Kebudayaan Dayak

Tentang asal mula suku bangsa Dayak, banyak teori yang diterima adalah teori imigrasi bangsa China dari Provinsi Yunan di Cina Selatan. Penduduk Yunan ber-imigrasi besar-besaran (dalam kelompok kecil) di perkirakan pada tahun 3000-1500 SM (SM). Sebagian dari mereka mengembara ke Tumasik dan semenanjung Melayu, sebelum ke wilayah Indonesia. Sebagian lainnya melewati Hainan,Taiwan dan filipina.

Pada migrasi gelombang pertama yang oleh beberapa ahli disebut proto-melayu, datanglah kelompok negroid dan weddid. Sedangkan gelombang kedua, dalam jumlah yang lebih besar di sebut Deutero-Melayu. Para migran Deutero-Melayu kemudian menghuni wilayah pantai Kalimantan dan disebut suku Melayu. Proto-melayu dan Deutero-melayu sebenarnya berasal dari negeri yang sama.

Menurut H.TH. Fisher, migrasi dari asia terjadi pada fase pertama zaman Tretier. Saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan Muller-Schwaner.

Dari pegunungan itulah berasal sungai-sungai besar seluruh Kalimantan. Diperkirakan, dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977-1978)

Cerita selanjutnya suku Dayak adalah tentang bagaimana mereka menghadapi gelombang-gelombang kelompok lain yang datang ke Kalimantan. Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman.

Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasal dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608). Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagian lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum)

Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Banjarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam. Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik (Departeman Pendidikan dan Kebudayaan,1977-1978)

Bahkan sumber lain menyebutkan sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)

Pendapat-pendapat yang ada sejauh ini belum ada yang sungguh memuaskan. Pendapat lainnya umumnya menempatkan orang Dayak sebagai salah satu kelompok suku asli terbesar dan tertua yang mendiami pulau Kalimantan. Gagasan (penduduk asli) ini didasarkan pada teori migrasi penduduk ke Kalimantan. Bertolak dari pendapat itu, diduga nenek moyang orang Dayak berasal dari beberapa gelombang migrasi.

Gelombang pertama terjadi kira-kira 1 juta tahun yang lalu tepatnya pada periode Intergasial-Pleistosen. Kelompok ini terdiri dari ras Australoid (ras manusia pre-historis yang berasal dari Afrika). Pada zaman Pre-neolitikum, kurang lebih 40.000-20.000 tahun lampau, datang lagi kelompok suku semi nomaden (tergolong manusia moderen, Homo sapiens ras Mongoloid). Penggalian arkeologis di Niah-Serawak, Madai dan Baturong-Sabah membuktikan bahwa kelompok ini sudah menggunakan alat-alat dari batu, hidup berburu dan mengumpulkan hasil hutan dari satu tempat ke tempat lain. Mereka juga sudah mengenal teknologi api. Kelompok ketiga datang kurang lebih 5000 tahun silam. Mereka ini berasal dari daratan Asia dan tergolong dalam ras Mongoloid juga. Kelompok ini sudah hidup menetap dalam satu komunitas (rumah panjang) dan mengenal teknik pertanian lahan kering (berladang). Gelombang migrasi itu masih terus berlanjut hingga abad 21 ini. Teori ini sekaligus menjawab persoalan: mengapa suku bangsa Dayak memiliki begitu banyak varian baik dalam bahasa maupun karakteristik budaya.

II.2 Identifikasi Suku Dayak
Dewasa ini suku bangsa Dayak terbagi dalam enam rumpun besar, yakni Kenyah-Kayan-Bahau, Ot Danum, Iban, Murut, Klemantan dan Punan. Keenam rumpun itu terbagi lagi dalam kurang lebih 405 sub suku. Meskipun terbagi dalam ratusan sub suku, kelompok suku Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang khas. Ciri-ciri tersebut menjadi faktor penentu apakah suatu sub suku di Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak. Ciri-ciri tersebut adalah rumah panjang, hasil budaya material seperti tembikar, mandau, sumpit, beliong (kampak Dayak); pandangan terhadap alam, mata pencaharian (sistem perladangan), dan seni tari.

Kepulauan Indonesia yang terbentang luas dan terdiri dari ribuan pulau antara dua benua memang sangat mendukung terjadinya keanekaragaman penduduk dan kebudayaan. Palangka Raya sebagai salah satu kota dari Propinsi Kalimantan tengah yang merupakan bagian dari wilayah kepulauan Indonesia Bagian Timur merupakan cerminan dari masyarakat penuh keaneka ragaman. Dihuni penduduk dengan latar belakang kehidupan, penampilan fisik, tingkat peradaban, agama dan gaya hidup berbeda yang saling berdampingan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat Dayak Kalimantan Tengah adalah masyarakat yang mempunyai akar budaya sendiri, mempunyai adat istiadat yang dihormati dan menjadi pedoman sikap dan perilaku dalam pergaulan hidup sehari-hari.

Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah didiami oleh sedemikian banyak suku Dayak, antara lain : Suku Dayak Ngaju, Suku Dayak Maanyan, Suku Dayak Lawongan, Suku Dayak Dusun, Suku Dayak Ot Danum/Ot Manikit/Ot Patih Tarukah/ Ot siang dan lain-lain. Suku-suku besar tersebut masih terbagi-bagi kedalam sejumlah anak-anak suku. Suku Dayak Ngaju merupakan suku terbesar telah menyebar di wilayah DAS Kahayan dan Rungan, DAS Kapuas, DAS Barito, DAS Katingan.

Di Palangka Raya juga terdapat suatu keanekaragaman yang didasarkan atas agama. Budaya Betang adalah sistem nilai-nilai/norma kehidupan bermasyarakat berdasarkan kekeluargaan, kebersamaan, kesetaraan dalam masyarakat terbuka (civil society) yang Bhineka Tunggal Ika, yang merupakan sub-kultur dari Pancasila. Nilai-nilai yang hidup di kalangan masyarakat Suku Dayak Ngaju ini berkembang terus dalam proses interaksi dan integrasi Nasional dalam bingkai/kerangka budaya (cultural framework) nasional. Pancasila yang relevan dengan perkembangan budaya modern yang global. Sistem nilai yang demikianlah yang akan berkembang menuju suatu peradaban/kebudayaan baru Indonesia dan daerah (dalam hal ini Kalimantan Tengah). Dalam bingkai ini tiap daerah dapat mengembangkan ciri-ciri budaya dan jati dirinya baik dalam wujud sistem nilai, sistem sosial dan wujud fisik masing-masing dalam ke-Bhineka-Tunggal-Ika-an.

Budaya Betang tidak hanya mampu menjadi bingkai budaya pemersatu suku-suku Dayak di Kalimantan Tengah saja, bahkan juga suku-suku Dayak di seluruh Pulau Kalimantan apapun agama yang mereka peluk. Paham dinamisme ini tidak hanya dapat menginteraksi dan mengintegrasi diri dengan sistem nilai yang lain dan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, bahkan juga dengan agama-agama yang ada. Masyarakat Dayak dewasa ini memeluk berbagai agama, tetapi tetap hidup berdampingan secara damai di bawah naungan Betang.

Kerukunan dan kesetaraan dalam perbedaan dan kemajemukan dalam suatu masyarakat terbuka, masyarakat madani, masyarakat Bhineka Tunggal ika sangat sesuai dengan ciri-ciri masyarakat Dayak Ngaju. Polarisasi yang tajam dan dominasi satu asas lainnya tidak akan menjamin kedamaian di bumi Kalimantan.

Menurut Prof. Lambut dari Univesitas Lambung Mangkurat, secara etnologis, maka manusia Dayak haruslah dibagi menjadi :

a. Dayak Mongoloid
b. Dayak Malayunoid
c. Dayak Autrolo-Melanosoid
d. Dayak Heteronoid

Tanah Dayak adalah Afdeeling Dajaklandeen (Afdeeling Tanah-tanah Dayak). Sesuai Staatblad tahun 1898 no. 178 bahwa Afdeeling Dajaklandeen, dengan ibukota Kwala Kapoeas (Kuala Kapuas) terdiri ditrik-distrik :

 Groote Dajak (Dayak Besar) terbagi lagi dalam onderdistrik-onderdistrik :
a. Beneden Kahajan (Kahayan Kuala), Mideen Kahajan (Kahayan Tengah)
b. Boven Kahajan (Kahayan Hulu)
c. Roengan (Rungan)
d. Manoehing (Manuhing)
 Districk Kleine Dajak (Dayak Kecil) terbagi atas onderdistrik :
a. Beneden Kapoeas (Kapuas Kuala)
b. Mideen Kapoeas (Kapuas Tengah)
c. Boven Kapoeas (Kapuas Hulu)

Batang Biaju Besar dan Batang Biaju Kecil
Pada abad ke-14 menurut Hikayat Banjar daerah aliran sungai Kahayan (sungai Dayak Besar) disebut batang Biaju Besar sedangkan daerah aliran sungai Kapuas (sungai Dayak Kecil) disebut batang Biaju Kecil. Wilayah ini meliputi Daerah Aliran Sungai Kapuas dan Sungai Kahayan di Kalimantan Tengah, dewasa ini berkembang menjadi 4 daerah yaitu :

a. Palangkaraya
b. Pulang Pisau
c. Kabupaten Kapuas
d. Gunung Mas

Tanah Dayak adalah sebutan untuk bagian tengah Kalimantan Tengah yaitu DAS Kapuas-Murung dan DAS Kahayan (Palangkaraya, Pulang Pisau, Gunung Mas dan Kabupaten Kapuas). Zaman pemerintahan Hindia Belanda dahulu daerah ini merupakan Afdeeling Dajaklandeen (Afdeeling Tanah-tanah Dayak) yang merupakan wilayah adat suku Dayak Ngaju. Karena itu jika hanya disebutkan Dayak saja, maka identik dengan suku Dayak Ngaju. Seperti juga sebutan Batak berarti suku Batak Toba maupun sebutan Toraja berarti Tana Toraja.
Tanah Dusun adalah Afdeeling Doesoenlandeen (Afdeeling Tanah-tanah Dusun) sesuai Staatblad tahun 1898 no. 178. Afdeeling Doesoenlandeen, dengan ibukota Moeara Tewe (Muara Teweh) terdiri dari Onderadfeeling Boven Doesoen (Dusun Atas) dengan distrik-distrik Distrik Boven Doesoen, terbagi atas :

 Onderdistrik Laoeng
 Onderdistrik Siang Moeroeng

Distrik Mideen Doesoen (Dusun Tengah), terbagi atas :
 Onderdistrik Montallat
 Onderdistrik Kwala Benangin

Onderafdeeling Beneden en Oost Doesoen (Dusun Bawah dan Dusun Timur) dan Mengkatib. Ibukota Buntok. Wilayah ini sekarang lebih populer dengan sebutan Barito Raya. Nama Barito sudah dikenal tahun 1350 dalam Kitab Negarakertagama. Dewasa ini wilayah ini telah berkembang menjadi 4 kabupaten :

a. Barito Selatan
b. Barito Timur
c. Barito Utara
d. Murung Raya

Dayak merupakan sebutan bagi penduduk asli pulau Kalimantan. Pulau kalimantan terbagi berdasarkan wilayah Administratif yang mengatur wilayahnya masing-masing terdiri dari: Kalimantan Timur ibu kotanya Samarinda, Kalimantan Selatan dengan ibu kotanya Banjarmasin, Kalimantan Tengah ibu kotanya Palangka Raya, dan Kalimantan Barat ibu kotanya Pontianak.
Kelompok Suku Dayak, terbagi lagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka.

Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan. Kuatnya arus urbanisasi yang membawa pengaruh dari luar,seperti melayu menyebabkan mereka menyingkir semakin jauh ke pedalaman dan perbukitan di seluruh daerah Kalimantan.

Mereka menyebut dirinya dengan kelompok yang berasal dari suatu daerah berdasarkan nama sungai, nama pahlawan, nama alam dan sebagainya. Misalnya suku Iban asal katanya dari ivan (dalam bahasa kayan, ivan = pengembara) demikian juga menurut sumber yang lainnya bahwa mereka menyebut dirinya dengan nama suku Batang Lupar, karena berasal dari sungai Batang Lupar, daerah perbatasan Kalimantan Barat dengan Serawak, Malaysia. Suku Mualang, diambil dari nama seorang tokoh yang disegani (Manok Sabung/algojo) di Tampun Juah dan nama tersebut diabadikan menjadi sebuah nama anak sungai Ketungau di daerah Kabupaten Sintang (karena suatu peristiwa) dan kemudian dijadikan nama suku Dayak Mualang. Dayak Bukit (Kanayatn/Ahe) berasal dari Bukit/gunung Bawang. Demikian juga asal usul Dayak Kayan, Kantuk, Tamambaloh, Kenyah, Benuag, Ngaju dan lain-lain, yang mempunyai latar belakang sejarah sendiri-sendiri.

Namun ada juga suku Dayak yang tidak mengetahui lagi asal usul nama sukunya. Nama "Dayak" atau "Daya" adalah nama eksonim (nama yang bukan diberikan oleh mayarakat itu sendiri) dan bukan nama endonim (nama yang diberikan oleh masyarakat itu sendiri). Kata Dayak berasal dari kata Daya” yang artinya hulu, untuk menyebutkan masyarakat yang tinggal di pedalaman atau perhuluan Kalimantan umumnya dan Kalimantan Barat khususnya, (walaupun kini banyak masyarakat Dayak yang telah bermukim di kota kabupaten dan propinsi) yang mempunyai kemiripan adat istiadat dan budaya dan masih memegang teguh tradisinya.

Kalimantan Tengah mempunyai problem etnisitas yang sangat berbeda di banding Kalimantan Barat. Mayoritas ethnis yang mendiami Kalimantan Tengah adalah ethnis Dayak, yang terbesar suku Dayak Ngaju, Ot Danum, Maanyan, Dusun, dsb. Sedangkan agama yang mereka anut sangat variatif. Dayak yang beragama Islam di Kalimantan Tengah, tetap mempertahankan ethnisnya Dayak, demikian juga bagi Dayak yang masuk agama Kristen. Agama asli suku Dayak di Kalimantan Tengah adalah Kaharingan, yang merupakan agama asli yang lahir dari budaya setempat sebelum bangsa Indonesia mengenal agama pertama yakni Hindu. Karena Hindu telah meyebar luas di dunia terutama Indonesia dan lebih dikenal luas, jika dibandingkan dengan agama suku Dayak, maka Agama Kaharingan dikategorikan ke cabang agama Hindu.

Propinsi Kalimantan Barat mempunyai keunikan tersendiri terhadap proses alkurturasi cultural atau perpindahan suatu culture religius bagi masyarakat setempat. Dalam hal ini proses tersebut sangat berkaitan erat dengan dua suku terbesar di Kalimantan Barat yaitu Dayak,Melayu dan Tiongkok. Pada mulanya Bangsa Dayak mendiami pesisir Kalimantan Barat, hidup dengan tradisi dan budayanya masing-masing, kemudian datanglah pedagang dari gujarab beragama Islam (Arab Melayu) dengan tujuan jual-beli barang-barang dari dan kepada masyarakat Dayak, kemudian karena seringnya mereka berinteraksi, bolak-balik mengambil dan mengantar barang-barang dagangan dari dan ke Selat Malaka (merupakan sentral dagang di masa lalu), menyebabkan mereka berkeinginan menetap di daerah baru yang mempunyai potensi dagang yang besar bagi keuntungan mereka.

Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Dayak ketika bersentuhan dengan pendatang yang membawa pengetahuan baru yang asing ke daerahnya. Karena sering terjadinya proses transaksi jual beli barang kebutuhan, dan interaksi cultural, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, di kunjungi masyarakat lokal (Dayak) dan pedagang Arab Melayu dari Selat Malaka. Di masa itu system religi masyarakat Dayak mulai terpengaruh dan dipengaruhi oleh para pedagang Melayu yang telah mengenal pengetahuan, pendidikan dan agama Islam dari luar Kalimantan. Karena hubungan yang harmonis terjalin baik, maka masyarakat lokal atau Dayak, ada yang menaruh simpati kepada pedagang Gujarat tersebut yang lambat laun terpengaruh, maka agama Islam diterima dan dikenal pada tahun 1550 M di Kerajaan Tanjung Pura pada penerintahan Giri Kusuma yang merupakan kerajan melayu dan lambat laun mulai menyebar di Kalimantan Barat.

Masyarakat Dayak masih memegang teguh kepercayaan dinamismenya, mereka percaya setiap tempat-tempat tertentu ada penguasanya, yang mereka sebut: Jubata, Petara, Ala Taala, Penompa dan lain-lain, untuk sebutan Tuhan yang tertinggi, kemudian mereka masih mempunyai penguasa lain dibawah kekuasaan Tuhan tertingginya: misalnya: Puyang Gana (Dayak Mualang) adalah penguasa tanah , Raja Juata (penguasa Air), Kama”Baba (penguasa Darat), Jobata, Apet Kuyan'gh (Dayak Mali) dan lain-lain. Bagi mereka yang masih memegang teguh kepercayaan dinamisme nya dan budaya aslinya nya, mereka memisahkan diri masuk semakin jauh kepedalaman.

Adapun segelintir masyarakat Dayak yang telah masuk agama Islam oleh karena perkawinan lebih banyak meniru gaya hidup pendatang yang dianggap telah mempunyai peradaban maju karena banyak berhubungan dengan dunia luar. (Dan sesuai perkembangannya maka masuklah para misionaris dan misi kristiani/nasrani ke pedalaman). Pada umumnya masyarakat Dayak yang pindah agama Islam di Kalimantan Barat dianggap oleh suku dayak sama dengan suku melayu. Suku Dayak yang masih asli (memegang teguh kepercayaan nenek moyang) di masa lalu, hingga mereka berusaha menguatkan perbedaan, suku dayak yang masuk Islam(karena Perkawinan dengan suku Melayu) memperlihatkan diri sebagai suku melayu.banyak yang lupa akan identitas sebagai suku dayak mulai dari agama barunya dan aturan keterikatan dengan adat istiadatnya. Setelah penduduk pendatang di pesisir berasimilasi dengan suku Dayak yang pindah(lewat perkawinan dengan suku melayu) ke Agama Islam,agama islam lebih identik dengan suku melayu dan agama kristiani atau kepercayaan dinamisme lebih identik dengan suku Dayak.sejalan terjadinya urbanisasi ke kalimantan, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, karena semakin banyak di kunjungi pendatang baik local maupun nusantara lainnya.

Untuk mengatur daerah tersebut maka tokoh orang melayu yang di percayakan masyarakat setempat diangkat menjadi pemimpin atau diberi gelar Penembahan (istilah yang dibawa pendatang untuk menyebut raja kecil ) penembahan ini hidup mandiri dalam suatu wilayah kekuasaannya berdasarkan komposisi agama yang dianut sekitar pusat pemerintahannya, dan cenderung mempertahankan wilayah tersebut. Namun ada kalanya penembahan tersebut menyatakan tunduk terhadap kerajaan dari daerah asalnya, demi keamanan ataupun perluasan kekuasaan.

Masyarakat Dayak yang pindah ke agama Islam ataupun yang telah menikah dengan pendatang Melayu disebut dengan Senganan, atau masuk senganan/masuk Laut, dan kini mereka mengklaim dirinya dengan sebutan Melayu. Mereka mengangkat salah satu tokoh yang mereka segani baik dari ethnisnya maupun pendatang yang seagama dan mempunyai karismatik di kalangannya, sebagai pemimpin kampungnya atau pemimpin wilayah yang mereka segani.
Suku Dayak tergolong pada ras melayu Tua, yaitu ras Melayu yang sedikit sekali memperoleh pengaruh kebudayaan asing. Mereka kebanyakan mendapat pengaruh agama Islam, terutama di pantai-pantai.

Suku Dayak merupakan golongan yang heterogen sekali, karena tidak ada kesamaan antropologis (bentuk-bentuk badan dan cultural (kebudayaan). Ada yang besar, ada yang kecil, ada yang berambut keriting, ada yang berambut lurus. Kulitnya ada yang menyerupai suku jawa, ada pula yang hampir seperti orang Eropa. Dalam pergaulan sehari-hari mereka mempergunakan bahasa kesatuan yang disebut bahasa “busang”.
Adapun suku bangsa Dayak yang terdapat di Kalimantan adalah:

1. Suku Punan: bertempat tinggal di Kalimantan tengah, mereka masih hidup di hutan-hutan. Jika di tempat mereka ada yang meninggal dunia, maka mereka meninggalkan tempat kediamannya dan menjadi pengembara.
2. Suku Ola Ngaja dan Ola Ot: bertempat tinggal di Kalimantan bagian Tenggara.
3. Suku dayak Kayan: bertempat tinggal di Kalimantan bagian Utara yang daerahnya meluas sampai ke pntai Utara.
4. Suku Dayak Maanyan Siung atau Dayak Maanyan Siung Dayak: mendiami daerah Sungai Siung, anak Sungai Barito.
5. Suku Dayak Kenyah, Dayak Ot danum, Dayak Desa, Dayak Iban, Dayak Darat, dan lain-lain.

Dari banyaknya suku ini, maka sukar dibedakan manakah yang sebenarnya merupakan suku induk, dan mana yang anak suku. Dahulu anak suku itu tinggal di dalam satu rumah besar yang kira-kira muat 500-600 orang. Rumah semacan iini disebut rumah suku (stamwoning).

1. Kepercayaan atau religi
Sebagaimana kepercayaan bangsa-bangsa primitif pada umumnya, Suku dayak juga mempunyai kepercayaan yang semacam yaitu animisme dan dinamisme.

a) Animisme: mereka percaya pada roh nenek moyang yang pertama kali mendirikan desa itu. Roh tersebut biasanya disebut cikal bakal yaitu roh kepala suku. Roh ini selalu dihormati, dan disebut-sebut pada saat selamatan. Mereka juga percaya pada roh-roh yang bertempat tinggal di gunung, sungai, hutan, dan sebagainya. Roh-roh ini dianggap dapat mendatangkan hujan, angin, petir, topan, dll. Roh-roh ini sangat ditakuti karena sering menimbulkan malapetaka. Diantara roh-roh itu, mereka juga percaya adanya suatu dzat yang tertinggi yang menguasai segala-galanya, yang disebut ”Tamai Tinggi”, artinya bapak yang tertinggi. Sering pula disebut Maharat atau Mahatalla. Mahatara ini adalah pengaruh dari Hindu, asal kata dari Mahabarata, aertinya dewa yang besar. Sedangkan Mahatalla adalah pengaruh dari Islam. Talla = yang artinya Allah yang Maha Tinggi (Ta’ala).

b) Dinamisme: mereka juga percaya pada adanya kekuatan gaib yang ada pada tiap-tiap benda, baik benda mati maupun benda hidup, misalnya lkekuatan pada air, tanah, pohon, kepala manusia, dan rambut. Pedang yang dipakai untuk mengayau (memenggal kepala) pada tangkainya diberi rambut manusia, agar pedang tersebut lebih bertuah. Apabila akan mendirikan bangunan (pabrik) dan sebagainya, dibawahnya ditanamkan sebuah kepala kerbau dan kadang-kadang kepala manusia. Benda-benda seperti rambut dan kepala dianggap suatu benda yang banyak ”mananya” (kekuatan gaib). Mereka juga percaya pada tempayan yang berasal dari Tiongkok. Tempayan-tempayan ini dibawa dan disebarluaskan oleh para pedagang dari Tiongkok hingga jauh ke pedalaman. Benda-benda ini dianggap benda ajaib dan sering dijadikan tanda kebesaran kepala-kepala adat di situ. Air yang ditaruh di dalamnya dianggap suci dan mempunyai kekuatan gaib, digunakan untuk obat karena memiliki makna yang beragam.

c) Kaharingan
Agama Kaharingan masuk dalam agama Hindu sebagai upaya mendapatkan legalitas dari pemerintah karena banyak yang beranggapan salah dengan menyebut Kaharingan sebagai aliran animisme atau dinamisme.

Kaharingan adalah agama yang menyembah Tuhan Yang Maha Esa Ranying Hatara Langit. Umat Hindu Kaharingan merupakan yang terbesar kedua di Kalteng, setelah Islam dan menurut uraian statistik banyak berada di pedalaman. Namun diakui umat Kaharingan di pedalaman mengalami sedikit kendala dalam hal kemajuan dibanding masyarakat di perkotaan.

Tidak beda dengan agama lainnya. Orang dayak, khususnya seperti yang diajarkan di Kaharingan sangat menjunjung tinggi kebersamaan, kedamaian, serta demokrasi dalam hidup bermasyarakat. Filosofi budaya rumah betang sebagai bukti tingginya penghormatan masyarakat Dayak terhadap rasa kebersamaan dan kesetiakawanan. Masyarakat Dayak Kaharingan, menurutnya, tidak primitif seperti yang dibayangkan banyak orang. Kekuatan spiritual Kaharingan dipandang mampu menumbuhkan semangat dan jalan keluar dalam hal ekonomi seperti membentuk etos kerja seseorang. Dalam hal politik, Kaharingan juga mengajarkan bagaimana pentingnya kebersamaan dengan cinta kasih tulus dan ikhlas.

2. Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan orang Dayak Kalimantan Tengah baik Ngaju, Ot danum, maupun Ma’anyan berdasarkan prinsip keturunan ambilineal, yang menghitungkan hubungan kekerabatan untuk sebagian orang dalam masyarakat melalui orang laki-laki dan untuk sebagian orang yang lain dalam masyarakat itu juga, melalui orang-orang wanita.

Dahulu, pada waktu di daerah Kalimantan Tengah masih ada rumah panjang, kelompok kekerabatan yang terpenting dalam masyarakat mereka adalah keluarga ambilineal kecil. Bentuk keluarga ini timbul kalau ada keluarga luas yang utrolokal. Keluarga luas utrolokal terjadi kalau dalam suatu masyarakat ada adat menetapsesudah nikah yang utrolokal. Adat tersebut timbul kalau sebagian dari anak laki-laki maupun perempuan sesuadah kawin membawa masing-masing keluarganya untuk tinggal dalam rumah orang tua, dengan demikian menjadi satu keluarga luas. Untuk memperkluat rasa identitet itu msks dikembangkan orientasi terhadap nenek moyang yang hidup dua sampai tiga angkatan yang lampau.

Di jaman sekarang, kelompok kekerabatan yang terpenting adalah keluarga luas utrolokal yang di Kalimantan Tengah biasanya menjadi isi suatu rumah tangga. Rumah tangga ini juga berlaku sebagai kesatuan fisik misalnya dalam sistem gotong royong, dan sebagai satu kesatuan rohaniah dalam upacara-upacara agama Kaharingan. Setiap keluarga luas memiliki roh pelindung sendiri, dan beberapa diantaranya memuja roh-roh nenek moyangnya sendiri. Kecuali itu, setiap rumah tangga kaharingan memiliki pantangan terhadap makanan khusus yang harus ditaati warganya. Kewargaan suatu rumah tangga tidak statis, karena semata-mata tergantung dari tempat tinggal yang ditentukan pada waktu seseorang mau menikah, padahal ketentuan itu dapat diubah menurut keadaan setelah menikah. Jika seseorang bersama keluarganya kemudian pindah keluar dari rumah itu, pertalian fisik dan rohani dengan rumah tangga semula pun turut berubah.

Perkawinan yang dianggap ideal dan amat diingini oleh orang Dayak yaitu perkawinan antara dua orang bersaudara sepupu yang kakek-kakeknya adalah saudara sekandung. Yaitu dalam bahasa Ngaju disebut ”Hajenan” (saudara sepupu derajat kedua). Selain itu juga dianggap baik adalah perkawinan saudara sepupu yang ibu-ibunya bersaudara sekandung, dan diantara cross-cousin. Perkawinan yang dianggap sumbang (dalam bahasa Ngaju disebut ”sala horoi”) adalah perkawinan antara saudara sepupu yang ayah-ayahnya bersaudara sekandung (patri-parallel cousin), dan terutama sekali perkawinan antara orang-orang dari dua generasi yang berbeda, misalnya natara seorang anak dengan orangtuanya, atau seorang gadis dengan mamaknya. Persetubuhan antara mamak dengan kemenakannya dianggap perbuatan yang sangat buruk, sehingga perlu diadakan upacara penghapus dosa. Dalam hal ini kedua orang yang bersalah tadi diharuskan makan dari dulang tempat makan babi sambil merangkak dihadapan warga desa yang sengaja diundang untuk menyaksikan upacara tersebut. Pantangan kwin tersebut jika dilanggar berarti tilah besar yang menurut kepercayaan orang Ngaju dan Ot Danum dapat mendatangkan bencana bukan saja bagi orang-orang yang bersangkutan, tapi juga seluruh warga desa sehingga perlu dinetralisasi dengan upacara penawar seperti tadi.

Orang Dayak Kalimantan Tengah tidak melarang gadis-gadis mereka menikah dengan orang dari suku lain asalkan laki-laki asing tersebut bersedia tunduk pada adat mereka dan bersedia berdiam di desa mereka.

Pergaulan antara pemuda-pemudi Dayak Kalimantan Tengah adalah bebas dalam batas-batas tertentu, boleh bergaul asal ada orang-orang tua yang mengawasi mereka, dimana mereka dianjurkan untuk bergurau dan menari bersama-sama. Seorang laki-laki yang kedapatan dengan seorang wanita yang bukan istrinya sendiri atau saudara sekandungnya ditempat sepi, akan didenda menurut hukum adat, yaitu ”disinger” (bahasa Ngaju), atau ”didanda” (bahasa Ma’anyan). Seorang pemuda boleh pergi bersama-sama dengan seorang pemudi asalkan ada seorang bibi atau paman yang menyertainya. Demikian juga seorang lelaki dewasa boleh bercakap-cakap dengan orang lain asal ada orang ketiga.

 Tata Cara Memilih Jodoh
Pada Suku Dayak, seorang anak yang telah mencapai umur 21 tahun bagi laki-laki dan 18 tahun bagi perempuan biasanya dicarikan jodoh oleh orang tuanya, karena pada jaman dahulu, orangtua berkuasa penuh atas pemilihan jodoh anak-anak mereka. Tetapi keadaan sekarang sudah berubah. Pemuda-pemudi yang sudah siap untuk kawin boleh bebas mencari teman hidupnya masing-masing, asalkan calon mereka disetujui orangtua. Adapun tata cara untuk menentukan jodoh atau perkawinan yang berlaku sekarang adalah:

a) Orangtua si pemuda adalah pihak pelamar, pergi ke rumah orangtua si gadis untuk menyerahkan ”Hakumbang auch” (semacam uang lamaran).
b) Sesudah itu orangtua si gadis mengumpulkan semua kaum kerabat mereka yang dekat untuk bermusyawarah.
c) Sebelum mengambil keputusan, para kerabat tersebut menyelidiki tentang tingkah laku calon menantu untuk mengetahui apakah ia berwatak baik.
d) Apabila lamaran diterima, maka diadakan peresmian pertunangan dan perundingan mengenai langkh-langkah selanjutnya.
e) Pihak laki-laki menyerahkan hadiah-hadiah yang berupa sehelai ”bahalai” (sarung panjang untuk wanita), kain kebaya, minyak wangi, cincin emas, dan sebagainya.
f) Kedua belah pihak menentukan: hari pernikahan, biaya yang harus disumbangkan oleh pihak laki-laki, besarnya mas kawin, dan sebagainya.
Perundingan terakhir ini menghasilkan suatu kontrak perkawinan yang disebut ”surat pisek”.

3. Sistem Ekonomi
a) Berladang
Dalam berladang telah berkembang suatu sistem kerja sama dengan cara membentuk kelompok gotong royong yang biasanya berdasarkan hubungan ketetanggaan atau persahabatan, karena memerlukan banyak tenaga. Untuk mengatur pekerjaannya dibagi kelompok kerja yang masing-masing terdiri dari 12-15 orang yang secara bergiliran membuka hutan untuk ladang masing-masing anggota. Secara teoritis, sebuah rumah tangga yang sedang menerima bantuan harus membayarnya kembali.Apabila kekurangan tenaga laki-laki, kaum wanitalah yang menggantikan pekerjaan kasar itu, seperti membuka hutan, membersihkan semak, menebang pohon.

Siklus pengerjaan ladang:
(1) Pada bulan Mei, Juni, atau Juli dilakukan pembukaan lahan dengan cara menebang pohon-pohon di hutan, kemudian batang, cabang, ranting, dan dedaunannya dibiarkan mengering selama dua bulan.
(2) Bulan Agustus atau September batang kayu, cabang, ranting, dan daun yang telah kering dibakar dan bekas pembakaran dibiarkan sebagai pipuk.
• Oktober adalah waktu menanam yang dilakukan secara gotong royong
• Pebruari dam Maret adalah musim panen. Untuk membuka ladang kembali, orang Dayak melihat tanda-tanda alam seperti bintang dan sangat memperhatikan alamat-alamat yang diberikan oleh burung-burung atu binatang-binatang liar tertentu. Jika tanda-tanda ini tidak dihiraukan, maka bencana kelaparan akibat gagalnya panen akan menimpa desa.
b) Berburu
Di hutan sekitar kemiaman orang Dayak banyak binatang liar seperti babi hutan, rusa. Tetapi karena belum mempunyai senjata apimaka hewan-hewan tersebut hanya menjadi makanan yang bersifat kadangkala saja. Daging babi, kerbau, dan ayam, walaupun sangat digemari bukanlah makanan sehari-hari, tetapi makanan pada waktu ada upacara-upacara adat atau pada saat desa dikunjungi tamu penting.
Adapun alat berburunya masih tradisional, misalnya: Dondang, Lonjo (tombak), ambang (parang), Jarat (jerat), Sipet (berisikan ranjau kayu atau bambu runcing) yang disebut Tambuwung.
c) Mencari hasil hutan dan ikan
Masa sesudah panen sampai dimulainya lagi pembukaan ladang biasanya digunakan untuk menambah nafkah dengan mata pencaharian sambilan yaitu mencari hasil hutan. Misal mengumpulkan rotan, karet, damar, atau menambak sungai untuk menangkap ikan. Hasil hutan dan sungai itu sebagian dikonsumsi sendiri dan lebihnya dijual kepada tengkulak yang berasal dari pesisir. Selain itu ada pula yang membawanya sendiri ke kota untuk dijual di pasar.
d) Menganyam
Orang Dayak terkenal sekali dengan seni menganyam kulit rotan, yang berupa tikar, keranjang, dan topi. Pekerjaan menganyam banyak dilakukan kaum wanita. Dulu, orang Kalimantan terkenal dengan kain tenunnya yang berasal dari kapas atau kulit kayu, tapi sekarang banyak ditinggalkan orang. Hal ini disebabkan banyaknya kain impor masuk ke pedalaman, sehingga kain dari kulit kayu tidak dibuat lagi. Dulu memang pakaian asli laki-laki Dayak adalah ”ewah” (cawat) yang dibuat dari kulit kayu, sedang wanita memakai sarung dan baju dari kulit kayu. Di masa sekarang ini orang Dayak Kalimantan Tengah sudah berpakaian lengkap seperti orang Indonesia lainnya di daerah pantai. Pada kenyataannya orang Dayak mengalami perubahan dalam cara berpakaian, sehingga kesenian menganyam yang menjadi ciri khas orang Dayak menjadi tergusur.

II.3. Pembagian Suku Dayak
Dayak Besar adalah satuan kenegaraan yang menjadi bagian RIS. Wilayah Dayak Besar adalah gabungan wilayah Kapuas-Barito yaitu bekas wilayah afdeeling Tanah Dayak dan Afdeeling Tanah Dusun (Barito), terletak di bagian timur Kalimantan Tengah saat ini, jadi wilayah Kerajaan Kotawaringin (Kotawaringin Raya) tidak termasuk wilayah Dayak Besar.

Penguasa wilayah Tanah Dusun Atas, Kapuas, dan Kahayan yang kemudian hari disebut Dayak Besar sekitar tahun 1860 dipegang oleh Kiai Adipati Jaya Raja. Jadi negeri ini seperti wilayah Banua Lima (Hulu Sungai) di Kalimantan Selatan yang diperintah Kiai Adipati Danu Raja merupakan propinsi Kesultanan Banjar.

 Suku Dayak Mali (Darat; Tana' Mali, Keneles, Taba, Peruan) (Balai, Sanggau) adalah suku Dayak yang termasuk rumpun Klemantan Dayak Darat (80%) terdapat di Kabupaten Sanggau terutama mendiami seluruh Kecamatan Balai, Sanggau (Kota Kecamatan Batang Tarang), Kalimantan Barat.

 Sub Suku Dayak Mali
Suku Dayak Mali terbagi dalam beberapa sub-suku sebagai berikut :
a. Dayak Mali
Meliputi Kecamatan Balai sampai keperbatasan. Kecamatan Tayan Hilir. Sebagian daerah simpang Hulu, Kabupaten Ketapang. Dialeknya: Bahasa Mali, Beruak, Keneles, Tae.
b. Dayak Mali Peruan
Sebagian daerah Sosok, Kecamatan Tayan Hulu, Sanggau. Sebagian ada di Kabupaten Landak. Dialeknya: Bahasa Peruan
c. Dayak Mali Taba
Sebagian di Kecamatan Balai, Sanggau sampai ke Tayan Hulu. Dialeknya: Bahasa Taba/Keneles.
d. Dayak Mali Keneles :
Sebagian Kecamatan Tayan Hilir, Sanggau. Sebagian Kecamatan Meliau, Sanggau. Sebagian Kecamatan Toba, Teraju. Dialeknya : Bahasa Keneles

 Agama Suku Dayak Mali
Suku Dayak Mali sebagian besar beragama Kristen Katolik dan sebagian Kristen Protestan, sedangkan yang beragama Islam hampir tidak ada. Kebanyakan orang Dayak yang memeluk agama Islam karena perkawinan dengan Suku Melayu. Dalam Agama Islam juga mengharamkan babi sedangkan suku Dayak, babi merupakan binatang yang sangat penting dalam segala aspek kehidupan dalam adat Dayak. Tetapi ada sebagian Dayak mali mengakui diri secara umum dengan agama nenek moyang yaitu Animisme. Namun secara umum mengaku diri juga beragama kristen Katolik dan Protestan. Agama Islam selalu menyangkut atau berhubungan dengan suku Melayu sedangkan Dayak selalu menyebut diri sebagai orang Kristiani. Apabila orang Dayak masuk Islam maka akan di sebut masuk Melayu, Demikian juga sebaliknya dengan orang Melayu yang masuk kristen maka akan di sebut masuk Dayak.

 Strata Sosial Dayak Mali
Suku Dayak Mali sangat menghormati Kepala Adat (Demang) yang merupakan kekuasaan tertinggi dalam adat. Kepala Adat menjadi pengayom atas seluruh aspek kehidupan bermasyarakat. Adat istiadat juga ditegakkan dengan sangat adil bagi masyarakat adat yang ada. Sementara itu, ada pemuka adat lain yang disebut panglima perang yang hanya berkuasa pada saat genting saja dan juga sebagai peredam/pendamai dalam masyarakat adat.

 Adat Istiadat dan Budaya Dayak Mali
1. Adat Istiadat
a. Perkawinan
Dalam budaya Dayak Mali, adat selalu ditetapkan berdasarkan hukum adat yang berlaku. Adat sekaligus hukum adat. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam adat perkawinan tersebut. Hubungan keluarga mempelai. Kedua mempelai akan diberi sanksi apabila ada ikatan darah antara sampai keturunan ke-4. Boleh saja menikah asalkan membayar adat terlebih dahulu. Antar hubungan saudara sekandung (Adik-kakak/ abang)= Adat Pelangkah. Apabila adik terlebih dahulu menikah maka adik tersebut harus membayar adat kepada kakak/ abang.
Hubungan antar suku (Tionghoa dan Melayu). Suku Dayak Mali telah membuat perjanjian dengan suku Melayu dan Tionghoa dari jaman nenek moyang. Apabila orang Dayak menikah dengan orang Melayu dan masuk Melayu (Islam) maka pihak Melayu harus membayar adat sebagai sanksi. Adatnya cukup besar dalam adat Dayak Mali. Demikian pula sebaliknya dan dengan suku Tionghoa juga terjadi hal yang sama. Tetapi dengan suku lain selain kedua suku tersebut tidak ada sanksi/ hukum adat yang berlaku. Suku yang lainnya bebas dari hukum bila menikah dengan suku Dayak mali. Tetapi bukan berarti bebas dari hukum yang lain yang berlaku bagi seluruhnya.

Penetapan hukum Adat pada saat mulai Pelaksanaan Perkawinan. Pada saat persiapan pernikahan akan ada perjanjian antara kedua mempelai tersebut. Dan jika dilanggar maka sangsinya akan lebih berat dari biaya pernikahan.

b. Kelahiran
c. Cerita Dongeng
- Cerita si bungsu
- Cerita Buta
- Cerita Pak Alui/ Indong Alui
d. Bercocok Tanam

a. Ladang
Berladang dalam suku Dayak Mali merupakan suatu tradisi yang sudah ada pada masa nenek moyang hidup. Ladang berpindah-pindah merupakan hal yang harus dilakukan, bagi suku Dayak sebab ladang berpindah-pindah selalu berkaitan dengan alam dan kesuburan tanah. Kalau tanah yang sama dibuka setiap tahun akan mengurangi kesuburan tanahnya. Maka membuka ladang yang sama bisa tiga sampai empat tahun lamanya. Waktu membuka ladang harus diadakan perjanjian dengan alam semesta terutama penunggu tanah (Sisil) ladang tersebut. Suku Dayak Mali percaya bawah manusia harus memberi makan dan membuat perjanjian agar penunggu tanah (Sisil) ladang tersebuat mau pindah ke tempat yang lain. Kalau tidak maka penunggu tanah tersebut bisa marah dan mengutuk manusia yang membuka ladang itu.

b. Sawah
2. Budaya
a. Ngayau
Ngayau (Potong Kepala Manusia) merupakan budaya kanibal nenek moyang yang pernah ada dalam suku Dayak. Sekalipun budaya itu telah punah dan seharusnya sudah tidak ada lagi pada masa sekarang namun hal itu masih dapat kita saksikan pada era orde baru. Ngayau merupakan budaya untuk mencari kepala manusia. Ketika kepala itu didapati maka keberanian, keperkasaan, kekuatan dan kehormatan akan diperoleh dengan seketika itu juga. Setiap orang Dayak yang mampu memperoleh kepala panglima suku atau orang yang terkuat dalam suku maka kekuatannya akan dapat diperoleh. Orang Dayak tersebut akan dikagumi sebagai panglima. Kepala panglima suku yang dipotong tadi akan dimakan dan tengkoraknya akan diawetkan. Kapala tersebut sampai sekarang masih digunakan untuk tarian Noto'gh. Yaitu menghormati/menghadirkan kepala manusia itu didepan umum pada saat selesai panen. Masih ada daerah-daerah tertentu yang sampai sekarang masih melaksanakan budaya Noto'gh tersebut.

b. Ganjor (Gawai)
c. Noton'gh
d. Belien'gh (Balian)
e. Ngangkong
f. Bepamang
g. Bebayer (Mulang Niat)
h. Berancak
i. Para Burun'gh (Para buah dan Lepas Panen)

3. Seni dan Tarian Dayak Mali
a. Tuak
Tuak merupakan minuman khas Dayak. Setiap ada acara adat pasti pula ada arak atau tuak. Budaya membuat tuak merupakan budaya yang turun temurun. Orang Dayak sangat pandai membuat tuak dari ketan. Hasil dari permentasi tersebut akan berubah menjadi minuman yang berasal dari tetesan minuman yang cukup membuat mabuk tersebut. Dalam tradisi Dayak yang disebut besompok (bertarung untuk minum arak) merupakan tradisi yang masih terpelihara sampai saat ini. Bukan sebagai kebangaan tetapi karenatradisi dari zaman nenek moyang. Rasa minuman ini agak terasa manis tapi bilater lalu banyak minum tuak ini maka sangat sulit untuk cepat pulih.
b. Seni
c. Tarian Perang

4. Hukum Adat Dayak Mali
Hukum Adat adalah sanksi atau denda berupa barang-barang sebagai bukti adat itu sendiri. Sekalipun adatnya sederhana tetap akan menjadi bukti-bukti adat yang sah. Bagi orang Dayak adat merupakan hukuman yang sangat memalukan. Karena itu setiap orang Dayak harus tahu diri bahwa setiap orang yang bersalah sebenarnya ketika di adat maka sama harga dirinya telah hilang baginya sama dengan ditolak dalam masyarakat dayak Mali.

 Struktural Pemegang Hukum Adat :
a. Dua Real di pegang / dipimpin oleh pak RT/ RW
b. Empat Real dipimpin oleh Domong (Kepala Adat Kampung)
c. Enam Real dipimpin kepala adat Dusun
d. Delapan [Mi'gh] Real dipimpin Kepala Adat Desa dengan kepala desa
e. Sepuluh Real Dipimpin kepala adat Desa
f. Dua Belas Real dipimpin kepala adat (pemangku adat) Kecamatan
g. Enam Belas Real dipimpin kepala adat (Pemangku adat) kecamatan

 Hubungan Dayak Mali Dengan Alam Semesta
a. Batu
- Ukiran Batu
- Batu Keramat
- Batu besar (Tempat Bunyi', Penunggu batu)
b. Kayu Besar
- Pedagi (Tempat Penyembahan Apet Kuyan'gh, Jobata, Jubata
- Kayu Ara (pohon beringin): penunggunya Jin dan Buta
c. Tanah
- Sisil (Penunggu Tanah)
- Mawin'gh
d. Hutan Rimba
- Amot Turun (Hantu Hutan Rimba)
- Amot Uru Ara
e. Gunung / Bukit
- Kamang (Pembawa Kejahatan dan Penyakit)
- Buta
f. Air
- Amot Pin'gh

 Cerita/ Dongeng Dayak Mali
1) Cerita Si Bungsu
2) Cerita Bunyi' ( Kampong Bunyi)
Suatu hari ada seorang anak muda yang sangat rajin sekali. Setiap hari ia pergi ke bukit untuk mengambil air Enau. Nama bukit tersebut adalah bukit Tiong Kandang. Anak tersebut kadang-kadang tinggal di pondoknya dan hampir seluruh hidupnya tinggal di hutan belantara. Pada suatu malam ia bermimpi melihat orang ramai sekali di sekitar pondok tersebut. Dan iapun terbangun karena dikejutkan mimpi yang sangat menakutkan tersebut. Dalam hatinya ia bertanya bagaimana mungkin ada kampung di pondoknya tersebut. Karena masih malam iapun tidur kembali. Ketika ia terlelap tidur ia dibisik oleh seseorang ditempat tersebut. Anak muda tersebut diminta untuk memanjat pinang dan harus tampa busana(pakaian). Pagi-pagi benar ketika embun mulai naik ke atas, iapun memanjat pohon pinang yang ada disekitar pondok tersebut. Ketika anak muda tersebut sampai di puncak pohon pinang tersebut. Ia sangat terkejut bahwa dimana pondoknya berdiri itu adalah kampung orang. Karena ia tanpa busana maka ia ditertawakan oleh gadis-gadis di kampung tersebut. Lalu para tetua kampung meminta ia turun dan memintanya untuk memakai pakaian. Anak muda itu juga dibersihkan dari luka gigitan dan jilatan anjing. Karena anjing paling ditakuti bunyi'. ketika itu juga ia diterima oleh orang-orang dikampung tersebut. Setelah lama tinggal di kampung tersebut iapun dinikahkan dengan anak gadis yang ada dikampung tersebut. Berselang beberapa tahun anak muda tersebut rindu juga kampung halamannya. Lalu ia diijinkan untuk pulang selama beberapa hari. Anak muda itu pulang kampung tapi tidak mebawa serta keluarganya, ia pulang sendirian. Waktu hendak berangkat orang-orang dikampung tersebut berpesan agar sekembaliannya tidak boleh membawa anjing. Iapun berangkat selama beberapa hari dikampung kelahirannya yang tidak terlalu jauh. Masih di kaki bukit tersebut. Setelah sekembaliannya dari kampung halamannya iapun dibekali makanan dan perabotan rumah tangga. Anak muda tersebut juga membawa tikar yang telag digulungkan dengan rapi. Pada saat membawa oleh-oleh perabotan rumah tangga tersebut ia juga membawa tikar dan didalam tikar tersebut ada anak anjing yang tertidur lelap. Sesampainya dikampung istrinya(Kampung Bunyi')ia menyimpan semua oleh-oleh tersebut. Lalu tikarnyapun digelar di ruang tengah. Seketika itu juga anak anjing tersebut terbangun dan terkejut lalu lari sepanjang ruang tengah(Rumah Panjang) tersebut. Maka kampung yang tadinya tidak kelihatan akhirnya menjadi kampung baru yang bisa dilihat oleh manusia biasa. Karena bunyi' sebenarnya tidak dapat dilihat oleh manusia. Bunyi' adalah mahluk halus yang menurut cerita orang tua bahwa mereka juga hidupnya sama seperti manusia. Yaitu berladang, makan, menikah, berkeluarga seperti manusia biasa.

 Suku Dayak Mualang adalah salah satu sub suku Dayak Ibanic yang mendiami Kabupaten Sekadau dan Kabupaten Sintang di Kalimantan Barat, Indonesia, yaitu Kecamatan :
a. Belitang Hilir, Sekadau
b. Belitang, Sekadau
c. Belitang Hulu, Sekadau
d. Sepauk, Sintang dan sekitarnya.

 Ciri Fisik
Salah satu ciri yang tampak pada orang Mualang adalah ciri fisik yang mongoloid, wajah bulat, kulit putih/kuning langsat, mata agak sipit, rambut lurus, ada juga yang ikal serta relatif tidak tinggi.

 Bahasa
Bahasa yang digunakan mirif bahasa Iban, Kantuk dan kelompok Ibanic lainnya. Perbedaannya adalah pengucapan kalimat dengan suku serumpun yakni pengucapan kalimat yang menggunakan kata i dan y, misalnya: Kediri” dan Kedire”, rari dan rare, kemudian inai dan inay, pulai dan pulay dan penyebutan kalimat yang menggunakan huruf r, serta logat pengucapannya.

 Legenda
Sekitar 2.000 tahun lalu, kehidupan masyarakat Mualang sangat terkait dengan legenda asal usul mereka dari sebuah tempat atau wilayah yang disebut Temawai/Temawang Tampun Juah, yakni sebuah wilayah yang subur di hulu sungai Sekayam kabupaten Sanggau Kapuas, tepatnya di hulu kampung Segomun, Kecamatan Noyan.

 Urang Panggau
Di masa lalu masyarakat yang kini disebut Mualang ini hidup dan bergabung dengan kelompok serumpun Iban lainnya dan masa itu mereka tergabung sebagai masyarakat Pangau Banyau serta disebut Urang Panggau/Orang Menua artinya orang yang berasal dari tanah ini (Borneo).

 Tampun Juah
“Tampun Juah” merupakan tempat pertemuan dan gabungan bangsa Dayak yang dimasa lalu yang kini disebut Ibanic group. Sebelum di Tampun Juah masyarakat Pangau Banyau hidup di daerah bukit kujau’ dan bukit Ayau, sekarang termasuk di wilayah Kecamatan batang lupar daerah Kapuas Hulu, kemudian pindah ke Air berurung, Balai Bidai, Tinting Lalang kuning dan Tampun Juah, dalam pengembaraannya dari satu tempat ke tempat lain di mungkinkan ada yang berpisah dan membentuk suku atau kelompok lainnya. Daerah persinggahan akhir yakni di Tampun Juah. Di sana mereka hidup dan mencapai jaman Eksistensi / keemasan, dalam tiga puluh buah Rumah Panjai ( rumah panggung yang panjang ) dan tiga puluh buah pintu utama. Mereka hidup aman, damai dan harmonis.

Tampun Juah sendiri berasal dari dua buah kata yakni: Tampun dan Juah, terkait dengan suatu peristiwa yang bersejarah yang merupakan peringatan akhir terhadap suatu larangan yang tak boleh terulang selama-lamanya. Tampun sendiri adalah suatu kegiatan pelaksanaan Eksekusi terhadap dua orang pelanggar berat yang tidak dapat ditolelir, yakni dengan cara memasung terlentang dan satunya ditelungkupkan pada pasangan yang terlentang tersebut, kemudian dari punggung yang terlungkup di tumbuk dengan bambu runcing, kemudian keduanya dihanyutkan di sungai. Kesalahan tersebut dikarenakan keduanya terlibat dalam perkawian terlarang (mali) hubungan dengan sepupu sekali (mandal). Laki-laki bernama Juah dan perempuan bernama Lemay. Eksekusi dilakukan oleh seorang yang bernama lujun (algojo / tukang eksekusi) pada Ketemenggungan Guntur bedendam Lam Sepagi/Jempa.

 Penggolongan Masyarakat
Kehidupan di Tampun Juah terbagi dalam tiga Statifikasi atau penggolongan masyarakat, yakni:
a. Bangsa Masuka / Suka (kaum kaya/purih raja), seseorang yang hidupnya berkecukupan atau kaya dan termasuk kerabat orang penting / purih Raja
b. Bangsa Meluar (kaum bebas/masyarakat biasa), seorang yang hidupnya menengah kebawah, tidak terikat masalah hutang piutang dengan orang lain, atau bebas
c. Bangsa Melawang (kaum Miskin/masyarakat biasa), kelompok orang yang hidupnya miskin dan terikat kontrak kerja, untuk membayar segala hutangnya sampai lunas dan tak mempunyai kewajiban hutang lainnya

 Temenggung
Selain membagi tiga tingkat penggolongan masyarakatnya, penduduk Tampun Juah juga mengatur kehidupan mereka dengan membentuk pemimpin – pemimpin di setiap rumah panjang / kampung yang disebut Temenggung, tugasnya mengatur kehidupan kearah yang teratur dan lebih baik.

 Kehidupan Ritual
Selain itu, kehidupan Tampun juah juga erat hubungannya dengan kehidupan ritual dan keagamaan. Pemimpin spiritual tersebut adalah sepasang suami istri yang bernama Ambun menurun ( laki-laki ) dan Pukat Mengawang ( perempuan). Kedua orang tersebut merupakan symbol terciptanya manusia pertama ke dunia, sesuai dengan arti dari nama keduanya. Ambun menurun yaitu embun yang turun ke bumi, symbol seorang laki –laki dan pukat mengawan adalah celah – celah dari jala / pukat yang membentang, symbol wanita. Embun tersebut menerobos atau menembus celah pukat merupakan symbol hubungan intim antara pria dan wanita. Pasangan suami istri tersebut, mempunyai sepuluh orang anak yakni: Tujuh orang laki –laki dan tiga orang perempuan. Yaitu:

• Puyang Gana ( Roh Bumi / Penguasa tanah, meninggal sewaktu lahir )
• Puyang Belawan
• Dara Genuk ( perempuan )
• Bejid manai
• Belang patung
• Belang pinggang
• Belang bau
• Dara kanta” ( perempuan )
• Putong Kempat ( perempuan )
• Bui Nasi ( awal mula adanya nasi)

Puyang Gana lahir tidak seperti kelahiran manusia normal, ia mempunyai kaki satu, tangan satu dan lahir dalam keadaan meninggal. Karena mempunyai tubuh yang tidak lazim atau jelek, ia diberi nama Gana, ia di kubur dibawah tangga. Ketika ada pembagian warisan ia datang dalam rupa yang menyeramkan (hantu) dan meminta bagiannya hingga karna suatu alasan maka ia mengklaim dirinya sebagai penguasa seluruh tanah dan hutan.( Baca, tentang kerajaan Sintang pada buku Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat hal.184 – 188 ). - Puyang Belawan lahir secara normal seperti manusia biasa. - Dara Genuk lahir kerdil atau mempunyai tangan dan kaki yang pendek, oleh sebab itu ia di sebut Dara genuk. - Bejid Manai lahir dan mempunyai sedikit kelainan pada bagian tubuhnya, yakni kemaluannya besar. Oleh sebab itulah ia disebut Bejid Manai. - Belang Patung lahir dan mempunyai kelainan pada setiap ruas tulangnya yang belang – belang, oleh sebab itu ia disebut Belang Patung. - Belang Pinggang lahir dan mempunyai pinggang yang belang, oleh sebab itu ia disebut Belang Pinggang. - Belang Bau lahir dalam keadaan belang dan tubuhnya bau, oleh sebab itu ia disebut Belang Bau. - Dara Kanta” lahir normal tetapi mempunyai Cala ( tanda hitam ) dipipinya, oleh sebab itu ia disebut Dara Kanta”. - Putong Kempat lahir dalam keadaan normal dan ia mempunyai tubuh yang indah dan kecantikannya luar biasa tak terbayangkan, Upa Deatuh / upa dadjangka” oleh sebab itu ia disebut Putong Kempat. - Bui Nasi lahir dalam keadaan aneh, karena lansung dapat bicara dan merengek minta nasi dan kelahiran inilah awal mula orang Pangau Banyau makan Nasi.2. ( Baca, tentang kerajaan Sintang pada buku Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat hal.185). Menyebabkan ayah dan Ibunya memohon kepada Petara untuk mengubahnya menjadi bibit padi.

 Adat Istiadat Tampun Juah
Pada masa itu kehidupan di Tampun Juah diatur sesuai dengan norma –norma dan adat istiadat menyangkut kehidupan, peradaban kearah yang lebih baik hingga berkembang menjadi bangsa yang besar, kuat dan makmur. Demikian juga aturan tersebut berlaku sesama masyarakat tampun juah dan masyarakat diluarnya. Hal ini menyebabkan kehidupan masyarakat Tampun Juah semakin maju dan dikenal hingga datanglah masyarakat dari berbagai kelompok lain yang bergabung dan berlindung serta mencari kehidupan yang lebih baik di Tampun Juah. Kejayaan dan kemakmuran di Tampun Juah, telah didengar oleh para penguasa di zaman itu, hal ini menyebabkan penguasa lain diluarnya menjadi sangat iri dan berusaha untuk merebut kejayaan di Tampun Juah.

 Orang Buah Kana
Di masa itu kehidupan manusia dan para Dewa serta mahluk halus, sama seperti hubungan antara manusia yang satu dengan yang lainnya, termasuklah hubungan yang sangat akrab dan harmonis antara masyarakat Tampun Juah dengan Orang Buah Kana ( Dewa pujaan ). Karena kejayaan masyarakat Tampun Juah sangat terkenal dan didengar oleh segala bangsa dan beberapa kerajaan, di suatu ketika sampailah berita itu ke kerajaan Sukadana (terletak di Kabupaten Ketapang). Kerajaan Sukadana merasa kuatir mendengar kejayaan dan semakin kuatnya persatuan masyarakat di Tampun Juah. Hal ini mendapat tanggapan yang negatif dan ditindak lanjuti dengan menyatakan perang terhadap Masyarakat Pangau Banyau / Sak Menua, yang lambat-laun menyebabkan Tampun Juah diserang oleh kerajaan Sukadana. Kerajaan Sukadana saat itu merupakan koloni dari Kerajaan Majapahit ( jawa hindu ), mereka mempunyai bala tentara yang tangguh dan sakti dari suku Dayak Beaju”/ Miajuk, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Mereka mengadakan ekspansi militer dari daerah Labai lawai ( sekarang Tamabak Rawang) Sukadana, masuk dan menyusuri sungai kapuas sampai ke teluk air daerah batu ampar menuju Tayan Sanggau, dan masuk sungai Sekayam dan terus ke hulunya, mengadakan penyerangan ke Tampun Juah. Dalam peperangan ini laskar dari Tampun Juah dengan gigih dan gagah berani berjuang melawan pasukan musuh dalam membela kedamaian di Tampun Juah, hingga menyebabkan musuh kalah dan dapat di usir. Perang yang pertama dikenal dengan nama Perang Sumpit, karena pada perang ini pasukan Tampun Juah dan pasukan lawan menggunakan sumpit yang pelurunya sangat beracun diberi ipuh (racun dari pohon tertentu).

Tampun Juah kembali aman dan damai, tetapi tidak berlansung lama karena pihak musuh yang kalah mengajak (melalui kesaktiannya) dan mempengaruhi bangsa mahluk halus ( Setan ) secara magis, menyerang Tampun Juah. Perang kedua tak bisa dihindarkan, dengan semangat yang membara masyarakat Pangau banyau, berusaha mati-matian mempertahankan wilayahnya dari serangan mahluk halus, dan akhirnya dalam peperangan ini bangsa setan dapat juga dikalahkan.
Tampun Juah untuk sementara waktu berangsur damai ternyata pihak musuh yang kalah berperang, masih belum puas, mereka berusaha menggunakan segala cara, dan dengan kesaktian yang mereka miliki, mereka mempengaruhi bangsa binatang agar menyerang Tampun Juah. Peperangan yang ketiga akhirnya terjadi, sama halnya dengan peperangan terdahulunya, bangsa binatang juga dapat dikalahkan. Karena masih kurang puas maka musuh pun mencari cara yang lain lagi yakni, dengan menanam berbagai jamur beracun diladang, dan sekitar pemukiman masyarakat Tampun Juah, Hal ini menyebabkan banyak masyarakat Tampun Juah yang keracunan, tetapi keracunan ini dapat disembuhkan menggunakan akar dan tumbuhan hutan lainnya. Setelah sembuh racun kulat itu ternyata berdampak pada perubahan intonasi bahasa, logat dan pengucapan bahasa komunikasi yang menjadi bahasa keseharian. Hal ini menyebabkan timbulnya kelompok- kelompok bahasa yang berbeda logat maupun pengucapan ( ingat menara babel dalam perjanjian lama kitab suci umat kristiani ) walaupun masih dimengerti /serumpun.

Melihat perpecahan bahasa tersebut, pihak musuh memandang hal ini merupakan suatu celah kelemahan dan menjadikan hal ini sebagai ide, untuk mengalahkan masyarakat Tampun Juah. Pihak musuh tahu bahwa untuk merebut dan mengalahkan Tampun Juah tidak mampu melalui perang, melainkan dengan mengotori Tampun Juah. Pada saat keracunan terjadi dimana-mana, membuat kekuatan masyarakat Tampun Juah menjadi rapuh. Hal ini tidak disia-siakan oleh bangsa setan, sekali lagi mereka mengirimkan sihirnya yakni dengan cara mengotori setiap tempat kegiatan sehari-hari, tempat tinggal dan perabotan makan dengan Tahi. Karena terus-menerus muncul dan tak kunjung selesai dalam jangka waktu yang lama, akhirnya masyarakat Tampun Juah strees, panik dan tidak tahan lagi, menyebabkan gemparlah Tampun Juah.

Menyikapi hal itu maka para temenggung berkumpul untuk memecahkan permasalahan ini. Pekat Banyau (musyawarah) dilakukan dan dari hasil pekat, (musyawarah ) diambilah keputusan untuk meninggalkan Tampun Juah secara berangsur -angsur. Proses keberangkatan dipimpin oleh masing – masing temenggung dan yang berangkat dahulu, harus membuat lujok (tunggul kayu) atau tanda pada setiap tempat yang dijalani kelompoknya, agar diikuti oleh kelompok belakangnya dengan perjanjian: “jika kelak menemukan tempat yang subur, enak dan cocok nanti, mereka berkumpul lagi dan membina kehidupan seperti masa di Tampun Juah.3 Setelah selesai bepekat (musyawarah) maka diputuskanlah siapa yang berangkat terlebih dahulu. Orang Buah Kana (Dewa Pujaan), kembali ke khayangan, selanjutnya kelompok pertama masyarakat Pangau Banyau yang berangkat adalah :

a. Kelompok yang kini disebut Dayak Batang Lupar/Iban, berangkat menyusuri sungai sai, tembus ke muara sungai ketungau sampai ke Batang Lupar, Kapuas hulu. ( kisah ini dituturkan sama dan diakui oleh kelompok Dayak Iban dari Sadong, Serawak, Malaysia). Dalam pengembaraannya, dan sesudah sampai di Batang Lupar, kelompok ini kemudian terpecah dan membentuk kelompok – kelompok atau sub- sub Ibanic ( Kantuk, Undup, Gaat, Saribas, Sebuyau, Sebaruk, Skrang, Balau ) dan lain-lain yang juga menyebar dan mencari tanah dan kehidupan baru.
b. Kelompok Ketungau. Menyusuri aliran Sungai Sai, terus masuk sungai ketungau, dan menetap disana di sepanjang sungai ketungau dan membentuk kelompok-kelompok kecil diantaranya: Bugao, Banyur, Tabun dll.
c. Kelompok Mualang. Kelompok ini adalah kelompok yang bertahan terakhir di Tampun Juah, hal ini karena pada waktu itu kelompok ini ada pantangan pergi karena ada salah seorang yang melahirkan, setelah sekian lama kemudian kelompok ini menyusul kelompok keduanya dengan menyusuri Sungai Sai, sampai di muara sungai ketungau. Kelompok ini di pimpin oleh: Guyau Temenggung Budi, mereka membawa seorang pengawal / manok sabung / Letnan yang terkenal dijamannya bernama Mualang. Dalam perjalanannya menyusuri sungai ketungau, rombongan Guyau Temenggung Budi tersesat, hal ini dikarenakan adanya banjir yang menyebabkan tanda ( lujok ) yang dibuat pendahulunya berubah arah di terpa arus banjir, setelah sampai dimuara sungai ketungau. Hal ini menyebabkan mereka menghentikan perjalanannya untuk sekian lama. Sejalan dengan itu pengawal rombongan ( manok sabung ) bernama; Mualang meninggal dunia ditempat itu, ia dikubur disebelah kanan mudik sungai ketungau. Mualang diabadikan untuk menyebut nama anak sungai tersebut menjadi sungai Mualang dan rombongan Guyau temenggung budi mengabadikan nama kelompok yang dipimpinnya tersebut dengan nama Orang Mualang, yang berasal dari sungai Mualang dan lambat laun oleh penerusnya disebut dengan nama Dayak Mualang.4 Setelah berkabung, mereka memutuskan menetap di sungai Mualang untuk beberapa lama. Suatu hari ketika sedang mencari ikan menyusuri sungai Mualang, mereka menemukan sebuah lubuk ( teluk yang dalam ) yang banyak ikannya, kemudian berita gembira ini disampaikan ke segenap kelompok orang Mualang lainnya dan akhirnya mereka beramai – ramai mengambil ikan dilubuk tersebut.Setelah mendapatkan ikan yang banyak, segala dayung dan peralatan cari ikan lainnya mereka tenggelamkan dilubuk itu, dan lubuk itu mereka sebut dengan nama lubuk Sedayung. Selain mencari ikan mereka juga kerap kali berburu disekitar hutan sampai jauh masuk ke segala arah. Pada suatu ketika disaat sedang berburu, mereka (orang Mualang), menemukan pemburu lainnya yang mempunyai bahasa sama dengan rombongan orang Mualang, tetapi bukan dari rombongan maupun komunitas mereka. Orang tersebut mengaku berasal dari Tanah Tabo.” Berita ini kemudian di sampaikan kepada pimpinan orang Mualang, yakni; Guyau temenggung Budi yang akhirnya membawa seluruh orang – orang Mualang yang dipimpinnya untuk bergabung dengan masyarakat di Tanah Tabo”. Hingga dibatalkanlah rencana untuk mencari rombongan terdahulunya.

 Penduduk Tanah Tabo'
Penduduk di Tanah Tabo’ merupakan keturunan dari keseka” Busong. Keseka” Busong kawin dengan Dara jantung, anak Petara Seniba (Dewa di khayangan), Dara jantung dihulurkan oleh Petara Seniba (ayahnya) menggunakan tali Tabo”Tengang (akar kayu) Bekarong Betung ( diselimuti bamboo betung ) anak dari keseka” Busong dan Dara jantung adalah Bujang Panjang, yang kawin mali ( terlarang ) dengan Dayang Kaman Dara Remia ( bibinya atau adik ibunya) di khayangan yang menyebabkan kakeknya (Petara Seniba) murka, dan mengusir bujang panjang kebumi tempat ayahnya berada yakni keseka” Busong. Anak hasil kawin mali mereka, menjadi berbagai macam hama padi dan lolos menyebar kebumi.

 Guyau Temenggung Budi
Rombongan Mualang pimpinan Guyau Temenggung Budi kemudian berbaur dengan masyarakat Tanah tabo” selanjutnya mereka disebut dengan nama Dayak Mualang. Mereka menyebar ke Sekadau, seluruh Belitang, dan sebagian ke Sepauk, Kabupaten Sintang. Anak - Anak Ambun Menurun dan Pukat Mengawang lainnya juga menyebar mengikuti kehidupan masing – masing dan ada yang membentuk kelompok suku – suku serumpun lainnya. Salah satu anak dari Ambun Menurun dan Pukat Mengawang yaitu: Putong Kempat, kawin dengan Aji Melayu ( berasal dari Semenanjung, di masa kepercayaan hindu, sebelum masuknya Islam, hal ini diperkuat dengan kubur dan bukti peninggalan lainnya di Sepauk Kabupaten Sintang ). Demikianlah urutan silsilah perkawinan Putong kempat dengan Aji Melayu.

Putong kempat ( Dayak Mualang dengan Aji Melayu ( sepauk ) Anaknya yang bernama 2. Dayang lengkong kawin dengan Patih Selatong menurunkan 3. Dayang Randung, kawin dengan Adipati Selatung, menurunkan 4. Abang Panjang, kawin, menurunkan 5. Demong Karang kawin, menurunkan 6. Demong kara (Raja keenam kerajaan Sepauk), kawin, menurunkan 7. Demang Minyak, kawin (Raja Kedelapan kerajaan Sepauk) menurunkan 8. Demong Irawan, bergelar Jubair I. Kawin, menurunkan 9. Dara Juanti (Raja kesembilan th.1385) 10. Dara juanti kawin dengan Patih Logender dari Jawa masyarakat Kerajaan Majapahit (hindu). (buku Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat. 1975, hal.197)

 Dayak Lebang Nado
Dari turunan Putong kempat terjadilah pembauran yang melahirkan bangsa / suku yang membaur dan menyebar, berkembang hingga kini. Keturunan tersebut adalah Dara Juanti kawin dengan Patih logender. Sebagai bukti hantaran dari pihak Patih logender, maka dibawalah dua belas orang parinduk atau bukti hantaran, kemudian kedua belas orang ini membentuk komunitas disekitar Bukit kelam dan lambat laun menjadi komunitas Dayak Lebang Nado. Percampuran dari keturunan Dayak Mualang, Melayu hindu dan Jawa hindu.

 Mualang Tanjung
Enam rombongan Dayak Mualang yang menyebar ke Sekadau ada yang terpecah membentuk kelompok baru; Mualang Tanjung, dan berbaur dengan kelompok lainnya Dayak Seberuang, Dayak Desa, Ketungau sesat dan sebagainya. Sebagian bercampur pula dengan rombongan kelompok Dara Nante dalam usahanya mencari Babai Cinga (suami Dara Nante). Rombongan tersebut dipimpin oleh Singa Patih Bardat dan Patih Bangi. mereka tersesat ketika menyebar mencari daerah yang disebut Tampun Juah. Rombongan Singa Patih Bardat bercampur dengan Dayak Mualang, menurunkan suku -suku kecil yakni: Dayak Kematu”, Dayak Benawas, Dayak Mualang Sekadau di daerah Lawang Kuari (Lawang Kuari, adalah Betang yang dikutuk melebur menjadi batu karena sebuah peristiwa).

 Patih Bangi
Sedangkan Rombongan yang dipimpin oleh Patih Bangi menyusuri hulu sungai ke daerah yang disebut Belitang membaur kemudian disebut sebagai Dayak Mualang dan menyebar ke sekitarnya. Dayak Mualang di daerah Belitang inilah yang banyak menurunkan Raja–Raja Sekadau, dan Raja Belitang. Kerajaan kecil tersebut lambat laun pindah ke Sekadau.

 Kerajaan Sekadau
Kerajaan Sekadau sendiri pernah diperintah berturut – turut oleh Keturunan Prabu Jaya dan keturunan Raja-Raja Siak Bulun / Bahulun dari sungai Keriau, Kabupaten Ketapang. Adapun Raja Sekadau pertama adalah pangeran Engkong, yang menpunyai tiga orang putra :

- Pangeran Agong
- Pangeran Kadar
- Pangeran Senarong

Sesudah Pangeran Engkong (Raja Sekadau) wafat, beliau digantikan oleh Pangeran Kadar, sedangkan Pangeran Senarong, yang meneruskan keturunan Raja-Raja Belitang. Sedangkan Pangeran Agong memilih mengasingkan diri beserta pengikutnya ke tempat yang kini disebut dengan Lawang Kuwari. (Betang Panjang yang menghilang dan hingga kini tempat ini dianggap keramat ).

Kerajaan Sekadau mulai memeluk agama Islam setelah Pangeran Kadar Wafat dan digantikan oleh anaknya yang bernama Pangeran Suma, beliau mendalami agama Islam di Mempawah. Dayak Kematu yang merupakan gabungan dari pecahan rombongan Dara Nante dan Dayak Mualang di sekitar Sekadau, adalah yang pertama memeluk agama Islam di daerah Sekadau, selanjutnya berangsur-angsur diikuti beberapa suku Dayak lainnya. mereka kemudian menyebut dirinya dengan sebutan; Senganan ( keturunan Dayak yang memeluk agama Islam). Perkembangan agama Islam di kerajaan Sekadau semakin pesat, maka pindahlah pusat kerajaan Sekadau ke sungai bara dan disitu didirikan sebuah Mesjid Besar.

 Daerah Penyebaran
Daerah penyebaran Dayak Mualang, setelah Sekadau juga berkembang kedaerah Belitang dan sekitarnya dan telah banyak menurun Raja-Raja Belitang. Hal ini diawali oleh seorang gadis / Dara Mualang yang lari melewati hutan karena takut akan hukuman kakeknya terhadap pusaka yang dibekalkan padanya yakni sebuah keris telah hilang.

Berikut ceritanya; Pada suatu hari ketika sedang berjalan-jalan di hutan, gadis Mualang tersebut melihat seekor babi besar, karena terkejut dan membela diri, dengan cepat ia menikam babi tersebut dengan keris pusaka kakeknya, kemudian saking kuatnya tusukan itu, menyebabkan terlepasnya ganggang keris, hingga mata keris dibawa babi tersebut lari, oleh sebab itu ia sangat ketakutan pulang kerumah dan melarikan diri sekalian berusaha mencari keris pusaka kakeknya, hingga sampai kehulu kapuas. Dara tersebut bernama Dayang Imbok Benang, keturunan kesekak Busong. Dalam perjalanannya menyusuri hutan, ia ditemukan oleh Demong Rui, Raja dari Nanga Embaloh, kemudian diambil sebagai istri oleh Demong Rui. Selanjutnya Dayang Imbok Benang tersebut melahirkan dua orang anak, yang pertama / tua bernama: Kerandang Ari, yang ke dua / muda bernama: Abang bari.

Suatu ketika keduanya pulang untuk mencari tanah kelahiran ibu mereka yakni ke daerah Belitang, ulun (hamba) yang dibawanya meninggal dunia di sana, hamba tersebut bernama Belitang. Dulunya sungai Belitang adalah sungai Perupuk, karena ulun yang bernama Belitang tersebut meninggal maka sungai tersebut dinamakan sungai Belitang, dan daerah sekitarnya disebut daerah Belitang. Kerandang ari pulang ke Belitang bergabung dengan keturunan ibunya, menjadi bagian dari masyarakat Mualang. Sedangkan adiknya Abang Bari mengikuti ayahnya meneruskan pemerintahan Raja-Raja di Selimbau dan keturunannya merantau ke Belitang untuk meneruskan pemerintahan Raja – Raja Belitang.

 Ratu Beringkak
Suatu hari ada salah seorang keturunan dari Abang Bari (selimbau) menghanyutkan diri mengikuti sungai Kapuas sampai ke Nanga Belitang. Ia bernama bernama Ratu Beringkak, seorang gadis. Saat ditolong oleh masyarakat Mualang, ia menceritakan asal usul purihnya (keturunannya) dan setelah di susun keturunannya, gadis tersebut dianggap sebagai Bangsa Masuka / Suka ( tingkat golongan tinggi atau Purih Raja ), hingga tiada satupun masyarakat lain yang berani mengawininya. Pada saat itu masyarakat Mualang dipimpin oleh Temenggung Saman Tangik, kemudian orang Mualang membawa Ratu Beringkak, ke hulu sungai Belitang, memperkenalkannya kepada seorang pedagang yang menjadi tokoh bagi masyarakat Melayu belitang yang bernama Meriju, oleh Meridju, Ratu Beringkak dijodohkan kepada seorang Mualang, dari Bangsa Masuka / Suka. Setelah pernikahan selesai, Meriju diberi gelar oleh masyarakat Mualang sebagai Kiayi, yakni; Kiyai Madju. Karena statifikasi sosial Dayak Mualang merupakan Bangsa Masuka / Suka dan lebih tinggi dibandingkan dengan suku Dayak maupun Senganan, ataupun suku melayu pedagang yang datang di Belitang maupun di Sekadau, maka orang Mualang tidak mau tunduk kepada peraturan dan perjanjian apapun, demikian juga terhadap Kiayi Madju sekalipun, atas jasanya menikahkan Ratu Beringkak.

Hal ini memicu kemarahan Kiayi madju yang akhirnya memobilisasi orang – orang Melayu untuk menyerang Dayak Mualang yang berada dihulu sungai Merian. Dalam peperangan tersebut, orang-orang Melayu dapat dikalahkan, dan dikejar hingga tercerai-berai, sebagian lari hingga ke sungai Mengkiyang Sanggau, sisanya menetap di sekitar Belitang. Orang-orang melayu masih belum puas, mereka mendatangkan empat orang kuat Melayu pada waktu itu disebut Panglima. Terhadap orang – orang Melayu yang tersisa beserta panglimanya tersebut, yang tidak mau pergi, akhirnya Dayak Mualang daerah Belitang, mengundang Dayak Mualang keturunan dari Tampun Juah di Kaki bukit rambat yang bernama; Macan singkuh. Karena Macan Singkut telah tua, maka ia mengutus anaknya yang bernama Singa Uda Letnan, untuk menghadapi sisa –sisa orang Melayu beserta panglimanya. Pertarungan antar orang kuat terjadi yakni empat orang Panglima Melayu melawan seorang Manok Sabung Mualang. Pertarungan ini dilakukan secara sportif. Akhirnya ke empat orang Panglima Melayu tersebut dapat dikalahkan, maka Kiyai Madju dan seluruh orang Melayu dan Panglimanya pergi dan pindah dari daerah Mualang ke Nanga Jungkit, dalam perpindahan tersebut Ratu beringkak ikut serta dan di Nanga Jungkit ia meninggal dunia, tetapi sebelumnya ia minta dikubur di Nanga Ansar. Sampai saat ini Nanga Jungkit dan Nanga Ansar dianggap sebagai tempat keramat.

 Suku Dayak Bukit
Jumlah populasi kurang lebih 50.000. Kawasan dengan jumlah penduduk yang signifikan. Kalimantan Selatan : 35.838 (2000).Bahasa : Bukit, Melayu Banjar, Indonesia. Agama : Kaharingan (Hindu). Kelompok etnis terdekat Dayak Ngaju, Banjar.

Suku Bukit atau Dayak Bukit adalah suku asli yang mendiami pegunungan Meratus di Kalimantan Selatan, karena itu suku ini lebih senang disebut Dayak Meratus, daripada "Dayak Bukit" sudah terlanjur dimaknai sebagai "orang gunung". Padahal menurut Hairus Salim dari kosa kata lokal di daerah tersebut istilah 'bukit' berarti bagian bawah dari suatu pohon' yang juga bermakna 'orang atau sekelompok orang atau rumpun keluarga yang pertama yang merupakan cikal bakal masyarakat lainnya'. Adapula yang menamakan sebagai Dayak Banjar, artinya Dayak yang berasal dari daerah Banjar yaitu Kalimantan Selatan.

Populasi suku Dayak Bukit di Kalimantan Selatan pada sensus penduduk tahun 2000 berjumlah 35.838 jiwa, sebagian besar daripadanya terdapat di kabupaten Kota Baru yang berjumlah 14.508 jiwa. Suku Bukit juga dinamakan Ukit, Buket, Bukat atau Bukut. Suku Bukit atau suku Dayak Bukit terdapat di beberapa kecamatan yang terletak di pegunungan Meratus pada kabupaten Balangan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Tapin, Banjar, Tanah Laut, Tanah Bumbu, dan Kota Baru. Beberapa golongan Dayak Bukit yaitu :

- Dayak Pitap, di hulu sungai Pitap, kecamatan Awayan, Balangan
- Dayak Hantakan, di kecamatan Hantakan, Hulu Sungai Tengah
- Dayak Haruyan, di kecamatan Haruyan, Hulu Sungai Tengah
- Dayak Loksado, di kecamatan Loksado, Hulu Sungai Selatan
- Dayak Piani, di kecamatan Piani, Tapin
- Dayak Paramasan, di kecamatan Sungai Pinang, Banjar
- Dayak Riam Adungan, di kecamatan Kintap, Tanah Laut
- Dayak Bajuin, di kecamatan Pelaihari, Tanah Laut
- Dayak Bangkalaan, di kecamatan Kelumpang Hulu, Kotabaru
- Dayak Sampanahan, di kecamatan Sampanahan, Kotabaru
- dan lain-lain

Menurut Cilik Riwut, Suku Dayak Bukit merupakan suku kekeluargaan yang termasuk golongan suku (kecil) Dayak Ngaju. Suku Dayak Ngaju merupakan salah satu dari 4 suku kecil bagian dari suku besar (rumpun) yang juga dinamakan Dayak Ngaju.

Mungkin adapula yang menamakan rumpun suku ini dengan nama rumpun Dayak Ot Danum. Penamaan ini juga dapat dipakai, sebab menurut Tjilik Riwut, suku Dayak Ngaju merupakan keturunan dari Dayak Ot Danum yang tinggal atau berasal dari hulu sungai-sungai yang terdapat di kawasan ini, tetapi sudah mengalami perubahan bahasa. Jadi suku Ot Danum merupakan induk suku, tetapi suku Dayak Ngaju merupakan suku yang dominan di kawasan ini.
 Silsilah suku Bukit :

Suku Dayak (suku asal), terbagi 5 suku besar / rumpun.
a. Dayak Laut (Iban)
b. Dayak Darat
c. Dayak Apo Kayan / Kenyah-Bahau
d. Dayak Murut
e. Dayak Ngaju / Ot Danum, terbagi 4 suku kecil :
o Dayak Maanyan
o Dayak Lawangan
o Dayak Dusun
o Dayak Ngaju, terbagi beberapa suku kekeluargaan :
- Dayak Bukit
- dan lain-lain

Menurut Alfani Daud, suku Dayak Bukit sebagaimana suku Banjar, nenek moyangnya juga berasal dari Sumatera dan sekitarnya ( daerah Melayu). Karena itu bahasa Bukit dinamakan sebagai "Bahasa Melayu Bukit" (Bukit Malay).

Suku ini dapat digolongkan sebagai suku Dayak, karena mereka teguh memegang kepercayaan atau religi suku mereka. Akan tetapi religi suku ini, agak berbeda dengan suku Dayak di Kalimantan Tengah (Suku Dayak Ngaju), yang banyak menekankan ritual upacara kematian. Suku Dayak Bukit lebih menekankan upacara dalam kehidupan, seperti upacara pada proses penanaman padi atau panen. Suku Dayak Bukit juga tidak mengenal tradisi ngayau yang ada jaman dahulu pada kebanyakan suku Dayak.

Upacara ritual suku Dayak Bukit, misalnya "Aruh Bawanang". Tarian ritual misalnya tari Babangsai untuk wanita dan tari Kanjar untuk pria. Suku Bukit tinggal dalam dalam rumah besar yang dinamakan balai. Balai merupakan rumah adat untuk melaksanakan ritual pada religi suku mereka. Bentuk balai, "memusat" karena di tengah-tengah merupakan tempat altar atau panggung tempat meletakkan sesajen. Tiap balai dihuni oleh beberapa kepala keluarga, dengan posisi hunian mengelilingi altar upacara. Tiap keluarga memiliki dapur sendiri yang dinamakan umbun. Jadi bentuk balai ini, berbeda dengan rumah adat suku Dayak umumnya yang berbentuk panjang (Rumah Panjang).

 Suku Dayak Bukit menganal tiga kelompok roh pemelihara kawasan pemukiman dan tempat tinggal yaitu :
a. Siasia Banua
b. Bubuhan Aing
c. Kariau
Siasia Banua contohnya :
- Siasia Banua Kambat
- Siasia Banua Pantai Batung
- Siasia Banua Kambat
- dan sebagainya
Bubuhan Aing contohnya :
- Bubuhan Aing Muhara Indan
- Bubuhan Aing Danau Bacaramin
- Bubuhan Aing Maantas
- dan sebagainya
Kariau contohnya :
- Kariau Labuhan
- Kariau Padang Batung
- Kariau Mantuil
- dan sebagainya

Bahasa Dayak Bukit, menurut penelitian banyak kemiripan dengan dialek Bahasa Banjar Hulu. Ada pula yang menamakan bahasa Bukit sebagai "bahasa Banjar archais". Bahasa Bukit termasuk Bahasa Melayu Lokal yang disebut Bahasa Melayu Bukit.

Perbandingan hubungan suku Bukit dengan suku Banjar, seperti hubungan suku Baduy dengan suku Banten. Suku Banjar dan suku Banten merupakan suku yang hampir seluruhnya memeluk Islam, sedangkan suku Bukit dan suku Baduy merupakan suku yang teguh mempertahankan religi sukunya.

 Populasi Suku Bangsa Dayak Bukit
Populasi suku Dayak Bukit di Propinsi Kalimantan Selatan : 35.838 (BPS - sensus th. 2000). Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), populasi suku Dayak Bukit di Kalimantan Selatan berjumlah 35.838 jiwa, yang terdistribusi pada beberapa kabupaten dan kota, yaitu :

585 jiwa di kabupaten Tanah Laut 14.508 jiwa di kabupaten Kota Baru (termasuk Tanah Bumbu) 1.737 jiwa di kabupaten Banjar. 836 jiwa di kabupaten Barito Kuala.112 jiwa di kabupaten Tapin.3.778 jiwa di kabupaten Hulu Sungai Selatan. 3.368 jiwa di kabupaten Hulu Sungai Tengah. 244 jiwa di kabupaten Hulu Sungai Utara (termasuk Balangan). 1.106 jiwa di kabupaten Tabalong. 7.836 jiwa di kota Banjarmasin. 1.728 jiwa di kota Banjarbaru.

 Busana Tradisional Dayak Ngaju
a. Busana Kulit Kayu
Beratus tahun lalu masyarakat Dayak membuat busana dengan bahan dasar kulit kayu yang disebut kulit nyamu. Kulit kayu dari pohon keras itu ditempa dengan pemukul semacam palu kayu hingga menjadi lemas seperti kain. Setelah dianggap halus "kain" itu dipotong untuk dibuat baju dan celana.

Model busananya sangatlah sederhana dan semata fungsional. Bajunya berupa rompi unisex tanpa hiasan apapun. Rompi sederhana ini dalam bahasa Ngaju disebut sangkarut. Celananya adalah cawat yang, ketika dikenakan, bagian depannya ditutup lembaran kain nyamu berbentuk persegi panjang, yang disebut ewah. Busana itu berwarna coklat muda, warna asli kayu, tak diberi hiasan, tak pula diwarnai, sehingga kesannya sangat alamiah.

Akan tetapi naluri berdandan, yang konon telah bangkit pada hati setiap manusia sejak ribuan tahun silam, mengusik hasrat masyarakat Dayak Ngaju untuk "mempercantik" penampilan. Maka baju kulit kayu sederhana itu pun lalu dilengkapi dengan aksesori ikat kepala (salutup hatue untuk kaum lelaki dan sal utup bawi untuk para perempuan), giwang (suwang), kalung, gelang, rajah (tatoo) pada bagian-bagian tubuh tertentu, yang bahannya juga dipungut dari alam sekitar. Biji-bijian, kulit kerang, gigi dan taring binatang dirangkai menjadi kalung, gelang dibikin dari tulang binatang buruan, giwang dari kayu keras, dan berbagai aksesori lainnya yang mendaurulangkan limbah keseharian mereka. Dan kesederhanaan pakaian kulit kayu itu kemudian memancarkan esensi keindahan karena imbuhan warnawarni flora dan fauna yang ditambahkan sebagai pelengkap busana.

Pada perkembangan selanjutnya masyarakat Dayak Ngaju pun mulai membubuhkan warna dan corak hias pada busana mereka. Bahan pewarna itu secara kreatif diolah dari yang tersedia pada alam sekitar mereka. Misalnya saja, warna hitam dari jelaga, warna putih dari tanah putih dicampur air, warna kuning dari kunyit, warna merah dari buah rotan.

Corak hias yang digambarkan pada busana juga diilhami oleh apa yang mereka lihat di alam sekelilingnya. Maka tampillah stilasi bentuk flora dan fauna, bunga, dedaunan, akar pohon, burung, harimau akar, dan sebagainya, menjadi corak hias busana adat. Keyakinan dan alam mitologi juga memberi inspirasi pada penciptaan ragam corak hias busana adat sehingga gambar-gambar itu, selain tampil artistik, pun punya makna simbolik. Pengaruh agama Hindu pada kepercayaan asal masyarakat Ngaju, yang cenderung animistik, misalnya, melahirkan apa yang kemudian dikenal sebagai agama Hindu Kaharingan. Sinkretisme itu melahirkan pelbagai keyakinan dan mitologi dan mengilhami lahirnya corak hias naga, manusia, dan sebagainya, yang bermakna sangat filosofis.

Salah satu mitologi masyarakat Dayak Ngaju yang terkenal adalah tentang penciptaan alam yang melahirkan simbolisasi "pohon hayat" atau "pohon kehidupan" dalam bentuk corak hias yang dikenal dengan nama batang goring. Corak hias ini sangat berarti bagi masyarakat Dayak Ngaju sehingga busana adat untuk upacaraupacara penting - misalnya upacara tiwah, dalam kepercayaan Kaharingan, untuk mengantar ruh manusia yang meninggal dunia ke peristirahatannya, upacara meminta hujan, upacara pengobatan belian obat - kelengkapannya adalah busana dengan corak hias batang garing. Selain itu, diatur pula pemakaian corak hias busana adat - berbeda untuk perempuan dan lelaki - bagi para pemuka kelompok, para tetua adat, panglima perang, kepala suku, dan ahli pengobatan.

b. Busana Jalinan Serat Alam
Inovasi yang paling signifikan pada rancangan busana masyarakat Dayak adalah penguasaan keterampilan menjalin serat alam. Teknik menenun, konon, diperkenalkan kepada masyarakat Ngaju oleh orang-orang Bugis. Maka kulit kayu yang semula hanya ditempa menjadi lembaran-lembaran "kain", kini diolah dengan teknik yang memerlukan kesabaran dan konsentrasi tinggi. Dari kulit kayu yang telah dihaluskan mereka membuat serat yang dicelup oleh bahan pewarna alam sehingga dihasilkan benang yang tak tunggal warna. Mereka pun lalu menciptakan alat penjalin untuk "merangkai" serat demi serat menjadi bentangan bahan busana untuk baju, celana, ikat kepala, dan kelengkapan lainnya.

Eksplorasi terus dilakukan untuk mencari bahan-bahan lain yang bisa dibuat benang. Mereka kemudian melirik rotan, jenis rumputrumputan, akar tumbuhan, sehingga "kain" yang dihasilkan menjadi beragam. Rancangan dan fungsi busana pun turut berkembang. Pakaian yang dibuat bukan lagi hanya untuk fungsi yang paling mendasar yakni baju dan celana untuk melindungi bagian tubuh yang dianggap paling penting saja, tapi diperluas untuk keperluan lainnya. Umpamanya saja sangkarut perang dari jalinan rotan (sangkarut perang) untuk penahan tusukan anak panah, sumpit, dan tombak.

Orang-orang Cina dan India memperkenalkan manik-manik yang terbuat dari logam, keramik, melengkapi yang sebelumnya telah dibuat masyarakat Ngaju dari biji-bijian, kayu, dan tulang. Selain untuk aksesori, manikmanik itu juga kemudian diaplikasikan menjadi hiasan busana. Maka busana masyarakat Ngaju jadi semakin ornamentik dan semarak warna. Akan tetapi, hiasannya tetap mengekspresikan keakraban mereka dengan alam. Corak hiasnya masih menampilkan alam flora, fauna, dan mitologi. Dan kini pucuk rebung, burung enggang, ular, harimau akar, manusia, awan, batang garing, tampil pula dalam ekspresi yang lain.

Temuan-temuan baru itu kemudian dikembangkan lagi secara kreatif oleh para perancang busana masyarakat Ngaju. Hasilnya adalah tata busana yang memadukan kulit kayu, jalinan serat alam, berhiaskan gambar pewarna alam, dan aplikasi manik-manik dan arguci. Jenis-jenis busana seperti ini sekarang pun masih bisa dibuat untuk berbagai keperluan, umpamanya saja, untuk kostum tarian, koleksi museum, atau cendera mata.

c. Busana Kain Tenun Halus
Para pedagang Gujarat dari India yang datang ke Nusantara membawa serta kain-kain tenun halus sebagai barang dagangan. Kain-kain tersebut ditenun dari serat kapas atau sutra. Masyarakat Ngaju, terutama yang bermukim di daerah pesisir dan pusat kerajaan, memberikan apresiasi positif terhadap bahan busana yang sebelumnya tidak ada pada khasanah karya tenun mereka itu. Maka diadaptasilah teknik menenun kain halus itu dan kreativitas para penenun masyarakat Ngaju kemudian melahirkan juga kain tenun halus. Betapa tidak, karena ternyata alam Nusatara yang kaya raya juga menyediakan kapas dan sutra.

Busana tradisional masyarakat Ngaju yang beredar sekarang ini hampir seluruhnya dibuat dari kain tenun halus serat kapas atau sutra. Busana pengantin, pakaian acara-acara adat, kostum taritarian, dan sebagainya, kebanyakan dibuat dari kain beludru, satin, atau sutra. Akan tetapi corak hias dan modelnya tidak bergeser jauh dari bentuk asalnya. Pakaian tradisional masyarakat Ngaju yang sekarang dianggap sebagai busana daerah Kalimantan Tengah untuk pelbagai upacara adat adalah pengembangan dari busana tradisonal masa lampau.

Busana kaum perempuan terdiri dari baju kurung ngasuhui berlengan panjang atau pendek, dari kain satin atau beludru, yang pada bagian bawahnya diberi corak hias stilasi bentuk flora atau fauna. Paduannya rok panjang sebatas betis, disebut salui, dari kain yang sama yang juga diberi corak hias berupa penggayaan bentuk flora atau fauna. Rambut yang disanggul bentuk sanggul lipat atau dibiarkan terurai dihias ikat kepala, lawung bawi, dari kain yang sewarna dengan baju dengan sehelai bulu burung haruei yang diselipkan pada ikat kepala bagian belakang. Dan aksesori yang dikenakannya adalah kalung manik-manik, dan anting-anting atau suwang.

Baju kaum lelaki disebut baju palembangan, model baju pria Melayu tapi berkerah, juga dari beludru atau satin. Pada kerah, ujung lengan baju, dan bagian dada, diberi hiasan. Celananya disebut selawar gobeh, celana panjang "komprang" (tidak ketat) dari kain yang sama dengan bajunya. Sedangkan penutup kepala dibuat dari kain yang dibentuk seperti peci atau kopiah yang disebut lawung siam.

II.4 Rumah Adat Suku Dayak
a. Lamin (Kalimantan Timur)
(Lamin suku Dayak)
Rumah tradisional suku Dayak dikenal dengan sebutan Lamin. Bentuk rumah adat Lamin dari tiap suku Dayak umumnya tidak jauh berbeda. Lamin biasanya didirikan menghadap ke arah sungai. Dengan bentuk dasar bangunan berupa empat persegi panjang. Panjang Lamin ada yang mencapai 200 meter dengan lebar antara 20 hingga 25 meter. Di halaman sekitar Lamin terdapat patung-patung kayu berukuran besar yang merupakan patung persembahan nenek moyang (blang).

(Penggunaan kolong yang tinggi pada Lamin)
Lamin berbentuk rumah panggung (memiliki kolong) dengan menggunakan atap bentuk pelana. Tinggi kolong ada yang mencapai 4 meter. Untuk naik ke atas Lamin, digunakan tangga yang terbuat dari batang pohon yang ditakik-takik membentuk undakan dan tangga ini bisa dipindah-pindah atau dinaik-turunkan. Kesemua ini adalah sebagai upaya untuk mengantisipasi ancaman serangan musuh ataupun binatang buas.

Pada awalnya, Lamin dihuni oleh banyak keluarga yang mendiami bilik-bilik didalam Lamin, namun kebiasaan itu sudah semakin memudar di masa sekarang. Bagian depan Lamin merupakan sebuah serambi panjang yang berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan upacara perkawinan, melahirkan, kematian, pesta panen, dll. Di belakang serambi inilah terdapat deretan bilik-bilik besar. Setiap kamar dihuni oleh 5 kepala keluarga.

Lamin kediaman bangsawan dan kepala adat biasanya penuh dengan hiasan-hiasan atau ukiran-ukiran yang indah mulai dari tiang, dinding hingga puncak atap. Ornamen pada puncak atap ada yang mencuat hingga 3 atau 4 meter. Dinding Lamin milik bangsawan atau kepala adat terbuat dari papan, sedangkan Lamin milik masyarakat biasa hanya terbuat dari kulit kayu.
b. Betang (Kalimantan Barat)

Ekspedisi Muller dan Sachwanerm bersama satu batalyon tentara kolonial di belantara Kalimantan, awal abad ke-18 lalu, menyimpulkan rumah bagi Suku Dayak tidak lain adalah benteng pertahanan kelompok.

Kedua bersaudara asal Jerman yang dikontrak pemerintah Belanda itu tidak hanya memaknai rumah tinggal Suku Dayak sebagai tempat tinggal dan tempat beranak pinak saja, tapi memiliki dimensi politis. Pemerintah Kolonial selama berabad-abad memang memandang rumah tinggal suku Dayak tidak lain sebagai sarang musuh yang harus dihapuskan. Rumah suku Dayak yang bisa menampung 800 jiwa atau hampir mendekati kekuatan satu batalyon kompeni.

Walaupun antar komunitas suku Dayak yang tinggal di wilayah Selatan, Tengah, Barat dan Timur pulau, awalnya tidak pernah terjadi persinggungan budaya, namun arsitektur dan posisi rumah mereka selalu menghadap ke sungai atau sumber mata air.

Kalau di Tana Toraja, rumah panggung dikenal dengan nama Tongkonan dan di Minangkabau bernama Rumah Gadang, suku Dayak memberi nama berbeda-beda sesuai letak geografis masing-masing.

Suku Dayak yang tinggal di Selatan sering menyebut "balai", di bagian Barat dan Tengah menyebutnya dengan "betang" dan di bagian timur "lamin". Apapun sebutannya namun secara fisik memiliki persamaan yaitu berupa bangunan besar ukuran panjang antara 30 sampai 150 meter dan lebar 10 hingga 30 meter dan bertiang tinggi antara 3 sampai 4 meter.

Sama dengan letak yang selalu dekat sungai, hingga kini belum terpecahkan, mengapa tipologi rumah Suku Dayak harus dibuat besar mirip barak militer tanpa mempertimbangkan faktor privasi antar keluarga.

Tetapi dari alasan teknis dibuat tinggi dari permukaan tanah tidak lain adalah untuk pertimbangan menjaga serangan binatang buas atau serangan musuh, selain pemanfaatan lahan yang biasanya untuk tempat bermain anak, gudang, menumbuk padi, menyimpan perahu atau sesekali untuk upacara adat.

Bangunan rumah selalu mempergunakan material kayu yang tahan panas dan tahan hujan. Biasanya dipergunakan kayu Ulin ("eusideroxylon zwagery") yang satu sama lain dirangkai tanpa mengunakan paku atau baut tetapi lazimnya menggunakan pasak dari jenis kayu yang sama. Sedangkan atapnya menggunakan sirap.

Rancang bangun Balai, Betang atau Lamin, biasanya terdiri dari bagian-bagian penting seperti tangga, pelataran, anjungan, ruang utama, ruang keluarga, ruang tidur, dapur dan gudang logistik.

Sedangkan untuk buang hajat atau mencuci dan mandi biasanya terpisah dari bangunan rumah.
Khusus untuk ruang tidur, biasanya memiliki fungsi ganda sebagai tempat privasi sekaligus untuk menyimpan perhiasan atau peralatan perang seperti mandau, tombak, sumpit atau racun yang sering digunakan untuk berburu binatang atau peperangan.

Rata-rata tinggi dinding dibuat paling sedikit 4 meter guna menjaga sirkulasi udara, sedangkan daun pintu biasanya mengikuti tinggi dinding yang kadang-kadang sampai 3 meter sementara daun jendela 2 meter.

Walaupun pintu rumah Suku Dayak biasa selalu terbuka, namun untuk menjaga keamanan dibuat kunci pengaman dari kayu ulin yang lazim disebut dengan "sesunduk lawang", batangan kayu mirip alu yang diletakan diatas dudukan sebagai penyangga daun pintu.

Antara satu suku dengan suku Dayak lainnya memiliki ciri khas dalam membuat ornamen rumah, termasuk ukiran-ukiran pada teras depan, tiang pagar teras, tangga maupun bentuk bubungan atap. Namun khusus untuk peletakan gagang pintu maupun jendela memiliki kesamaan, yakni selalu berada pada bagian kiri agar memudahkan tangan kiri untuk memegangnya.

Rancangan ini merupakan bentuk "kesiagaan" suku Dayak yang selalu mempersilahkan tamunya dengan tangan kanan, walaupun sedang memegang senjata mandau atau tombak.

Jika ujung mata mandau atau tombak mengarah ke bawah, maka ini berarti bentuk penghormatan untuk mempersilahkan tamunya masuk. Tetapi jika sebaliknyanya, berarti bentuk penolakan yang tidak bisa ditawar-tawar.

Disebut ”Rumah Betang”, merupakan rumah panggung berbentuk panjang, bawah kolongnya digunakan untuk bertenun dan menumbuk padi dan dihuni oleh 26 kepala keluarga. Terdiri dari enam kamar antara lain kamar untuk menyimpan peralatan perang, kamar untuk pendidikan gadis, tempat sesajian, upacara adat dan agama, tempat penginapan, dan ruang tamu.Pada kiri-kanan ujung atap dihiasi tombak sebagai penolak mara bahaya.

II.5 Senjata Tradisional Suku Dayak
(Mandau)
Bagi masyarakat Dayak, senjata "Mandau" tak dapat dipisahkan dari seni budaya mereka. Kalau dulu "mandau " sebagai biasa digunakan dalam acara ritual ataupun sebagai senjata peperangan serta senjata untuk berburu dan bertani, sekarang fungsinya sudah berbeda, yaitu sebagai benda seni dan budaya, cendera mata, barang koleksi serta senjata untuk berburu, merantas hutan dan bertani.

¬¬Bagi masyarakat Dayak, Mandau merupakan kehormatan diri.Dimana mandau tidak dapat terpisah dari tubuh pemiliknya, kemanapun pergi selalu dibawa. Karena itu, jangan coba-coba menganggap enteng senjata, misalnya memotong apalagi sengaja menginjak-injak. Perbuatan itu bisa dianggap penghinaan."Memang tidak akan menimbulkan konflik berkepanjangan karena masyarakat Dayak pada dasarnya sangat mencintai perdamaian. Namun, pelakunya bisa dituntut dalam suatu rapat adat dan dikenai sanksi,"

Mandau dipercayai memiliki tingkat-tingkat keampuhan sesuai kesaktian besinya. dimana kekuatan magis tersebut diisi oleh ahlinya melalui upacara ritual dan juga pantangan-pantangannya. sebelum abad ke-20 mandau erat kaitannya dengan kebiasaan 'mengayau' atau memenggal kepala musuh untuk dijadikan hiasan atau kepala orang yang sudah mati, dipercaya semakin banyak 'kepala' yng dihasilkan semakin 'sakti' mandau tersebut, rambut sbg hiasan biasanyah diambil dari rambut musuh, ada kepercayaan roh lawan yng mati akan mendiami mandau tsb, setiap membunuh akan diberikan tanda pada hulu mandau....

Mandau yang asli dipercayai terbuat dari batu gunung yang dilebur khusus oleh ahlinya sehingga besinya sangat kuat dan tajam serta hiasannya diberi sentuhan emas, perak, atau tembaga dan dibuat oleh orang-orang tertentu. Gagan mandau asli kebanyakan terbuat dari tanduk rusa maupun tulang dengan ukiran bermotif elok, ditambah dengan bulu binatang atau rambut manusia yang dilekatkan di pangkal gagang. Sering juga pada mandau asli / kuno dilengkapi dengan jimat. Tidak heran jika kemudian, harga mandau asli sangat mahal karena pembuatannya membutuhkan kehati-hatian dan kecermatan yang sangat tinggi. Seni membuat mandau ini sekarang memang terancam musnah, tak banyak lagi empu mandau yang kita dengar. Generasi muda dayak sudah jarang yang mau belajar membuat mandau.

Stuktur mandau
Umumnya mandau memiliki hulu (pegangan) terbuat dari tanduk, tanduk rusa atau kayu terpilih / kayu kualitas nomor satu dan dihiasi ukiran. Bentuk gagang dan ukiran pada gagang mandau ini dapat membedakan tempat asal usul mandau dibuat, suku dan derajat pemakainya. Itu bisa terlihat dari gaya serta motif ukirannya. Selain itu, di bagian hulu mandau disisipi beberapa helai rambut manusia, yang dipercaya akan menambah keampuhannya dan keangkeran pada pemiliknya.

Sarung mandau atau disebut kumpang juga diukir khas Dayak yang sangat indah serta dianyam rotan Kalimantan. Sebagai hiasan, biasanya ditempatkan bulu burung baliang, burung tanyaku, serta manik-manik yang indah dan tak lupa diselipkan jimat. Di kumpang / sarung mandau itu terikat pula semacam kantong yang terbuat dari kulit kayu berisi pisau kecil / pisau penyerut berukuran sekitar 10 sentimeter yang sangat tajam yang diberi nama langgai kuai dan kayu gading yang diyakini dapat menolak binatang buas.

Ketika masuk-keluar hutan, mandau yang tersarungkan dalam kumpang biasanya diikatkan di pinggang dengan jalinan rotan.
Material Mandau
• Besi Montallat

Dalam kaitan itu, besi Montallat paling terkenal diantara bahan-bahan lainnya untuk membuat senjata mandau.
• Besi Matikei

Berdasarkan literatur di Museum Balanga, Palangkaraya, terdapat sejenis bahan baku pembuat mandau, yaitu besi (sanaman) matikei, yang didapat di hulu Sungai Matikei, Desa Tumbang Atei, Kecamatan Sanaman Matikei, Samba, Kotawaringin Timur. Besi ini bersifat lentur sehingga mudah dibengkokkan.

Untuk mandau kwalitas Baik besi baja yang digunakan harus baja asli , sehingga hasilnya juga baik. Selain itu untuk tangkai mandau atau ulunya diperlukan tulang tanduk rusa yang besar, agar mudah diukir menjadi beberapa model. Untuk saung dibuat dari kayu bekualitas bagus.

Bahan baku pembuatan mandau atau ambang antara lain besi per mobil, bilah gergaji mesin, cakram kendaraan, dan besi batangan lainnya. Peranti kerja yang digunakan terutama adalah palu, betel, dan sebatang besi runcing guna melubangi mandau untuk hiasan.

Proses Pembuatan Mandau
Hal pertama yang selalu dilakukan dalam pembuatan mandau, adalah membuat tungku api. Disinilah besi ditempa. Kayu digunakan pada tungku api untuk membarakan nyala kayu ulin yang dipakainya untuk memanasi besi. Kayu ulin dipilih karena mampu menghasilkan panas lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kayu lainnya.

Besi yang tebal tersebut, dipanaskan di dalam bara api, agar lunak. Kemudian ditempanya dengan palu. Demikianlah hal tersebut dilakukan berulang-ulang, selama berjam- jam, hingga mendapatkan bentuk bilah mandau yang diinginkannya.

Bagian yang paling rumit, adalah hiasan mandau. Manakala bilah telah mendapatkan bentuknya, keudiaan mulai membuat hiasan berupa lekukan pada mata Mandau. Hiasan tersebut pun dibuat dengan cara yang sama. Dipanaskan dan dibentuk. Demikian berulang-ulang, hingga akhirnya puas dengan hasilnya.

Di samping lekukan sebagai hiasan, dibuat pula gerigi pada mata bilah. Setelah itu, barulah bilah mandau dihaluskan dengan menggunakan gerinda. Sebagai pelengkap hiasan pada bilah mandau, juga membuat lubang-lubang pada bilah tersebut. Konon pada zaman dahulu, banyaknya lubang mewakili banyaknya korban yang pernah kena tebas mandau tersebut. Semakin banyak lubang, semakin perkasa pemilik mandau.

Untuk membuat bilah mandau yang kecil, membutuhkan waktu setengah hari. Namun untuk membuat bilah yang panjang, dia bisa menghabiskan waktu seharian. Selama berjam-jam itu pula, pembuatmandau duduk di kursinya, atau berjongkok, sambil sesekali berdiri.

Perbedaan Mandau dg Parang
Masyarakat sering kali rancu dalam membedakan mandau dengan parang (warga setempat terkadang menyebutnya sebagai ambang). Sepintas, kedua peranti tajam tersebut tampak mirip.

Bedanya, parang atau ambang terbuat dari besi biasa dan tidak dilengkapi hiasan berupa ukiran. Bentuknya relatif sederhana tanpa pernak-pernik, mengingat kegunaannya melulu sebagai alat potong dan tebas ketika yang bersangkutan masuk- keluar hutan.

"Kalau mandau, ada bentuk ukir-ukiran di bagian bilahnya yang tidak tajam. Sering kali juga ada tambahan lubang-lubang di bilahnya, yang ditutup dengan tembaga atau kuningan sehingga makin indah dipandang,"

II.6 Seni Musik Suku Dayak
(alat musik sampe)
Suku Dayak memiliki bermacam-macam alat musik, baik berupa alat musik petik, pukul dan tiup. Dalam kehidupan sehari-hari suku di pedalaman ini, musik juga merupakan sarana yang tidak kalah pentingnya untuk penyampaian maksud-maksud serta puja dan puji kepada yang berkuasa, baik terhadap roh-roh maupun manusia biasa. Selain itu musik alat-alat musik ini digunakan untuk mengiringi bermacam-macam tarian.

Seperti halnya dalam seni tari, pada seni musik pun mereka memiliki beberapa bentuk ritme, serta lagu-lagu tertentu untuk mengiringi suatu tarian dan upacara-upacara tertentu. Masing-masing suku memiliki kekhasannya sendiri-sendiri.

 Alat Musik Suku Dayak :
Alat Musik Keterangan
Gendang
Ada beberapa jenis Gendang yang dikenal oleh suku Dayak Tunjung:
• Prahi
• Gimar
• Tuukng Tuat
• Pampong

Genikng
Sebuah gong besar yang juga digantungkan pada sebuah standar (tempat gantungan) seperti halnya gong di Jawa.

Gong
Sama seperti gong di Jawa, dengan diameter 50-60 cm

Glunikng
Sejenis alat musik pukul yang bilah-bilahnya terbuat dari kayu ulin. Mirip alat musik saron di Jawa.

Jatung Tutup
Gendang besar dengan ukuran panjang 3 m dan diameter 50 cm

Jatung Utang
Sejenis alat musik pukul dari kayu yang berbentuk gambang. Memiliki 12 kunci, tergantung dari atas sampai bawah dan dimainkan dengan kedua belah tangan.

Kadire
Alat musik tiup yang terbuat dari pelepah batang pisang dan memiliki 5 buah pipa bambu yang dibunyikan dengan mempermainkan udara pada rongga mulut untuk menghasilkan suara dengung.

Klentangan
Alat musik pukul yang terdiri dari enam buah gong kecil tersusun menurut nada-nada tertentu pada sebuah tempat dudukan berbentuk semacam kotak persegi panjang (rancak). Bentuk alat musik ini mirip dengan bonang di Jawa. Gong-gong kecil terbuat dari logam sedangkan tempat dudukannya terbuat dari kayu.

Sampe
Sejenis gitar atau alat musik petik dengan dawai berjumlah 3 atau 4. Biasanya diberi hiasan atau ukiran khas suku Dayak.

Suliikng
Alat musik tiup yang terbuat dari bambu. Ada beberapa jenis suliikng:
• Bangsi / Serunai
• Suliikng Dewa
• Kelaii
• Tompong

Taraai
Sebuah gong kecil yang digantungkan pada sebuah standar (tempat gantungan). Alat pemukul terbuat dari kayu yang agak lunak.

Uding (Uring)
Sebuah kecapi yang terbuat dari bambu atau batang kelapa. Alat musik ini dikenal juga sebagai Genggong (Bali) atau Karinding (Jawa Barat).

 Seni Suara/Musik diantaranya adalah :
1. Musik Tingkilan

(masyarakat suku dayak sedang memainkan kesenian musik tingkilan)
Seni musik khas suku Dayak (Kutai) adalah musik Tingkilan, kesenian ini memiliki kesamaan dengan kesenian rumpun Melayu. Alat musik yang digunakan adalah Gambus (sejenis gitar berdawai 6), ketipung (semacam kendang kecil), kendang (sejenis rebana yang berkulit sebidang dan besar) dan biola.

Musik Tingkilan disertai pula dengan nyanyian yang disebut betingkilan. Betingkilan sendiri berarti bertingkah-tingkahan atau bersahut-sahutan. Dahulu sering dibawakan oleh dua orang penyanyi pria dan wanita sambil bersahut-sahutan dengan isi lagu berupa nasihat-nasihat, percintaan, saling memuji, atau bahkan saling menyindir atau saling mengejek dengan kata-kata yang lucu. Musik Tingkilan ini sering digunakan untuk mengiringi tari pergaulan rakyat Kutai, yakni Tari Jepen.

2. Hadrah
Kesenian ini mempergunakan alat musik terbang atau rebana. Kesenian ini dibawakan sambil menabuh terbang tersebut disertai nyanyian dalam bahasa Arab yang diambil dari kitab Barjanji. Kesenian ini umumnya ditampilkan untuk mengarak pengantin pria menuju ke rumah mempelai wanita, selain itu juga sering ditampilkan pada perayaan hari-hari besar Islam.

II.7 Seni Pahat dan Seni Patung Suku Dayak
(suku dayak dengan alat pahatnya)
c. Fungsi Patung Bagi Suku Dayak
Suku Dayak mengenal seni pahat patung yang berfungsi sebagai ajimat, kelengkapan upacara atau sebagai alat upacara. Dari fungsi-fungsi tersebut maka dapat disebutkan jenis-jenis patung yang ada di suku Dayak. Diantaranya adalah sebagai berilkut :

1. Patung Ajimat
Patung sebagai ajimat terbuat dari berbagai jenis kayu yang dianggap berkhasiat untuk menolak penyakit atau mengembalikan semangat orang yang sakit.
2. Patung Kelengkapan Upacara

Patung-patung kecil untuk kelengkapan upacara biasanya digunakan saat pelaksanaan upacara adat seperti pelas tahun, kuangkai, dan pesta adat lainnya. Patung kecil ini terbuat dari berbagai bahan, seperti kayu, bambu hingga tepung ketan.

3. Patung Alat Upacara
Patung sebagai alat upacara contohnya adalah patung blontang yang terbuat dari kayu ulin. Tinggi patung antara 2 - 4 meter dan dasarnya ditancapkan kedalam tanah sedalam 1 meter.

b. Motif Pahatan Suku Dayak
Suku Dayak memiliki pola-pola atau motif-motif yang unik dalam setiap pahatan mereka. Umumnya mereka mengambil pola dari bentuk-bentuk alam seperti tumbuhan, binatang serta bentuk-bentuk yang mereka percaya sebagai roh dari dewa-dewa, misalnya Naang Brang, Pen Lih, Deing Wung Loh, dan sebagainya.

(Patung blontang suku Dayak ini mengingatkan kita pada totem yang dimiliki oleh suku Indian di Amerika)

II.8 Seni Tari Dayak
1. Tari Gantar
Tarian yang menggambarkan gerakan orang menanam padi. Tongkat menggambarkan kayu penumbuk sedangkan bambu serta biji-bijian didalamnya menggambarkan benih padi dan wadahnya. Tarian ini cukup terkenal dan sering disajikan dalam penyambutan tamu dan acara-acara lainnya.Tari ini tidak hanya dikenal oleh suku Dayak Tunjung namun juga dikenal oleh suku Dayak Benuaq. Tarian ini dapat dibagi dalam tiga versi yaitu tari Gantar Rayatn, Gantar Busai dan Gantar Senak/Gantar Kusak.

2. Tari Kancet Papatai / Tari Perang
Tarian ini menceritakan tentang seorang pahlawan Dayak Kenyah berperang melawan musuhnya. Gerakan tarian ini sangat lincah, gesit, penuh semangat dan kadang-kadang diikuti oleh pekikan si penari. Dalam tari Kancet Pepatay, penari mempergunakan pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah dilengkapi dengan perlatan perang seperti mandau, perisai dan baju perang. Tari ini diiringi dengan lagu Sak Paku dan hanya menggunakan alat musik Sampe.

( Tari Kancet Papatai/Tari Perang )
3. Tari Kancet Ledo / Tari Gong
Jika Kancet Pepatay menggambarkan kejantanan dan keperkasaan pria Dayak Kenyah, sebaliknya Kancet Ledo menggambarkan kelemah-lembutan seorang gadis bagai sebatang padi yang meliuk-liuk lembut ditiup oleh angin. Tari ini dibawakan oleh seorang wanita dengan memakai pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah dan pada kedua belah tangannya memegang rangkaian bulu-bulu ekor burung Enggang. Biasanya tari ini ditarikan diatas sebuah gong, sehingga Kancet Ledo disebut juga Tari Gong.

( Tari Kancet Ledo / Tari Gong )
4. Tari Kancet Lasan
Menggambarkan kehidupan sehari-hari burung Enggang, burung yang dimuliakan oleh suku Dayak Kenyah karena dianggap sebagai tanda keagungan dan kepahlawanan. Tari Kancet Lasan merupakan tarian tunggal wanita suku Dayak Kenyah yang sama gerak dan posisinya seperti Tari Kancet Ledo, namun si penari tidak mempergunakan gong dan bulu-bulu burung Enggang dan juga si penari banyak mempergunakan posisi merendah dan berjongkok atau duduk dengan lutut menyentuh lantai. Tarian ini lebih ditekankan pada gerak-gerak burung Enggang ketika terbang melayang dan hinggap bertengger di dahan pohon.

5. Tari Leleng
Tarian ini menceritakan seorang gadis bernama Utan Along yang akan dikawinkan secara paksa oleh orangtuanya dengan pemuda yang tak dicintainya. Utan Along akhirnya melarikan diri kedalam hutan. Tarian gadis suku Dayak Kenyah ini ditarikan dengan diiringi nyanyian lagu Leleng.

6. Tari Hudoq
Tarian ini dilakukan dengan menggunakan topeng kayu yang menyerupai binatang buas serta menggunakan daun pisang atau daun kelapa sebagai penutup tubuh penari. Tarian ini erat hubungannya dengan upacara keagamaan dari kelompok suku Dayak Bahau dan Modang. Tari Hudoq dimaksudkan untuk memperoleh kekuatan dalam mengatasi gangguan hama perusak tanaman dan mengharapkan diberikan kesuburan dengan hasil panen yang banyak.

(Tari Hudoq)
7. Tari Hudoq Kita'
Tarian dari suku Dayak Kenyah ini pada prinsipnya sama dengan Tari Hudoq dari suku Dayak Bahau dan Modang, yakni untuk upacara menyambut tahun tanam maupun untuk menyampaikan rasa terima kasih pada dewa yang telah memberikan hasil panen yang baik. Perbedaan yang mencolok anatara Tari Hudoq Kita' dan Tari Hudoq ada pada kostum, topeng, gerakan tarinya dan iringan musiknya. Kostum penari Hudoq Kita' menggunakan baju lengan panjang dari kain biasa dan memakai kain sarung, sedangkan topengnya berbentuk wajah manusia biasa yang banyak dihiasi dengan ukiran khas Dayak Kenyah. Ada dua jenis topeng dalam tari Hudoq Kita', yakni yang terbuat dari kayu dan yang berupa cadar terbuat dari manik-manik dengan ornamen Dayak Kenyah.

8. Tari Serumpai
Tarian suku Dayak Benuaq ini dilakukan untuk menolak wabah penyakit dan mengobati orang yang digigit anjing gila. Disebut tarian Serumpai karena tarian diiringi alat musik Serumpai (sejenis seruling bambu).

9. Tari Belian Bawo
Upacara Belian Bawo bertujuan untuk menolak penyakit, mengobati orang sakit, membayar nazar dan lain sebagainya. Setelah diubah menjadi tarian, tari ini sering disajikan pada acara-acara penerima tamu dan acara kesenian lainnya. Tarian ini merupakan tarian suku Dayak Benuaq.

( Tari Belian Bawo )
10. Tari Kuyang
Sebuah tarian Belian dari suku Dayak Benuaq untuk mengusir hantu-hantu yang menjaga pohon-pohon yang besar dan tinggi agar tidak mengganggu manusia atau orang yang menebang pohon tersebut.

11. Tari Pecuk Kina
Tarian ini menggambarkan perpindahan suku Dayak Kenyah yang berpindah dari daerah Apo Kayan (Kab. Bulungan) ke daerah Long Segar (Kab. Kutai Barat) yang memakan waktu bertahun-tahun.

12. Tari Datun
Tarian ini merupakan tarian bersama gadis suku Dayak Kenyah dengan jumlah tak pasti, boleh 10 hingga 20 orang. Menurut riwayatnya, tari bersama ini diciptakan oleh seorang kepala suku Dayak Kenyah di Apo Kayan yang bernama Nyik Selung, sebagai tanda syukur dan kegembiraan atas kelahiran seorang cucunya. Kemudian tari ini berkembang ke segenap daerah suku Dayak Kenyah.

13. Tari Ngerangkau
Tari Ngerangkau adalah tarian adat dalam hal kematian dari suku Dayak Tunjung dan Benuaq. Tarian ini mempergunakan alat-alat penumbuk padi yang dibentur-benturkan secara teratur dalam posisi mendatar sehingga menimbulkan irama tertentu.

14. Tari Baraga' Bagantar
Awalnya Baraga' Bagantar adalah upacara belian untuk merawat bayi dengan memohon bantuan dari Nayun Gantar. Sekarang upacara ini sudah digubah menjadi sebuah tarian oleh suku Dayak Benuaq.

15. Tari Tambun dan Bungai, merupakan tari yang mengisahkan kepahlawanan Tambun dan Bungai dalam mengusir musuh yang akan merampas panen rakyat.

16. Tari Balean Dadas, merupakan tarian guna memohon kesembuhan bagi mereka yang sakit.

17. Tari Geger Ketingan, yang merupakan tarian kaum remaja, atau tari "enggang terbang" sebagai simbol menghormati nenek moyang mereka.

18. Tari Garunuhing yang mencerminkan rasa syukur

19. Tari Giring-Giring dipersembahkan setiap penerima tamu, selain tari-tarian lainnya seperti "jepen", "kanyan halu", "kinyah kayau", "kinyak kambe", "laluhan", "manambang pangkalima" atau tarian sakral berupa tari "balian bawo," yang biasanya dipersembahkan pada saat upacara penyembuhan orang sakit.

II.9 Lagu Daerah
a. Kalimantan Selatan
- Ampar-ampar Pisang
Pencipta / Pengarang Lagu dan Lirik : Hamiedan AC
Ampar ampar pisang
Pisangku balum masak
Masak sabigi dihurung bari-bari
Masak sabigi dihurung bari-bari
Mangga lepak mangga lepok
Patah kayu bengkok (2x)
Bengkok dimakan api
apinya canculupan
Jari kaki sintak dahuluakan masak
Ampar ampar pisang
Pisangku balum masak
Masak sabigi dihurung bari-bari
Masak sabigi dihurung bari-bari
Mangga ricak mangga ricak
Patah kayu bengkok
Tanduk sapi tanduk sapi kulibir bawang
Nang mana batis kutung dikitip bidawang

- Paris Barantai
Pencipta: H. Anang Ardiansyah
Wayah pang sudah hari baganti musim Wayah pang sudah Kotabaru gunungnya Bamega Bamega umbak manampur di sala karang Umbak manampur di sala karang Batamu lawanlah adinda Adinda iman di dada rasa malayang Iman di dada rasa malayang Pisang silat tanamlah babaris Babaris tabang pang bamban kuhalangakan Tabang pang bamban kuhalangakan Bahalat gununglah babaris Babaris hatiku dandam kusalangakan Hatiku dandam kusalangakan Burung binti batiti di batang Di batang si batang buluh kuning manggading Si batang buluh kuning manggading Kacilangan lampulah di kapal Di kapal anak Walanda main komidi Anak Walanda main komidi Malam tadi bamimpilah datang Rasa datang rasa bapaluk lawan si ading Rasa bapaluk lawan si ading Kasiangan guringlah sabantal Sabantal tangan ka dada hidung ka pipi Tangan ka dada hidung ka pipi

b. Kalimantan Barat
- Cik Cik Periook
Cik cik periook bilanga sumping dari jawe dateng nek keci book bawa kepiting dua ekook Cik cik periook bilanga sumping dari jawe dateng nek kecibook bawa kepiting dua ekook cak cak bur dalam bilanga picak idung gigi rongak sape kitawa dolok dipancung raje tunggal. Cik cik periook bilanga sumping dari jawe periuk kecil, belanga sumbing dr pulau Jawa dateng nek keci book bawa kepiting dua ekook datanglah si Nek Kecibok bw 2 ekor kepiting Cik cik periook bilanga sumping dari jawe dateng nek kecibook bawa kepiting dua ekook cak cak bur dalam bilanga idung picak gigi rongak kepiting diceburkan kedalam belanga hidung pesek gigi ronga'

c. Kalimantan Timur
- Yamu Ame Tonge
II.10 Upacara Adat dan Tradisi Suku Dayak
a. Proses Penguburan Suku Dayak Maanyan
Setelah seseorang dari suku Dayak Maanyan dinyatakan meninggal maka dibunyikanlah gong beberapa kali sebagai pertanda ada salah satu anggota masyarakat yang meninggal. Segera setelah itu penduduk setempat berdatangan ke rumah keluarga yang meninggal sambil membawa sumbangan berupa keperluan untuk penyelenggaraan upacara seperti babi, ayam, beras, uang, kelapa, dan lain-lain yang dalam bahasa Dayak Maanyan disebut nindrai.

Beberapa orang laki-laki pergi ke dalam hutan untuk mencari kayu bakar dan menebang pohon hiyuput (pohon khusus yang lembut) untuk dibuat peti mati. Kayu yang utuh itu dilubangi dengan beliung atau kapak yang dirancang menyerupai perahu tetapi memakai memakai tutup. Di peti inilah mayat nantinya akan dibaringkan telentang, peti mati ini dinamakan rarung.

Seseorang yang dinyatakan meninggal dunia mayatnya dimandikan sampai bersih, kemudian diberi pakaian serapi mungkin. Mayat tersebut dibaringkan lurus di atas tikar bamban yang diatasnya dikencangkan kain lalangit. Tepat di ujung kepala dan ujung kaki dinyalakan lampu tembok atau lilin. Kemudian sanak famili yang meninggal berkumpul menghadapi mayat, selanjutnya diadakan pengambilan ujung rambut, ujung kuku, ujung alis, ujung bulu mata, dan ujung pakaian si mati yang dikumpulkan menjadi satu dimasukkan ke sebuah tempat bernama cupu. Semua perangkat itu dinamakan rapu yang pada waktu penguburan si mati nanti diletakkan di atas permukaan kubur dengan kedalaman kurang lebih setengah meter.

Tepat tengah malam pukul 24.00 mayat dimasukkan ke dalam rarung sambil dibunyikan gong berkali-kali yang istilahnya nyolok. Pada waktu itu akan hadir wadian, pasambe, damang, pengulu adat, kepala desa, mantir dan sanak keluarga lainnya untuk menghadapi pemasukan mayat ke dalam rarung.

Pasambe bertugas menyiapkan semua keperluan dan perbekalan serta peralatan bagi si mati yang nantinya disertakan bersamanya ke dalam kuburan. Sedangkan Wadian bertugas menuturkan semua nasihat dan petunjuk agar amirue (roh/arwah) si mati tidak sesat di perjalanan dan bisa sampai di dunia baru. Wadian di sini juga bertugas memberi makan si mati dengan makanan yang telah disediakan disertai dengan sirih kinangan, tembakau dan lain-lain. Jika penuturan wadian telah selesai tibalah saatnya orang berangkat mengantar peti mati ke kuburan. Pada saat itu sanak keluarganya menangisi keberangkatan sebagai cinta kasih sayang kepada si mati. Menunjukkan ketidakinginan untuk berpisah tetapi apa daya tatau matei telah sampai dan rasa haru mengingat semua perbuatan dan budi baik si mati selagi berada di dunia fana.

b. Upacara Tiwah
Provinsi Kalimantan Tengah. Di provinsi ini, masyarakat Dayak Kaharingan berdiam dan bertahan dengan segala adat istiadat dan kepercayaannya. Termasuk pula menjaga kepercayaan yang dianutnya sejak dulu Agama Kaharingan. Salah satu upacara ritual yang masih dijalankan oleh masyarakat Dayak Kaharingan, adalah upacara Tiwah. Inti upacara ini adalah memindahkan tulang jenazah kedalam sandung, yaitu rumah kecil yang senantiasa ada disetiap rumah masyarakat setempat.

Upacara ini mencerminkan sikap hormat mereka, kepada anggota keluarga yang telah mendahului mereka. Rangkap I Nau adalah Ketua Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan, yang juga Ketua Panitia Tiwah Massal di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Di dalam upacara ini, Rangkap I Nau meniwahkan ayahnya yang meninggal tahun 1999.

Dalam keyakinan Agama Kaharingan, Tuhan Yang Maha Kuasa adalah awal dari segala yang ada. Termasuk hidup dan kehidupan. Di dalam kitab suci mereka disebutkan, manusia pada akhirnya akan kembali kepada sang pencipta yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa.

Proses menuju kesana, seperti ayah Rangkap I Nau adalah melalui upacara Tiwah. Tiwah artinya pensucian, pembebasan, pelepasan atau penyempurnaan. Pada hakekatnya, dalam hidupnya, manusia berbuat dosa, karena itu ada sial. Siapapun yang meninggal, maka keluarganya akan tertimpa sial. Sial ini harus dihapuskan. Maka dilaksanakanlah upacara ritual Tiwah. Dengan demikian, tidak ada lagi sial pada mereka yang hidup.

Dalam proses ini, bagian inti dari upacara ritual Tiwah, adalah pengangkatan tulang jenazah ayah Rangkap I Nau. Dengan upacara ritual seperti pembacaan mantra-matra dari kitab suci oleh ulama, makam ayah Rangkap I Nau dibongkar. Setelah itu tulang belulang ayah Rangkap I Nau pun diangkat dan dibersihkan. Selanjutnya tulang belulang disimpan untuk sementara didalam kotak, selama dua sampai tiga hari. Selain tulang belulang ayah Rangkap I Nau yang baru berumur 4 tahun, ada pula kerangka yang telah berusia 25 tahun. Kerangka ini belum di Tiwah, karena ketiadaan biaya. Biasanya tulang yang sudah berumur diatas 4 tahun sudah bersih. Namun ada pula pengecualian.

Dalam upacara Tiwah, hewan seperti kerbau, sapi dan babi, menjadi syarat untuk dikorbankan. Untuk itu, dibuatlah patung-patung kayu sebagai tempat pengikat hewan-hewan tersebut, sebelum ditombak sebagai korban. Patung-patung tersebut dibuat dari kayu yang kuat yaitu kayu ulin. Hanya pematung hebat yang pahatan dan ukirannya bagus yang terpilih untuk membuat patung-patung tersebut.

Setelah selesai, patung-patung tersebut ditaman disamping sadung. Dalamnya lubang bisa mencapai 1 hingga 1,5 meter, mengingat besarnya hewan korban yang diikatkan ke patung. Sebelum menanam patung-patung tersebut ke dalam tanah, ditaruhlah berbagai macam sesajen oleh ulama. Diantaranya beras, telur, sirih, pinang dan rokok. Maksudnya, untuk menunjukkan bahwa tanah itu adalah tempat manusia hidup. Selain itu, juga untuk menunjukkan bahwa patung-patung tersebut didirikan dengan tulus ikhlas.

Dalam upacara apapun, masyarakat Dayak Kaharingan senantiasa menggunakan beras yang mereka taburkan. Beras diyakini sebagai alat komunikasi antara manusia dengan Tuhan dan para penciptanya di alam sana. Pada hari yang telah ditentukan, tibalah saatnya bagi hewan-hewan korban tersebut untuk di tombak. Mereka yang menombak pun ada aturannya, yaitu hanya anggota keluarga yang melakukan Tiwah. Bagi ayah Rangkap I Nau yang melakukan penombakan adalah saudara sepupunya. Rangkap sendiri tidak boleh ikut menombak. Namun dia harus membuktikan bahwa dia telah melakukan tanggung jawab moralnya sebagai anak, yaitu melaksanakan Tiwah bagi ayahnya.

Selama upacara Tiwah berlangsung, ulama atau dalam bahasa Agama Kaharingan disebut Basir, memainkan peran central. Puncak acara misalnya, adalah pembacaan mantra-mantra oleh Basir. Bukan sembarang Basir, melainkan Basir Utama yaitu yang paling tua, paling pintar dan paling dipercaya. Seraya duduk diatas sebuah gong, sang Basir membacakan nama-nama seluruh almarhum yang akan di Tiwah massal, jumlahnya 211. Karenanya pembacaan mantra tersebut berlangsung semalam suntuk.

Selain itu, sang Basir juga menceritakan proses awal kehidupan manusia. Mengakhiri rangkaian upacara ritual yang telah berlangsung lebih dari satu bulan, seluruh keluarga berkumpul di desa tempat asal almarhum. Tiga jam perjalanan mobil dari Palangkaraya. Disana mereka akan memasukan tulang arlmarhum kedalam sandung.

Menurut Rangkap, tulang belulang ayahnya harus diperlakukan dengan rasa hormat dan cinta kasih, serta tidak boleh sembarangan. Dengan masukan tulang belulang tersebut, roh ayahnya dipercaya telah diantar ke surga dan menyatu dengan Tuhan. Proses memasukan tulang kedalam sandung pun ditingkahi dengan berbagai ritual yang syarat dengan makna. Luapan emosi tak tertahankan.

Dengan masuknya tulang kedalam sandung, maka almarhum ayah Rangkap I Nau telah memperoleh tempat peristirahatannya yang terakhir. Usai sudah upacara Tiwah. Seluruh keluarga merasa lega, bangga dan bahagia. Segala perasaan bercampur aduk menjadi satu. Perasaan ini tidak bisa diukur dengan uang. Namun hanya bisa diukur dengan kebesaran nama Tuhan. Akhirnya Rangkap berharap, suatu saat kelak anak-anaknya pun bisa melakukan hal yang sama, yaitu meniwahkan dia.

c. Telinga Panjang, Tradisi Khas Suku Dayak
Menyebut seni tato, banyak suku bangsa di Nusantara yang memiliki tradisi ini seperti suku Dayak, Mentawai, dan Papua. Namun, tradisi telinga panjang, hanya suku Dayak di Kalimantan yang memiliki tradisi unik dan khas ini. Itu pun tidak semua suku Dayak, tetapi hanya beberapa subsuku Dayak tertentu.

Meski menjadi salah satu ciri khas atau identitas yang sangat menonjol sebagai penduduk asli Kalimantan, namun tradisi ini sekarang justru semakin ditinggalkan. Kalaupun ada yang bertahan, hanya sebagian kecil golongan generasi tua Dayak yang berumur di atas 60 tahun.

Selain jumlahnya sangat sedikit, mereka yang asalnya bertelinga panjang secara sengaja memotong ujung daun telinga mereka. Alasan yang sering dikemukakan, takut dianggap ketinggalan zaman atau khawatir anak-anak mereka merasa malu.

Menurut antropolog Mering Ngo, yang juga berasal dari suku Dayak, jika tato tradisional Dayak kini berkembang menjadi seni tato modern, tradisi telinga panjang justru semakin tenggelam dan ditinggalkan. Tidak ada generasi muda sekarang yang meneruskan tradisi ini, bahkan di pedalaman Kalimantan sekalipun, dengan beragam alasan.

"Cukup saya saja yang telinganya dibuat panjang. Ketujuh anak saya, satu pun tidak ada yang telinganya dibuat panjang," tutur Pejung (82), warga suku Dayak Kayan yang telinganya dibuat panjang hingga sekitar 15 sentimeter. "Saya kasihan jika anak- anak saya nantinya malu dan menjadi bahan ejekan. Padahal, telinga panjang harus mulai dilakukan sejak masih bayi," tambah Pejung.

Menurut Mering Ngo, selain tidak ada penerus untuk melestarikan tradisi telinga panjang, juga tidak semua kelompok atau subsuku Dayak di Kalimantan memiliki tradisi telinga panjang ini. Di Kalimantan Barat, misalnya, tradisi telinga panjang hanya dikenal antara lain di kalangan masyarakat Dayak Iban, Kayan, Taman, dan Dayak Punan. Tradisi ini pun kebanyakan hanya berlaku di daerah pedalaman seperti di Kabupaten Kapuas Hulu.

Pembuatan telinga panjang tidak hanya dilakukan pada perempuan, tetapi juga pada laki-laki. Pembuatan telinga panjang biasanya dilakukan sejak masih bayi. Adapun tujuannya, menurut Mering Ngo, dikaitkan dengan penggolongan strata sosial seseorang di dalam masyarakat.

Di Dayak Kayan, misalnya, pembuatan telinga panjang menunjukkan orang tersebut berasal dari kalangan bangsawan. Adapun pembuatan telinga panjang pada perempuan menunjukkan dia seorang bangsawan sekaligus untuk membedakan dengan perempuan yang dijadikan budak karena kalah perang atau tidak mampu membayar utang.

Lain lagi dengan desa-desa di hulu Sungai Mahakam. Telinga panjang digunakan sebagai identitas untuk menunjukkan umur seseorang. Begitu bayi lahir, ujung telinga diberi manik-manik yang cukup berat. Setiap tahun, jumlah manik-manik yang menempel di telinga bertambah satu.

"Karena itu, kalau ingin mengetahui umur seseorang, bisa dilihat dari jumlah manik-manik yang menempel di telinga. Jika jumlahnya 60, maka usianya pasti 60 tahun karena pemasangan manik-manik tidak bisa dilakukan sembarangan, cuma setahun sekali," ungkap Jacobus Bayau Lung, Ketua II Persekutuan Dayak Kalimantan Timur.

Tujuan pembuatan telinga panjang pun bukan untuk menunjukkan status kebangsawanan, tetapi justru untuk melatih kesabaran. "Bayangkan saja, betapa beratnya manik-manik yang tergantung di telinga. Tetapi, karena dipakai setiap hari, kesabaran dan rasa penderitaan mereka menjadi terlatih," ujar Bayau Lung.

Sementara itu, di kalangan masyarakat Dayak Kayan, agar daun telinga menjadi panjang, biasanya daun telinga diberi pemberat berupa logam berbentuk lingkaran gelang atau berbentuk gasing ukuran kecil. Dengan pemberat ini daun telinga akan terus memanjang hingga beberapa sentimeter. Sementara pada Dayak Iban, tidak diberi pemberat demikian, tetapi hanya dibiarkan terlihat seperti lubang besar seperti kalau kita membuat angka nol dengan menyatukan ujung ibu jari dengan ujung jari telunjuk.

Di Dusun Sungai Utik, Desa Apan, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, misalnya, ditemukan seorang Dayak Iban bernama Tuba. Orang tua berumur sekitar 68 tahun tersebut memanjangkan telinganya sekitar tahun 60-an saat merantau ke Sarawak dan Brunei Darussalam. Di sana dirinya selain memanjangkan telinga juga membuat tato di bagian leher, lengan dan paha.

Guru Besar Hukum Adat Univeritas Tanjungpura Prof Dr Yohanes Cyprianus Thambun Anyang menyatakan, tradisi telinga panjang Dayak Iban hampir sama dengan Dayak Taman yang tidak memberi pemberat. "Pada Dayak Taman, tradisi telinga panjang itu tidak terkait dengan strata sosial tertentu. Tradisi ini khususnya untuk perempuan hanya sebagai identitas keperempuanannya," papar pakar hukum adat ini. Tetapi, kata Thambun, tradisi ini sudah ditinggalkan masyarakat Dayak Taman. "Ibu saya saja justru begitu datang ke Pontianak waktu itu meminta dipotong ujung daun telinganya karena khawatir nanti anak- anaknya malu," ungkapnya.

Menurut Thambun, memanjangkan telinga hanyalah salah satu tradisi menghias tubuh. Tradisi suku Dayak lainnya adalah membuat tato dan memasang gigi emas. Namun, dari ketiga tradisi menghias tubuh tersebut, hanya tato yang masih bertahan walaupun semakin kehilangan makna spiritualnya. Sedangkan membuat telinga panjang dan memasang gigi emas sudah ditinggalkan. "Tradisi memasang gigi emas bagi Dayak Taman untuk menunjukkan yang bersangkutan sudah merantau jauh, sebab gigi emas yang bagus cuma ada di Sarawak dan Brunei Darussalam," tuturnya.

Mulai kapan tradisi telinga panjang ini ditinggalkan? Menurut Mering, ini tidak diketahui persis, namun diperkirakan sama dengan tradisi tato ketika mulai masuknya para misionaris ke daerah pedalaman di perkampungan Dayak pada zaman kolonial Belanda dulu.

Tradisi ini pun semakin terkikis habis ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia di daerah perbatasan Kalimantan. Saat itu berkembang stigma di masyarakat, mereka yang berdaun telinga panjang dan tinggal di rumah- rumah panjang, yang dihuni beberapa keluarga, merupakan kelompok masyarakat yang tidak modern. Tidak tahan terhadap pandangan seperti itu, akhirnya beberapa warga memotong telinga panjangnya. Stigma semacam ini terus berlangsung hingga sekarang. Kalangan generasi muda Dayak tidak mau lagi membuat telinga panjang karena takut dianggap ketinggalan zaman dan tidak modern.

II.11 Makanan Khas Suku Dayak
(Makanan khas suku Dayak, pojak iyur gai kotok atau tumis rotan muda)
Makanan khas suku Dayak umumnya dimasak di rumah saat menggelar upacara adat atau acara khusus. Ibu-ibu PKK di Kutai Timur misalnya. Dalam beberapa pertemuan, mereka menyiapkan masakan-masakan khas suku Dayak yang kini semakin sulit dinikmati. Memasak pojak pusung jaung alias tumis bunga kecombrang cara memasaknya mirip dengan menumis kangkung atau sayuran lain. Usai menumis bawang merah, bawang putih dan bumbu lainnya, bunga kecombrang yang sudah diiris tipis langsung dimasukkan ke wajan hingga layu.

Masakan khas suku Dayak lain yang cukup populer adalah pojak iyur gai kotok atau tumis rotan muda. Masakan tersebut biasanya disajikan ketika akan menggelar upacara adat. Mereka percaya tumis rotan muda berkhasiat menyembuhkan beberapa penyakit di antaranya malaria. Yang pasti, sejumlah penggemar mengakui kelezatannya yang gurih dan renyah. Sebenarnya masyarakat suku Dayak memiliki banyak makanan khas lainnya. Sayangnya, keragaman dan kekayaan tradisi itu masih belum tergali.

II.12 Perkembangan Suku Dayak
a. Kesultanan Kutai Kartanegara
 Sejarah
Ditinjau dari sejarah Indonesia kuno, Kerajaan Kutai merupakan kerajaan tertua di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya 7 buah prasasti yang ditulis diatas yupa (tugu batu) yang ditulis dalam bahasa Sansekerta dengan menggunakan huruf Pallawa. Berdasarkan paleografinya, tulisan tersebut diperkirakan berasal dari abad ke-5 Masehi.

( huruf Pallawa pada prasasti Kutai )
Dari prasasti tersebut dapat diketahui adanya sebuah kerajaan dibawah kepemimpinan Sang Raja Mulawarman, putera dari Raja Aswawarman, cucu dari Maharaja Kudungga. Kerajaan yang diperintah oleh Mulawarman ini bernama Kerajaan Kutai Martadipura, dan berlokasi di seberang kota Muara Kaman.

Pada awal abad ke-13, berdirilah sebuah kerajaan baru di Tepian Batu atau Kutai Lama yang bernama Kerajaan Kutai Kartanegara dengan rajanya yang pertama, Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325). Dengan adanya dua kerajaan di kawasan Sungai Mahakam ini tentunya menimbulkan friksi diantara keduanya. Pada abad ke-16 terjadilah peperangan diantara kedua kerajaan Kutai ini. Kerajaan Kutai Kartanegara dibawah rajanya Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa akhirnya berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai Martadipura. Raja kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.

Pada abad ke-17 agama Islam diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara. Selanjutnya banyak nama-nama Islami yang akhirnya digunakan pada nama-nama raja dan keluarga kerajaan Kutai Kartanegara. Sebutan raja pun diganti dengan sebutan Sultan. Sultan yang pertama kali menggunakan nama Islam adalah Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778). Tahun 1732, ibukota Kerajaan Kutai Kartanegara pindah dari Kutai Lama ke Pemarangan.

Perpindahan ibukota Kerajaan Kutai Kartanegara dari Kutai Lama (1300-1732) ke Pemarangan (1732-1782) kemudian pindah ke Tenggarong (1782-kini)
Sultan Aji Muhammad Idris yang merupakan menantu dari Sultan Wajo Lamaddukelleng berangkat ke tanah Wajo, Sulawesi Selatan untuk turut bertempur melawan VOC bersama rakyat Bugis. Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara untuk sementara dipegang oleh Dewan Perwalian.

Pada tahun 1739, Sultan A.M. Idris gugur di medan laga. Sepeninggal Sultan Idris, terjadilah perebutan tahta kerajaan oleh Aji Kado. Putera mahkota kerajaan Aji Imbut yang saat itu masih kecil kemudian dilarikan ke Wajo. Aji Kado kemudian meresmikan namanya sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan menggunakan gelar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin.

Setelah dewasa, Aji Imbut sebagai putera mahkota yang syah dari Kesultanan Kutai Kartanegara kembali ke tanah Kutai. Oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang setia pada mendiang Sultan Idris, Aji Imbut dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Penobatan Sultan Muslihuddin ini dilaksanakan di Mangkujenang (Samarinda Seberang). Sejak itu dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado.

Perlawanan berlangsung dengan siasat embargo yang ketat oleh Mangkujenang terhadap Pemarangan. Armada bajak laut Sulu terlibat dalam perlawanan ini dengan melakukan penyerangan dan pembajakan terhadap Pemarangan. Tahun 1778, Aji Kado meminta bantuan VOC namun tidak dapat dipenuhi.
Pada tahun 1780, Aji Imbut berhasil merebut kembali ibukota Pemarangan dan secara resmi dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin di istana Kesultanan Kutai Kartanegara. Aji Kado dihukum mati dan dimakamkan di Pulau Jembayan.

b. Peristiwa Sambas
Perkembangan suku Dayak dapat dilihat pada peristiwa Sambas yang sangat memilukan bagi bangsa Indonesia yang terjadi pada tahun 1999 dimana terjadi benturan kepentingan antara kedua pihak yang terlibat yaitu antara suku asli (Dayak) dengan suku pendatang (Madura). Perselisihan Dayak-Madura adalah cerita lama, yang sudah berlangsung sejak tahun 50-an. Kesadisan orang Dayak pun bukan barang baru. Mereka biasa membantai kelompok suku tertentu, bahkan memakan dagingnya. Korban pertama mereka adalah orang Cina. Waktu itu semua orang Cina di daerah pemukiman Dayak dibantai. Menurut Budhisantoso (62), pakar antropologi dari UI yang menjadi penyebab kerusuhan adalah faktor kebudayaan dan environmental scarcity (keterbatasan sumber daya dan lingkungan). Dimana orang Melayu yang-seperti orang Jawa dan Sunda, menghindari konflik dan lebih suka hidup damai-menghadapi tekanan lingkungan akibat pembangunan nasional yang tidak menjamin rasa adil, tak ada demokrasi berpolitik dan berbudaya.

Dayak dan Melayu secara tradisional sudah bermukim di Kal-Bar beberapa abad belakangan ini. Melayu umumnya tinggal di daerah pesisir, dengan mata pencarian bertani dan nelayan. Dayak tinggal di pedalaman, umumnya masih hidup dengan pola berburu dan meramu. Keadaan suku Dayak ini tidak banyak berubah hingga sekarang. Selain itu masih ada suku-suku lain seperti Cina dan Bugis. Dahulu tidak pernah ada konflik yang berarti antara Dayak dan Melayu hingga saat ini. Dayak yang animis, menghormati Melayu yang muslim. Kalau ada orang Dayak masuk Islam, mereka (Dayak) menyebutnya masuk Melayu. Demikian pula, orang Melayu tidak pernah mencoba mengusik orang Dayak, atau memperalatnya, walaupun dari segi pendidikan rata-rata orang Melayu lebih tinggi.

Belakangan berbagai faktor luar masuk. Orang-orang dari Jawa (baca : Madura) datang ke Kal-Bar. Dalam banyak hal, terutama pendidikan, penduduk asli memang banyak tertinggal dari mereka yang dari Jawa. Praktis jalur birokrasi dan militer dikuasai mereka. Kemudian masuk pula missionaris. Banyak orang Dayak masuk Kristen sehingga identitas Dayak bergeser dari animis ke Kristen. Kembali ke persoalan konflik tadi, pertanyaan kita, kenapa selalu timbul konflik Dayak-Madura. Orang Madura memang unik karakternya. Bagi orang Melayu, (image yang umum di Pontianak) budaya kekerasan orang Madura sangat menonjol. Kekerasan biasanya jadi bahasa utama mereka dalam menyelesaikan persoalan. Terus terang, citra orang Madura di Pontianak sangat buruk. Ini yang menyedihkan. Di sisi lain orang Dayak juga punya budaya kekerasan. Kita tahu bahwa mereka belum lama (atau bahkan masih) meninggalkan budaya kanibalnya. Jadi, ketika terjadi perang suku Dayak-Madura, suku-suku lain cenderung tidak peduli. Karena bagi mereka, hal itu biasa terjadi. Artinya perang antara dua suku "primitif" adalah hal biasa. Menyedihkan bahwa orang Melayu tidak merasa memiliki kesamaan identitas dengan orang Madura yang juga sama-sama Muslim.

Belakangan, berbagai faktor lain menambah runyam persoalan. Proyek-proyek HPH, kebun kelapa sawit dan sebagainya semakin menyingkirkan orang Dayak. Hutan-hutan dibabat, mereka yang biasanya carai makan di hutan, sekarang dilarang masuk hutan. Kebanyakan orang Dayak tidak siap memanfaatkan infrastruktur yang dibangun pemerintah di wilayah mereka. Akibatnya orang lain yang mengambil keuntungan, diantaranya Madura. Mereka, yang tinggal di pedalaman, pintar berdagang dan berkebun. Orang Dayak entah kenapa lamban secara ekonomi. Pembangunan memang hanya dilakukan disektor fisik, bukan budaya.

Lalu ada lagi faktor lain, petualang politik. Ada sekelompok intelektual Dayak yang memanfaatkan situasi untuk kepentingan politik. Ide bahwa Dayak harus diberdayakan diterjemahkan dalam bentuk posisi politik harus di pegang oleh suku Dayak. Apakah orang Dayak di pedalaman itu mengerti politik? Jadi kalau ide itu diterima, mereka, yang memang siap untuk menduduki jabatan, akan memperoleh keuntungan. Tapi ada pertanyaan, kenapa belakangan orang Melayu juga terlibat dalam budaya kekerasan ini. Orang Melayu biasanya anti kekerasan. Kenapa sekarang berubah. Siapa sekarang yang mau berpihak pada orang-orang Madura itu. Saudara-saudara mereka yang Melayu sekarang membunuh mereka. Pihak Pemda juga cenderung menyalahkan mereka. Gubernur Kal-Bar berkomentar bahwa kerusuhan ini akibat para pendatang tidak menghormati budaya lokal. Selesaikah persoalan dengan mengalihkan orang Madura dari lokasi kerusuhan? Bagaimana dengan hak mereka untuk hidup.
Presiden berjanji akan segera membenahi ketertinggalan pembangunan di Kalimantan, terutama dalam sektor pendidikan dan ekonomi. Sehingga, masyarakat Kalimantan dapat bersaing dengan daerah lain dalam pembangunan.

"Semua hak adat Suku Dayak yang selama ini diambil secara paksa, segera dikembalikan. Dan, masyarakat Dayak diberdayakan, sehingga bisa bersaing dengan daerah lain. Karena itu, saya akan memberikan beasiswa pendidikan, dan pembenahan infrastruktur ekonomi di daerah ini," kata Presiden.

Melihat ketertinggalan Kalimantan tidak harus bersusah payah, misalnya dengan mengundang para pakar, cukup dengan menyusuri di antara 11 sungai besar yang membelah wilayah Provinsi Kalimantan. Otomatis mereka bisa memberikan gambaran, betapa sakitnya kehidupan masyarakat Dayak, terutama yang bermukim di pelosok pedalaman.

Sekitar 80 persen dari penduduk Kalimantan sebanyak 1,8 juta jiwa tersebut, masih mengandalkan transportasi sungai. Itulah bukti bahwa masih sangat terbatas akses jalan darat di daerah itu. Tidak mengherankan, sebagian besar permukiman masyarakat Dayak terletak di tepian sungai. Alasannya, mereka masih mengandalkan sungai sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.

Belakangan ini, di masyarakat Dayak terjadi semacam kepanikan, akibat sungai yang selama ini diandalkan dalam segala hal, mulai terganggu. Struktur sungai berubah sangat besar, artinya, sudah makin sulit dilayari kapal dalam kapasitas 20 ton ke atas. Sehingga komoditas yang mereka garap untuk menyambung hidup, menjadi tidak ekonomis lagi dipasarkan.

Tidak hanya itu. Air sungai yang sejak nenek moyang dijadikan sumber air bersih keluarga, kini sudah tercemar air raksa. Sepintas, warga Dayak itu sendiri yang berbuat atau merusak fungsi sosial dan fungsi ekonomis sungai. Mereka menambang emas di sungai karena keterpaksaan saja, artinya mereka harus melakukan pekerjaan itu untuk sesuap nasi. Di sisi lain, latar belakang kesadaran mereka tentang kelestarian lingkungan hidup, masih sangat tipis.

"Mereka terpaksa melakukan pekerjaan itu karena faktor pendidikan tipis dan miskin. Akan menjadi lain, kalau ekonomi masyarakat Dayak sudah baik dengan tingkat pendidikan formal rata-rata SLTA. Pasti tindakan yang merugikan lingkungan dan manusia, tidak terjadi," tambah Gimong.

Muncul rasa cemburu dalam menikmati potensi sumber daya alam yang melimpah, bisa jadi persoalan masyarakat Dayak yang sejak lama tidak terjawab. Misalnya saja, dalam hak eksploitasi hutan, tambang emas, dan ikut serta dalam pekerjaan proyek pemerintah.

Seperti yang dikatakan mantan anggota DPR RI B Saptanoesa Wenthe dan Ketua Pemuda Panca Marga Kalteng Yansen Binti, selama 50 tahun terakhir nasib masyarakat Dayak selalu tertindas dalam menikmati sumber daya alam yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Misalnya, hak eksploitasi hutan dan menambang emas.

Begitu orang Dayak ikut menebang pohon, selalu diuber-uber, dikatakan pencuri, penjarah, dan perusak lingkungan. Sementara pendatang begitu bebas mengeksploitasi hutan. Bahkan, keberadaan hak pengusahaan hutan (HPH) selama ini dirasakan sebagai program yang menciptakan kesengsaraan bagi warga di tengah hutan.

Menurut kedua tokoh pemuda Kalteng itu, masyarakat Dayak yang berada di sekitar HPH merasa terdesak. Mereka menjadi tidak bebas lagi menggarap hasil hutan. Misalnya, mencari kayu ulin, menyadap pohon jelutung, dan panen buah tengkawang. Potensi yang bisa memperbaiki perekonomian masyarakat pedalaman, umumnya dilarang oleh pemilik HPH.

Daftar Pustaka
Aryandini S., Woro. 2000. Manusia Dalam Tinjauan Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: UI Press
http://adhikusumaputra.blogspot.com/feeds/posts/default
http://fazz.wordpress.com
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku
http://kerajaanbanjar.wordpress.com
http://noesantara.com/mandau.htm
Koentjaraningrat. 1997. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Koentjaraningrat. 2007. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : Djambatan
Widyosiswoyo, Supartono. 1996. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta : Ghalia Indonesia
www.blogger.com/dyn-css/authorization.css
www.earmi.it/armi/glossario/immagini/mandau2.jpg
www.fortunecity.com/banners/interstitial
www.indosiar.com/v2/culture
www.kaltengpos.com/berita/index.asp
www.kompas.com/kompas-cetak/0410/22
www.kutaikartanegara.com
www.metrotvnews.com
www.pontianakpost.com/forum/
www.sinarharapan.co.id/berita/0612/19/ipt03.html
www.sintang.go.id/images/uploaded/product/mandau1
www.tamanmini.com/budaya indonesia
\www.valiantco.com/antique/
http://jpbond19.blogspot.com