Oleh : M. Yunis
“Lain lubuk lain ikannya, lain
Buah karya yang berupa artefact berupa perkakas-perkakas adat seperti carano, keris dan lain sebagainya. Karya yang berupa tradisi lisan seperti pidato adat yang dinamakan dengan pasambahan, patun-pantun dan mamangan adat. Sedangkan karya tulis berupa naskah-naskah lama atau perjanjian-perjanjian lama. Tetapi dalam tulisan ini, tidak membahas buah karya tersebut secara keseluruhan, karya yang berupa makanan menjadi topik pembicaraan kali ini. Buah karya yang dihasilkan oleh masyarakat tersebut seperti rendang sekarang sudah menjadi hak paten Malaysia, galamai yang merupakan makanan khas Payakumbuh, dan joadah yang merupakan makanan khas Pariman. Jenis makanan ini bisa dikatakan sebuah karya budaya seperti artefact, karya tulis maupun karya lisan karena di samping menjadi ciri khas suatu masyarakat, jenis makanan itu juga telah diwarisi secara turun-temurun oleh generasi selanjutnya.
Di antara jenis makanan di atas, joadah adalah makanan yang mungkin cukup asing bagi masyarakat luar karena joadah hanya terdapat di Pariaman. Keasingan tersebut akan semakin jelas jika kita memperhatikan bentuk dan ukurannya. Sangat berbeda dengan jenis makanan lain, joadah terdiri dari sekumpulan jenis makanan yang penamaan terhadap masing-masingnya juga berbeda.Joadah tidak dinamakan dengan joadah, apabila kurang salah satu dari jenis makanan yang mendukungnya sebab masing-masing jenis makanan itulah yang membangun keutuhan joadah sesuai dengan tingkatan dan posisinya di atas dulang.Pada tingkatan paling bawah dinamakan dengan wajik berwarna hitam terbuat dari adonan beras, menyerupai segi tiga yang mana salah satu sudut segitiga mengarah ke pusat titik lingkaran dulang. Pada tingkatan kedua dari bawah adalah luwo, warnanya putih agak kekuning-kuningan yang terbuat dari beras yang sudah dihaluskan dicampur dengan gula enau. Pada tingkatan ketiga dinamakan dengan julo bio, berwarna merah bentuknya juga segi tiga tapi keras kalau digigit. Pada tingkatan keempat dari bawah dinamakan dengan kanji, warnanya hitam dan rasanya agak kenyal dari wajik.
Dari proses pembuatan kanji adalah unsur dari joadah yang membutuhkan waktu yang cukup lama, bahkan sampai seharian penuh. Sebelum berbentuk kanji terlebih dahulu beras dihaluskan menjadi tepung. Pada tingkatan kelima dari bawah dinamakan dengan kipang, terbuat dari beras yang digoreng kemudian dicampur dengan gula saka cair sehingga mengeras setelah dibentuk menjadi segi tiga. Tingkatan keenam dari bawah dinamakan dengan kareh-kareh, berwana merah dan lembut jika digigit. Pada posisi terakir seperti yang terlihat pada gambar ialah kue bolu. Sebenarnya kue bolu tidak termasuk dari susunan joadah, kehadirannya hanya penambahan di kemudian hari. Sebab zaman sekarang semuanya serba modern, joadah pun dimodivikasi. Meskipun penamaan masing-masingnya berbeda-beda, tetapi sama-sama berasal dari beras.
Dari sisi adat istiadat Pariaman, Joadah merupakan jenis makanan yang serta merta hadir dalam mengiringi mempelai wanita ketika datang pertama kali (manjalang) ke rumah mempelai laki-laki. Kata mengiringi di sini bukan berarti joadah dibawa secara bersamaan dengan mempelai wanita, tetapi joadah diantar terlebih dahulu sebelum mempelai wanita sampai di rumah mempelai laki-laki. Proses pembuatan dilakukan sehari sebelum pesta atau upacara dilakukan, dimulai dari mengolah beras menjadi tepung beras, membeli gula sesuai dengan kebutuhan, dan mempersiapkan alat-alat yang dibutuhkan dalam proses pembuatan, melengkapi bumbu–bumbu tertentu yang menambah cita rasa joadah, kemudian dilaksanakan proses pembuatan joadah. Prosesi ini, dinamakan dengan “mahakhu” dalam bahasa Indonesia adalah mengaduk, mengacau, pengacau hingga mempunyai bentuk. Untuk itu masyarakat memerlukan sebuah “kancah” besar atau kuali besar.
Dulu dalam arena “mahakhu” selalu melibatkan pemuda-pemuda, sebab untuk melakukan pengadukan membutuhkan tenaga yang kuat, sorak-sorei kebahagian mengisi akan suasana tersebut. Tetapi, sekarang tidak ditemukan lagi pemuda-pemuda yang andil dalam pekerjaan ini, sebab di samping para ahli joadah merasa sanggup, pikiran pemuda sekarang telah didominasi oleh gengsi.Proses pengantaran pun sebenarnya menjadi tanggung jawab pemuda-pemuda, namun sekarang sudah diwakilkan kepada salah seorang pengantar bayaran, tetapi dikomandoi oleh salah seorang urang salapan, yaitu salah seorang dari orang tua korong perempuan yang dipilih dan dipercaya secara adat untuk mengemban tugas ataupun membantu tuan rumah yang sedang melaksanakan pesta perkawinan yang berjumlah delapan orang.
Jika dilihat dari segi bentuk Joadah hanyalah jenis makanan yang tersusun di atas wadah bulat dan datar (dulang atau talam), yang mana penyusunannya diciptakan sebagus mungkin dan bahkan biaya yang dibutuhkan bisa mencapai jutaan rupiah. Jika, penciptaan bentuk sudah selesai, maka permasalahan kedua yang harus dihadapi ialah penafsiran yang bermacam-macam dari masyarakat. Joadah yang besar ditafsirkan oleh masyarakat bahwa pihak mempelai wanita berasal dari kaum bangasawan atau kalangan terhormat, dan joadah yang kecil bisa ditafsirkan bahwa mempelai wanita berasal dari keluarga sederhana atau miskin. Sejalan dengan itu, joadah juga dijadikan simbol keperawanan calon mempelai wanita. Apabila rasa joadah kurang enak atau tidak tahan lama, sepeti ungkapan masyarakat sekitar, “kipangnyo badarai” (kipangnya sudah hancur), berarti mempelai wanita tidak perawan lagi. Jika hal ini terjadi, diwajibkan bagi pihak mempelai wanita untuk waspada, bisa saja pesta pernikahan batal seketika. Jadi, berbagai macam penafsiran tersebut akan muncul sangat tergantung bagaimana bentuk dan rasa joadah tersebut setelah bermuara di kerongkongan.
Sekilas diperhatikan, Joadah hanyalah jenis makanan yang serta merta hadir dalam mengiringi mempelai wanita ketika datang pertama kali (manjalang) ke rumah mempelai laki-laki. Kata mengiringi di sini bukan berarti joadah dibawa secara bersamaan dengan mempelai wanita, tetapi joadah diantar terlebih dahulu sebelum mempelai wanita sampai di rumah mempelai laki-laki. Namun, kogotongroyongan, sama rasa ketika itu sangat jelas tampak. Tak ubahnya sebuah tanggung jawab yang sangat besar yang harus diemban secara bersama oleh masyarakat, dimulai dari proses pembuatan dikerjakan dengan cara gotong royong di rumah mempelai wanita, tetapi tetap dikomandoi oleh seorang ahli joadah.Kemudian keperawan mempelai wanita juga menjadi tanggung bersama anggota masyarakat. Jadi, individu sebagai anggota masyarakat tidak akan bisa hidup tanpa bantuan sesama, mulia individu mulia masyarakat, mulia masyarakat mulia pula individu, begitulah seterusnya.
M. Yunis, Alumni Sastra Daerah Minangkabau Unand
Sumber: