Kisah Seputar Zuriat Kesultanan Palembang

Masjid Agung Palembang

Darimanakah lahirnya Kesultanan Palembang Darussalam. Apakah beranjak dari sebuah konsensus politik atau berdasarkan mitos kekuasaan dari manusia turunan dewa?

Bila beranjak dari titisan dewa, maka Kesultanan Palembang Darussalam sama seperti kelahiran kekaisaran Jepang dan Thailand. Namun bila berangkat dari konsensus politik, maka kelahirannya seperti Kerajaan Arab Saudi.

Berdasarkan sejumlah bacaan, inilah cerita sejarah Kesultanan Palembang Darussalam. Pada awalnya, abad ke-15, datanglah sekelompok panglima dan pangerandari Demak, yang kalah berperang dengan Mataram, ke Palembang. Mereka dipimpinKi Gede Ing Suro dan sejumlah panglima seperti Bodrowongso.

Di pinggiran Palembang, saat itu terdapat puluhan kerajaan kecil yang umumnya beretnis Melayu, dan dipimpin sejumlah pati. Sementara di Palembang, masih ada sejumlah kecil perompak, yang sempat dibersihkan oleh Cheng Ho, serta para pedagang dari Tiongkok.

Rombongan "orang Jawa" ini lantas mengadakan pertemuan dengan para pemimpin dari penjuru "Batang Hari Sembilan". Tidak ada catatan berdarah dalam proses konsensus "Jawa dan Melayu" ini.

Kemudian lahirlah kerajaan Palembang dengan pemimpinnya Ki Gede Ing Suro sebagai konsensus politik pertama.

Waktu terus berjalan. Selanjutnya, sejumlah keturunan para pendiri kerajaan Palembang, merasa terganggu dengan eksistensi mereka sebagai orang yang lebih rendah dari Jawa. Mereka hanya memiliki gelar "Kimas", yang merupakan gelar terendah dari strata kebangsawaan di Mataram.

Mereka kemudian menggunakan gelar Raden -yang diambil dari garis perempuan yang dinikahi para bangsawan kerajaan Palembang- dan, selanjutnya mendeklarasikan Kesultanan Palembang Darussalam. Inilah konsensus politik kedua di Palembang. Memang, tidak semuanya sepakat dengan deklarasi tersebut.

Mereka yang tidak sepakat, tetap menggunakan gelar lama yakni Kimas atau Kiagus. Sikap ini diambil oleh turunan Bodrowongso atau Panglima Bawah Manggis. Dalam proses selanjutnya, yang tidak sepakat lari ke pedalaman. Mereka beranak-pinak di sejumlah daerah di Pagaralam, Curup, Rawas, Sekayu, Pedamaran, atau Kayuagung.

"Lalu, ketika Sultan Mahmud Badaruddin II memimpin, para kerabat yang berada di daerah dipanggil kembali ke Palembang. Mereka pun kemudian diberi jabatan dan tanah untuk menetap," kata Kemas Madanih, juru kunci makam Sabokingking, makam para leluhur pendiri kerajaan Palembang.

Cerita itu, kata Madanih, merupakan kisah yang ada selama puluhan tahun, dan disimpan rapat, oleh turunan Kimas, dan Kiagus.

Membaiknya hubungan Raden dengan Kimas, serta Kiagus ini diwujudkan dalam pembangunan Benteng Kuto Besak, dan Masjid Agung. Bahan baku seperti telur, dikirim dari keluarga lama yang berada di pedalaman. Bahkan, masjid Agung pun dikelola oleh para ulama dari gelar apa pun, termasuk para ulama dari Arab, dan Tiongkok.

Sayang, keharmonisan ini hanya berlangsung selama 8 tahun. Entah atas bujuk rayu siapa -belum ditemukan catatannya- Sultan Mahmud Badaruddin II, pada 1811, menyerang orang-orang Belanda beserta kantornya, di tepi sungai Aur. Peristiwa pembantaian itu, orang Belanda menyebutnya "Pembantaian Loji Sungai Aur".

VOC alias Belanda yang didukung Inggris, serta dibantu Bangka dan Jambi -meskipun tidak mengirim tentara melainkan tidak turut menolong Palembang- menyerang Palembang. Palembang terbakar.

Menurut catatan sejarah imperialisme bangsa Inggris pada 1813 M, Bahauddin, saudara Sultan Mahmud Badaruddin II, menjadi Sultan Palembang. Tahun 1818 Masehi, Raffles mengirimkan pasukan ke Palembang untuk campur tangan di dalam negosiasi antara Kesultanan Palembang Darussalam dengan Belanda.

Pada 1821 Masehi, Sultan Mahmud Badaruddin II ditangkap. Sebelum diasingkan ke Ternate terlebih dahulu dibawa ke Batavia. Dia diasingkan bersama permaisuri, anak-anaknya, ulama, serta panglima yang setia kepadanya.

Selanjutnya, pada 1819 M, Najamuddin Pangeran Ratu menjadi Sultan Palembang. Pada 1821 Masehi, Najamuddin Pangeran Ratu diganti Najamuddin Prabu Anom. Dua tahun kemudian, 1823 Masehi, giliran Kramo Jayo menjadi Sultan Palembang.

Lantaran keterbatasan kapal, sejumlah selir dan anak dari Sultan Mahmud Badaruddin II tidak dibawa ke Ternate. Mereka tetap di Palembang. Karena tidak kompaknya para bangsawan Palembang, Belanda kemudian tidak sanggup lagi mengelolanya. Seperti Kesultanan Mataram, mereka pun membubarkan Kesultanan Palembang Darussalam pada 1825.

Tapi, menurut budayawan Djohan Hanafiah, dari pengakuan keluarga turunan Sultan Mahmud Badaruddin II di Ternate, Belanda pernah menawarkan Sultan Mahmud Badaruddin II kembali memimpin Palembang. Tapi, tawaran itu ditepis Sultan Mahmud Badaruddin II.

"Beliau menolak lantaran tidak mau terjadi perpecahan di Palembang. Beliau pun berpesan, sebaiknya Kesultanan Palembang Darussalam dibubarkan," kata Djohan mengutip keterangan itu.

Inilah konsensus politik ketiga di Palembang. Belanda menguasai Palembang. Jadi, tidaklah heran, setelah Belanda berhasil diusir dari nusantara, para turunan bangsawan di Palembang tidak mendeklarasikan Kesultanan Palembang Darussalam. Mereka memegang teguh amanat Sultan Mahmud Badaruddin II tersebut.

Ancaman Modernisme

Keberadaan Indonesia, ternyata membuat sejumlah masyarakat menjadi cemas. Modernisme yang diusung, ternyata, secara tidak sadar, telah menghabiskan atau mengikis nilai-nilai baik yang terbangun di masa lampau. Misalnya, persoalan etika, dan moral.

Romantisme pun muncul. Gerakan kembali ke masa lalu, merebak di Palembang pada akhir tahun 1990-an. Kesadaran ini pun tidak lepas dari pemikiran postmodernisme yang berkembang di Barat. Sebuah pemikiran yang mengkritik habis proyek modernisme.

Salah satu pencarian identitas kaum posmo, yakni kembali kepada nilai-nilai masa lampau, yang belum dirusak modernisme. Sadar atau tidak, pendeklarasian Raden Mas Syafei Prabu Diraja sebagai Sultan Mahmud Badaruddin III oleh sekelompok wong Palembang, bagian dari dampak pemikiran postmodernisme tersebut.

Berbagai kritik muncul atas pendeklarasian Sultan Mahmud Badaruddin III. Di antaranya, apa dasar lahirnya Sultan Mahmud Badaruddin III, misalnya amanat tertulis dari Sultan Mahmud Badaruddin II, untuk menunjuk Raden Mas Syafei Prabu Diradja sebagai sultan Palembang?

Pertanyaan lainnya, mengapa bukan turunan dari permaisuri Sultan Mahmud Badaruddin II yang ditunjuk sebagai sultan? Tidak ada penjelasan soal itu. Padahal, amanat itu sangat penting, lantaran itu terkait dengan harta kekayaan Kesultanan Palembang Darussalam, yang kini dikuasai Pemerintah Indonesia, serta dapat menepiskan kutipan dari turunan Sultan Mahmud Badaruddin II, di Ternate, bahwa Kesultanan Palembang Darussalam jangan diteruskan.

Bila memang amanat tertulis itu ada, selanjutnya Kesultanan Palembang Darussalamsebelum dideklarasikan harus memenuhi beberapa syarat, yakni memiliki istana, memiliki perangkat hukum dan peradilan, memiliki kekayaan, dan memiliki wilayah.

Syarat ini muncul, tentunya berdasarkan kondisi terakhir Kesultanan Palembang Darussalam, sebelum dibubarkan Belanda pada 1825.

Bila hanya berdasarkan garis keturunan dari sebuah kekuasaan yang dilahirkan berdasarkan konsensus politik, saya pikir banyak sekali "goncangan politik" yangdibuat wong Palembang, pada sejumlah negara pada saat ini.

Misalnya Abdul Azim Amin, dosen IAIN Raden Fatah Palembang, saat ini dapat mendeklarasikan diri sebagai kaisar Tiongkok. Sebab dia masih keturunan Chu Yu-chien, seorang pangeran di Fukien, yang merupakan pewaris terakhir tahta dinasti Ming. Tapi, belum sempat menjadi kaisar, dinasti Ming dihancurkan oleh kaum Manchu yang kemudian membangun dinasti Manchuria, yang juga nenek moyang bangsa Jepang.

Atau, Febri Al-Lintani, pemimpin Kobar 9, yang mempersoalkan keberadaan dua sultan, dapat saja mengklaim menjadi penguasa Singapura, sebab masih keturunan Parameshwara yang mendirikan Singapura. Parameshwara sendiri diyakini sebagai orang Besemah.

Atau, saya pun dapat mengambilalih kepemimpinan di Palembang, sebab sebagai keturunan panglima Bodrowongso -yang tidak sepakat dengan pendirian Kesultanan Palembang Darussalam- saat ini merupakan kekosongan kekuasaan, yang harus diisi, lantaran keturunan Kimas Hindi Pangeran Aryo Kesumo atau Abdurrachman Khalifatul Mukminin Sayidul Iman, gagal mempertahankan Kesultanan Palembang Darussalam.

Konsensus Baru

Beranjak dari persoalan tersebut, dan kebutuhan atas pengangkatan kembali nilai-nilai baik di masa lampau, atau hanya sebagai penjagaan nilai-nilai budaya, tampaknya perlu dilakukan sebuah konsensus politik baru menyikapi eksistensi Kesultanan Palembang Darussalam. Konsensus keempat ini didasarkan dari beberapa fakta. Pertama, Palembang kini berada dalam pemerintahan Indonesia. Kedua, belum ditemukannya bukti tertulis amanat dari Sultan Mahmud Badaruddin II, untuk menunjuk seseorang sebagai penggantinya. Ketiga, secara politis, dan de jure Kesultanan Palembang Darussalam sudah bubar.

Bagaimana mewujudkan konsensus baru atau keempat tersebut? Tentu saja, melibatkan seluruh keturunan para pendiri kekuasaan di Palembang. Termasuk, para turunan Melayu di Sumatra Selatan, yang dulunya mendukung berdirinya kerajaan Palembang yang berkembang menjadi Kesultanan Palembang Darussalam, serta Pemerintah Indonesia, yang telah berhasil mengusir Belanda, dan menyelamatkan aset beserta manusia keturunan Kesultanan Palembang Darussalam.

Jadi, sebelum konsensus keempat tersebut diwujudkan, siapa pun tidak salah menggunakan gelar sultan, termasuk misalnya seorang yang menamakan anaknya dengan "Sultan Mahmud", atau sejumlah artis namanya menggunakan kata sultan.

Ini artinya, bukan sesuatu yang salah bila ketua umum Himpunan Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam yakni Raden Iskandar Mahmud Badaruddin diberi gelar "sultan".

Hanya sebatas gelar adat. Tapi, perlu juga dicatat, dia bukan Sultan Palembang Darussalam seperti yang pernah dipegang Mahmud Badaruddin II.

Lalu, bila Raden Iskandar Mahmud Badaruddin mencalonkan diri sebagai walikota Palembang, apa itu juga salah? Sepertinya tidak. Apa landasan seorang keturunan raja-raja di Palembang, pasti akan dapat menjadi walikota Palembang.

Sejarah membuktikan, dari sekian banyak walikota Palembang, hanya segelintir, yang masih keturunan raja-raja di Palembang. Sisanya, mungkin, keturunan orang yang pernah diperintah raja-raja di Palembang, atau menjadi pesuruh para sinyo Belanda.

Tetapi, yang menarik, di tengah krisis politik dan kepemimpinan, berbagai daerah di Indonesia, kini sibuk mengembalikan "kejayaan" masa lalu, seperti menghidupkan kembali kesultanan atau kerajaan. Entahlah, dongeng apa lagi yang membangun bangsa ini.

Sumber : Detik.com