Kebijakan ruang dan fenomena pelacuran

Interpretasi Ruang
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia selalu berinteraksi dalam ruang. Diamanapun manusia berada, dia akan selalu menenempati ruang, baik itu kamar, jalan, parkiran, kompleks kampus, kantoran, ataupun dalam konteks ruang kota. Dalam undang-undang pun diatur mengenai ruang. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya (UU No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang). Namun apakah ruang yang kita tempati ini hanya berupa wadah? Hanya sebuah tempat, yang berupa ruang darat, laut dan udara, juga ruang dalam bumi, yang direncakan untuk aktivitas manusia? Ataukah sebuah ruang yang multi tafsir dalam penggunaannya, tergantung siapa dan kepentingan apa yang terlibat?

Dalam bukunya urban revolution, Lefebvre (1901-1991) menyatakan ruang sebagai bentuk konstruksi interaksi masyarakat yang terbentuk dalam jangka waktu tertentu dan berubah secara dinamis karena dipengaruhi oleh banyak aspek, seperti sosial, politik, ekonomi, geografi, dan lain-lain (Bonno; 2003). Dalam sudut pandang ini ruang bukanlah suatu bentuk statis yang hanya bisa dilihat dari segi fisik saja, namun juga terbentuk oleh faktor-faktor non-fisik. Sehingga ruang tidak hanya bisa dibentuk dalam selembar kertas, kemudian melupakan aktivitas sebenarnya yang terjadi di realita. Dikarenakan manusia, sebagai komponen utama dalam kota selalu berkembang. Populasi yang meningkat akan mempengaruhi jumlah permintaan lahan, air bersih, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan, ketersedian jalan dan lain-lain, yang pada gilirannya akan mempengaruhiruang hidup manusia (Dewi; 2008). Oleh karena itu, baik dalam perencanaan ataupun dalam implementasi, perencanaan ruang harus mengacu pada kebutuhan di realita. Interaksi yang terjadi harus dapat diawadahi dalam ruang-ruang yang sesuai (Mariana; 2007). dalam bukunya Thirdspace, Edward Sojas (1996) mengemukan bahwa ruang sebagai sebuah hasil pemikiran konseptual dan kehidupan nyata yang merubah ruang dalam pemikiran menjadi tindakan nyata keruangan dalam konteks ketidakseimbangan kuasa (Somdahl-Sands; 2006). Bila kemudian ada ketidaktepatan penggunaan ruang, ketidakseimbangan kuasa, antara rencana tata ruang dengan apa yang terjadi di masyarakat, maka inilah yang disebut lefebvre sebagai representational space (Wells; 2007). Ruang yang muncul dari bagaimana kebutuhan manusia akan ruang fisik dan non-fisik, seperti budaya, dalam kehidupan sehari-hari menghasilkan pandangan berbeda mengenai sebuah ruang.

Ada kontradiksi yang berbeda antara pemerintah, sebagai pembuat kebijakan, yang merumuskan dan memiliki kuasa untuk memberikan definisi suatu ruang dengan masyarakat yang dalam kesehariannya langsung bersentuhan dengan ruang yang didefiniskan oleh pemerintah. Pemerintah menganggap ruang di masayarakat hanya sebatas sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategis kawasan (UU No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang). Sedangkan masyarakat lebih mengangap ruang tersebut merupakan tempat mereka bermain, belajar, bermukim dan bekerja, sesuai dengan kebutuhan dan kepentngan mereka masing-masing. Sehingga ada beberapa perbedaan yang kemudian terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Trotoar merupakan tempat yang disediakan bagi pejalan kaki, namun kemudian digunakan sebagai tempat untuk berdagang. Kawasan lindung digunakan sebagai tempat resapan air,namun kemudian digunakan untuk lahan industri atau permukiman mewah. Aliran sungai digunakan sebagai tempat cadangan air, namun digunakan untuk mandi, mencuci dan air untuk masak dan juga digunakan untuk membuang limbah rumah tangga dan industri. Jalan sebagai tempat lalu lalang kendaraan, digunakan sebagai tempat aktivitas menjajakan tubuh. Atau juga daerah perdagangan dan jasa dan permukiman, yang digunakan sebagai tempat jual beli tubuh.

Antara ruang dengan fenomena pelacuran
Suatu rahasia umum dimasyarakat, mengenai maraknya tempat-tempat hiburan malam, jalanan, vila, ataupun permukiman yang dijadikan tempat pelacuran. Baik yang terbuka ataupun tidak, semuanya ada dan berkembang diantara masyarakat. Akan tetapi fenomena ruang-ruang pelacuran ini hanya berkembang di kota-kota besar, sebut saja Jogjakarta, Surabaya, Semarang, Solo, Jakarta, Bandung, Palembang, dan kota-kota besar lainya. Memang tidak menutup kemungkinan ruang pelacuran muncul di pinggiran kota atupun pedesaan, namun hal tersebut tidak semenarik dan semeriah ketika ruang pelacuran tersebut berada di perkotaan. Dapat kita lihat Jogjakarta, kebijakan pemerintah daerah untuk mengembangkan pariwisata pada tahun 1980an, memberikan ekses semakin meningkatnya jumlah tempat penginapan. Dengan ditambah jumlah wisatawan yang semakin meningkat maka dampak permintaan terhadap pelacur juga akan semakin tinggi, karena konsep wisata leisure yang diterapkan konotasinya dekat dengan seks (www.gatra.com).

Munculnyaruang-ruang ini, kemudian ditanggapi berbeda oleh masyarakat. Ada yang menerima dengan lapang dada, karena mereka berpikir pelacur juga manusia yang butuh kebutuhan dasarnya terlengkapi. disisi lain mereka, yang menyetujui, terkena imbasnya baik secaralangsung ataupun tidak karena multiplier effectyang ditimbulkan. Jakarta pada masa pemerintahan Ali Sadikin, dengan kebijakan legalisasi perjudian sebagai bisnis utama dan pelacuran sebagai salah satu faktor penarik, berhasil mengumpulkan 40 miliar rupiah dalam satu tahun. Berarti jelas, aktivitas ini, disadari atau tidak, talah memberikan sumbangan cukup besar untuk laju pembangunan perkotaan di Indonesia. Walaupun ada juga yang menyetujui karena mereka memang menggunakan jasa-jasa pelacur tersebut. disamping itu, ada juga yang tidak setuju, terutama dari kalangan agamawan, karena merasa praktek pelacuran ini menyimpang nilai-nilai dan norma-norma yang berkembang di masyarakat. Hal ini juga didukung pemerintah daerah dengan menerbitkan peraturan yang melarang paraktek pelacuran, seperti yang terjadi di daerah Tangerang, Gersik, Lamongan, Gianyar, Cilacap, Yogyakarta, Malang, dan lain-lain. walaupun kenyataanya penerapan peraturan daerah inipun tidak efektif, karena penutupan satu tempat lokalisasi akan memunculkan lokalisasi lainnya. Tidak hanya itu saja, namun juga menyulitkan pemerintah daerah untuk memantau perkembangan penyakit menular, seperti HIV/AIDS. Hal ini mengisyaratkan praktek pelacuran akan selalu berkembang, apapun yang terjadi.

Ruang-ruang ini nyata di masayarakat, dan dalam perkembangannya ruang-ruang ini kemudian berkembang dan bergerak mengikuti arus trend yang berkembang pada saat itu. 1990-an, pelacuran di Jogjakarta, bertransformasi dari pelacuran masyarakat kelas bawah menjadi pelacuran kelas intelektual. Ditandai dengan meningkatnya pelacur yang berstatus mahasiswa di kota pelajar tersebut, karena pada saat tersebut Jogajakarta diminati oleh masyarakat sebagai sebuah ruang pendidikan yang menjajikan, walaupun kenyataanya realita tak seindah harapan. Masyarakat hanya bisa bergerak dengan fenomena ini, dan menciptakan ruang tersendiri. Mangambil partisipasi sesuai dengan posisinya masing-masing, yang pada akhirnya menciptakan dinamika perubahan ruang. Permukiman semakin yang semakin meningkat karena pertambahan penduduk, beberapa terkonversi sebagi ruang pelepasan hasrat. Daerah perdagangan dan jasa, disusupi aktivitas-aktivitas syahwat. Pemerintah tidak dapat berbuat banyak, karena sedikit banyak mereka juga terbantu dalam menghidupi warganya, baik dari pajak ataupun dari nilai transaksi yang berlangsung. Disini terlihat jelas, bahwa masyarakat pun berstandar ganda, disatu sisi mereka tidak setuju, namun mereka menikmati hasil pelacuran tersebut.

Ruang yang tercipta di bagian bawah ini, tidak pernah ada dalam rencana tata ruang yang diciptakan oleh pemerintah daerah manapun. Pemerintah hanya membagi ruang dalam permukiman, perdagangan dan jasa, jalan dan ruang terbuka hijau. Tidak ada satu perangkat hukum pun yang secara jelas menentukan dan menggambarkan lokasi-lokasi pelacuran ini, karena memang secara hukum mereka tidak diakui walaupun mereka ada. Disini terlihat bahwa pendefinisian ruang bukan hanya otoritas satu pihak saja, walaupun itu merupakan otoritas tertinggi, yaitu pemerintah. Ruang tidak dapat diintervensi dalam bentuk apapun, tetap ada realitas lain yang dapat memaknai ruang (Wells; 2007). Peran perencana sebagai salah satu komponen dalam pendefinisian ruang tersebut, juga harus dapat menempatkan realitas tersebut dalam ruang yang sebenarnya, ruang yang sesuai dengan kebutuhan. Cara yang paling efektif dan representatif dalam memahaminya adalah dengan melihat langsung ke realitas yang ingin direpresentasikan, karena dengan cara inilah kita dapat melihat hubungan antar ruang danhubungan ruang dengan interaksi manusia (Mariana; 2007). The Research Group of the New Everyday Life (1991) menyatakan sudut pandang nyata kehidupan adalah dari bawah, karena hal itu dapat memunculkan realitas sebenarnya dan memberikan kemungkinan dan pandangan baru dalam menghubungkan perbedaan antara kontruksi dan dekontruksi ruang, sehingga mampu melihat realitas tersebut secara menyeluruh (Mariana; 2007).

Kebijakan ruang dalam kaitannya dengan fenomena pelacuran
Permasalahan pelacuran tidak akan pernah terselesaikan jika akar permasalahannya tidak pernah tersentuh, yaitu kemiskinan. Pemerintah, sebagai instutisi yang memiliki otoritas untuk menyelesaikan masalah ini dalam konteks legal, seharusnya dapat mengambil kebijakan pro-aktif, dari hanya sekedar melarang dan mengizinkan secara malu-malu. Dalam menghadapi ruang seperti ini, mau tidak mau pemerintah harus berhadapan dengan manusia dengan berbagai macam tipe dan sifat yang berbeda. Karakter ini pada akhirnya memberikan kepentingan yang berbeda, dari sekedar untuk mencukupi kebutuhan dasar, hobi sampai dengan kultur untuk melacur (Lamijo; 2006). Bukan hanya dari orang yang melacur saja yang perlu dilihat, tapi dari mucikari, penyedia tempat penginapan, distributor gadis untuk menjadi pelacur, penyedia perlengkapan pelacur (seperti dokter untuk arbosi atau penyedia kondom), sampai dengan siapa saja yang terlibat di belakang penyedia jasa ini (para pejabat yang berwenang atau para pengusaha yang memiliki kuasa atas pejabat yang berwenang). Karena pelacuran bukan hanya miliki pelacur saja namun juga milik dari sisi demand dan sistem yang ada.

Posisi perencana sebagai perpanjangan tangan pemerintah dalam merumuskan ruang, harus mampu menggabungkan keselurahan manusia yang terlibat ini (stakeholder) dalam satu forum yang sama. Untuk kemudian dapat saling bertukar pikiran dan mencari titik tolak agar dapat menciptakan kondisi yang lebih sesuai dalam ukuran manusia modern. Hal ini memang bukanlah hal yang mudah, namun sudut pandang perencanaan ini harus dilihat sebagai sebuah proses yang panjang, dimana fokus perencanaannya tidak hanya untuk mencapai tujuan tertentu namun juga untuk memaksimalkan proses yang berlangsung. Hal ini dikarenakan proses ini juga berdasarkan pada pengaruh stakeholder yang terlibat, kepentingan dan ruang lingkup mereka dalam ikut serta akan mempengaruhi arah perencanaan yang akan dicapai (Mannberg; 2006). Hal ini akan menjadi penting dikarenakan akan informasi yang akan terkumpul dapat memberikan ketepatan pemerintah untuk merumuskan kebijakan dalam penyelesaian fenomena ini(Innes; 2001).

Perbedaan definisi ruang antara pemerintah dengan masyarakat harus terlebih dahulu diperkecil perbedaan sudut pandangnya, baru kemudian bersama-sama menciptakan definisi baru tentang ruang (Hillier; 2002). Hal ini kemudian akan merumuskan penggunaan ruang yang sesuai dengan kebutuhan aktivitas manusia yang terjadi didalamnya. Pelacur akan lebih optimal dalam menjalani hidupnya, mungkin dengan mengganti pekerjaan atau melanjutkan pekerjaannya dengan beberapa modifikasi, sedangkan masyarakat dapat menerima dengan lapang dada dan mereka yang terlibat dapat tetap menuai keuntungan dari fenomena ini.

Daftar pustaka
Dewi, Kristanti P. 2008. Kota Ideal untuk 'Sekarang. Diakses melalui cyber internet pada 4 januari 2009 dalam jurnal arsitektur on-line volume 2 no. 1, www.arsitektur.net.

Hillier, Jean. 2002. Shadows of power. Routledge. London.

Innes, Judith E. 2001. Information in Communicative Planning. University of California at Berkeley Institute of Urban and Regional Development.

Lamijo. 2006. Prostitusi Di Jakarta Dalam Tiga Kekuasaan, 1930 1959. Sejarah dan Perkembangannya. Pusat Penelitian Sumberdaya Regional, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PSDR-LIPI), Jakarta.

Lefebvre, Henri diartikan oleh Robert Bonnno. 2003. The Urban Revolution. University of minnesota. London.

Macdonald, Laura. 2000. Citizenship, Participation and the Public Sphere in the Americas. Materials compiled for Summer Institute 2000 Robarts Centre for Canadian Studies, Carleton University.

Mannberg, Mariann. 2006. Communicative Planning (How) Does it Work?. LuleƄ University of Technology, Department of Civil and Environmental Engineering, Division of Architecture and Infrastructure

Mariana, Setya . 2007. 'Everyday Life' sebagai Pendekatan dalam Memahami Ruang. Diakses melalui cyber internet pada 4 januari 2009 dalam jurnal arsitektur on-line volume 1 no. 2, www.arsitektur.net

Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Surabaya.

Somdahl-Sands, Katrinka. 2006. Cultural Geographies In Practice: Triptych: Dancing In Thirdspace. Diakses melalui cyber internet pada 10 oktober 2008 dalam space and culture, http://cgj.sagepub.com.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
Wells, Karen. 2007. The Material and Visual Cultures of Cities. Diakses melalui cyber internet pada 10 oktober 2008 dalam space and culture, http://sac.sagepub.com /cgi/content/abstract/10/2/136.

________. 1978. Mereka dikuhum kurungan mereka dihukum kurungan. Diakses melalui cyber internet pada 10 oktober 2008 dalam www.tempo.com.

________. 2003. Tebaran Puas di Luar Tembok. Diakses melalui cyber internet pada 10 oktober 2008 dalam Wisata & Hiburan, www.gatra.com.

________. 2004. GKR Hemas: Lokalisasi Dihapus, Kondisi Menyulitkan. Diakses melalui cyber internet pada 10 oktober 2008 dalam www.kompas.com.

________. 2008. Ali Sadikin (1927-2008); Dimakamkan di TPU Tanah Kusir. Diakses melalui cyber internet pada 10 <

>oktober 2008 dalam biografi tokoh indonesia, www.tokohindonesia.com.

Sumber : http://www.neno09.co.cc