Inggris, kata “sejarah”, yaitu history yang berarti masa lampau umat manusia. Sedangkan berdasarkan bahasa Jerman, kata “sejarah”, yaitu geschicht berarti sesuatu yang terjadi. Ketiga kata di atas sudah memberikan gambaran yang sebenarnya mengenai sejarah.

Kota Bandung (Kotamadya) yang terletak di koordinat 107 BT dan 6 55’LS dengan luas kota 16.767 hektar ini secara geografis terletak di tengah–tengah provinsi Jawa Barat yang merupakan ibu kota provinsi Jawa Barat serta memiliki nilai strategis terhadap daerah–daerah sekitarnya. Zaman dahulu kota ini dikenal sebagai Paris van Java (Belanda) atau Paris dari Jawa. Karena Bandung dikelilingi oleh pegunungan yang membuat Bandung menjadi semacam cekungan atau Bandung Basin dan terletak di dataran tinggi, tempat ini juga di kenal sebagai tempat yang berhawa sejuk. Hal ini menjadikan Bandung sebagai salah satu kota tujuan wisata serta keberadaan perguruan tinggi negeri dan swasta membuat kota ini dikenal sebagai salah satu koper pelajar di Indonesia. Dan kota ini di aliri dua aliran sungai utama, yaitu Sungai Cikapundung dan Sungai Citarum beserta anak–anaknya yang mengalir ke arah selatan dan bertemu di Sungai Citarum. Karena rata–rata ketinggian di daerah Bandung Selatan adalah + 675 dpl di atas permukaan laut, maka kondisi tersebut menyebabkan Bandung Selatan menjadi sangat rentan dengan masalah banjir. Di Bandung Selatan inilah kisah “Mutiara di Selatan Bandung” (Pahlawan Bandung Selatan) terjadi, namun kita ketahui, bahwa kisah ini tak banyak diketahui oleh masyarakat sehingga mereka tidak mengenal serta mengetahui bagaimana kisah ini dapat terjadi dan darimana asal–usul kedatangannya. Yang lebih memprihatinkan lagi, kisah “Mutiara di Selatan Bandung” ini jarang di ulas dalam pendidikan secara detail, kalaupun ada yang mengetahui itu pun berasal dari orang tua yang dulunya sempat ikut menjadi pejuang angkatan ‘45.

Cara berfikir sejarah tentu sangat berbeda dengan cara berfikir ilmu pengetahuan alam. Karena cara berfikir sejarah akan selalu berkaitan dengan masa lampau, sedangkan ilmu pengetahuan alam akan berkaitan dengan masa sekarang. Selain itu perhatian sejarah terfokus pada tindakan–tindakan dan pengalaman manusia serta berdasar peristiwa atau kejadian yang terjadi dalam lingkup manusia. Perkembangan masa dalam sejarah sama dengan pembabakan, pembabakan tersebut dilakukan karena rentang waktu atau masa sejak manusia ada hingga sekarang. Muncul dan berkembangnya manusia banyak meninggalkan berbagai peristiwa yang menakjubkan di dunia, dimana peristiwa timbul disebabkan adanya serangkaian peristiwa yang mendahuluinnya. Peristiwa “Mutiara di Selatan Bandung” ini telah menimbulkan banyak pertanyaan dan rasa penasaran bagi khalayak umum di masa kini, “Mengapa?”, “Apa?”, “Siapa?”, “Bagaimana?” dan pertanyaan–pertanyaan lainnya. Oleh karena itu, untuk mengusir rasa penasaran tersebut, dengan penulisan karya ilmiah ini setidaknya dapat mengurangi rasa penasaran tersebut.

Sampai kapanpun, sejarah manusia akan selalu saling berkesinambungan dengan kehidupan sekarang, maupun kehidupan yang akan datang. Sekaligus seiring dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi. Bagai akar yang akan terus menjalar hingga permukaan atau bagai pohon yang akan terus tumbuh hingga membentuk sebuah diagram yang dapat mencatat peristiwa–peristiwa yang terjadi di dunia, tumbuh dan berkembang dan hingga masa manusia yang akan datang, sejarah akan selalu tercatat atau bagai hubungan darah yang berarti bahwa sejarah merupakan sesuatu yang tidak akan dapat dipisahkan sampai kapanpun seperti hubungan darah antara ibu dan anak hingga cucu–cucu, cicit dan seterusnya, dan hubungan darah tersebut tidak dapat dihapuskan karena darah terus mengalir dalam organ tubuh mereka.

Berdasarkan bukti dan fakta dari beberapa sumber, bahwa kebenaran tentang suatu peristiwa sejarah tidak dapat diketahui secara keseluruhan. Walaupun demikian, informasi yang berasal dari beberapa narasumber mengenai bukti dan fakta tersebut memiliki makna yang sangat penting dalam pengungkapan suatu peristiwa sejarah. Oleh karena itu, mengetahui dan mengenal sejarah yang sesungguhnya sangatlah penting baik dalam kehidupan manusia itu sendiri maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta dapat menjadi pedoman dalam kehidupan sosial di masa yang akan datang. Dimana kita jangan sampai mengulangi kesalahan di masa lampau dan menjadi manusia dalam kehidupan yang lebih baik.

2. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah yang berupa permasalahan dalam karya ilmiah ini, yaitu :

Sekilas sosok Mohamad Toha
Peristiwa di Bandung Selatan (Dayeuh Kolot)

3. Perumusan dan Pembatasan Masalah
Untuk memperjelas masalah yang bertalian dengan penulisan sejarah lokal, yang penulis beri judul Mutiara di Selatan Bandung, sebagai berikut :

Siapakah Mohamad Toha ?
Apa peranannya di dalam peristiwa ini ?
Seperti apakah peristiwa dan asal–usul yang terjadi dalam peristiwa Bandung Selatan ini?

4. Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah :

Mengenal sejarah Bandung Selatan serta menambah wawasan dan pengetahuan mengenai tokoh atau pahlawan di Bandung Selatan

Dapat memperoleh gambaran yang jelas mengenai latar sejarah Mohammad Toha
Mengungkap rasa penasaran yang selama ini menghantui masyarakat
Agar dapat lebih menghargai, melestarikan serta menjaga sejarah

Dalam rangka mendukung dan merealisasikan “Lomba Penulisan Karya Ilmiah dan Diskusi Sejarah”, yang juga merupakan salah satu program Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung, 2009.

5. Ruang Lingkup
Adapun ruang lingkup sejarah mengenai “Mutiara di Selatan Bandung” yang akan di bahas ini berlokasi di Kota Bandung yang di kenal sebagai tempat yang berhawa sejuk dengan koordinat 107 BT dan 6 55’LS dan memiliki luas kota 16.767 hektar. Serta dikenal sebagai kota wisata dan pelajar. Yang tepatnya di daerah Bandung Selatan dengan ketinggian + 675 dpl di atas permukaan laut ini terdapat suatu peristiwa dimana tidak semua orang mengenal dan mengetahuinya. Suatu peristiwa yang menakjubkan, yang harus di ungkap agar tokoh pahlawan satu ini mendapat penghargaan yang layak seperti tokoh–tokoh pahlawan lainnya. Dan mengungkap monumen di selatan Bandung yang masih menjadi misteri. Dimana ledakan yang terjadi dalam kisah kali ini telah menggambarkan semangat patriotik para pemuda pejuang Bandung Selatan.

6. Sistematika Penulisan
Penulisan karya ilmiah ini akan di bagi menjadi empat bab. Bab satu dengan yang lainnya tidak dapat di pisahkan sebagai sebuah sistem yang utuh. Agar dapat memudahkan dalam penulisan karya ilmiah ini, maka dari itu akan di tuangkan dalam format berikut :

Bab I Pendahuluan, terdiri atas latar belakang masalah, identifikasi masalah, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan penelitian, ruang lingkup dan sistematika penulisan.

Bab II, Sekilas Latar Sejarah Dayeuh Kolot

Bab III, Mohammad Toha, Mutiara di Selatan Bandung, dipaparkan mengenai Mohammad Toha, Tindakan Heroik Seorang ohammad Toha, dan Mohammad Toha, Mutiara di Selatan Bandung

Bab IV Penutup, berisi tentang kesimpulan dan saran.

B. Sekilas Latar Sejarah Dayeuh Kolot
Di sebelah Barat daerah kekuasaan Mataram, tepatnya di utara kaki Gunung Geulis, mengalir sebuah sungai besar yang menjadi ciri atas berdirinya Kerajaan Tarumanegara. Sungai yang dimaksud adalah sungai Citarum, Ci berasal dari kata kata “Cai” yang berarti air dan Tarum yaitu semacam “Perdu” atau tumbuhan yang tumbuh di tepi sungai itu. Apabila daun perdu itu terkena rendaman air sungai, maka air itu akan berwarna hitam. Tumbuhan perdu biasanya sering digunakan oleh wanita pada masa itu untuk mencuci rambut. Keadaan tanahnya landai sehingga mudah digunakan untuk lalu lalang orang dengan mempergunakan rakit penyebrangan. Dengan demikian, semakin ramainya orang menggunakan daerah itu maka lambat laun daerah itu menjadi daerah persinggahan dan perdagangan. Pada awal abad ke-17 di daerah ini dibentuk organisasi pemerintahan untuk menata, menyusun dan menertibkan masyarakat dan tata lingkungan hidupnya dalam segala hal sampai dengan penetapan pemakaian nama daerah ini yaitu Karapyak atau Krapyak yang artinya nama rakit penyebrangan yang dibuat dari batangan bambu.

Perkembangan selanjutnya daerah ini dikuasai oleh Kerajaan Mataram. Namun demikian, pada tahun 1600-an terjadi suatu pemberontakan yang dilakukan Dipati Ukur terhadap Mataram. Pemberontakan itu terjadi ketika pemerintahan Mataram tengah mengalami kelemahan akibat peperangan melawan VOC sehingga keadaan tersebut dimanfaatkan oleh Dipati Ukur untuk melepaskan diri dari kekuasaan Mataram. Meskipun menjadi lemah, Pemerintahan Mataram sadar bilamana pemisahan ini tidak ditindak, wibawa Mataram dalam waktu pendek akan hilang di seluruh Jawa.Pada tahun 1632 pemberontakan tersebut berakhir dengan menyisakan dampak berupa kekosongan kekuasaan di Priangan. Sementara itu, pihak Kerajaan Mataram berusaha untuk menguasai Priangan kembali karena daerah itu merupakan benteng pertahanan Mataram di bagian Barat terhadap kemungkinan serangan tentara VOC. Oleh karena itu, untuk menghindari terjadinya kerusuhan di daerah Priangan yang mengancam kekuasaan Mataram seperti yang dilakukan oleh Dipati Ukur, maka Sultan Agung memecah Priangan menjadi beberapa daerah kabupaten yang masing–masing diperintah oleh seorang Mantri Agung (bupati).

Sultan Agung memecah daerah Priangan menjadi tiga kabupaten, yakni Bandung, Sukapura, dan Parakanmuncang. Pembentukan ke tiga kabupaten tersebut ditandai dengan pengangkatan Ki Astamanggala sebagai Bupati Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangun–angun, Tumenggung Wiradadha sebagai Bupati Sukapura, dan Tumenggung Tanubaya sebagai Bupati Parakanmuncang. Pelantikan ketiga bupati tersebut berlangsung di ibu kota Mataram dan dinyatakan dalam piagam Sultan Agung. Piagam tersebut merupakan bukti sejarah yang kuat yang menyatakan adanya daerah bernama Bandung dan di daerah itu dibentuk pemerintahan kabupaten. Dengan mendapat surat pengakuan dari Mataram, Tumenggung Wiraangun–angun kembali dari Mataram ke wilayah Tatar Ukur, tepatnya di Timbanganten. Selanjutnya pada tahun 1670 Tumenggung Wiraangun–angun membangun pusat pemerintahannya disuatu tempat di tepi Sungai Citarum dekat muara sungai Cikapundung, tidak jauh dari pertemuan sungai Citarum dengan Sungai Citarik, tempat yang dimaksud adalah Krapyak yang kemudian dijadikan ibu kota Kabupaten Bandung. Krapyak dipilih didasarkan pada beberapa pertimbangan, yakni :

Tempat itu terletak di tepi Sungai Citarum dan tidak jauh dari muara Sungai Cikapundung. Dengan demikian, dari segi kepentingan komunikasi daerah yang dilintasi sungai Citarum ini merupakan penghubung dengan daerah–daerah Mataram di pantai utara sedangkan dari segi transportasi, lokasi Krapyak cukup baik karena waktu itu transportasi yang cukup cepat dan hanya dapat dilakukan melalui sungai yang dapat dilayari perahu atau rakit.

Lahan daerah Krapyak cukup subur dan dekat dengan sumber air sehingga sangat memungkinkan bagi berlangsungnya kehidupan penduduk.

Berkat kepemimpinan Tumenggung Wiraangun–angun, daerah ini mengalami kemajuan yang pesat. Namun pada abad ke-19 tepatnya tanggal 25 Mei 1811, Gubernur Jendral Daendels memerintahkan untuk mengadakan pemindahan ibu kota kabupaten dari Krapyak ke utara karena daerah tersebut selalu dilanda banjir dan dalam rangka pembangunan Jalan Raya Pos (Groote Postweg), yaitu jalan raya yang menghubungkan ujung barat dan ujung timur sepanjang 1000 km, yang di Priangan sendiri jalan raya tersebut membentang dari Cianjur melalui kabupaten Bandung ke Sumedang. Namun jalan raya pos tersebut tidak melalui Krapyak melainkan 10 km di sebelah utara Krapyak sebagai jalan poros. Untuk mempercepat proses pemindahan ibu kota tersebut maka Daendels mengirim utusannya dengan maksud menyampaikan usul dan perintah agar kabupaten dipindahkan dari tempat semula di tepi sungai Citarum ke sebelah utara. Perintah tersebut ditolak, bahkan petinggi pemerintahan waktu itu, Tubagus Anom menentang keras rencana Gubernur Jendral Daendels itu sehingga ia ditangkap dan akhirnya di hukum mati. Untuk kedua kalinya Belanda mengirim utusan dengan maksud berunding dan memecahkan masalah tersebut. Setelah dilaksanakan perundingan, kabupatenpun dipindahkan. Adapun daerah yang dijadikan pemerintahan baru terletak di bagian tengah wilayah Bandung dengan tingkat kesuburan tanah yang tinggi, dekat dengan sumber air, dikelilingi gunung dan pegunungan serta berada di titik poros Jalan Raya Pos yang sedang dibangun.

Setelah ibu kota dipindahkan ke utara, di pinggir Groote Postweg yang baru, maka Krapyak ditinggalkan sehingga segala hal yang menyangkut kehidupan pemerintahan dan perekonomian beralih ke daerah baru. Oleh karena itu, kota lama atau Krapyak diganti namanya menjadi Dayeuh Kolot (dalam bahasa sunda berarti kota, kolot yang berarti lama atau tua), orang Belanda menyebutnya dengan Oude Negorij atau negeri lama.

Kini Dayeuh Kolot merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Bandung, tepatnya di Bandung selatan dengan luas wilayah 985.149,5 ha dan secara astronomis Kecamatan Dayeuh Kolot terletak pada 107 35’24” – 107 37’48” BT dan 6 57’36” – 6 59’24” L. Secara administrasi Kecamatan Dayeuh Kolot ini termasuk wilayah Kabupaten Bandung yang berbatasan langsung dengan :

Kotamadya Bandung di sebelah utara
Kecamatan Bojongsoang di sebelah timur
Kecamatan Baleendah di sebelah selatan
Kecamatan Margahayu di sebelah barat

Secara geografis letak kecamatan Dayeuhkolot sangat strategis karena merupakan salah satu daerah penyangga antara pusat kota dengan daerah disekitarnya. Selain itu, dilalui oleh jalur jalan raya yang menghubungkan Kota Bandung dengan wilayah Bandung Selatan. Sedangkan secara historis, ditinjau dari letaknya pada tahun 1946, daerah ini merupakan daerah yang strategis karena merupakan penghubung antara wilayah kekuasaan Belanda di sebelah utara dan kekuasaan Indonesia di sebelah selatan. Hal itu di dukung dengan dijadikannya Dayeuhkolot sebagai tempat penyimpanan amunisi Belanda di kawasan Bandung Selatan dan sebagai tempat pertahanan terdepan pejuang Indonesia. Penduduk Dayeuh Kolot sendiri pada waktu itu, sebagian besar terdiri dari etnis Sunda, etnis Jawa dan Tionghoa. Adapun agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk adalah agama Islam, protestan dan Kong Hu Chu.

C. Mutiara Di Selatan Bandung
1
. Mengenal Sosok Mohammad Toha
Mohammad Toha yang merupakan pahlawan dari Bandung Selatan pada masa revolusi kemerdekaan (1945-1950) ini dilahirkan di Jalan Banceuy, Desa Suniaraja, Kota Bandung pada tahun 1927. Ayahnya bernama Suganda dan Ibunya yang berasal dari Kedunghalang, Bogor, bernama Nariah. Beliau menjadi anak yatim ketika ayahnya meninggal dunia pada saat dirinya berusia 2 tahun (1929). Kemudian Ibu Nariah menikah kembali dengan Sugandi adik ayah Mohammad Toha. Namun tidak lama kemudian, keduanya bercerai dan Mohammad Toha diambil oleh kakek dan neneknya dari pihak ayah, yaitu Bapak Jahiri dan Ibu Oneng. Mohammad Toha mulai masuk Sekolah Rakyat pada usia 7 tahun hingga kelas 4. Namun sekolahnya harus terhenti ketika Perang Dunia II pecah. Dan dulu beliau sempat belajar PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa), tokoh bernama Mohammad Toha ini adalah karakter yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah sejarah kepahlawanan rakyat Jawa Barat.

Pada zaman Jepang, Toha mulai mengenal dunia militer dengan memasuki Seinendan. Sehari–hari Toha juga membantu kakeknya di Biro Sunda, kemudian bekerja di bengkel motor di Cikudapateuh. Selanjutnya, Toha belajar menjadi montir mobil dan bekerja di bengkel kendaraan militer Jepang sehingga ia mampu berbahasa Jepang.

Setelah Indonesia merdeka, Toha terpanggil untuk bergabung dengan badan perjuangan Barisan Rakyat Indonesia (BRI), yang dipimpin oleh Ben Alamsyah, paman Toha sendiri. BRI selanjutnya digabungkan dengan Barisan Pelopor yang dipimpin oleh Anwar Sutan Pemuncak menjadi Barisan Benteng Republik Indonesia (BBRI). Dalam laskar ini ia duduk sebagai Komandan Seksi I Bagian Panggempur. Menurut keterangan Ben Alamsyah, paman Mohammad Toha dan Rachmat Sulaeman, tetangga Mohammad Toha dan juga Komandannya di BBRI, pemuda Toha adalah seorang pemuda yang cerdas, patuh kepada orang tua, memiliki jiwa disiplin yang kuat serta disukai oleh teman–temannya. Pada tahun 1945 itu, Mohammad Toha digambarkan sebagai pemuda pemberani dengan tinggi 1,65 m, bermuka lonjong dengan pancaran mata yang tajam.

Kepahlawanannya tidak akan lepas dari tindakan heroik Mohammad Toha yang dengan sengaja mengorbankan dirinya untuk ditangkap oleh tentara Belanda di daerah Bandung Selatan. Saat ditahan di dalam markas tentara pendudukan tersebutlah, beliau kemudian meledakan dirinya di dalam gedung amunisi dan senjata.

2. Tindakan Heroik Seorang Mohammad Toha
Ketika terjadi peristiwa Bandung Lautan Api yang mengakibatkan adanya pengungsian besar–besaran ke wilayah Bandung Selatan. Sebagian besar penduduk pindah ke wilayah yang lebih aman seperti Banjaran, Majalaya, Garut dan lain–lain. Dan tercapailah rencana strategi pendudukan sekutu, untuk menyiapkan Jawa Barat sebagai wilayah pangkalan yang sekaligus kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia. Setelah upaya perluasan kekuasaan ke wilayah barat dan timur berhasil dilaksanakan, sekutu berusaha menduduki Dayeuhkolot. Daerah ini memiliki nilai penting bagi sekutu dan Belanda karena memiliki sebuah bangunan bertingkat dua yang semula adalah gudang penyimpanan alat–alat listrik bagi wilayah Priangan sehingga gedung tersebut disebut gedung listrik. Oleh sekutu gudang ini dijadikan gudang penyimpanan senjata, mesiu, bahan peledak, dan perlengkapan militer lainnya. Mengenai gudang ini, Barisan Benteng Republik Indonesia wilayah Priangan memberi penjelasan bahwa :

“...kira – kira 200 m sebelah timur dari Jembatan Citarum, Dayeuh Kolot nampaklah sebuah bangunan bertingkat dua, terbuat daripada beton, yang dahulu dipergunakan sebagai gedung pusat penyimpanan alat – alat listrik daerah Priangan. Pada waktu yang akhir–akhir ini gedung itu dijelmakan menjadi benteng pertahanan musuh yang kokoh kuat. Dari peluru meriam dan mitraliur ke arah pertahanan pemuda - pemuda. Hal inilah yang menimbulkan amarahnya pemuda Bandung, keadaan gedung yang letaknya jelas menjulai itu mencolok...selain dari pada gedung itu, adalah pula sebuah beton yang letaknya tidak jauh dari gedung listrik tadi. Adapun letaknya di kampung Pesayuran dan di jaman Belanda dipergunakan sebagai tempat penyimpanan alat – alat perang”.(Ekadjati,1981:259) dalam Herry Stories.

Gudang ini menjadi tempat yang penting sebagai pertahanan terdepan menghancurkan pos – pos pertahanan para pejuang Indonesia di kawasan Bandung selatan serta mempermudah akses untuk menguasai keseluruhan kawasan Bandung Selatan. Didudukinya Dayeuh Kolot mengakibatkan lumpuhnya kegiatan roda pemerintahan, ekonomi dan pertahanan karena sarana dan prasarana banyak mengalami kerusakan barat. Semenjak banyak serangan dari sekutu, penduduk mengungsi ke Pamempeuk, Ciparay dan Banjaran. Dengan ditinggalkannya Dayeuhkolot oleh penduduk maka daerah ini sampai sekarang hanya memiliki sedikit penduduk yang benar–benar asli. Hal senada di ungkapkan oleh Bapak Sulaeman dalam pernyataan berikut ini :

“Sekarang mah nggak ada penduduk Dayeuh Kolot yang benar – benar dari dulu menetap disini. Kalaupun ada, paling itu cuma sedikit...da yang bapa tahu mereka pada ngungsi karena kondisi perang. Kondisi Dayeuh Kolot pada waktu itu sangat terancam, Inggris terus – menerus melancarkan serangan ke Dayeuh Kolot sehingga wargapun banyak yang meninggalkan rumahnya karena merasa tidak aman untuk tinggal di sana dengan kondisi yang semakin genting... Tidak ada kegiatan apapun yang dilakukan di sana, walaupun awalnya Dayeuh Kolot adalah pangkalan bagi pejuang kita...setelah kejadian itu, para pejuang kita memindahkan pangkalan ke Baleendah. Di sanalah para pejuang, baik itu laskar ataupun yang lainnya berupaya mengembalikan kembali daerah yang telah diduduki”. (wawancara tanggal 9 September 2008) dalam Herry Stories

Pada tanggal 13 April 1946 terjadi kontak senjata antara Sekutu (Inggris) dan Belanda dengan pejuang Indonesia selama enam jam dan telah menewaskan dua serdadu Belanda dan beberapa orang luka. Kontak senjata ini merupakan upaya merebut kembali Dayeuh Kolot yang merupakan bagian dari upaya untuk merebut kembali kota Bandung. Sementara itu, terjadi pemindahan kekuasaan militer dari tangan sekutu (Inggris) terhadap Belanda pada tanggal 15 April 1946 dibawah pimpinan Kolonel Mayer. Yang berarti semakin jelas bahwa pengembalian penjajahan atau kekuasaan ke tangan Belanda merupakan bentuk kerjasama antara sekutu dan Belanda. Dengan demikian, Belanda sepenuhnya kembali menjajah Republik Indonesia. Sehubungan dengan peristiwa pemindahan kekuasaan dari tangan Inggris ke tangan Belanda, A. H. Nasution (1978:189) dalam Herry Histories, mengungkapkan bahwa :

“...Bandung Selatan kemudian diserahkan oleh Divisi ke-23 kepada Belanda. Disinilah Brigade V di bawah pimpinan Kolonel Mayer ditugaskan. Dan buat pertama kali kita langsung berhadapan dengan Belanda di daerah Bandung. Terbukti mereka jauh lebih ganas dari tentara Inggris-India”.

Dalam kedudukannya di Bandung, Belanda melakukan patroli dengan aktif dan intensif. Apa lagi pada tanggal 1 Mei Belanda melakukan penyerangan terhadap pos pertahanan Indonesia yang berkedudukan di Dayeuh Kolot, sehingga terjadi kontak senjata. Dan tercatat 100 kali tembakan senjata barat ke daerah Dayeuh Kolot. Peristiwa tersebut menewaskan 5 orang warga sipil Indonesia.

Pada tanggal 27 Mei 1946, Inggris secara resmi meninggalkan kota Bandung. Dan tentara sekutu baru meninggalkan Bandung Selatan pada tanggal 29 Mei 1946 serta Kota Bandung diserahkan Inggris kepada tentara Belanda (NICA). Walaupun begitu, tembak menembak masih sering terjadi, tentara Belanda berulangkali berusaha menguasai jembatan Citarum, akan tetapi karena pertahanan rakyat yang sangat kuat, maka Belanda mengalami kegagalan. Dalam berita yang dimuat dalam surat kabar Berdjoeang dikemukakan bahwa, pada tanggal 29 Mei 1946 sekitar pukul 08.30, Belanda menerobos garis pertahanan rakyat di Buah Batu. Mereka menggunakan kendaraan sebanyak 27 truk yang di dahului oleh gerakan mata–mata yang menyamar sebagai tentara Indonesia. Dalam perjalanannya menuju Bandung Tenggara atau Sapan, pasukan Belanda melepaskan tembakan–tembakan sehingga terjadi pertempuran sampai pukul empat sore. Setelah itu, pasukan Belanda mengundurkan diri karena mereka tidak mampu menahan serangan balasan dari Barisan Rakyat. Dua orang tewas dan puluhan orang luka–luka. Pada sore itu juga Belanda melepaskan tembakan sebagai serangan balasan dari Belanda ke daerah Kulalet, sehingga terjadi lagi pertempuran. Belanda kerap kali melakukan penyerangan ke daerah Bandung Selatan yang menyebabkan kedudukan pejuang semakin terdesak.

Mohammad Toha merasa kesal dengan tindakan–tindakan Belanda, sehingga ia berniat untuk menghancurkan gudang mesiu itu. Oleh karena itu, ia menyampaikan rencananya tersebut kepada atasannya. Akan tetapi, rencananya tersebut tidak disetujui, sehingga ia memutuskan untuk pergi ke Garut. Namun karena tekadnya semakin kuat dan bulat untuk menghancurkan gudang mesiu, pada tanggal 8 Juli 1946, Mohammad Toha kembali ke Bandung dan keesokan harinya ia menyampaikan permohonannya kembali dan akhirnya diterima. Komandan MP3 Soetoko kemudian menindaklanjuti permohonan Mohammad Toha dengan mengadakan pertemuan dengan semua badan perjuangan yang bermarkas di Ciparay di rumah Bapak Utju, seorang anggota Pesindo yang kaya yang menjadikan rumahnya sebagai markas perjuangan pertahanan Priangan (MP3), yang sekarang bertempat di Jalan Empang. Adapun hasil pertemuan tersebut adalah :

Tanggal 10 Juli 1946 pusat pertahanan Belanda di Bandung Selatan harus dihancurkan dengan cara meledakan gudang mesiu yang terletak di Dayeuhkolot.

Dikerahkan perwakilan dari tiga kelaskaran untuk menjalankan penghancuran gudang mesiu Dayeuhkolot.

Berdasarkan hasil kesepakatan tersebut, diputuskan bahwa ketiga kesatuan itu adalah Barisan Benteng Republik Indonesia (BBRI), Hisbullah dan Barisan Pangeran Papak. Dari ketiga laskar tersebut, hanya sebelas orang yang diberi mandat untuk melaksanakan tugas menghancurkan gudang mesiu yang dibentuk dalam suatu formasi kecil, karena tidak mungkin dengan pasukan besar mengingat Dayeuhkolot adalah wilayah yang terbuka dan kedudukan musuh lebih strategis. Kesebelas orang ini pun berangkat dari Ciparay untuk melaksanakan tugas, walupun mereka tahu jika tugas yang mereka emban kali ini sangat berat. Namun dengan membulatkan tekad yang kuat disertai kemampuan mengenal medan yang baik serta dilengkapi dengan persenjataan berupa karaben dan pistol serta setiap anggota pasukan membawa dua atau tiga granat yang digantungkan di pinggang masing–masing.

Pada sore hari tanggal 9 Juli 1946, pasukan BPRI bertahan di Pasir Cina yang terletak di seberang kali Citarum bagian timur Dayeuh Kolot menerima tamu dari Ciparay yang terdiri dari dua regu pasukan, yang masing – masing dipimpin oleh Mohammad Toha dari BBRI dan Achmad dari BPRI - Pangeran Papak. Komandan S. Abbas kemudian melaporkan kedatangan dan tujuan pasukan Mohammad Toha kepada Komandan Batalyon BPRI, Muhamad Riva’i. Kemudian beliau menugaskan S. Abbas untuk mendampingi Mohammad Toha. Pada malam hari Mohammad Toha melakukan percakapan dengan S. Abbas, percakapan tersebut direkonstruksi oleh S. Abbas (1983:136) dalam Herry Stories, berikut :

“Bang, mana tahu entah ajal saya tiba, tolong sampaikan salam maaf saya terhadap ibu saya. Katakan bahwa saya dengan segala keikhlasan hati menjalankan tugas ini, demi kepentingan tanah air dan bangsa.” Demikian Toha memulai pembicaraan

“Insya Allah, pesanmu akan kusampaikan, kalau umurku panjang dan kalau kami bertemu. Tapi untuk tunanganmu ada pesan atau tidak ?” Tanya S. Abbas

Lalu Mohammad Toha menjawab, “Ya, untuk dia juga. Tapi bang, kami tidak akan menikah kalau kemerdekaan sepenuhnya belum tercapai.”

“Oh begitu ! Toha, kau yakin tugas ini akan sukses?”

“Ya, sepenuhnya aku yakin ! Gudang mesiu musuh itu pasti akan hancur lebur!”

Pasukan Mohammad Toha mendapat penjagaan dari pasukan BPRI. Pada pukul 00.30 malam, pasukan Mohammad Toha dengan penjagaan pasukan BPRI secara menyebar bergerak mencapai tempat penyebrangan Dayeuh Kolot yang letaknya dekat dengan gudang mesiu Belanda yang merupakan sasaran utama. Penyebrangan itu berjalan selamat, sementara BPRI bertahan di belakang desa Dayeuh Kolot. Dikabarkan 25 menit kemudian terdengar suara ranjau meledak bersamaan dengan suara tembak menembak antara pihak Belanda dengan pasukan Mohammad Toha. Kontak ini menyebabkan banyak korban dari pihak Mohammad Toha sehingga mereka kembali kecuali Mohammad Toha dan Muhamad Ramdan. Mohammad Toha sendiri tetap bertahan dengan kondisi luka parah di paha bahkan terus berjuang untuk masuk ke gudang mesiu.

Komandan Riva’i yang mendengar laporan bahwa Mohammad Toha tetap bertahan di sekitar gudang mesiu meski dalam keadaan terluka, lansung memerintah S. Abbas agar mengadakan serangan ke tentara Belanda dari arah yang berbeda untuk mengalihkan perhatian tentara Belanda dan melapangkan bagi Mohammad Toha untuk menghancurkan gudang mesiu. Dan perintah tersebut baru dijalankan pada pukul 09.00 pagi, dengan menghindar ke arah timur sekitar 100 m, pasukan S. Abbas melakukan serangan ke arah gudang mesiu, sehingga terjadi pertempuran antara kedua belah pihak. Dan sekitar pukul 12.30 terdengar suara dasyat yang mengejutkan seluruh warga kota, bahkan terdengar hingga 70 km dari pusat ledakan. Disadari atau tidak, peristiwa yang terjadi pada tanggal 10 Juli 1946 di Dayeuhkolot tersebut, telah berdampak serius terhadap seluruh kehidupan terutama aspek pertahanan dan keamanan pada masyarakat Bandung, khususnya Dayeuhkolot. Selain itu juga berdampak pada kondisi kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Terutama setelah peristiwa ini kegiatan ekonomi lumpuh total dan sawah–sawah terlantar karena tidak ada yang mengurus.

Menurut A.H Nasution, terdapat 1.100 ton mesiu yang meledak, sehingga mengakibatkan 18 orang meninggal dan lebih dari 50 orang menderita luka–luka serta dua kampung habis terbakar disamping bangunan–bangunan penting milik Belanda yang ikut terbakar. Di tempat penimbunan amunisi itu sendiri terjadi lubang yang luasnya sekitar 100 x 60 m. Ternyata setelah meledaknya gudang mesiu ini, bukannya menyerah malah membuat Belanda semakin geram dan melakukan penyerangan balik baik dari udara maupun dari darat, yang banyak menjatuhkan korban. Dan penyerangan ini dilakukan secara terus–menerus selama berhari–hari sehingga keadaan semakin tidak menentu.

3. Mohammad Toha, Mutiara di Selatan Bandung
Masyarakat Bandung tentu sudah tahu terminal, Kebon Kalapa dan terminal Abdul Muis yang dulunya merupakan terminal Mohammad Toha pada awal tahun 70-an. Ada pula jalan Beipas Soekarno – Hatta yang disebut dengan jalan Mohammad Toha, serta pasar di belakang ITC Kebon Kelapa, pasar ini juga diberi nama Mohammad Toha, malah ada juga SD Mohammad Toha. Siapa sebenarnya Mohammad Toha? Cukup sulit mencari orang yang tahu tentang perjuangannya, apalagi riwayat hidup Mohammad Toha. Hanya bersifat lisan saja dari mulut ke mulut yang berasal dari orang tua, yang dulunya juga ikut menjadi pejuang angkatan 45.

Beliau pernah mengalami perang dengan tentara Inggris Ghurka, tentara Jepang, bahkan dengan tentara Belanda KNIL, tentara Belanda APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) yang merupakan pimpinan Kapten Westerling. Setiap bangsa–bangsa yang menjajah Indonesia, perlahan–lahan memasuki wilayah Bandung. Namun mereka mendapat perlawanan dari organisasi–organisasi pemuda pejuang BKR (Badan Keamanan Rakyat) yang kemudian menjadi TNI.

Ketika terjadi peristiwa Bandung Lautan Api yang mengakibatkan adanya pengungsian besar–besaran ke wilayah Bandung Selatan. Sebagian besar penduduk pindah ke wilayah yang lebih aman seperti Banjaran, Majalaya, Garut dan lain–lain. Dan tercapailah rencana strategi pendudukan sekutu, untuk menyiapkan Jawa Barat sebagai wilayah pangkalan yang sekaligus kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia. Setelah upaya perluasan kekuasaan ke wilayah barat dan timur berhasil dilaksanakan, sekutu berusaha menduduki Dayeuh Kolot. Daerah ini memiliki nilai penting bagi sekutu (Inggris) dan Belanda karena memiliki sebuah bangunan bertingkat dua yang semula adalah gudang penyimpanan alat–alat listrik bagi wilayah Priangan sehingga gedung tersebut disebut gedung listrik.

Pada suatu bangunan di jalan Tamblong, yang sekarang dijadikan Museum Mandala Wangsit Siliwangi. Antara tahun 1945-1946, dijadikan markas tentara Belanda. Dalam rapat komando mereka memutuskan, Bandung Selatan harus diratakan dengan tanah. Jelasnya harus dihancurkan. Baik oleh tentara udara maupun oleh tentara darat Belanda. Alasannya, karena ada tentara Belanda yang ditembak di Ciateul. Hasil penyelidikan PID (intel) tentara Belanda, diketahui bahwa yang menembak adalah salah seorang organisasi pejuang dari Bandung Selatan. Ditentukanlah, bahwa pada hari Jumat akan diadakan penyerangan besar-besaran, untuk menghancurkan daerah Bandung Selatan seperti Dayeuhkolot, Majalaya, Ciparay, Banjaran, Soreang, dan Ciwidey, sebab menurut mereka daerah-daerah tersebut, telah banyak digunakan persembunyian oleh para pejuang kemerdekaan. Bahkan di sana terdapat pejuang wanita, yang disebut LASWI atau Laskar Wanita Indonesia yang bermarkas di Ciparay. Sekarang LASWI telah dijadikan nama jalan antara perempatan Talagabodas dan Jalan Ahmad Yani. Dari timur, dimulai bunderan jalan Elang sampai ke jalan Ahmad Yani. Ada jalan Peta (Pembela tanah Air), jalan BKR, jalan Pelajar Pejuang, dan jalan LASWI. Pada saat itu Belanda, memiliki gudang senjata yang disebut dengan nama “Gedong Peteng”, yang terletak di Dayeuhkolot. Persis di pinggir jalan arah Bandung, sebelah utara Sungai Citarum. Oleh sekutu gudang ini dijadikan gudang penyimpanan bahan peledak, perlengkapan militer serta sebagai tempat penyimpanan senjata, dan mesiu yang meliputi pistol, sten, bren, granat, miltaliur, kanon, hingga bom, banyaknya hingga 8 megaton. Padahal dengan setengah megaton pun sudah mampu menghancurkan sebuah kota saat itu.

Gudang ini menjadi tempat yang penting sebagai pertahanan terdepan menghancurkan pos–pos pertahanan para pejuang Indonesia di kawasan Bandung selatan serta mempermudah akses untuk menguasai keseluruhan kawasan Bandung Selatan. Didudukinya Dayeuh Kolot mengakibatkan lumpuhnya kegiatan roda pemerintahan, ekonomi dan pertahanan karena sarana dan prasarana banyak mengalami kerusakan barat. Semenjak banyak serangan dari sekutu, penduduk mengungsi ke Pamempeuk, Ciparay, dan Banjaran.

Pada tanggal 13 April 1946 terjadi kontak senjata antara Sekutu (Inggris) dan Belanda dengan pejuang Indonesia selama enam jam dan telah menewaskan dua serdadu Belanda dan beberapa orang luka. Kontak senjata ini merupakan upaya merebut kembali Dayeuh Kolot yang merupakan bagian dari upaya untuk merebut kembali kota Bandung. Sementara itu, terjadi pemindahan kekuasaan militer dari tangan sekutu (Inggris) terhadap Belanda pada tanggal 15 April 1946 dibawah pimpinan Kolonel Mayer. Yang berarti Belanda resmi sepenuhnya kembali menjajah Indonesia. Dalam kedudukannya di Bandung, Belanda melakukan patroli dengan aktif dan intensif. Apa lagi pada tanggal 1 Mei Belanda melakukan penyerangan terhadap pos pertahanan Indonesia yang berkedudukan di Dayeuh Kolot, sehingga terjadi kontak senjata. Dan tercatat 100 kali tembakan senjata barat ke daerah Dayeuh Kolot. Peristiwa tersebut menewaskan 5 orang warga sipil Indonesia.

Pada tanggal 29 Mei 1946 Inggris resmi meninggalkan kota Bandung dan diserahkan kepada tentara Belanda (NICA). Walaupun begitu, tembak menembak masih sering terjadi, tentara Belanda berulangkali berusaha menguasai jembatan Citarum, akan tetapi karena pertahanan rakyat yang sangat kuat, maka Belanda mengalami kegagalan. Dalam berita yang dimuat dalam surat kabar Berdjoeang dikemukakan bahwa, pada tanggal 29 Mei 1946 sekitar pukul 08.30, Belanda menerobos garis pertahanan rakyat di Buah Batu. Mereka menggunakan kendaraan sebanyak 27 truk yang di dahului oleh gerakan mata–mata yang menyamar sebagai tentara Indonesia. Dalam perjalanannya menuju Bandung Tenggara atau Sapan, pasukan Belanda melepaskan tembakan–tembakan sehingga terjadi pertempuran sampai pukul empat sore. Setelah itu, pasukan Belanda mengundurkan diri karena mereka tidak mampu menahan serangan balasan dari Barisan Rakyat. Dua orang tewas dan puluhan orang luka–luka. Pada sore itu juga Belanda melepaskan tembakan sebagai serangan balasan dari Belanda ke daerah Kulalet, sehingga terjadi lagi pertempuran. Belanda kerap kali melakukan penyerangan ke daerah Bandung Selatan yang menyebabkan kedudukan pejuang semakin terdesak.

Walaupun hanya menurut seorang pelayan (jongos) yang juga menjadi juru masak di markas Belanda, ia memberikan sebuah informasi jika penghancuran Bandung Selatan akan menggunakan senjata dan mesiu yang ada di gudang senjata Dayeuhkolot. Sumber intelejen ini berhasil didapatkan oleh juru sandi pasukan BKR yang dipimpin oleh Letnan Mohammad Toha. Pada saat itu, usia Mohammad Toha baru sembilan belas tahun, namun dengan penuh keberanian dan telah mendapatkan 10 senjata belanda, karena strategi serangan yang tepat, ia disegani, dihormati, dan dihargai oleh teman-temannya dan anak buahnya. Pasukan BBRI memiliki 10 regu, yang salah satu regunya disebut regu “istimewa”, yang dipimpin oleh Mohammad Ramdan. Antara Toha dan Ramdan berteman dengan sangat dekat. Ramdan berasal dari Ciparay, yang orang tuanyaa bertempat tinggal di belakang pasar Ciparay sekarang. Yang berbeda dari perawakan kedua tokoh BBRI yang begitu di segani ini, jika Toha memiliki perawakan tinggi, sedikit kurus, semampai, cakep, warna kulitnya kuning, tatapan matanya tajam, dan tidak banyak bicara. Sedangkan Ramdan memiliki perawakan sebaliknya, yakni bertubuh pendek berisi dan dengan warna kulitnya hitam santen ia sangat suka bercanda.

Cerita lain yang diterima oleh BBRI, bahwa sebenarnya yang membunuh tentara Belanda itu adalah salah seorang anggota LASWI. Mungkin tentara yang sedang jaga, iseng, mencandai wanita yang sedang berdagang gorengan. Padahal wanita tersebut adalah anggota laskar wanita yang sedang menyamar, dengan tujuan untuk mencuri senjata. Senjata tentara Belanda pun hilang dalam seketika setelah mereka terbunuh. Toha dan Ramdan juga sering menyamar menjadi tukang cendol atau menjadi pengemis, dan pada saat tentara Belanda lengah, mereka langsung bergegas mencuri senjata beserta pelurunya. Sesempat mungkin, apa saja yang dapat diambil mereka ambil, namun mereka tidak mau mengambil barang lainnya, kecuali senjata dan peluru. Perilaku seperti itu, memerlukan keberanian yang tinggi, sebab apabila diketahui oleh sekutu, akibatnya akan sangat fatal jika tidak disiksa maka akan terkena hukum mati.

Selesai sholat dzuhur, di mushalla yang ada di Manggahang, Toha berbisik kepada Ramdan: Dan, “katanya”, Jumat lusa, saat subuh, “munding bule rek ngamuk.” Katanya, kekuatannya satu batalion infantri. Didukung empat pesawat, dua mau menerjunkan pasukan baret hijau, sedangkan dua pesawat lagi membom. Yang menjadi sasaran utama ialah yang dianggap daerah kantong, Bandung Selatan. Mungkin Ciparay, Soreang atau Majalaya. “Amunisi tetap dari gudang senjata Dayeuhkolot?” Tidak dari Cikoneng?”, tanya Ramdan.

“Ya, tidak ada lagi jalan, rencana 1 harus dilaksanakan,” jawab Toha.

“Oha, bagaimana sudah menemui Aki?” Tanya Ramdan.

“Minggu kemarin, baru saja saya pulang dari Garut, bertemu dan melepas kerinduan bersama Ema, Adik, Paman, kakek, nenek, bahkan sempat berfoto bersama di toko potret si Asiong yang dekat stasiun. Kemudian naik kereta api sampai ke Kadungora, dilanjutkan dengan berjalan kaki melewati jalan Cijapati. Sampai di Majalaya pukul empat sore.”

“Katanya, adik Oha mau menikah? Sayang ya, udah cantik, eh diambil orang lain” Ramdan bercanda: “Mengapa tidak mau sama saya ya?” Katanya mengulang. Toha hanya tersenyum, tidak menjawab.

“Rekan–rekan dan yang lain, biar diberitahu nanti saja pada waktunya?” Kata Ramdan. Maksudnya, anggota regunya sementara tidak akan diberitahu rencana ramdan dan Toha, karena ditakutkan rahasia ini bocor sebelum waktunya.

“Baik, begitu saja. Jawab Toha singkat. Setelah keduanya selesai mengganti pakaian dengan menggunakan celana pendek dan menyelendangkan kain sarung di bahunya sambil membawa pancingan. Keduanya berjalan menuju Citarum, hendak memancing. Sesampainya disana, mereka langsung melemparkan pancingannya, tapi anehnya tidak terus berjongkok, namun menunggu pancingannya dahulu. Keduanya dengan pelan berjalan menuju hilir, memegang pancingan, mengikuti pancingan yang terbawa arus air Sungai Citarum. Ternyata yang terlihat hanyalah permukaan air yang tenang, namun didalamnya arus air sangat kuat.

Saat sampai di suatu tempat, Toha berhenti, lalu berjongkok seperti sedang memancing, diikuti oleh Ramdan serta matanya melihat permukaan air. Toha berkata perlahan: “Dan, itu hong airnya.” Menunjukkan dengan dagunya.

“Benar,” Ramdan menjawab singkat.

“Nah, itu yang di sudut tembok, ada menara lampu. Di bawah lampunya, ada senjata mesin.” Kata Toha, kemudian.

“Itu yang ditutupi deklit?” Jawab Ramdan

“Ya, semua ada 3 menara lampu. Mari…. “Toha mengajak Ramdan kembali ke hulu. Sebab terlihat, di atas tembok gudang senjata, ada seseorang yang terlihat. Mungkin tentara Belanda, yang sedang bertugas jaga. Sampai pada jembatan besi, keduanya naik dan berjalalan menyusuri selokan kecil dan pematang sawah menuju kampung Manggahang. Mereka sengaja tidak melewati jalan raya karena takut ada yang curiga.

Sekembalinya di mushalla, pancingan dilempar ke kolong, kemudian mereka mengambil ransel dan kemudian pergi ke Cangkring. Saat Magrib mereka berhenti di Ciheulang dan selesai shalat Isa, keduanya masuk ke rumah Undang, yakni salah seorang anggota regu Ramdan yang sangat dipercaya dan diandalkan. Ketiganya berunding di dalam kamar, berbisik-bisik dengan diterangi oleh lampu lentera. Kemudian Toha membuka kertas dan mengambil pinsil besar,berwarna merah biru, yang biasa digunakan oleh tukang kayu untuk menggaris papan. Selanjutnya, Sungai Citarum dan bangunan gudang senjata digambar dan membuat garis tanda panah. Mereka berbisik-bisik dan saling bertatapan, tanpa suara ketiganya keluar dari kamar ke tengah rumah. Toha tiduran di atas tikar dan kepalanya diganjal bantal. Sedangkan Ramdan dan Undang pun sama-sama tiduran di tengah rumah sembari mendekap senapan. Ternyata senjata Ramdan dan pistolnya Toha, disembunyikan di rumahnya Undang, pada saat sebelum memancing di Citarum tadi. Bukan senjata otomatis seperti sekarang ini, melainkan karaben sisa Jepang.

Hari Kamis, di markas BBRI terlihat ada kesibukan berbagai perilaku para pejuang. Ada yang membersihkan senjata, ada yang mengasah pedang, ada yang melilitkan kain merah di pangkal bambu runcing. Dan Toha dengan beberapa orang komandan regu, sedang berunding di meja. Jam sebelas rapat baru selesai. Terasa oleh anggota pasukan ada yang aneh, terutama oleh sikap Toha yang berbeda dari biasanya. Walaupun bukan orang sombong yang sedikit bicara dengan roman wajahnya yang tidak penah terlihat berubah, dan kalau pun dia marah, ia tidak pernah memperlihatkannnya, karena selalu dibarengi dengan senyuman. Saat itu tidak seperti biasanya, karena ia berani bergurau dengan anak buahnya, bahkan ia meminta rokok segala, sebab tidak biasanya meminta rokok, karena kebiasannya ia yang suka membagi rokok. Pada saat makan, Toha tidak makan di kamar yang ada di markas, tetapi bersama-sama, bahkan ia berani meminta sambal kepada Tatang. Selesai makan, sambil menunggu saatnya sembahyang dhuhur, Toha bercerita tentang keadaan keluarganya yang diungsikan ke Garut. Bahkan, katanya: “Senang bisa melihat si Amoy yang cantik anaknya si Asiong tukang potret.” Pokoknya, pada hari itu Toha bersenda gurau, apalagi diladeni dengan gurauan Ramdan. Bahkan Si Uso menari dan diikuti dengan tepukan tangan teman-temannya, sambil menyanyi lagu perjuangan :

Cooolenak, kueh dangdeur digulaan,
Awas bom batok, awas bom batok,
Rebu-rebu budak montok,
Leumpangna dicentok-centok,
Sieun nincak taikotok.
Hallow-hallow Bandung,
Ibukota periyangan,
Hallow-hallow Bandung,

Kota kenang-kenangan,
Sudah lama beta tidak berjumpa dengan kau,
Sekarang telah menjadi lautan api,
mari bung rebut kembali,
cooolenak….., prok prok prok …
Oh beginilah nasibnya soldadu,
Diosol-osol dan diadu-adu,
Tapi biar tidak apa asal untuk Indonesia,
Pasukan Siliwangi,
Saeutik ge mahi ….. prok prok prok.

Akan tetapi tidak seorangpun anggota BBRI yang berani bertanya, apa sebabnya sikap Toha seperti itu. Yang ada mereka senang, karena mereka semua bisa selalu dekat dengan Toha. Sekitar pukul lima sore, Toha mengadakan briefing (memberi instruksi dan informasi penting), dengan semua komandan regu. Kemudian, menjelaskan rencana strategi pertahanan, untuk menghadapi serangan musuh pada esok subuh.

“Jadi, malam ini semua harus tidur, kecuali yang bertugas jaga. Pukul 3 subuh hari diwajibkan menempatkan diri di pos masing-masing, yang nantinya ditentukan oleh komandan regu. Merdeka!” menutup instruksinya sembari mengacungkan tangan yang dikepalkan. Yang dijawab oleh semuanya dengan semangat yang menggelora. Merdeka!” katanya.

Tengah malam, saat semua anggota laskar tidur, Toha bersama Ramdan beserta dengan regunya yang berjumlah 10 orang termasuk Undang keluar dari markas berjalan mengikuti selokan, memotong jalan pesawahan yang kebetulan pada saat itu gelap. Setiap ada cahaya kilat, mereka berjongkok, bersembunyi di bawah pohon pisang, hiris atau kayu hujan. Tepat di jembatan besi Dayeuhkolot, menyebrang jalan, kemudian menuju pinggir sungai Citarum. Toha berposisi di depan dengan jarak sekitar 100 meter, diikuti oleh Ramdan dengan regunya. Berjalan di kegelapan dan tidak terdengar sepatah katapun, hanya suara angin dan air yang bergemuruh. Sampai pada tempat yang sudah diberi tanda pada gambar di rumahnya Undang tadi, pasukan berhenti. Ramdan memasang steling dan menempatkan 2 orang anak buahnya masing-masing. Ada yang di tempatkan di tebing, pinggir air dibawah pohon kirinyuh, dan seterusnya. Instruksinya, tidak boleh merokok, sebab asap dan bercak api rokok ditakutkan dapat terlihat musuh. Untuk sementara waktu tidak ada suara seorang pun, berdiam dan bersembunyi, diselimuti sepinya malam. Dan saat terdengar ada suara burung sit uncuing, kode dari Toha pun mulai diluncurkan kepada Ramdan. Saat itu pula Ramdan memberi kode dengan suara burung tekukur. Pada saat itu yang berada di tebing, harus memulai menembak yang diarahkan ke menarat lampu sorot. Mendengar sekali tembakan, lampu sorot terang dengan diikuti dengan suara miltaliur. Terdengar suara anak buah Ramdan yang tertembak di bagian dadanya, dan kemudian terjungkal ke sungai Citarum. Saat saling serang dengan tembakan, Toha berenang menyerong untuk menyebrang Citarum, lalu masuk hong air yang besarnya sebesar perut kerbau. Perhitungan Toha tidak salah, ujung hong tersebut tembus ke kamar mandi tentara Belanda di dalam markas. Akhirnya, Toha masuk ke kamar mandi tersebut walau sedikit sulit. Kemudian Toha mencari ruangan penyimpanan bom yang katanya dikubur di tanah yang akhirnya dapat ditemukan. Pada saat Toha mendekati pintu besi, terdengar suara sepatu jaga. Tidak ada tempat persembunyian, terpaksa Toha masuk drum tempat sampah. Pada waktu Toha masuk ke drum itu, dari dalam drum ada yang loncat, membuat Toha terhenyak, yang ternyata kucing. Mendengar bunyi suara drum, tentara jaga mendekatinya, namun tidak lanjut, karena terdengar meong suara kucing. Tentara Belandapun batal mendekatinya, hanya berkata “Ow…” Saat itu, di luar pertempuran tidak seimbang, Ramdan tertembak. Ia masih sempat menyobek bajunya yang putih tua. Kemudian menulis dengan darah dan diberikan kepada Undang untuk diantarkan kepada kakaknya. Setelah menerima sobekan baju yang bertuliskan darah tersebut Undang berlari walaupun tangannya tertembak. Sesampainya di Ciheulang, Undang pun jatuh pingsan. Namun kain yang bertuliskan darah itu sampai juga kepada kakaknya Ramdan, dan Undang pun jatuh tersungkur kemudian ia meeninggal dunia (gugur).

Setelah tentara Belanda kembali, Toha segera kembali menghampiri pintu besi penyimpanan bom. Saat itu, di dalam ada seorang tentara Belanda yang hendak keluar dan terjadilah perkelahian. Toha segera mengambil pistol dan memukulkannya kekepala tentara Belanda tersebut hingga pingsan. Toha segera mencari kunci dari saku tentara Belanda tersebut. Setalah ditemukan, pintu cepat dibuka. Terlihat di dalam ruangan tersebut bom berjejer, banyaknya tidak terhitung. Toha pun tertegun, terus mengangkat kedua belah tangannya, berdoa kepada yang Mahakuasa, memohon ampunan kepada ibunya, dan kemudian berkata keras untuk meneruskan perjuangan kepada rekan-rekannya. Pada saat Toha sedang berdoa di dalam gudang bom, tentara yang tadi pingsan itu, tersadar kembali dan bangun serta ia hendak menghampiri Toha namun sayangnya ia tidak bisa membuka pintunya. Kemudian ia berlari menuju komandannya untuk melaporkan jika ada seseorang di dalam gudang bom. Akan tetapi, tidak sempat, karena Toha pada waktu itu membuka pintu (kunci) granat, yang dilemparkan ke arah tumbukan bom. Tak ayal, gudang senjata pun hancur di malam jumat itu, hingga berubah menjadi telaga, karena air dari sungai Citarum masuk ke bekas ledakan. Akhirnya tentara Belanda tidak jadi menghancurkan Bandung Selatan. Terbayang hancurnya tubuh Mohammad Toha, mungkin telah menjadi air. Maka dulu disinilah terdapat tugu yang berada di tengah telaga, namun sekarang ini sebagian sudah dijadikan lahan kantor dan markas Kujang seksi Zeni Tempur (Zipur). Disini terdapat tulisan: “Di sini Toha dan kawan-kawan beristirahat.” Ada pula patung Toha, yang didirikan di lahan yang sekarang digunakan sebagai terminal Dayeuhkolot. Namun sayang jarang dipelihara, sampai – sampai disekeliling patung terdapat sampah berserakan.Seperti itukah sikap untuk seorang Pahlawan Toha?,”kata Abah Didi”. Peristiwa ini juga telah diabadikan dalam bentuk film berjudul “Pahlawan dari Bandung Selatan” dan nama jalan “Moh. Toha dan Muh. Ramdan” yang menghubungkan kota Bandung dan Dayeuh Kolot.

Ada salah seorang seniman yang telah menciptakan sebuah lagu untuk mengingat serta mengenang Mohammad Toha yang liriknya seperti berikut:

Getih suci nyiram bumi
Tulang setraa mulang lemah
Babakti nyungkem Pertiwi
Cikal bugang putra bangsa
Nyatana Pahlawan Toha
Pahlawan Bandung Selatan
Patriot ti Dayeuh Kolot
Tugu di wangun ngajadi ciri
Tarate nu mangkak ligar di empang
Jadi ciri gugurna pahlawan Toha

Di samping itu, mereka pantas mendapat sebuah gelar “Mutiara di Selatan Bandung”, sebagaimana sebuah mutiara yang memiliki nilai tinggi serta berharga di mata semua orang. Begitu pula Mohammad Toha dan Muhamad Ramdan, mereka merupakan pejuang muda yang memiliki jiwa yang tulus, ikhlas, jujur, berjiwa besar serta rela mengorbankan nyawanya bersamaan dengan ledakan bom yang ia ledakan untuk menghancurkan amunisi dan senjata serta demi menyelamatkan rakyat. Pengorbanannya layak disepadankan dengan mutiara yang memiliki nilai murni dan bersih. Kematiannya bahkan menjadi mutiara yang menakjubkan bagi masyarakat Selatan Bandung.

D. Kesimpulan
1
. Kesimpulan
Setelah penulis membaca dari beberapa narasumber atau buku, maka kesimpulannya bahwa hingga kini masih menjadi permasalahan jika Mohammad Toha belum diresmikan oleh Pemerintah Indonesia sebagai Pahlawan Nasional. Dimana jelas sudah Mohammad Toha merupakan pahlawan atau seorang tokoh yang berjiwa berani, rela mengorbankan nyawanya demi memerdekakan Indonesia tepatnya daerah Bandung Selatan. Dengan meledakan bom atas tujuan untuk mengahancurkan gudang senjata tentara Belanda agar kekuatan tentara Belanda melemah serta dapat melenyapkan tentara sekutu demi keselamatan Bandung selatan. Hingga kini sejarah ini sudah melegenda dengan bukti adanya tugu di tengah telaga, yang menjadi bentuk diabadikannya peristiwa ini. Dan kini Mohammad Toha beserta Mohammad Ramdan telah bersemayam dengan tenang di tempat tersebut dengan membawa kemerdekaan. Dan peristiwa meledaknya gudang mesiu Dayeuh Kolot (1946) ini adalah bukti dari bentuk kemarahan sekelompok orang terhadap kedudukan Belanda di Dayeuh Kolot yang selalu mengintimidasi dan menyerang daerah di kawasan Bandung Selatan. Tindakan peledakan gudang mesiu ini merupakan tindakan jawaban para pemuda Bandung Selatan yang menggambarkan semangat patriotik karena seperti dikemukakan diatas bahwa sebagai cara yang dapat diambil untuk menghancurkan Belanda adalah menghancurkan pusat pertahanannya yaitu di Dayeuh Kolot. Semangat patriotik inilah yang patut dibanggakan dalam perkembangan sejarah Kabupaten Bandung pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.

2. Saran
Berdasarkan hasil membaca, maka izinkanlah penulis menyampaikan saran–saran, sebagai beriktu :

Hendaknya sejarah diperkenalkan kepada seluruh masyarakat di Indonesia, karena masih banyak masyarakat yang belum benar – benar mengerti serta memahami arti penting sejarah.

Setidaknya untuk mereka yang mengecam pendidikan, sejarah tidak hanya diberikan secara teori dan materi saja, akan tetapi hendaknya secara bukti dan faktanya juga.

Hendaknya Mohammad Toha dapat segera diresmikan sebagai pahlawan Nasional oleh Pemerintahan Republik Indonesia. Bukankah negeri ini menyatakan “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya”. Dan bagi pihak yang terkait jangan saling melemparkan tanggung jawab serta jangan sampai urusan birokrasi menghalangi upaya kita menghargai para pahlawan bangsa tersebut.

Daftar Pustaka
Badrika, I Wayan.2006. Sejarah.untuk SMA Kelas X, Jakarta:Erlangga

Faturohman, Taufik,dkk., 2006. Pamager Bahasa XI, Bandung, Penerbit: Geger Sunten

http://www.google.com

Rosidi, Ajip (Pemred). 2000. Ensiklopedi Sunda:Alam, Manusia, dan Budaya, termasuk Budaya Cirebon dan Betawi, Bandung: Pustaka Jaya

Stollen, Herry De. 2009. Dayeuh Kolot Stories,06:41

Sumber :
Makalah disampaikan pada Final Lomba “Penulisan dan Diskusi Kesejarahan” diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung. Bersamaan dengan Pekan Budaya Seni dan Film yang dilaksanakan pada tanggal 20 Juni 2009 di Keraton Kasepuhan Cirebon.