Kepulauan Riau dan Malaysia : Hubungan Sejarah untuk Masa Depan yang Lebih Baik

Oleh : Ismeth Abdullah*)

Provinsi Kepulauan Riau adalah provinsi ke-32 di Republik Indonesia, ditetapkan berdasarkan Undang-undang No. 25 Tahun 2002, dan diresmikan pada 1 Juli 2004. Semula kawasan provinsi ini merupakan bagian dari Provinsi Riau (yang berdiri pada tahun 1957). Secara administratif kawasan ini terbagi dalam empat kabupaten dan dua kota, Bintan merupakan salah satu nama kabupaten, di samping Kabupaten Karimun, Kabupaten Lingga, Kabupaten Natuna, dan Kota Batam serta Kota Tanjungpinang.

Wilayah Provinsi Kepulauan Riau membentang seluas sekitar 252.000 kilometer persegi, sebagian besar yakni 95% terdiri dari lautan, memiliki sekitar 2.408 pulau yang tersebar luas mulai dari Selat Melaka hingga ke Laut Cina Selatan dekat dengan Vietnam. Pulau-pulau kecil dan besar yang tersebar di hamparan lautan membuat Kepulauan Riau dijuluki “Segantang Lada.”

Jejak-jejak Sejarah
Sebagaimana terlihat pada peta, Kepulauan Riau memang merupakan bagian yang secara historis menyatu dengan perkembangan kawasan-kawasan Selat Melaka selama berabad-abad yang silam. Di wilayah ini terdapat pulau Bintan, yang pada abad ke-13 didatangi Sri Tribuana dari Bukit Siguntang, dekat Palembang. Dari pulau inilah peradaban Melayu di Selat Melaka berkembang, seiring dengan penemuan Temasik (Singapura), kemudian penubuhan Kerajaan Melaka yang berjaya menjadi kerajaan dan pusat perniagaan dominan di nusantara abad ke-14 – 15.

Setelah Melaka runtuh, pusat kerajaan penerusnya berpindah-pindah, berturut-turut ke Hulu Riau (Riau merujuk pada nama sungai di pulau Bintan), Johor, Pekantua Kampar, kembali lagi ke Johor, lalu ke Kotapiring (lagi: Bintan). Demikianlah, sejak abad ke-13 sampai awal abad ke-19, secara umum tanah semenanjung, kepulauan Riau, serta sebagian Sumatera Timur (kawasan Provinsi Riau dan sebagian Sumatera Utara sekarang) sesungguhnya merupakan satu kesatuan politik dan budaya.

Kesatuan politik itu, khususnya, mulai berakhir manakala dua kuasa kolonial, Belanda dan Inggris, pada tahun 1824 menandatangani Traktat London (Treaty of London) yang membelah kawasan ini menjadi dua wilayah pengaruh politik. Singapura dan negeri-negeri semenanjung berada di bawah kuasa politik Inggris, sedangkan Riau dan Sumatera Timur di bawah kuasa Hindia-Belanda.

Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang sebagai pewaris Melaka dibelah-bagi menjadi Riau-Lingga (di bawah pengaruh Hindia Belanda) dan Johor-Pahang (di bawah pengaruh Inggris). Pembagian melalui Traktat London itu, dalam historiografi Melayu di kepulauan Riau dicatat dalam nada pedih, sebagai bentuk cerai-paksa sebuah keluarga (misalnya, sebagaimana dinyatakan Raja Ali Haji dalam Tuhfat al-Nafis).

Kerajaan Riau-Lingga pasca Traktat London tersebut membangun pusatnya di Daik-Lingga, dengan pemerintahan berada di tangan Yang Dipertuan Muda yang berkedudukan di Penyengat. Setelah Sultan Abdul Rahman Muazzamsyah berkuasa, pusat kerajaan Riau-Lingga ini sepenuhnya berada di Pulau Penyengat, sampai kerajaan ini dibubarkan oleh Belanda (de jure: 1911; de facto: 1913).

Pemecahan politik Melayu oleh dua kuasa kolonial itu, memang membekaskan perkembangan yang berbeda dalam geliat ekonomi kawasan Selat Melaka semasa abad ke-19. Inggris menumpukan pembangunan pada Singapura, dan menjadikan pulau ini sebagai pusat perniagaan yang diunggulkan, selain Pulau Pinang. Sementara Belanda yang menguasai wilayah yang begitu luas nampaknya hanya menekankan aspek pemeliharaan keamanan Selat Melaka sebagai jalur perdagangan.

Diplomasi dan perang sebagai pilihan penyelesaian konflik-konflik yang melibatkan Belanda di Riau-Lingga dan Daerah Takluknya pada abad ke-19 pasca 1824, hampir seluruhnya berkenaan dengan keamanan Selat Melaka dan Laut Cina Selatan, yang berada di bawah domain mereka. Belanda lebih fokus membangun Jawa sehingga pembangunan kawasan di titik-titik potensial di Riau-Lingga terabaikan, dan membuat Singapura menjadi pusat perdagangan tunggal di kawasan ini. Sampai kekuasaan Belanda berakhir, kita menyaksikan tidak ada satupun kawasan di bekas kerajaan Riau-Lingga dan Daerah Takluknya yang berkembang sebagai bandar perdagangan yang setara dengan Singapura atau Pulau Pinang. Maka dalam pengalaman sosial Riau-Lingga semasa Traktat London 1824 itu juga mempercepat kemerosotan ekonomi para elite dan rakyat kerajaan.

Namun pemecahan dan tekanan politik bersama kemerosotan ekonomi itu ternyata tidak mengakibatkan perasaan ‘bersaudara‘ ikut terkikis. Perasaan bersaudara itu dengan jelas terus bergema di dalam karya-karya budaya Riau-Lingga abad ke-19 dan awal abad ke-20. Seperti misalnya didalam Tuhfat al-Nafis-nya yang terkenal itu, Raja Ali Haji selalu memaparkan perkembangan di semenanjung dan Singapura semasa sebagai bagian yang menyatu dengan kronik dan kisahan sejarahnya tentang Riau-Lingga. Kamus Melayunya yang berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa pun menyebutkan bahwa kata-kata atau istilah yang dimaknakannya itu adalah kata atau istilah dari bahasa Johor-Riau. Rekannya, Haji Ibrahim, menulis buku percakapan berjudul Cakap-cakap Rampai-rampai Bahasa Melayu Johor (1872).

Perasaan menyatu sebagai saudara itu demikian kentalnya, sehingga bagi orang kepulauan Riau, kawasan semenanjung adalah juga ‘kampung halaman‘ yang memberi kemungkinan bagi mereka untuk pulang. Di bawah tekanan Belanda, misalnya, Sultan Abdul Rahman Muazzamsyah meninggalkan Penyengat pada tahun 1913, ‘pulang‘ ke Singapura sampai baginda wafat di negeri yang menjadi bagian kerajaan Johor itu, dan dikebumikan di pemakaman Masjid Negara Johor di Telok Belanga. Pengarang Aisyah Sulaiman, setelah suaminya bernama Khalid Hitam meninggal di Jepang, juga ‘pulang‘ ke Johor dan wafat di sana. Demikian pula Raja Ali Kelana, dan pejuang kemerdekaan bernama Raja Haji Muhammad Junus. Mereka seperti meniru ‘kepulangan‘ pendahulunya, Sultan Mahmud dari Kampar pada abad ke-16, yang dalam desakan penjajah, ‘bergerak pulang‘ ke Bintan, lalu kembali ke Kampar, sampai wafat di sana.

Kerjasama menuju masa depan yang lebih baik
Tinjauan dari perspektif sejarah di atas menegaskan bahwa Kepulauan Riau merupakan bagian dari tapak-tapak perjalanan Melayu di Selat Melaka, yang kini berada di tiga negara: Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Dalam konteks pengembangan hubungan masa kininya dengan Malaysia, masyarakat dan pemerintah Kepulauan Riau dewasa ini memiliki peluang yang lebih besar dibanding sebelumnya. Sejak pemerintah pusat menerapkan desentralisasi melalui Otonomi Daerah (2001), daerah (provinsi dan kabupaten/kota) mendapat kewenangan yang lebih besar untuk mengambil dan menjalankan inisiatif-inisiatif pembangunan di daerahnya masing-masing.

Bagi Malaysia dan Kepulauan Riau, kedekatan wilayah, kesamaan budaya, dan kemiripan sejarah merupakan modal yang penting untuk menjalin kerjasama yang saling menguntungkan. Kerjasama segi tiga pertumbuhan Singapura-Johor-Riau (SIJORI) yang penerapannya dulu sering terhambat oleh keharusan-keharusan pengurusan di tingkat pemerintah pusat, kini bisa diselesaikan di daerah secara lebih flexible dan penuh persaudaraan. Kerjasama pertumbuhan SIJORI adalah merupakan sesuatu tidak dapat dipungkiri lagi dan secara geografis dan historis, seperti selat malaka dan sejarah melaya, justru merupakan kekuatan dari ketiga kawasan tersebut. Singapura telah melesat maju dengan cepat dan mempesona, diikuti oleh Johor dan kini Kepulauan Riau mendekatinya.

Di samping itu, Kepulauan Riau telah ditetapkan oleh Jakarta sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (Special Economic Zone atau Free Trade Zone) untuk 3 wilayahnya yakni Batam, Bintan dan Karimun (BBK). Perubahan Undang-undangnya sudah ditandatangani oleh Presiden dan saat ini sedang menunggu peraturan yang lebih rinci. Special Economic Zone di Kepulauan Riau yakni diwilayah Batam, Bintan dan Karimun (BBK) mencakup luasan 5.000 kilometer persegi, dan terletak diselat malaka dan selat Singapura berhadapan langsung dengan Johor dan Singapura dalam jangkauan hanya sekitar 25 s/d 35 kilometer. Dengan income percapita di wilayah BBK yang sudah mencapai di atas 5000 USD dan total Foreign Direct Investment sebesar 9 billion USD, maka diyakini kawasan BBK ini dalam beberapa tahun ke depan sudah akan mencapai kemampuan seperti saudara-saudaranya Singapura dan Johor.

Kebijakan mengenai SEZ dan SIJORI tersebut, serta bentuk-bentuk kerjasama sub-regional lainnya adalah bagian dari upaya yang penting dari Provinsi Kepulauan Riau yang mesti dilakukan untuk mengatasi tantangan pembangunan kawasan yang pulau-pulaunya tersebar di wilayah yang sangat luas, di samping memanfaatkan potensi besar yang dimiliki Kepulauan Riau untuk dapat tumbuh dan berkembang sebagai provinsi yang maju. Potensi tersebut di antaranya adalah letak yang strategis (di lintasan perdagangan internasional dan di perbatasan dengan negara-negara tetangga Singapura, Malaysia, dan Vietnam), kekayaan alam (berupa tambang seperti minyak dan gas di Natuna, bauksit di Bintan, timah di Bintan dan Karimun, dan granit di Karimun), serta tersedianya lahan yang bisa dikembangkan sebagai perkebunan, kemudian adanya lautan yang begitu luas dan kaya akan hasil-hasil laut, serta dikaruniai dengan pulau-pulau yang memiliki pasir putih dan pemandangan indah.

Yang mendasari perkembangan itu semua adalah , kekayaan sejarah dan budaya Melayu di Kepulauan Riau (di Bintan, Lingga, Penyengat, Karimun, dll.) yang merupakan bagian dari kekayaan sejarah Melayu pada umumnya. Penanganan yang serius terhadap situs-situs dan warisan sejarah ini bukan hanya bertujuan menggali peluang-peluang ekonomis yang dikandungnya (seperti wisata sejarah), tetapi juga merupakan tanggung jawab generasi kini untuk memelihara dan mewariskannya ke masa depan, dalam wujud kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Kemakmuran dan kejayaan sebagaimana yang pernah dialami di abad ke 13 dan 14.

Di tengah gemuruh globalisasi yang menghantam seluruh belahan dunia, peninggalan- peninggalan sejarah adalah bahan yang sangat berharga untuk menegaskan jatidiri, kebudayaan, dan peradaban kita sekaligus sejarah haruslah menjadi pemicu semangat kita untuk menciptakan peradaban yang lebih baik di masa depan. Karena itulah masyarakat dan pemerintah Kepulauan Riau antusias menyambut kerjasama regional yang dikembangkan baik oleh pemerintah maupun institusi-institusi lain di Malaysia.

Di bidang kebudayaan, hubungan dengan GAPENA dan sejumlah akademisi Malaysia sudah terjalin erat sejak lama. Baru-baru ini, yakni dalam bulan Mei 2007 di Tanjungpinang (ibukota Provinsi Kepulauan Riau), telah diresmikan pembentukan sekretariat Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI), yang pusatnya di Melaka, yang program-programnya menjanjikan kemajuan-kemajuan peradaban Melayu melalui gerakan ekonomi, pendidikan, dan sosial budaya.

Penutup
Hubungan Malaysia dan Indonesia sudah lama terjalin bahkan jauh sebelum masing-masing negara menikmati kemerdekaannya. Salah satu yang mempererat hubungan ini adalah sejarah masa lalu dalam peradaban melayu di kawasan semenanjung pada abad ke 13. Hingga masa kini ikatan batin itu masih ada bagi warga melayu di semenanjung termasuk di Kepulauan Riau, Johor dan Singapura. Karenanya hubungan tersebut mempunyai dasar yang kuat untuk dapat terus di lestarikan kemasa yang akan datang. Meskipun dimensinya berubah namun semangatnya untuk mencapai kemajuan bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya nampak kuat sekali dan ini akan di wujudkan dalam berbagai bentuk pembangunan ekonomi di wilayah masing-masing dalam suasana kerjasama dan kemitraan. Provinsi Kepulauan Riau sejak berdiri 3 (tiga) tahun yang lalu telah aktif merajut kerjasama dengan Johor, Melaka, Selangor dan Singapura.

Sumber : www.ccm.um.edu.my