Keraton Kasepuhan Cirebon Dan Keraton Kanoman

Cirebon berasal dari kata cai dan rebon. Maksudnya tidak lain adalah terasi yang dibuat dari rebon (udang kecil). Pada suatu ketika rombongan tamu dari Raja Galuh berkunjung ke Cirebon. Para utusan itu merasa puas dengan hidangan yang disediakan tuan rumah. Suguhan tersebut dimasak dengan bumbu terasi. Sesampainya di Rajagaluh, mereka memperkenalkan oleh-oleh berupa terasi kepada saudara dan tetangga yang diterima dengan senang hati. Hal ini sampai ke telinga Raja, sehingga mereka diminta untuk menghadap Raja dan mempersem bahkan oleh-oleh terasi tersebut. Para abdi memasak terasi tersebut menjadi hidangan istimewa. Maka sejak itu Raja menyuruh penduduk Galuh untuk berdagang dengan Cirebon terutama terasi.

Keraton-keraton yang berada di Cirebon telah menjadi saksi sejarah panjang Kota Cirebon sejak abad 13 hingga sekarang, mulai dari terbentuknya Kesultanan Cirebon hingga terbagi menjadi empat kepemimpinan seperti sekarang. Sejarah tersebut dapat terceritakan kembali secara detail saat kita mengunjungi setiap keraton yang terdapat di Cirebon. Setiap situs yang tertinggal di keraton-keraton ini memiliki falsafah yang luhur yang (semestinya) mampu menjadi potensi filosofis sebuah kota untuk maju dan berkembang. Namun sangat disayangkan, pada saat ini daerah kesultanan justru menjadi daerah yang tertinggal dalam hal pengembangan kota. Keraton menjadi sebuah tengaran (landmark) hanya dalam pengertian tengaran dalam sejarah panjangnya, namun dalam pengertian fisik bangunan tengaran di dalam kota, Keraton tidak cukup kuat lagi keberadaannya. Tertutup oleh bangunan-bangunan lain yang menyembunyikan keberadaan keraton yang dulunya pusat sebuah kota bernama Cirebon. (Keraton Kasepuhan tertutup oleh bangunan-bangunan perumahan yang mengelilinginya, Keraton Kanoman tertutup oleh besarnya Pasar Kanoman yang juga sekaligus menjadi gerbang masuk utama menuju Keraton Kanoman).

Perkembangan perkotaan yang dirasa semakin tidak terkendali semestinya dapat dibatasi dengan perencanaan yang turut mendasarkan perkembangan beberapa bagian wilayah kota pada studi sejarah dari masa Kesultanan Cirebon hingga menjadi Kota Cirebon seperti sekarang. Kekuatan dan potensi sejarah mampu menjadi alur yang kuat untuk membawa pengembangan fisik Kota Cirebon menjadi objek wisata budaya misalkan seperti Yogyakarta yang mapan dengan Keraton, budaya dan sejarah lokalnya.

Keraton
Jika dilihat dari pengertian keraton sebagai wadah institusional kesultanan, Cirebon sebenarnya memiliki empat buah Keraton, yaitu Kasepuhan, Kanoman, Keprabonan, dan Kacirebonan. Namun, jika keraton dilihat dalam pengertian arsitektural, yang cocok disebut sebagai (bangunan) keraton hanyalah Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman, karena hanya kedua Keraton tersebut yang memiliki bagian-bagian bangunan yang seharusnya ada dalam sebuah komplek keraton, seperti alun-alun, masjid agung, siti inggil, dll (CMIIW). Sementara kedua keraton yang lain (dalam pengertian arsitektural) lebih tepat dibilang sebagai bangunan ndalem. Keempat keraton tersebut memiliki potensi dan kekurangannya masing, hal-hal tersebut dapat menjadi pertimbangan untuk pengembangan lingkungan sekitar keraton selanjutnya, akan dibawa kemanakah pengembangan fisik lingkungan sekitar keraton-keraton ini selanjutnya.

1. Keraton Kasepuhan
Sebagai keraton Kesultanan Cirebon yang pertama, Keraton Kasepuhan memiliki sejarah yang paling panjang dibanding ketiga keraton lainnya. Keraton ini juga memiliki wilayah kekeratonan yang terluas, wilayah Baluarti kekeratonannya mencapai lebih dari 10 Ha. Lazimnya sebuah keraton di Pulau Jawa, keraton ini terletak di selatan alun-alun dengan Masjid Agung Sang Cipta Rasa di barat alun-alun.

Sementara itu, penjara di utara alun-alun dan pasar di timur alun-alun sudah tidak ada lagi. Alun-alun sendiri yang seharusnya menjadi potensi sebagai ruang publik bagi masyarakat cirebon, kurang berfungsi optimal selain sebagai tempat untuk pelaksanaan tradisi di hari-hari tertentu, dan acara-acara tertentu. Selebihnya alun-alun di Keraton Kasepuhan hanya menjadi lapang kosong yang minim aktivitas didalamnya. Beberapa penjual Nasi Lengko bisa kita temui di depan Masjid Agung, namun disisi lain kondisi alun-alun relatif sepi.

Pada masa awal didirikannya Keraton Kasepuhan ini, bagian yang pertama kali dibangun adalah bangunan Keraton Pakungwati I (Jika kita ke Keraton Kasepuhan, bangunan ini terletak di bagian timur komplek Keraton). Keraton Pakungwati dibangun menghadap ke arah Laut Jawa dan membelakangi Gunung Ciremai. Bangunan ini terdapat disebelah timur bangunan Keraton Pakungwati II yang dibangun pada masa selanjutnya (bangunan Keraton yang lebih baru yang akan kita temui saat masuk melalui Siti Inggil). Banyak sejarah penting yang tersimpan di dalam keraton ini, banyak juga falsafah hidup masyarakat cirebon dulu yang dapat dipelajari di dalam keraton ini. Saat saya berkunjung kesana, saya dan kawan saya terpesona dengan setiap maksud atau filosofi yang dijelaskan oleh pemandu akan setiap bagian bangunan atau koleksi dari keraton. Misalkan: selasar menuju Bangsal Prabayaksa (singgasana sultan) yang dibuat tidak tegak lurus terhadap bagian teras depan bangunan keraton. Hal ini ternyata dimaksudkan agar apabila ada musuh menyerang, meraka tidak dapat langsung melihat dan menyerang menuju singgasana, namun dibuat membelok dan dapat lebih mudah diatasi.

Atau kerikil-kerikil yang tersebar merata ditanah disepanjang pinggir pagar yang ditujukan untuk mengantisipasi penyusup yang masuk, sebab suara kerikil akan langsung terdengar begitu ada yang menginjak dan berjalan diatasnya.

Sebuah filosofi akan kearifan dan kebijaksanaan sultan salah satunya diceritakan oleh pemandu saat menjelaskan mengenai sebuah tandu bebrbentuk makhluk berkepala burung dan berbadan ikan. “Setinggi-tingginya seorang pemimpin terbang dan berada di langit kepemimpinannya, ia tetap harus mampu melihat dan menyelami keadaan setiap rakyat yang berada dibawahnya”. Dan masih banyak lagi penjelasan yang indah akan kebijaksanaan dan kearifan yang semestinya dimiliki seorang Sultan pada setiap bagian keraton.

Perca lain dari sejarah yang tersisa adalah bangunan Lawang Sanga di bagian selatan Kerat0n, tepat di sisi Sungai Krayan. Bangunan ini merupakan bangunan kepabeanan pada masa Kesultanan Cirebon dulu, sebagai tempat bea dan cukai kesultanan cirebon dahulu kala, pada masa itu bangunan ini menjadi bangunan terpenting bagi perekonomian Kesultanan Cirebon, dimana setiap barang yang masuk dari luar kerajaan dibawa oleh perahu yang berlayar dari arah laut jawa untuk kemudiang menyusuri kali Krayan, dan memasuki Bangunan Lawang Sanga ini (saya jadi terbayang hebatnya perekonomian Cirebon pada masa itu, dengan perahu-perahu yang menyusuri kali membawa barang dagangan dari daerah-daerah lain, termasuk Arab dan Cina.

Pemugaran kawasan Kesultanan Kasepuhan ini dapat mengembalikan sejarah yang mungkin telah terlupa bagi sebagian masyarakat Cirebon saat ini. Dan menjadi potensi wisata bagi para pengunjung Kota Cirebon.

2. Keraton Kanoman
Tidak jauh dari Kraton Kasepuhan terdapat sebuah Kraton lain bernama Kraton Kanoman yang di bangun pada tahun 1588 oleh Sultan Badaruddin yang memisahkan diri dari Kesultanan utama Cirebon karena berbeda pendapat dengan saudaranya mengenai siapa yang berhak menjadi ahli waris Kesultanan Cirebon.

Sebagaimana umumnya Kraton di Jawa, Bangunan Kraton Kanoman seluruhnya menghadap ke utara. Di luar bangunan Kraton terdapat sebuah bangunan bergaya bali yang disebut dengan Balai Manguntur yang terbuat dari Batu merah. Di dekat bangunan Balai Maguntur ini terdapat sebuah pohon beringin yang berukuran besar. Fungsi bangunan ini adalah tempat kedudukan Sultan apabila menghadiri Upacara seperti apel prajurit atau menyaksikan pemukulan gamelan Sekaten pada tanggal 8 Maulid dan lain-lain. Ada juga masyarakat yang mengatakan bahwa Balai Maguntur diartikan sebagai Balai mangunn tutur yang artinya tempat sultan berpidato atau berbicara kepada masyarakat tentang hukum dan agama.

Setelah melewati patung berbentuk naga, pengunjung akan sampai di bangunan Kraton Kanoman, sebuah istana yang lebih kecil ukurannya dari pada Kraton Kasepuhan. Kraton Kanoman mempunyai pendopo dengan sebuah altar didalamnya, disini terdapat koleksi piring-piring antik dari Eropa.

Kraton Kanoman juga mempunyai museum dengan pintu-pintunya yang berukir, koleksi terpenting museum ini adalah Kereta Perang Paksi Naga Liman dan Kereta Jempana dengan bentuk mirip seperti kereta pada Kraton Kasepuhan, Kereta yang terdapat di Krataon Kanoman ini di klaim sebagai yang kereta yang lebih tua. Bahkan kerata yang disebut-sebut merupakan duplikat dari kereta yang terdapat di Keraton Kanoman. Koleksi museum lainnya adalah aneka senjata seperti keris dan tombak, gamelan dan lain-lain.

Museum yang terdapat di Kraton Kanoman ini tidak memiliki jadwal kunjungan yang teratur. Pengunjung yang datang kesini harus melapor dan mengisi buku tamu dan pemandu akan membukakan pintu museum dan menemani pengunjung berjalan mengelilingi museum. Selesai mengunjungi Kraton Kanoman ada baiknya anda melihat-lihat Pasar Kanoman yang terletak persis di depan Kraton.

Pada komplek Keraton Kanoman inilah pertama kali dibangun sebuah bangunan kerajaan sebelum pindah ke Pakungwati 1 di lokasi Keraton Kasepuhan, bangunan tersebut merupakan bangunan tertua di Cirebon. Komplek Keraton ini terpencil keberadaannya di tengah Kota Cirebon, tertutup oleh bangunan Pasar Kanoman di bagian utara, ruko-ruko di sepanjang jalan Lemahwungkuk yang terleta di sebalah timur Keraton Kanoman, dan bangunan perumahan permukiman di sebelah selatan dan baratnya. Bangunan Keraton nyaris tenggelam diantara bangunan-bangunan yang mengelilinginya. Padahal sebagai potensi sebuah kota, keraton ini sebaiknya mudah dijangkau oleh setiap warga kota dan wisatawan.

Seperti di Keraton Kasepuhan, alun-alun keraton yang seharusnya menjadi ruang publik yang terbuka sebagai tempat aktivitas warga saat ini kurang berfungsi secara optimal sebagai ruang publik. Alun-alun ini lebih terlihat sebagai ruang perluasan Pasar Kanoman, dibandingkan sebagai ruang depan Keraton Kanoman, kondisi yang harus segera diperbaiki dan dikembangkan fungsinya. Namun demikian pada acara-acara tradisi tertentu lapangan ini akan berubah menjadi lautan orang yang membludak ingin mengikuti tradisi seperti Muludan dan acara-acara tradisi lainnya.

Komplek Keraton Kanoman sendiri memiliki ruang yang cukup menarik sebagai tempat wisata, dengan pohon-pohon beringin yang rimbun serta taman-taman keraton yang dikelilingi benteng bata menjadi sebuah oase yang sejuk di tengah Kota Cirebon yang cukup panas. Apalagi sambil menikmati tahu gejrot yang pedas dan segar. Maknyuss. Dan lebih daripada itu, (lagi) bagian sejarah yang menyambung dari sejarah Kesultanan Kasepuhan bisa diketahui dari Keraton ini.

3. Keraton Keprabon
Keraton Keprabon terletak di Jalan Lemah Wungkung, di dekat Keraton Kanoman. Keraton ini dari segi arsitektural lebih tepat disebut bangunan Ndalem, karena Keraton Keprabon tidak memiliki struktur sebuah komplek atau bangunan keraton, tidak memiliki alun-alun, dan masjid agung, namun lebih terlihat sebagai sebuah kediaman pemangku adat (Ndalem). Akses masuk keraton ini adalah sebuah gang selebar 3 meter diantara deretan ruko. Kami sampai-sampai melewati gerbang masuknya karena tidak menyadari bahwa jalan masuk Keraton Keprabon tersebut hanya berupa gang kecil. Bangunan di dalamnya pun sangat sederhana, tidak menunjukkan kemewahan dan kemegahan sebuah keraton, lebih berbentuk rumah dengan halaman kecil didalamnya. Sebagai situs sejarah, dan bagian dari garis sejarah Kesultanan Cirebon, sesederhana apapun bentuk bangunannya, keraton ini tetap merupakan potensi yang patut dikembangkan.

4. Keraton Kacirebonan
Kesultanan Kacirebonan merupakan kesultanan pecahan dari Kesultanan Kanoman, terletak di pinggir jalan besar Pulosaren. Keraton ini memiliki aksesibilitas yang paling mudah dibanding ketiga keraton lainnya karena terletak tepat dipinggir sebuah jalan besar.
Sama seperti Keraton Keprabon, bangunan Keraton Kacirebonan tidak termasuk tipologi arsitektural bangunan keraton. Bentuk bangunannya lebih seperti bangunan pembesar pada zaman kolonial Belanda, dengan pengaruh arsitektur eropa yang kuat. Di Keraton ini terdapat sebuah sanggar tari topeng cirebon yang sudah mulai ditinggalkan. Beberapa pemuda pertukaran budaya dari Brazil sempat belajar tari topeng disini, seorang wanita dari keraton tersebut yang mengantarkan kami melihat-lihat bangunan keraton dengan bangganya memperlihatkan foto-foto para bule tersebut menari topeng. Tari Topeng Cirebon sangat khas dan menarik, sayang sekali bila harus punah dan tidak ada yang melestarikannya. Ternyata di Keraton Kacirebonan ini budaya tersebut masih terus dilestarikan dengan sanggar tarinya. Satu potensi lain dari satu keraton lain di Cirebon. Kalau ada yang bertanya mengapa Keraton di Cirebon banyak sekali itu semua terkait dengan perjalanan sejarah Kesultanan Cirebon yang juga penuh intrik dan perseteruan antar saudara (putra mahkota).

Sumber : http://www.gfmcirebon.com