Di sini penulis mengupas dongeng-dongeng Melayu sebagai sumber informasi kebudayaan. Sayang, kebiasaan mendongeng dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Melayu sekarang sudah jarang dijumpai karena adanya desakan tata kehidupan modern. Adanya perubahan itu sebenarnya sudah disiratkan dalam dongeng-dongeng Melayu yang diangkat sebagai contoh oleh penulis.
Dongeng adalah cerita yang disampaikan seseorang kepada para pendengarnya dengan cara bercerita, bukan dengan membaca, karena waktu itu orang belum pandai membaca dan belum ada buku-buku yang dibaca. Lazimnya pendongeng adalah orang tua, yang kebanyakan kaum wanita. Makin tua orang yang mendongeng, dongeng itu akan semakin disukai, karena makin tua orang, makin banyak garam yang dimakannya, dalam arti makin banyak pengalamannya.
Mendongeng bukan sekadar berkata-kata, tetapi harus dibumbui dengan mimik mulut dan gerak tangan. Bukan itu saja, bila dalam dongeng terdapat kata “mencubit” atau “menggelitik”, maka cubitan dan gelitikan itu juga dicobakan kepada salah seorang pendengarnya. Inilah yang menambah semarak suasana mendongeng. Mendongeng biasanya dilakukan pada waktu santai. Kebiasaan berkumpul, mendongeng, dan berbincang-bincang ini sudah berlangsung sejak lama.
Misalnya ada seorang petani membersihkan kebun bersama istrinya. Si istri merebus ubi yang dicabutnya di ladang. Setelah masak, ubi diletakkan di atas daun pisang yang mudah didapat di kebun itu. Kebetulan ada kawan Pak Tani yang lewat di depan pondok. Kawan tersebut dipersilakan naik ke atas pondoknya. Mereka makan ubi bersama-sama sambil berbincang-bincang, yang pada zaman itu disebut berbual-bual. Siapa saja dipersilakan naik ke atas pondok tanpa kecuali, baik orang yang sudah dikenal maupun pendatang baru. Siapa pun yang datang ke tempat itu sudah dianggap sebagai keluarga. Pada masa itu tampaknya sikap saling mencurigai belum banyak.
Seperti yang penulis katakan, mendongeng selalu dilakukan pada waktu santai dan biasanya dilakukan oleh wanita yang sudah berumur. Waktu yang dipilih biasanya saat-saat menjelang tidur malam. Pada waktu yang sudah ditentukan, beberapa pendengar datang ke rumah pendongeng untuk mendengar dongeng.
Setiap pendongeng mempunyai daya tarik sendiri-sendiri. Pendongeng yang mempunyai daya tarik akan banyak didatangi pendengar. Daya tarik ini biasanya berupa kepandaian menyusun kata-kata atau kepandaian menyisipkan kelakar yang dapat membuat pendengarnya terpingkal-pingkal. Dalam setiap dongeng pasti terdapat pepatah-petitih, peribahasa, dan sebagainya yang diselingi pantun, gurindam, dan seloka.
Di beberapa tempat, pendongeng mempunyai kebiasaan memakai kata-kata yang dianggap tabu atau pantang karena berupa carutan dengan memakai sindiran yang halus. Hal ini membuat suasana dongeng lebih bergairah dan memancing gelak tawa, sehingga tumbuh suasana riang gembira. Memang, gelak tawa sudah menjadi asam garam hidup, karena hidup yang tidak dibumbui gelak tawa akan hambar. Salah satu contoh, nenek pendongeng berkata, “Waktu membuka ladang baru, hendaklah hutan lahan perladangan itu lebih dahulu ditetau atau disemah.” Maksud tetau atau semah ialah meminta izin kepada penunggu hutan untuk menebang pohon-pohon di tempat yang akan dijadikan kebun. Sebagai pembujuk hati bagi penunggu hutan, dibawa sesaji berupa aneka makanan dan aneka kain perca. Salah satu juadah yang dijadikan persembahan dan tidak boleh ketinggalan adalah kue apam. Apam yang dipersembahkan itu harus dibungkus dengan pucuk pisang yang sudah layu sebanyak tiga lapis. Tatkala pendongeng menceritakan bahwa apam itu harus dibungkus dengan tiga lapis daun, pendongeng itu memandang wanita-wanita yang hadir sambil berkata, “Kalau apam untuk hantu penunggu hutan dibungkus tiga lapis, maka apam kita pun harus dibungkus baik-baik.” Waktu itu akan bergemalah tawa para hadirin, karena mereka maklum bahwa “apam kita” yang disebut oleh pendongeng adalah sindiran alat kelamin wanita, seperti kalau dikatakan, “Apammu terbuka, tutuplah cepat!” maka artinya kelamin wanita itu tampak dan tutuplah cepat. Hal ini menunjukkan bahwa kata-kata yang tabu diucapkan, pada beberapa tempat menjadi tidak tabu lagi, karena begitulah resam lazim mereka.
Di beberapa tempat di Melayu, dua orang sahabat yang sudah lama berpisah lalu bertemu kembali tanpa disangka-sangka, mereka akan mengucapkan caci maki dan kadang-kadang dengan menyebut kelamin ibu kawannya dengan suara keras dan berkali-kali sebagai pelepas rindu dan menunjukkan kegembiraan. Bagi kita yang tidak memahami adat resam itu akan merasa ganjil. “Alah bisa karena biasa”.
Dongeng merupakan ikhtiar atau salah satu cara yang ditempuh untuk menyampaikan pikiran kepada orang lain. Jadi, dongeng adalah bentuk pengajaran kepada manusia dengan bermacam-macam tujuan. Beberapa dongeng dimaksudkan untuk melarang dan menasihati anak agar tidak durhaka kepada orang tua, tidak suka membesar-besarkan diri dan menyamai orang yang besar dan tinggi martabatnya, tidak terlalu gembira karena mendapat suatu pertolongan yang tidak diduga-duga, serta tidak mendaifkan orang yang berbuat baik dan yang mendapat untung dari perbuatan baiknya itu. Sebagai contoh, saya akan mengungkapkan beberapa dongeng secara ringkas.
Setiap manusia, laki-laki maupun perempuan hendaknya jangan durhaka kepada ibu bapaknya. Dalam dongeng, yang didurhakai oleh anak selalu ibunya, jarang sekali bapaknya, dan yang durhaka lazimnya anak laki-laki, jarang kita temui anak perempuan. Kalau kita perhatikan, dongeng durhaka ada kaitannya dengan agama bahwa derajat ibu lebih tinggi dari bapak, sehingga mendurhakai ibu akan mendapat balasan dari Tuhan dengan cepat. Dongeng mengenai anak durhaka terdapat beberapa, yaitu dongeng Si Kantan dan dongeng Si Malim Kundang. Berikut dongeng Si Kantan.
Dahulu kala, ada sebuah dusun di tepi laut, di daerah Sumatera Utara. Tersebutlah sepasang suami istri mempunyai anak laki-laki bernama si Kantan. Setelah besar, si Kantan hendak merantau ke negeri orang untuk mengadu untung. Jika maksudnya berhasil, ia akan kembali ke kampung halamannya. Ia kemudian minta izin kepada kedua orang tuanya. Orang tuanya pun setuju dan melepas anaknya dengan memberikan bekal beberapa bungkus ayam betina panggang dan kelelawar panggang. Dengan bekal ayam betina, diharapkan anaknya pandai dan rajin mencari rezeki laksana induk ayam yang pandai dan rajin mengais. Kelelawar itu sebagai lambang agar anaknya cepat pulang ke kampung halamannya. Si Kantan kemudian naik ke kapal layar. Ibunya melepas anak semata wayangnya dengan linangan air mata.
Sampailah si Kantan ke sebuah negeri besar. Ia mulai mencari penghidupan dan mendapat pekerjaan yang sesuai dengan bakatnya. Pada mulanya si Kantan berkirim kabar kepada ibu bapaknya, tetapi selang beberapa tahun kemudian orang tua si Kantan tidak lagi mendapat berita dari anaknya. Hari demi hari, rindunya kepada anaknya semakin bertambah. Kampung nelayan tempat si Kantan dilahirkan dari tahun ke tahun bertambah ramai dan besar. Akhirnya menjadi sebuah bandar.
Sebagaimana yang saya katakan, dalam menyampaikan dongeng Si Kantan ini, gerak mulut dan tangan yang mendongeng selalu bermain untuk menambah asyik pendengarnya. Bunyi deru angin topan dan bunyi ombak menebah pantai harus disuarakan oleh nenek pendongeng. Cerita yang didongengkan tidak hanya tentang manusia, tetapi juga tentang binatang sebagai kiasan manusia.
Tersebutlah seekor katak melihat seekor lembu di tepi tanah lapang. Karena takut terinjak lembu, katak berlari masuk ke semak-semak. Setelah lembu berlalu dari situ, katak pun meneruskan perjalanannya. Di tengah jalan, katak itu bertemu dengan katak lain. Katak pertama kemudian bercerita bahwa ia melihat lembu yang besar. Mendengar cerita itu, katak kedua tidak percaya. “Mustahil ada binatang sebesar itu. Bagaimana besarnya?” tanya katak kedua. “Di sini tidak ada bandingnya, ” jawab katak pertama. Katak kedua masih tidak percaya pada cerita kawannya. “Adakah sebesar ini?” katanya menahan napas sambil membuncitkan perutnya. “Jauh lebih besar, ” jawab katak pertama, maka katak kedua menahan napasnya lebih lama lagi sambil membuncitkan perutnya lebih besar lagi. Hal itu dilakukan berkali-kali hingga akhirnya perutnya pecah, dan matilah katak kedua.
Dalam mendongengkan cerita katak ini, pendongeng selalu membumbui cerita dengan menceritakan bermacam-macam katak dengan ragam bunyinya. Mendengar kepandaian nenek menirukan bunyi katak para pendengar akan terpikat oleh dongeng katak itu.
Konon, ada orang tua berjalan menyusuri tepi sungai. Di bawah pohon rindang, ia berhenti sambil memandang air sungai yang mengalir. Dilihatnya seekor katak berenang dari seberang sungai dan berhenti di tepi sungai. Tiba-tiba datang seekor kalajengking besar yang langsung naik ke atas punggung katak. Berenanglah katak dengan kalajengking itu di atas air sungai. Orang tua tadi heran melihat peristiwa yang ganjil itu, maka diikutinya kedua binatang itu. Tidak lama kemudian katak yang dinaiki kalajengking itu berhenti di bawah pohon di tepi sungai. Tiba-tiba datang seekor ular berbisa. Ular itu langsung mendekati seorang pemuda yang ada di sekitar tempat itu. Ular menegakkan kepalanya untuk memagut pemuda tersebut. Dengan cepat, kalajengking melompat ke perut ular dan menyengatnya. Ular itu pun mati. Setelah ular mati, kalajengking kemudian kembali ke punggung katak. Katak lalu berenang ke tempat semula bersama kalajengking. Pemuda tadi kemudian melompat-lompat kegirangan, karena luput dari maut berkat pertolongan yang tidak diduga-duganya. Namun tiba-tiba pemuda itu pingsan, lalu mati. Peristiwa itu disaksikan oleh orang tua tadi. Datanglah petunjuk kepadanya, bahwa setiap hal yang berlebihan akan membawa akibat buruk. Peribahasa yang berkaitan dengan binatang-binatang dalam dongeng tersebut kemudian diungkapkan sebagai selingan dongeng, misalnya “ular berkepala dua”, “katak di bawah tempurung”, dan sebagainya.
Alkisah, tinggallah tujuh orang putri di bulan. Putri-putri tersebut dinamai Putri Kayangan. Pada suatu hari, putri paling muda yang bergelar Putri Bungsu melongok ke bumi. Dilihatnya benda yang berkilauan laksana cahaya intan, maka Putri Bungsu ingin memiliki benda yang bercahaya itu, karena menurut pendapatnya benda itu pasti intan berlian yang sangat besar. Ia pun minta izin kepada saudara-saudaranya untuk turun ke bumi mengambil benda itu. Saudara-saudaranya melarang, dengan alasan yang bercahaya itu belum tentu intan, tetapi tampaknya si Bungsu sudah berkeras hati dan tidak menuruti nasihat kakak-kakaknya. Ia pun turun ke bumi. Sesampai di bumi, didekatinya benda yang dilihatnya dari bulan tadi dan ternyata hanya berupa ampas tebu. Putri Bungsu sangat kesal dan menyesal karena tidak mematuhi nasihat kakak-kakaknya. Ia kemudian bermaksud terbang kembali ke bulan. Dicobanya berkali-kali, tetapi ia tidak dapat terbang lagi. Jika bulan sedang purnama, ia menangis dan memohon pertolongan saudaranya di bulan. Sampai sekarang kalau sedang bulan purnama, selalu kita dengar pungguk itu berbunyi. Orang menjadikannya sebagai peribahasa “pungguk rindukan bulan”. Peribahasa ini dikiaskan kepada seorang pria yang merindukan kekasihnya yang berada di rantau orang, yang tak mungkin bertemu lagi.
Menurut dongeng itu, saudara-saudaranya di bulan mendengar ratap tangis dan permohonan adiknya, tetapi mereka pun tidak dapat menolongnya. Tidak mungkin mereka terbang ke bumi. lkhtiar kakak-kakaknya tidak hilang, maka dicarilah tali yang panjang dan diulurkan ke bumi dengan harapan jika tali itu sampai ke bumi, disuruhnya Putri Bungsu untuk berpaut ke tali itu dan akan ditarik ke bulan kembali. Celakanya, ampas tebu yang disangka intan tadi menjelma menjadi tikus. Saat tali hampir sampai ke bumi, datang tikus melompat ke tali dan mengeratnya. Dengan demikian tali itu tidak pernah sampai ke tanah, sehingga Putri Bungsu tetap tinggal di bumi dan berbunyi setiap bulan purnama.
Dalam cerita-cerita Melayu kita selalu mendengar nama Nenek Kabayan. Nenek Kebayan adalah seorang wanita tua yang tidak mempunyai kaum kerabat, tetapi mempunyai handai tolan dan kenalan yang banyak sekali. Nenek Kebayan inilah yang selalu mendongeng.
_____________________
Soeman Hs., lahir di Bengkalis pada tahun 1904. Pendidikannya ditempuh di Normal School Langsa dan kursus guru di
______________________
Makalah ini disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung