Konvensi Adat Serdang Gundah Jatidiri

Oleh : Dr. Wan Syaifuddin MA

Pada Juni 2007, Tuanku Luckman Sinar Basharshah II, (Sultan Serdang), Tengku Othman Hamdi Delikhan, Al-Haj (Raja Muda Deli), Tuanku Kamal Aberham Djalil Rahmadsyah Sp.PD. (Sultan Asahan) dan Tuanku Drs Azwar Azis Abd. Djalil Rahmadsyah (Sultan Langkat) serta Tuanku Iskandar Badaruddin (Sultan Palembang) berada di Istana Demang Lebar Daun Kesultanan Palembang Sumatera Selatan serta beberapa ulma dan cerdik pandai berada di dalam kemegahan permadani istana Sultan Palembang dan aura simbol historis Demang Lebar Daun, berdialog tentang jati diri Melayu sebagai pemersatu baik Melayu sebagai bangsa maupun etnik.

Dialog Sultan dalam suasana penuh keakaraban untuk mengukuhkan beberapa ide dan gagasan yang bernas dari masing-masing Sultan dan cerdik pandai. Sultan Serdang, menyampaikan gagasan agar aspek-aspek budaya dipayungi hukum. Oleh karena itu perlunya diwujudkan hak cipta kepada aspek-aspek budaya. Gerakan ini menurut Sultan, praktisnya dilakukan oleh wilayah kesatuan hukum adat negeri atau dalam konteks kini Pemerintahan Kota dan Kabupaten. Sultan Deli pula menyatakan perlu dijaga marwah simbol-simbol adat, seperti gelar kekerabatan dan adat.

Pada kenyataannya, kini penganugerahan gelar tidak lagi terkesan layas serta semata-mata mengikut rendong suasana politik. Menurut beliau penganugerahannya melalui seleksi yang holistik dan komprehensif dengan keadaan. Manakala Sultan Asahan dan Sultan Langkat mempunyai gagasan yang sama, lebih menekankan agar membangun pijakan atau paradigma yang jelas dan terarah tentang budaya agar terwujud kebijakan yang akurat dan bermanfaat, khususnya demi kesatuan Melayu.

Ide dan pandangan Sultan Palembang lebih dominan berkisar dalam menyatukan kemelayuan di Sumatera. Apalagi dalam merajut pemimpin yang berbudi dan adil. Tuanku Iskandar Badaruddin menyatakan bahwa pemimpin yang berbudi dan adil adalah tidak dzalim terhadap masyarakatnya. Komitmen dengan janji yang telah dinyatakan dan harus mempertimbangkan aspirasi dari setiap lapisan masyarakat. Hal ini merupakan pengejawantahan dari makna ungkapan Melayu:

Yang raja dengan daulatnya
Yang datuk dengan kuasanya
Yang penghulu dengan hulunya
Yang alim ulama berkitabbullah
Yang dubalang kuat kuasa
Yang cerdik dengan pandainya.

Pandangan-pandangan Sultan di atas menggambarkan adanya fenomena hilangnya adat istiadat Melayu sebagai sokoguru jati diri budaya Melayu. Hal ini karena persoalan budaya Melayu belum ada dan tidak terarahnya pijakan dalam memutuskan kebijakan terhadap budaya Melayu. Oleh karena itu, menipislah jati diri budaya, pada gilirannya semakin buyarlah kesatuan Melayu. Apabila dicermati masalah di atas dipicu berbagai hal, seperti peristiwa suksesi kekuasaan di Sumatera Utara. Oleh itu, ide, gagasan, dan pandangan dari pertemuan ini dapat memberi ikhtiar kepada tokoh-tokoh, pemimpin, dan pemegang kekuasaan Melayu di Sumatera, umumnya dan Sumatera Utara khususnya. Tentunya dalam menentukan berbagai sikaf yang sedang dihadapi masyarakat Melayu.

Maknanya setiap masalah tersebut patut dibahas dan dibincang dari sudut pandang jati diri budaya Melayu. Apabila dilaksanakan hasil perbincangan tentang hal tersebut dapat menjadi solusi, maka Melayu bangkit. Pada 28–29 Juli 2007, tepatnya hari keputeraan atau acara ‘Menjunjung Duli‘ Tuanku Luckman Sinar Basharshah II, selaku kepala Adat dan Sultan Negeri Serdang melaksanakan Konvensi Adat Negeri Serdang. Dikemeriahan acara, hadir masyarakat Melayu Serdang dari berbagai luhak serta wilayahnya. Turut juga hadir para datuk serta cendikia negeri Serdang baik dari Jakarta maupun negeri tetangga Malaysia dan Brunei Darussalam.

Pada acara Menjunjung Duli, Tuanku menganugerahkan gelar kepada para cerdik pandainya dari berbagai kalangan. Di antaranya Drs OK Subhilhar MA Ph.D (Pendidikan), OK Khaidar Aswan SE (pengusaha), dan Rudhy Faliskan (wartawan). Ini bermakna Tuanku dan masyarakatnya tidak ingin hilang jati diri budayanya. Seluruh aspek budaya Melayu Serdang disajikan dan diinventarisir serta diregisterasi. Hasil registerasi dan inventarisir dimusyawarahkan melalui komisikomisi yang sesuai dengan kepakarannya.

Setelah diberikan pemimpin komisi, Tuanku dan panitia serta pakarnya akan mengemasnya sehingga dapat diajukan untuk memperoleh hak paten dari seluruh aspek budaya tersebut. Tujuan konvensi adat tidak lain untuk membuat kekuatan secara hukum terhadap adat di negeri Serdang sehingga ia tidak akan dapat disemena-menakan. Oleh karena mensemena-menakannya sama dengan mendegradasi masyarakatnya.

Memahami dan mencermati aktivitas konvensi adat negeri Serdang dan pertemuan sesama Sultan dan ide serta pandangan juga gagasan yang dinyatakan tersebut di atas menunjukkan kesadaran tentang betapa lamanya tersisih budaya Melayu dari pemikir–pemikir pengayom dan sumbernya. Padahal dalam paradigma kajian budaya terpeliharanya sesuatu aspek budaya akan menjadi lebih kuat manakala harmonisnya hubungan pikiran, perasaan dan jiwa pendukungnya dengan sumber dan pengayomnya. Oleh karena paradigma itu, ide dan gagasan yang lahir dari pertemuan tersebut menjadi penting dan sangat berguna baik bagi pendukung budaya Melayu maupun sesiapa saja.

Bukankah wujud kesultanan lahir dari proses budaya? Maknanya wajarlah budaya Melayu jauh dari khalayaknya karena kerap tidak dipautkan dengan sumber dan pengayomnya. Sangat wajar juga bila para Sultan sebagai pemangku adat di negerinya berfikir akan jatidiri budayanya. Maka, atas terlaksananya konvensi adat Serdang patut diacungkan jempol kepada Tuanku Luckman Sinar Basharshah II yang awal memulai menjawab kegundahan terhadap jati diri budaya Melayu.

DR Wan Syaifuddin MA, adalah Dekan Fak.Sastra USU

Sumber : www.waspada.co.id