Kesusastraan Islam Melayu dan Kejawen di Indonesia Perkembangan Sastra Progresif dan Ekspresif Dalam Islam

Oleh : Yos Rizal
Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Daerah, Universitas Sumatera Utara

I. Pendahuluan
S. Takdir Alisyahbana dalam bukunya, “Pemikiran Islam Dalam Menghadapi Globalisasi Dan Masa Depan Umat Manusia”, mengatakan sebagai berikut :

Nah, sekarang bagaimana konfigurasi nilai-nilai dalam kebudayaan agama Islam. Jelas seperti dikatakan yang paling tinggi adalah nilai agama yang berpusat pada Tuhan. Islam yang paling abstrak yang dalam keirasionalannya paling rasional rumusnya, yaitu paling sedikit mitos-mitosnya dibandingkan agama lain. Dalam kerasionalannya itu nilai ilmu adalah amat tinggi, dalam hubungan ini tidak ganjil kalau ada hadis yang mengatakan tinta sarjana lebih suci dari orang yang mati syahid

Demikian nilai ilmu pada hakikatnya dalam kebudayaan Islam, mesti amat tinggi seperti sesungguhnya terjelma dari abad ke-8, ke-12 kurun masehi ketika ilmu itu paling tinggi di Baghdad, Iskandarriyah dan Cordova. Tentang nilai ekonomipun amat tinggi berbeda dengan beberapa agama yang lain yang memandang rendah kepada materi.

…Tinggi juga dalam Islam adalah nilai solidaritas. Seluruh umat manusia dianggap sebagai satu kesatuan yang sama derajatnya sebagai kholifah. (S. Takdir Alisahbana, hal. 183).

Dari penilaian di atas agama Islam menurut kodratnya mengembangkan kebudayaan progresif. Karena kebudayaan progresif menurut S. Takdir Alisyahbana lebih banyak berdasarkan rasio dan perhitungan. Yakni kebudayaan yang nilai ilmu dan ekonominya amat tinggi. Halini berbeda dengan kebudayaan ekspresif yang dikembangkan oleh agama-agama timur dimana nilai agama dan nilai seni yang didominasi. Kebudayaan ekspresif menurut S. Takdir Alisyahbana lebih banyak berdasarkan perasaan, intuisi dan imajinasi.

Pembagian S. Takdir Alisyahbana tersebut diatas berlaku pula bagi sastra karena sastra merupakan bagian dari kebudayaan. Sastra progresif adalah yang memuat isi ajarannya cukup rasional dan ilmiah. Sebaliknya, sastra ekspresif isi ajarannya lebih banyak berdasarkan perasaan, intuisi, dan imajinasi.

Agama Islam dengan konsep Ijtihadnya memang mengembangkan sastra yang progresif, karena ijtihad adalah pengeterapan rasional ilmiah untuk menggali dan meluruskan pengembangan ajaran Islam. Para mujtahid menolak keras setiap pengembangan dan penafsiran agama Islam yang menyimpang dan yang kaifiatnya neka-neka sebagai bit`ah ataupun kurafat. Dan sistem ijtihad atas dasar kaidah– kaidah ilmiah dan rasional ini kemudian berkembang dan menjadi canggih sesudah menyerap unsur-unsur kebudayaan Yunani Purba yang progresif. Maka dari abad ke-8 hingga abad ke-12 masehi sastra budaya Islam berkembang menjadi cangih dan amat kaya-raya hampir dalam segala bidang ilmu agama. Kemudian mulai abad ke-13 masehi yang dilambangkan dengan runtuhnya kekuasaan Bahgdad dan Cordova, runtuh pula dominasi sastra budaya Islam progresif. Sejakabad ke-13 hingga abad ke-18 masehi bergantilah dengan mekarnya sastra budaya ekspresif. Abad kemunduran sastra budaya progresif ini ditandai sebagai abad sufisme dengan berbagai macam ikatan ketarekatannya. Dalam ajaran sufisme memang sangat dominan gelora perasaan, intuisi, dan imajinasi.

Masalah kemunduran alam pikiran Islam tersebut diatas telah banyak dianalisa orang. Apakah kemunduran ini akibat keberhasilan imam Al-Ghozali mengkompromikan syariat ajaran Islam dan tasawuf? atau karena runtuhnya dukungan kekuasaan politik di Baghdad dan Cordova? atau apakah karena padamnya pikiran falsafah dalam Islam? kiranya ketiga faktor ini saling terkait sebagai penyebab pudarnya pemikiran ilmiah dalam Islam. Filsafat merupakan pendukung yang basyariah bagi pertumbuhan jiwa kritis dan scientific though. Sedang kekuasaan politik yang kuat adalah pendukung kemajuan ekonomi dan kependidikan

Adapun tasawuf dan ikatan ketarekatan sebagai anak kandungnya memalingkan alam fikiran manusia ke arah ilmu serta gaib yang irrasional, murni dan ekstrem. Apalagi konsep ahwal yang memuncak pada pengalaman fana dan kasyaf serta makrifat ataupun itthidat, mengakibatkan perkembangan logika paradoksal yang berlawanan dengan logika rasional ilmiah. Maka tasawuf adalah penumpulan pemikiran rasional yang kritis serta analistis. Hal ini nampak jelas dalam fatwa-fatwa Imam Al-Ghozali dalam Ihya Ulum Al Dina yang berkaitan dengan ajaran tasawuf. Misalnya fatwa Al-Ghozali yang mengatakan “Man`arofa nafsahu faqod Larofa Robbahu”, atau fatwa beliau bahwa kalbuitu laksana cermin, bila bersih akan melihat banyangan Allah dalam kaca hatinya. Dan ajaran tasawuf beserta ikatan ikatan ketarekannya merupakan sumber yang paling subur bagi munculnya kepercayaan yang serba mitos (Khurafat) beserta berbagai bid`ah. Maka ajaran tasawuf tidak mungkin melahirkan pemikiran ilmiah dan mental mujtahid.

Menurut pemikiran S. Takdir Alisyahbana, Islam adalah agama yang paling rasional. Penilaian ini tidak berlebihan, karena Islam semenjak awal pertumbuhannya sangat menghargai pendekatan ilmiah rasional yang dinamakan sistem ijtihad, yakni pendekatan ilmiah untuk memahami dan meluruskan pengembangan ajaran agama sesuai dengan gerak kemajuan peradaban umat manusia. Tanpa analisis ilmiah yang rasional ternyata alam pikiran Islam jadi lumpuh dan umat Islam tenggelam kegelapan yang serba mitos. Dalam keadaan demikian mereka puas membanggakan pengalaman agama menurut yakni beragama menurut.

Jadi tanpa analisis ilmiah yang rasional pemikiran Islam pasti lumpuh, dan umat Islam pasti terjerumus dalam berbagai kegelapan dan menyembah mitos-mitos tanpa disadarinya. Maka sastra budaya yang progresif yang justru lebih cocok dan dihargai bagi pengembangan agama. Sastra budaya ekspresif sering terjerumus lebih menghargai wadah yang indah, namun isinya kosong atau bahkan mungkin merupakan khayalan belaka.

II. Pergumulan Islam dengan Sastra Melayu dan Jawa.
Jejak sejarah menunjukan bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad 13 masehi, atau mungkin sebelumnya .Hal ini menunjukan agama Islam yang tersiar di Indonesia adalah Islam yang telah mentradisi,yang telah surut pemikirannya. Artinya, Islam yang datang ke Indonesia adalah Islam kelas dua, disiarkan dan dkelola ulama-ulama kelas pengikut(tabi); bukan kelas mujtahid.maka wajar hingga abad ke-20 di mana usia penyebaran islam telah tujuh abad belum belum bisa melahirkan mujtahid seorangpun. Dan hingga kini pendidikan Islam masih megutamakan kwantitas, belum menekan pada kwalitas. Kwantitas umat Islam Indonesia memang luar biasa; namun dari segi kwalitas sangat memprihatikan.mengapa? karena yang menyebar dan jadi pegangan andalan para ulama Islam adalah sastra budaya ekspresif,yang irrasional; berdasarkan perasaan,intuisi dan imajinasi. Sastra budaya Islam (kitab-kitab agama) yang bermuatan progresif dan ilmiah belum mendominasi pendidikan agama.

Akhir abad ke-16 hingga abad ke-17 Masehi pengaruh sastra budaya islam baru nampak dalam pergumulan baik dengan satra Melayu Islam diterima sebagai unsur yang memperkaya, mendinamisir serta mengangkat derajat sastra Melayu menjadi cukup canggih.Maka dalam perkembangannya terjadi intregrasi yang kokoh antara tradisi satra Melayu dan Islam, laksana pinang dibelah dua, yakni Islam yang Melayu, dan sebaliknya Melayu yang Islam, keduanya laksana dua permukaan dari satu mata uang. Hal ini jauh berbeda dengan di Jawa. Di Jawa boleh dikatakan lebih dari tiga abad Islam dipandang agama dan budaya asing di lingkungan tradisi besar budaya kerajaan Majapahit yang telah dihaluskan dan dicanggihkan dengan unsur Hinduisme. Maka sejak awal kedatangannya, Islam harus disebarkan melalui daerah-daerah pinggiran disepanjang pesisiran pulau Jawa yang boleh dikatakan masih buta huruf masyarakat petaninya. Pada abad 16 masehi daerah-daerah pedesaan ini mulai mulai berhasil disulap oleh sastra budaya Islam jadi kerajaan pesisir, seperti kesultanan Demak adalah yang terbesar. Makin meningkatnya kebesaran kerajaan Jawa-Hindu Majapahit ternyata menyadarkan para cendikiawan dan sastrawan Jawa untuk menyadap ilmu dari sastra Jawa pesantrenan. Hasil pergulatan (interaksi) Islam dengan sastra budaya Jawa melahirkan dua bentuk sastra Jawa ,yakni ,sastra Jawa pesantrenan dan sastra Islam –Kejawen,disamping sastra Arab pesantren. Hanya saja yang paling kaya-raya adalah sastra Islam-Kejawen, lantaran para pemikir dan sastrawan kelas satu memang masuh didominasi para priayi Jawa. Sedang para ulama pesantren sebagai mana telah disinggung masih merupakan kelas dua, kelas tabi`; belum memunculkan kelas mujtahid yang aktif berpikir dan menulis, Maka sastra budaya Jawa pesantrenan masih amat terbatas jumlahnya,separti Het Boek Bonang, gubahan kitab Tuhfah Musalah ila Ruh al-Nabi gubahan kitab Hikam, kitab Fathurrahman dan sebagainya.

Kembali pada arti abad 16-Masehi, yakni abad mulai munculnya sastra Melayu dan Jawa Islam. Abad ini agama Islam memdapat dukungan kekuasaan politik, walaupu di Jawa kemudian Islam dimanfaatkan untuk melegalisir kekuasaan politik, walaupun di Jawa kemudian Islam dimanfaatkan untuk melegalisir kekuasaan politik para raja Pajang dan Mataram Namun abad 18 Masehi Islam telah jadi lambang penyatuan bagi kerajaan-kerajaan Banten, Cirebon, dan dari Demak hingga kesultanan Mataram. Pada sastrawan Jawa manamakan berdirinya kesultanan Demak sebagai peralihan zaman, dari zaman Jawa-Hindu ke aman Kewalen (zaman Jawa-Islam).

Abad 18 masehi juga mempunyai arti yang amat penting bagi sejarah penyebaran Islam di Indonesia; yakni munculnya sastra Melayu dan sastra Jawa Islam. Dan fitutur Seh Bari di dalam Het Boek Van Bonang bisa disingkat bahwa Islam yang datang ke Jawa adalah ajaran tasawuf. Dan bahwa ajaran tasawuf yang terkandung ke dalam Het Boek Van Bonang ini adalah faham tasawauf yang ortodoks yang dengan keras menentang dan menyalahkan ajaran tasawuf yang heterodoks yang disebarkan oleh Abdul Wahid. Demikian pula Het Boek Van Bonang menunjukkan pula bahwa sastra tasawuf yang paling canggih bersumber dari kitab Ihya` Ulum Al-Bin telah dikenal di Jawa maka dari sastra Jawa yang bergaya pesantren bisa disimpulkan bahwa yang menyebar di pesanntren-pesantren di Jawa adalah tasawuf yang beraliran ortodoks. Ajaran Iman Al-Ghozali yang sangat dibanggakan dalam kalangan pesantren hingga dewasa ini jadi bila jejak sejarah yang berupa nisan raja-raja Aceh tidak bisa mengungkapkan Islam yang bagaimana yang datang ke Indonesia; maka sastra Islam Melayu ataupun Jawa yang bisa menggambarkan faham atau aliran Islam apa yang menyebar di Indonesia jadi sastra menjadi bukti sejarah yang lebih lengkap bisa banyak bicara tentang warna Islam yang menyebar di Indonesia.

Dalam sastra Melayu Islam seperti karya-karya Hamzah Fansuri semisal Asrar al-`Ari in_Syair perahu_Syair Dagang_Syair Si Burung_Pingai, demikian pula karya Al-Raniri Tibyan fi Ma`rifat al-Adyan_Shirot al-Mustaqim_Bustan al-Shalatin, juga karya Syamsudin Pase Mir`at al-Iman_Mir`at al-Mu`minin_ dan lain-lainnya menggambarkan bahwa Islam yang masuk melalui Aceh di dominasi ajaran tasawuf yang heterodoks. Yaitu tasawuf yang paham cenderung ke arah pantheis dan menganut paham immanensi tuhan dalam diri manusia dan alam semesta. Hal ini nampak dalam syair Hamzah Fansuri sebagai berikut :

Hamzah Fansuri di dalam Makkah
Mencari Tuhan di Baitul Ka`bah
Dari baris ke kudus terlalu payah
Akhirnya dapat di dalam rumah.

Tuhan tidak bisa diketemukan di Makkah, Kudus dan Barus, akhirnya diketemukan justru dalam diri Hamzah Fansuri sendiri. Kemudian faham immanensi Tuhan dalam diri manusia dan dalam alam semesta itu di ungkapkan oleh Syamsudin Pase dengan mengubah kitab Tuhfah Mursalah ila Ruh al-Nabi karya Muhammad Ibn Fadillah al-Gujarati. Kitab Tuhfah inti ajarannya mengetengahkan teori pencipta alam dan manusia melalui penampakan Dzat tuhan keluar sebanyak tujuh martabat (martabat tujuh). Dalam kitab ini faham Immanensi Tuhan diterangkan sebagai berikut :

(A.H. Johns, The Gift Addressed to the Spirit of Prophet, hal. 129).

Immanensi Tuhan dalam alam dandalam diri manusia jelas pada kutipan diatas. Bahwa tuhan mrupakan hakikat dari segala yang maujud serta merupakan aspek batinnya.

Ajaran martabat tujuh, yakni penampakan Dzat Tuhan keluar sebanyak tujuh martabat, yaitu alam Ahadiyah, Wahdah, dan Wahidiyah, yang ketiganya sebagai a`yam tsabit dalam ilmu Tuhan, lalu alam arwah, alam Misal, alam Ajsam, dan alam Insan, di tangan Syamsudin di tafsirkan ke faham Fantheis, mengikut faham gurunya Hamzah Fansuri penafsiran ini di persalahkan oleh al-Raniri sebagai faham sesat. Maka ajaran martabat tujuh di tangan al- Ranari dan Abdul Rauf dan al-Singkili ditafsirkan ke arah faham moderat yang lebih ortodoks. Ajaran martabat tujuh diatas kemudian disebarkan oleh murid – murid Abdul Rauf, ke Sumatera Barat oleh Burhanuddin, ke Jawa Barat oleh Abdul Muhyi, dan kemudian di serap ke dalam sastra Suluk Islam Kejawen. Dalam pesantren Suryalaya di Tasikmalaya (Jawa Barat). Ajaran immanensi tuhan dalam diri manusia dari ajaran martabat tujuh ini diberi dari hadis qudis sebagai berikut :

Artinya :
(Firman Allah), aku jadikan anak Adam (manusia) itu ada istana, di dalamnya ada dada, di dalam dada ada qalbu (tempat bolak baliknya), di dalamnya lagi ada fuad, di dalamnya lagi ada syaghaf (kerinduan), di dalamnya ada lubbun (rasa rindu sekali),dan didalamnya ada sirrun, di dalamnya itulah Aku.

Ajaran kepercayaan adanya tujuh lapis zat halus (latha`f) di mana dalamnya bersemayam Dzat Tuhan, menunjukan bekas dari pengaruh ajaran martabat tujuh dan faham Immanensi Tuhan dalam diri manusia dari kitab Tuhfah.

Hal yang amat menarik adalah pergulatan antara Islam dengan sastra Jawa. Telah disinggung pada bagian depan bahwa pergulatan itu menghasilkan dua jenis sastra Jawa-Islam, yaitu sastra Jawa Pesantrenan, dan sastra Islam-Kejawen. Dan sastra Islam-Kejawen inilah yang paling subur. Sastra Jawa Pesantrenan adalah sastra Jawa yang dijadikan wasilah untuk menyebarluaskan ajaran Islam. Jadi muatan agama atau syariatnya amat kental. Karna masa itu zaman dominasi antara sufisme, maka sastra Jawa Pesantrenan memancarkan aspek religius mistis yang Islami. Jadi sastra Jawa Pesantrenan dari karya para santri dari daerah pesantren.

Adapun sastra Islam-Kejawen adalah unsur-unsur Islam yang disadap dan dipergunakan untuk memperkaya dan meningkatkan khazanah warisan sastra Jawa lama (sebelum kedatangan Islam). Pengelola sastra Islam-Kejawen adalah para sastrawan yang tergolong priyayi Jawa dan dikembangkan dilingkungan istana kesultanan Jawa-Islam, seperti Mataram, Cirebon, Banten dan sebagainya. Maka ciri yang menonjol dalam sastra Islam-Kejawen muatan politik dan mistiknya amat kental; sebaliknya muatan-muatan agama atau syariatnya amat kering mengapa demikian? Hal ini bisa dimengerti kalau dibaca dalam kaitanya dengan suasana sosial politik yang melingkupi kehidupan para pujangga dan sastrawan Jawa masa itu. Pengaruh Hinduisme itu yang mengakar dalam adalah di lingkungan istana kerajaan Jawa; sedang masyarakat pedesaan tetap hidup dalam religi animisme-dinamisme, sedikit sekali sentuhan konsep-konsep Hinduismenya (Koenjaraningrat, Kebudayaan Jawa, hal. 33).

Dengan konsep raja sebagai penjelmaan Dewa beserta kebudayaan Intelektual Hinduisme mulai lahirlah kerajaan-kerajaan besar di Jawa. Keberhasilan penyadapan dan pengolahan unsur-unsur Hinduisme sejak abad ke-4 masehi jugamelahirkan lapisan golongan priyayi dengan peradaban Hindu-Kejawennya yang jadipendukung utama birokrasi kerajaan-kerajaan di Jawa. Maka bisa dimengerti bahwa nilai-nilai dasar Hinduisme yang bisa mengangkat suku bangsa Jawa untuk mengakhiri atau menutup jaman prasejarah dan zaman buta aksara mereka. Maka dalam menghadapi zaman baru (zaman Islam), mereka menilih menyerap dan mengolah unsur-unsur yang dapat memperkokoh dan meningkatkan nilai-nilai dasar Hinduisme-Kejawen tersebut. Dengan demikian bisadimengerti bahwa unsur-unsur sufisme yang lebih mereka sukai dan mereka tonjolkan, karena inilah yang mudah dioleh untuk dipadukan dengan warisan lama.

Dalam hal sufisme aliran yang cenderung kearah faham yang pantheis dan immanensi Tuhan yang dalam masyarakat pesantren terdesak atau ditutup-tutupi, dalam sastra Jawa-Islam justru ditonjolkan kembali dengan konsep Manunggaling kawulan-Gusti yang bermuatan sosial politik dan keagamaan. Aspek mistis dan politis ini makin ditonjolkan seusudah kekuasaan raja-raja Jawa ditelanjangi oleh Pemerintah penjajah Belanda. Dalam masa pembaharuan dan pengislaman sastra Jawa lama pada periode Surakarta awal, konsep Manunggaling kawulan-Gusti inilah yang menjiwai dan mewarnai puncak perkembangan sastra Jawa-Islam (Islam-Kejawen). Dan aktifitas pembaharuan dan pengIslaman sastra Jawa inilah yang menghasilkan karya sastra yang paling kaya-raya, semisal Centhini_Wulangreh_Wirid Hidayat Jati, dan lain-lainnya.

III. Pengaruh Barat Dalam Sastra Indonesia dan Islam Kejawen.
Bangsa Indoensia baru bisa bersentuhan dengan sastra budaya Barat modern pada pertengahan akhir abad sembilan belas, melalui sistem pendidikan baru yang diperkenalkan oleh pemerintah Kolonial Belanda. Sistem pendidikan modern tentu menghasilkan munculnya para cendikiawan baru baik dari kalangan priyayi (bangsawan), atau dari rakyat petani (wong cilik). Demikian pula dari kalangan masyarakat pesantren. Para cendikiawan, pada awal abad ke-20 telah mulai unjuk kekuatan untuk membangkitkan pergerakan nasional dalam rangka membina persatuan dan kesatuan bagi perjuangan untuk memerdekakan bangsanya. Bahkan pada tahun 1928 angakatan muda Indonesia telah bersumpah untuk berjuang bagi kemerdekaan bangsanya dan menjadikan bangsa Indonesia sebagai bahasa kesatuan bagi bangsa Indonesia. Keputusan mengangkat bahasa Indoensia sebagai bahasa nasional memang membawa pengeorbanan yang luar biasa bagi sastra Islam kejawendan bahasa Jawa. Hal ini wajar, lantaran para cendikiawan dan sastra Jawa secara pagmatis lebih suka menulis karya-karya mereka dalam bahasa Indonesia. Maka puncak sastra Jawa adalah masa Surakarta awal menurut Poerbatjaraka dan perpaduan sastra Jawa dengan unsur-unsur Islam dan sufisme itu adalah paling indah dan jadi sastra Jawa bernilai klasik yakni sastra Jawa yang berinti ajaran mistik dengan aspek politik feodalis yang cukup menonjol, dimana konsep manunggalnya kawuloh-Gusti disamping berakar pada religius-mistis juga bernuansa politis (manunggalnya rakyat dengan sang Raja). Para priyayi Jawa sebagai pemegang kekuasaan terdepan memang punya watak dan wawasan yang realis. Mereka cepat tanggap terhadap zaman kemajuan.

Aspek mistis tentang manunggalnya kawuloh-Gusti mereka tukat dengan mengolah ilmu-ilmu dari Barat, walaupun filsafat moral kebatinannya tetap mereka jadikan pedoman hidup. Kecenderungan ini menimbulkan reaksi yang memunculkan segolongan kecil yang menjelma menjadi terekat-tarekat kebatinan, yang kemudian menamakan diri sebagai penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Kegiatan golongan penghayat kepercayaan ini adalah mencoba melestarikan aspek mistik dan ilmu gaib warisan tradisi lama yang kini banyak ditinggalkan oleh golongan priyayi. Namun pusat kegiatan para penganut penghayat kepercayaan ini tidak lagi dalam bidang sastra dan pemikiran, akan tetapi dalam menyebar dan pengawaman tradisi kejawen.

Ordo (tarekat) kebatinan semacam ini umumnya bersifat lokal dan timbul tenggelam, jumlah pengikutnya terbatas. Menurut Koenjaraningrat dalam kebudayaan Jawa hanya ada lima aliran yang pengikutnya menyebar diberbagaikota, yaitu Hardapusara, Susila Budi Darma, Paguyuban Ngesti Tunggal, Sumarah, dan Sapta Darma. (kebudayaan Jawa, hal. 400-401).

Pengaruh barat dalam bidang agama cukup menarik, yakni memunculkan gerakan pembaharuan dan pemurnian syariah dari perpaduan dan komprominya dengan ajaran sufisme. Gerakan pembaharuan muhamadiayah misalnya berusaha untuk memurnikan pemahaman dan pengalaman syariah dan menjauhkannya dari tradisi kehidupan sastra sufisme yang mereka nilai penuh bid`ah dan khurafat. Jadi gerakan semacam ini merupakan aksi kembali ke sastra Islam progresif. Namun kegiatan mereka yang mengesankan adalah keberhasilan mengimbangi kaum nasrani membuat sekolah-sekolah unggulan yang bisa dibanggakan umat Islam. Dalam bidang agama wawasan mereka masih terpancang pada aspek normative Islam. Oleh karena itu dalam sekolah-sekolah dan universitas Islam mereka, pelajaran dan fakultas Agama mereka masih merupakan pinggiran.

Pengaruh barat dalam kalangan agamawan tradisional juga menimbulkan kebangkitan para ulama yang kemudian terwadahi dalam organisasi sosial keagamaan adalah Nahdlatul ulama (NU). Namun kebangkitan yang masih berusaha mempertahankan warisan pemahaman ahli sunnah wal jama`ah secara tradisional fiqhiyah kurang cepat mengikuti gerak kemajuan masyarakatnya. Dunia baru menuntuk perubahan cara berpikir keagamaan dan tidak dapat diatasi dengan cara berfikir normatif fiqhiyah saja. Satu-satunya jalan untuk memajukan dan menyehatkan pemikiran dan pemahaman agama adalah melalui penguasaan cara berfikir ilmiah. Tanpa perkawinan dengan cara berfikir ilmiah tidak mungkin menemukan kembali ajaran Islam yang cerah, luas dan dinamis.

Pengaruh Barat dan sastra Melayu menurut J.S.Badudu telah nampak dalam karya Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Pada tahun 1828 Masehi sastra dan bahasa Melayu di Indoensia di jadikan bahasa nasional bagi Bangsa Indonesia. Dalam makalah ini hanya akan disinggung pemikiran yang dilintarkan tiga orang sastrawan, yaitu Achdiat K. Mihardja, Sanusi Pane, dan Sutan Takdir Alisjahbana. Achdiat K. Miharja dalam karyanya Atheis berhasil menggambarkan pergolakan jiwa masyarakat Indoensia akibat membanjirnya paham sekulerisme dan Atheisme yang terbawa oleh kebudayaan Barat. Diceritakan bahwa Hasan sejak kecil dididik ayahnya Raden Wiradiharta dalam lingkungan Islam sufi (religius-mistis) akhirnya goncang dan jadi gila lantaran tergoda oleh pengaruh Atheisme dan faham marxisme komunisme sebaliknya Raden Wiradikarta yang teguh imannya tidak tergoyahkan oleh goncangan atheisme marxisme yang disebabkan oleh Rusli dan faham anarkis yang di anut oleh Anwar.

Sanusi Pane yang menyadari betapa bahayanya bangsa Indonesia apabila tenggelam dilanda oleh arus westernisasi mencari pegangan dan menyeru kembali ke sendi kehidupan tradisi lama dan Hinduisme yang serba religius mistis. Dalam karya-karya sastranya, seperti Sandhyakaianing Majapahit, Manusia Baru_Madah Kelana_Airlangga dan lain-lainnya mengajak kembali ke kehidupan collectivisme dan penghayatan unionmystica yang mengasikkan dan membahagiakan.

Sultan Takdir Alisyahbana adalah pelopor pujangga baru. Beliau pengagum kebudayaan progresif atau kebudayaan Barat modern. Hal ini terbayang dalam roman beliau Layar Terkembang_Pemikian Islam dalam Menghadapi Globalisasi dan Masa Depan Umat Manusia, lebih-lebih dalam perdebatannya yang diedit oleh Achdiat K. Mihardja dengan judul Polemik Kebudayaan. Sumbangan pemikiran Takdir Alisyahbana adalah lontaran idenya yang jernih dan rasional, bahwa hanya dengan jalan merebut dan menguasai ilmu dan teknologi yang merupakan inti kebudayaan prograsif Barat bangsa Indonesia akan maju. Oleh karena itu melontarkan bahwa bangsa Indonesia wajib membangun kebudayaan baru sama sekali, yakni kebudayaan prograsif seperti yang dikembangkan di Barat dewasa ini.

Kebudayaan Indonesia baru harus tidak bertumpu pada tradisi-tradisi budaya pra-Indonesia. Kebudayaan baru itu harus tidak bersendir pada warisan kebudayaan Jawa yang terlalu mistis, dan bukan dari kebudayaan pesantran yang statis mistis. Kebudayaan baru Indonesia harus berakar dari pemikiran ilmiah yang prograsif dan dinamis. Hal ini tercermin dari tangkisan-tangkisannya terhadap serangan Dr. Poerbajaraka, Dr. Sutomo, Sanusi Pane, Ki Hajar Dewantara, dan lain-lainnya. Misalnya :

Zaman pra-Indonesia, zaman jahiliyah Indonesia itu setinggi-tingginya dapat menegaskan pemandangan dan pengertian kita tentang lahirnya zaman Indonesia, tetapi jangan sekali-kali zaman Indonesia dianggap sambungan atau terusan yang biasa dari padanya. Sebab Indonesia yang dicita-citakan oleh generasi baru bukan sambungan Mataram, maka kebudayaan Indonesia-pun tiadalah mungkin sambungan kebudayaan Jawa, sambungan kebudayaan Melayu, sambungan kebudayaan Sunda, atau kebudayaan yang lain. (Achdiat K. Miharja, Polemik kebudayaan, ed., Hal. 18).

Seterusnya kritiknya pada pendidikan pesantren diungkapkan sebagai berikut: Tuan dr. Sutomo sangat memuji semangat persatuan yang ditanamkan oleh didikan pesantren dikalangan rakyat Indonesia di zaman yang lalu antara lain, saudara, dan bangsawan.

Dalam pujiannya terhadap kepada semangat perasatuan yang tiada terpecah-pecah itu tuan dr. Sutomo lupa, bahwa persatuan itu tiada lain daripada gemoedelijkheid, ldylle sesuatu masyarakat yang statisch. Tiap-tiap manusia merasa senang sebab makanan cukup. Perhubungan antara seorang dengan seorang diatur oleh traditie yang tiada berubah-ubah. Pertarungan dan perjuangan hidup tidak ada, dalam masyarakat tidak ada spanningen. Segala orang mempunyai waktu dan kesempatan untuk melamun dan … tertidur atas pimpinan kiyai adalah centerale figur, ia yang berpikir bagi si tani, bagi si saudagar, bagi si bangswan.

Agaknya tidak melebih-lebihkan kalau saya berkata, bahwa semangat persatuan berpusat kiyai dan pesantren yang menyebabkan jatuhnya bangsa kita. (Achdiat K. Mihardja, Polemik Kebudayaan, hal . 63).

Kutipan diatas menunjukan betapa cemerlangnya pemikiran yang dilontarkan Sultan Takdir Alisjahbana. Bahwa syarat mutlak untuk maju dan mensejajarkan diri dengan bangsa Barat harus merebut ilmu atau menguasai cara berpikir ilmiah moderen yang bersumber dari barat. Artinya, perlu revolusi rohani, berusaha beralih dari tradisi pemikiran lama yang serba religius-mistis kepada religius scientific, yakni mentalak cara pikir lama yang serba mistis dan mitologis, beralih ke acara berpikir ilmiah yang kritis dinamis.

Dalam riwayat hidup Sutan Takdir disebutkan bahwa beliau sejak kecil disuruh mengaji ayahnya. Namun karna tidak suka dengan cara pendidikan agama tradisionl, dia lalu mangkir, tidak perlu ke surau malah sembunyi mancing ikan,sehingga beliau tidak pernah bisa ngaji sampai khatan Al-Qur`an. Kemudian sewaktu beliau menekuni ilmu-ilmu dari Barat, semisal filsafat, sosiologi, sejarah, dan lain-lainnya, beliau mengerti bahwa bangsa Eropa maju lantaran mula-mula menyadap dan berguru kepada ahli-ahli filsafat Muslim. Akhirnya beliau mempelajari filsafat Ibnu Rusyd dan perdebatannya dengan Imam Al-Ghozali, hasil studi Islam ini beliau utarakan dalam kata pengantar bukunya Pemikiran Islam Dalam Menghadapi Globalisasi dan Masa Depan Umat Manusia, sebagai berikut :

Dalam usaha mendalami kebudayaan Barat modern itulah saya bertemu dangan pikitran dan pemikir-pemikir. Saya bertambah lama bertambah tertarik pada kedudukan akal (rasio) dalam kemajuan ilmu, teknologi dan ekonomi…

Saya yakin betul dan dalam karangan-karangan yang trmuat dalam buku ini saya nyatakan bahwa Islam mempunyai syarat-syarat untuk kemajuan Islam, ekonomi, dan teknologi dunia moderen; tetapi pada suatu ketika adalah interpretasi Islam sendiri yang menyebabkan pemeluk agama Islam dalam zaman millenium ini mempunyai kedudukan yang rendah dan terbelakang dalam kemajuan dunia. Bagi saya jelas dan keyakinan saya bertambah kuat bahwa dalam interpretasi Islam yang berdasarkan Al-Qur`an dan sejar Islam sendiri, pemeluk agama Islam dapat memegang tanggung jawab untuk dunia yang nampaknya bertambah lama bertambah menjauh dari kehidupan Islam.

Tesa Sutan Takdir Alisjahbana di atas sejajar dengan tesa Iqbal, sama dengan tesa Prof. A. Mukti Ali dan Fazlurrahman yakni, apabila umat Islam mau dan mampu menguasai cara berpikir dan pendekatan ilmiah moderen untuk mencerahkan dan memurnikan dan mendinamisir penafsiran Al-Qur`an dan menekuni sejarah Islam kita akan lebih jaya dari bangsa-bangsa Barat. Tugas menyeruh kearah kebangkitan pendekatan ilmiah modern bagi pengembangan agama Islam yang cerah, lues dan dinamis adalah kewajiban sastrawan Muslim yang berwawasan masa depan bagi kemajuan umatnya.

Bahwa sastra Islam yang berkembang di Indonesia adalah sastra pasca abad tiga belas Masehi, yakni sastra Islam yang pudar daya ijtihadnya (daya kritis ilmiyahnya), Yaitu abad dominasi sastra sufi atau relegius-mistis yang jadi inti ajarannya. Maka menurut kodratnya sastra ekspresif yang mistis ini tentu banyak mengandung kepercayaan-kepercayaan mitos yang imajinatif atau khayalli sifatnya. Wadahnya memang sangat indah, bahasanya sangat gemerlap. Namun isinya banyak menyodorkan konsep-konsep yang khayali bila ditinjau dari ajaran tauhid Islami. Kepercayaan adanya Nur Muhammad, sifat Lahud, Nasut, tentang Wali-wali keramat. Martabat tujuh, Alam Ahadiya, Wadhdah, Wahidiyah, alam aerwah, alam misal, alam ajsam, dan sebagainya adalah samar dan khayali dasarnya. Tuhan immanen dalam diri manusia dan jagad raya, tamsil qalbu laksana cermin, cerita tentang She Amongraga beserta ajaran-ajarannya dalam sastra Chenthini, semua imajinasinya.

Zaman baru atau zaman modern sekarang ini agama dan umat Islam dihadapkan pada era ilmiah moderen dimana alam pikiran umat manusia tidak cukup dan tidak bisa dihadapi hanya dengan mengandalkan normative Islam saja. Warisan ilmu agama masa lalu dalam kitab-kitab kuning tidak mencukupi lagi untuk menghadapi alam pikiran ilmiah modern. Oleh karena itu perlu penggalakkan penelitian dan penggalian aspek Islam yang historis (historical Islam). Masa lalu ulama-ulama kita hanya bise menggali dan mencoba merumuskan ajaran normatif. Zaman modern cara penelitian ilmiah memberi sarana untuk bisa menganalisa secara kritis tentang interaksi Islam dengan lingkungan sosial budaya ditempat. Ilmu pengetahuan modern memberi fasilitas yang bagus bagi calon ulama untuk meneliti dan menggali ilmu-ilmu keislaman yang baru, yang historis. Dan hanya dengan ilmu-ilmu keislaman yang historis (historical Islam) pendidikan agama bisa diringkaskan dan dimodrenisis untuk menghasilkan calon ulama yang bisa berfikir analisis kritis.

Daftar Bacaan
Ali, Munir. 1990. Kajian Kesusasteraan Melayu Traditional. Selangor : Dewan Bahasa dan Pustaka.

Alisjahbana, Sultan Takdir. 1996. Pemikiran Islam dalam Menghadapi Globalisasi dan Masa Depan Umat Manusia. Jakarta : Rajawali Press.

Danandjaja. James . 1984. Folklor Indonesia. Jakarta : Grafiti Pers.

Daradjat, Zakiah. 1979. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta : Bulan Bintang.

Departement Agama RI. 1989. Al Qur`an Dan Terjemahnya. Semarang CV Toha Putera.

Departement Pendididkan dan Kebudayaan RI. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jakarta : Balai Pustaka.

Hadikusumo, Djarnawi. 1962. Tuntunan Hidup. Medan : Saiful.

Hajar Al-`Asqalni. Tt. Bulughul Maram. Terj. Moh. Machfuddin Aladip. Semarang : CV Toha Putera.

Hamdani, Hamzah. 1988. Pemikiran Sastera Nusantara. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka.

Hamid, Ismail. 1991. Masyarakat dan Budaya Melayu. Kuala Lumpur Dewan Bahasa dan Pustaka.

Hidayat, Ika Rochjatun Sastra. 1982. Ilmu Pengetahuan Modern dan Agama Islam. Malang : Yayasan Pusat Pendidikan Avicenna.

Husny, Tengku Lah. 1979. Butir-butir Adat Melayu Pesisir Timur Sumatera. Medan : BP Husny.

Jassin, HB. 1981. Tifa Penyair dan Daerahnya. Jakarta : Gunung Agung.

Keraf, Gorys. 1990. Komposisi. Jakarta : Erlangga.

Luxemburg, Jan van. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta : Gramedia.

Mihardja, Achdiat K. 1975. Polemik Kebudayaan. Jakarta : Balai Pustaka.

Nawawi, Hadari. 1991. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Osman, Mohd Taib. 1989. Masyarakat Melayu: Struktur, Organisasi, dan Manifastasi. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka.

Rasyid, Sulaiman. 1977. Fiqh Islam. Jakarta: Attahiriyah.

Saleh, Siti Hawa. 1987. Cendikia Kesusasteraan Melayu Tradisional. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka.

Salim, Hadiyah. 1985. Tarjamah Mukhtarul Ahadits. Bandung : Al-Ma`rif.

Sutrisno, Sulastin et. Al. (Ed). 1986. Bahasa-Sastra-Budaya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Tatapangarsa, Humaidi. 1979. Pengantar Kuliah Akhlak. Surabaya: Bina Ilmu.

Teeuw, A. 1989. Sastra dan ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Ya`cub, Hamzah. 1978. Ethika Islam. Jakarta: Publicita.

Zalila Sharif dan Jamila Haji Ahmad (Ed.). 1993. Kesusasteraan Melayu Tradisional. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka

Sumber : library.usu.ac.id