Keberadaan Musium Sudirman di Magelang barangkali sedikit mengundang tanya. Namun sesungguhnya hal tersebut tidak lepas daripada sejarah perkembangan tentara kita di masa revolusi. Bahkan jauh di masa awal pemerintahan kolonial Belanda, Magelang sudah menjadi padhepokan “candradimuka” bagi calon tentara. Magelang adalah kota terakhir perjuangan Pangsar Sudirman, setelah pengembaraan gerilyanya di seputaran Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur. Paska Agresi Militer Belanda II pada tahun 1949, Sudirman yang kemana-mana ditandu karena sakit paru-paru akut bersedia dirawat di Magelang. Dan memang kemudian atas kehendak-Nya jua ia menghembuskan nafasnya pada bulan Januari 1950 di Bumi Tidar. Konon rumah yang saat ini menjadi museum adalah rumah tempat almarhum wafat.
Musium Sudirman terdiri dua bangunan. Bangunan utama di bagian depan terdiri atas beberapa ruang yang berisi diorama jejak perjuangan Sudirman. Ruang terdepan berisi seperangkat meja tamu yang dilatarbelakangi riwayat hidup tokoh Hizbul Wathoni tersebut. Di sebelah kiri terdapat ruang kantor yang berselebahan dengan ruang berisi tandu gotongan dari kursi yang dipergunakan untuk bergerilya. Ruang-ruang selanjutnya kebanyakan berisi lukisan ataupun foto-foto yang bercerita tentang perjuangan TNI maupun gambaran Magelang tempo dulu.
Bangunan kedua terletak di bagian belakang. Sebagian diantaranya masih dalam tahap penyempurnaan, terdiri atas perpustakaan, beberapa wisma tamu, dan kamar mandi. Apabila nantinya selesai dilengkapi, barangkali akan menambah semarak suasana musium yang nampak lengang dari aktivitas kunjungan.
Siapa tidak mengenal nama Sudirman, Sang Panglima Besar TNI. Semenjak kelas satu sekolah dasar barangkali kita senantiasa didongengi tekada dan semangat jiwa patriotisme tokoh tentara ini. Sudirman dilahirkan pada hari Senin Pon, tanggal 24 Januari 1910 di Purbalingga, Banyumas. Beliau adalah putra dari Bapak Karsidi Pawiradji dan simbok Siyem. Karena keterbatasan ekonomi, ia kemudian diambil sebagai anak angkat oleh R. Cokrosunaryo, Camat Rembang, Purbalingga. Atas bantuan orang tua angkatnya itulah Sudirman kecil bisa mengenyam dunia pendidikan.
Sudirman mengawali masa sekolahnya di HIS Gubernemen Porwokerto hingga mencapai kelas VII. Ia kemudian meneruskannya di pawiyatan Taman Siswa dan Wiworotomo karena kepindahannya ke Cilacap hingga lulus. Pendidikan MULO dijalaninya di Wiworotomo. Sudah semenjak kecil, Sudirman menyukai petualangan. Ia memang termasuk siswa yang aktif dalam kegiatan di Hizbul Wathoni, sebuah organisasi kepanduan di bawah Muhammadiyah. Selepas sekolah ia kemudian mengabdikan diri sebagai guru di HIS Muhammadiyah Cilacap. Bahkan ia pernah menjabat sebagai kepala sekolahnya.
Kedatangan Jepang di tanah air menyebabkan Sudirman ikut memanggul senjata bergabung dengan Pembela Tanah Air(PETA). Bahkan ia diangkat sebagai Daidanco PETA di Kroya. Di akhir pendudukan Jepang, ia diasingkan ke Bogor.
Setelah proklamasi Kemerdekaan ia diangkat sebagai Kepala BKR Karesidenan Banyumas. Pada 5 Oktober 1945 diangkat sebagai Kepala TKR Banyumas Divisi V Porwokerto dengan pangkat Kolonel. Ia kemudian terpilih menjadi Pangsar TKR pada 12 November 1945 berpangkat Jenderal peletak dasar-dasar moral, mental, serta kepemimpinan dan kepribadian TNI.
Pertempuran heroik yang pernah dipimpinnya diantaranya adalah Pertempuran Ambarawa, dan Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Dalam kles kedua tersebut, ia memilih memimpin gerilya dengan keluar masuk hutan, turun naik gunung dan jurang daripada menyerah kepada Belanda, meskipun dalam keadaan sakit parah. Ia pernah dirawat di RS Panti Rapih, sebelum kemudian beristirahat di Mgelang.
Sudirman meninggalkan enam orang putra putri yang masih kecil saat itu. Keenam putra-putri beliau adalah Achmad Tidarwono, Didi Pratiastuti, Didi Suciastuti, Taufik Efendi, Didi Prijiati, dan Titi Wahyu Setyaningsih.
Sepinya pengunjung di musium ini, bisa jadi karena ketidaktahuan masyarakat, atau memang kesadaran masyarakat yang rendah akan penghargaan terhadap sejarah bangsanya. Dari sisi letak, sebenarnya Musium Sudirman sangat strategis. Tepat di depannya terletak Taman Badaan yang senantiasa ramai dikunjungi para orang tua yang angon anaknya. Hal tersebut sebenarnya dapat dimanfaatkan secara efektif untuk menarik minat anak-anak agar mengunjungi musium. Lebih kondusif lagi jika orang tua mempunyai kesadaran tinggi untuk memperkenalkan pahlawan negerinya kepada anak sejak usia dini.
Nampaknya menjadi kewajiban pemerintah daerah yang didukung penuh oleh segenap masyarakat untuk menanamkan kecintaan kepada tanah airnya. Dan bukankah hanya bangsa yang mau menghargai jasa para pahlawannya akan menjadi bangsa besar?
Sumber : http://pendekartidar.org