Dongeng Melayu dan Informasi Kebudayaan

Oleh : Soeman Hs.

Di sini penulis mengupas dongeng-dongeng Melayu seba­gai sumber informasi kebudayaan. Sayang, kebiasaan men­dongeng da­lam kehidupan sehari-hari masyarakat Melayu sekarang sudah jarang dijumpai karena ada­nya desakan tata kehidupan mo­dern. Adanya perubahan itu sebenarnya sudah disiratkan dalam do­ngeng-dongeng Melayu yang diangkat sebagai contoh oleh penulis.

Dongeng adalah cerita yang disampaikan seseorang ke­pada para pendengarnya dengan cara bercerita, bukan dengan mem­­baca, karena waktu itu orang belum pandai membaca dan belum ada buku-buku yang dibaca. Lazimnya pen­do­ngeng ada­lah orang tua, yang kebanyakan kaum wanita. Makin tua orang yang men­dongeng, dongeng itu akan semakin disukai, karena makin tua orang, makin banyak garam yang dimakannya, dalam arti makin banyak pengalamannya.

Mendongeng bukan sekadar berkata-kata, tetapi harus di­bumbui dengan mimik mulut dan gerak tangan. Bukan itu saja, bila dalam do­ngeng terdapat kata “mencubit” atau “menggelitik”, maka cubitan dan gelitikan itu juga dicobakan kepada salah se­orang pendengarnya. Inilah yang menambah semarak suasana mendongeng. Mendongeng biasanya dilakukan pada waktu santai. Kebiasaan berkumpul, men­dongeng, dan berbincang-bincang ini sudah berlangsung sejak lama.

Misalnya ada seorang petani membersihkan kebun bersama istri­nya. Si istri merebus ubi yang dicabutnya di ladang. Setelah masak, ubi diletakkan di atas daun pisang yang mudah didapat di kebun itu. Kebetulan ada kawan Pak Tani yang lewat di depan pondok. Kawan terse­but dipersilakan naik ke atas pondoknya. Mereka makan ubi bersama-sama sambil berbincang-bincang, yang pada zaman itu disebut berbual-bual. Siapa saja dipersilakan naik ke atas pondok tanpa kecuali, baik orang yang sudah dikenal maupun pendatang baru. Siapa pun yang datang ke tempat itu sudah di­anggap sebagai keluarga. Pada masa itu tampaknya sikap saling mencurigai belum banyak.

Seperti yang penulis katakan, mendongeng selalu dilakukan pa­da waktu santai dan biasanya dilakukan oleh wanita yang sudah ber­umur. Waktu yang dipilih biasanya saat-saat menjelang tidur malam. Pada waktu yang sudah ditentukan, beberapa pendengar da­tang ke rumah pendongeng untuk mendengar dongeng. Para pen­dengar biasa­­nya terdiri dari anak-anak dan orang muda, namun ada juga orang dewasa yang hadir. Tentu saja pendengarnya adalah orang yang masih satu kampung dan jumlahnya tidak begitu ba­nyak, ka­re­na pada masa itu penduduk belum begitu banyak. Apalagi letak kam­pung satu dengan kampung lain berjauhan. Waktu itu tempat duduk laki-laki dipisahkan dengan perempuan, sedangkan anak-anak biasanya duduk berdekatan dengan nenek pendongeng. Sa­lah seorang atau beberapa orang bersepakat mem­bawa makanan, misal­nya dua tiga sisir pisang. Ada pula yang mem­bawa lepat ubi, tapai, dan sebagainya. Nenek pendongeng menyediakan air minum yang dimasak oleh salah seorang yang hadir. Waktu itu sikap saling me­nerima dan memberi masih kental, bahkan orang merasa lebih ber­bahagia memberi daripada menerima.

Setiap pendongeng mempunyai daya tarik sendiri-sendiri. Pen­­dongeng yang mempunyai daya tarik akan banyak didatangi pen­dengar. Daya tarik ini biasanya berupa kepandaian menyu­sun kata-kata atau kepandaian menyisipkan kelakar yang dapat membuat pendengarnya terpingkal-pingkal. Dalam setiap dongeng pasti ter­da­pat pepatah-petitih, peribahasa, dan sebagainya yang di­selingi pan­tun, gurindam, dan seloka.

Di beberapa tempat, pendongeng mempunyai kebiasaan me­ma­kai kata-kata yang dianggap tabu atau pantang karena berupa carutan dengan memakai sindiran yang halus. Hal ini membuat sua­sana dongeng lebih bergairah dan memancing gelak tawa, se­hingga tumbuh suasana riang gembira. Memang, gelak tawa sudah menjadi asam garam hidup, karena hidup yang tidak dibumbui gelak tawa akan hambar. Salah satu contoh, nenek pendongeng berkata, “Waktu membuka ladang baru, hendaklah hutan lahan perladangan itu lebih dahulu ditetau atau disemah.” Maksud tetau atau semah ialah me­minta izin kepada penunggu hutan untuk mene­bang pohon-pohon di tempat yang akan dijadikan kebun. Sebagai pembujuk hati bagi pe­nunggu hutan, dibawa sesaji berupa aneka makanan dan aneka kain perca. Salah satu juadah yang dijadikan per­sembahan dan tidak boleh ketinggalan adalah kue apam. Apam yang dipersembahkan itu harus dibungkus dengan pucuk pisang yang sudah layu seba­nyak tiga lapis. Tatkala pendongeng men­ceritakan bahwa apam itu harus dibungkus dengan tiga lapis daun, pendongeng itu memandang wanita-wanita yang hadir sambil berkata, “Kalau apam untuk hantu penunggu hutan dibungkus tiga lapis, maka apam kita pun harus dibungkus baik-baik.” Waktu itu akan bergemalah tawa para hadirin, karena mereka maklum bahwa “apam kita” yang disebut oleh pendongeng adalah sindiran alat kelamin wanita, seperti kalau dikatakan, “Apammu ter­buka, tutup­lah cepat!” maka artinya kelamin wanita itu tampak dan tutuplah cepat. Hal ini menunjukkan bahwa kata-kata yang tabu diucapkan, pada beberapa tempat menjadi tidak tabu lagi, karena begitulah resam lazim mereka.

Di beberapa tempat di Melayu, dua orang sahabat yang sudah lama berpisah lalu bertemu kembali tanpa disangka-sangka, mereka akan mengucapkan caci maki dan kadang-kadang dengan me­nye­but kelamin ibu kawannya dengan suara keras dan berkali-kali sebagai pelepas rindu dan menunjukkan kegembiraan. Bagi kita yang tidak memahami adat resam itu akan merasa ganjil. “Alah bisa karena biasa”.

Dongeng merupakan ikhtiar atau salah satu cara yang di­tempuh untuk menyampaikan pikiran kepada orang lain. Jadi, dongeng adalah bentuk pengajaran kepada manusia dengan ber­macam-macam tujuan. Beberapa dongeng dimaksudkan untuk me­larang dan menasihati anak agar tidak durhaka kepada orang tua, tidak suka membesar-be­sar­kan diri dan menyamai orang yang besar dan tinggi martabatnya, tidak terlalu gembira karena mendapat suatu pertolongan yang tidak diduga-duga, serta ti­dak mendaifkan orang yang berbuat baik dan yang mendapat untung dari perbuatan baiknya itu. Sebagai contoh, saya akan meng­ung­kapkan beberapa dongeng secara ringkas.

Setiap manusia, laki-laki maupun perempuan hendaknya jangan dur­haka kepada ibu bapaknya. Dalam dongeng, yang di­durhakai oleh anak selalu ibunya, jarang sekali bapaknya, dan yang durhaka la­­zim­­nya anak laki-laki, jarang kita temui anak pe­rempuan. Kalau kita perhatikan, dongeng durhaka ada kaitan­nya dengan agama bahwa de­rajat ibu lebih tinggi dari bapak, se­hingga mendurhakai ibu akan men­dapat balasan dari Tuhan dengan cepat. Dongeng mengenai anak dur­haka terdapat beberapa, yaitu dongeng Si Kantan dan dongeng Si Malim Kundang. Berikut dongeng Si Kantan.

Dahulu kala, ada sebuah dusun di tepi laut, di daerah Sumatera Utara. Tersebutlah sepasang suami istri mempunyai anak laki-laki ber­nama si Kantan. Setelah besar, si Kantan hendak merantau ke negeri orang untuk mengadu untung. Jika maksud­nya berhasil, ia akan kem­bali ke kampung halamannya. Ia kemu­dian minta izin kepada kedua orang tuanya. Orang tuanya pun setuju dan melepas anaknya dengan memberikan bekal be­berapa bungkus ayam betina panggang dan ke­lelawar panggang. De­ngan bekal ayam betina, diharapkan anaknya pandai dan rajin mencari rezeki laksana induk ayam yang pandai dan rajin menga­is. Kelelawar itu sebagai lambang agar anak­nya cepat pulang ke kampung halamannya. Si Kantan kemudian naik ke kapal layar. Ibunya melepas anak semata wayangnya dengan linangan air mata.

Sampailah si Kantan ke sebuah negeri besar. Ia mulai mencari peng­­­hidupan dan mendapat pekerjaan yang sesuai dengan ba­kat­nya. Pada mulanya si Kantan berkirim kabar kepada ibu ba­paknya, tetapi selang beberapa tahun kemudian orang tua si Kantan tidak lagi mendapat berita dari anaknya. Hari demi hari, rindunya ke­pada anak­nya semakin bertambah. Kampung nelayan tempat si Kantan di­lahirkan dari tahun ke tahun bertambah ramai dan besar. Akhirnya menjadi sebuah bandar. Lima belas tahun ke­mudian terbetik kabar bahwa bandar itu didatangi sebuah kapal layar yang besar. Kabar yang terdengar mengatakan bahwa nahkoda kapal berasal dari kampung itu. Mendengar berita itu, si ibu ingin men­jumpai awak kapal, untuk menanyakan kalau-kalau ada di antara mereka yang mengenal si Kantan. Kapal merapat ke dermaga. Ibu yang sangat merindukan anak­­nya segera datang ke kapal dan ketika melihat nakhoda kapal yang berada di anjung kapal adalah anak tunggalnya, ia ingin segera me­nemuinya. Seorang anak buah kapal segera membe­ritahukan nah­koda bahwa ada seorang ibu ingin menemuinya. Si Kantan bersama istri­nya melihat ke bawah, tampaklah olehnya bahwa orang tua itu ada­lah ibu kandungnya yang ditinggalkannya dahulu. Karena ibunya berpakaian compang-camping, si Kantan menjadi malu dan tidak mau mengakui ibu kandungnya. Ibunya kemudian diusirnya. Penghinaan anak kandungnya tersebut telah menghapus kasih sayangnya sebagai seorang ibu, maka disumpahilah anaknya dengan memohon kepada Tuhan agar Tuhan menunjukkan hukumannya sekarang juga sebagai cermin orang banyak bahwa durhaka kepada ibu balasannya akan sangat menyakitkan. Serta-merta turunlah badai yang amat kencang dan puting beliung memutar kapal layar itu. Tenggelamlah kapal si Kantan bersama istrinya. Di tempat itu kemudian timbul tanah yang men­­jadi pulau dan dinamakan Pulau Si Kantan.

Sebagaimana yang saya katakan, dalam menyampaikan do­ngeng Si Kantan ini, gerak mulut dan tangan yang mendongeng selalu bermain untuk menambah asyik pendengarnya. Bunyi deru angin topan dan bunyi ombak menebah pantai harus disuarakan oleh nenek pen­dongeng. Cerita yang didongengkan tidak hanya tentang manusia, tetapi juga tentang binatang sebagai kiasan manu­sia. Ada do­ngeng yang dimaksudkan untuk menasihati agar orang jangan meniru-niru orang lain yang mempunyai kedudukan lebih ting­gi. Hal tersebut da­pat kita lihat dari dongeng Katak Hendak Jadi Lembu berikut.

Tersebutlah seekor katak melihat seekor lembu di tepi tanah la­pang. Karena takut terinjak lembu, katak berlari masuk ke semak-se­mak. Setelah lembu berlalu dari situ, katak pun meneruskan perjalanannya. Di tengah jalan, katak itu bertemu dengan katak lain. Katak pertama kemudian bercerita bahwa ia melihat lembu yang be­sar. Mendengar cerita itu, katak kedua tidak percaya. “Mustahil ada binatang sebesar itu. Bagaimana besarnya?” tanya katak kedua. “Di sini tidak ada bandingnya, ” jawab katak pertama. Katak kedua masih tidak percaya pada cerita kawannya. “Adakah sebesar ini?” katanya me­nahan napas sambil membuncitkan perutnya. “Jauh lebih besar, ” ja­wab katak pertama, maka katak kedua menahan napasnya lebih lama lagi sambil membuncitkan perutnya lebih besar lagi. Hal itu dilakukan berkali-kali hingga akhirnya perutnya pecah, dan matilah katak kedua.

Dalam mendongengkan cerita katak ini, pendongeng selalu mem­bumbui cerita dengan menceritakan bermacam-macam katak dengan ragam bunyinya. Mendengar kepandaian nenek menirukan bunyi ka­tak para pendengar akan terpikat oleh dongeng katak itu.

Ada pula dongeng yang dimaksudkan untuk menasihati agar manusia jangan terlampau kegirangan jika mendapat atau mene­rima per­­tolongan. Segala hal yang terlalu berlebihan selalu tidak baik. Do­ngeng ini merupakan campuran kisah manusia dengan binatang.

Konon, ada orang tua berjalan menyusuri tepi sungai. Di bawah po­hon rindang, ia berhenti sambil memandang air sungai yang meng­alir. Dilihatnya seekor katak berenang dari seberang sungai dan ber­henti di tepi sungai. Tiba-tiba datang seekor kalajengking besar yang langsung naik ke atas punggung katak. Berenanglah katak dengan kalajengking itu di atas air sungai. Orang tua tadi heran me­lihat pe­ris­tiwa yang ganjil itu, maka diikutinya kedua binatang itu. Tidak lama kemudian katak yang dinaiki kalajengking itu ber­henti di bawah po­hon di tepi sungai. Tiba-tiba datang seekor ular berbisa. Ular itu lang­sung mendekati seorang pemuda yang ada di sekitar tempat itu. Ular mene­gakkan kepalanya untuk memagut pemuda ter­sebut. Dengan cepat, kalajengking melompat ke perut ular dan menye­ngat­nya. Ular itu pun mati. Setelah ular mati, kalajengking kemu­dian kembali ke punggung katak. Katak lalu berenang ke tempat semula ber­sama kalajengking. Pemuda tadi kemudian melompat-lompat ke­­­­girangan, karena luput dari maut berkat pertolongan yang tidak di­­­duga-duga­nya. Namun tiba-tiba pemuda itu pingsan, lalu mati. Pe­­ristiwa itu disaksikan oleh orang tua tadi. Datanglah petunjuk kepa­­danya, bahwa setiap hal yang berlebihan akan membawa akibat buruk. Peribahasa yang berkaitan dengan binatang-binatang dalam dongeng tersebut ke­mudian diungkapkan sebagai selingan dongeng, misalnya “ular berkepala dua”, “katak di bawah tempurung”, dan se­bagainya.

Ada juga dongeng yang mengandung nasihat agar manusia tidak terpengaruh oleh benda yang tampak cantik dan menarik hati, se­­be­lum tahu benar apa sebenarnya benda itu. Hal itu di­isyaratkan dalam cerita berikut.

Alkisah, tinggallah tujuh orang putri di bulan. Putri-putri terse­but dinamai Putri Kayangan. Pada suatu hari, putri paling muda yang bergelar Putri Bungsu melongok ke bumi. Dilihatnya benda yang berkilauan laksana cahaya intan, maka Putri Bungsu ingin memiliki benda yang bercahaya itu, karena menurut pendapatnya ben­da itu pasti intan berlian yang sangat besar. Ia pun minta izin kepada saudara-saudaranya untuk turun ke bumi mengambil benda itu. Saudara-saudaranya melarang, dengan alasan yang ber­cahaya itu belum tentu intan, tetapi tampaknya si Bungsu sudah berkeras hati dan tidak menuruti nasihat kakak-kakaknya. Ia pun turun ke bumi. Sesampai di bumi, didekatinya benda yang dilihatnya dari bulan tadi dan ternyata hanya berupa ampas tebu. Putri Bungsu sangat kesal dan menyesal karena tidak mematuhi nasihat kakak-kakaknya. Ia ke­mudian bermak­sud terbang kembali ke bulan. Dicobanya berkali-kali, tetapi ia tidak dapat terbang lagi. Jika bulan sedang purnama, ia menangis dan memohon per­tolongan saudaranya di bulan. Sampai se­­karang kalau sedang bulan purnama, selalu kita dengar pung­guk itu berbunyi. Orang men­jadikannya sebagai peribahasa “pungguk rin­­dukan bulan”. Peri­bahasa ini di­kiaskan kepada seorang pria yang merindukan kekasihnya yang berada di rantau orang, yang tak mungkin ber­temu lagi.

Menurut dongeng itu, saudara-saudaranya di bulan mende­ngar ratap tangis dan permohonan adiknya, tetapi mereka pun tidak da­pat menolongnya. Tidak mungkin mereka terbang ke bumi. lkhtiar ka­kak-kakaknya tidak hilang, maka dicarilah tali yang panjang dan diulurkan ke bumi dengan harapan jika tali itu sampai ke bumi, di­su­ruhnya Putri Bungsu untuk berpaut ke tali itu dan akan ditarik ke bulan kembali. Celakanya, ampas tebu yang disangka intan tadi men­jelma menjadi tikus. Saat tali hampir sampai ke bumi, datang tikus me­­lompat ke tali dan mengeratnya. Dengan demikian tali itu tidak pernah sampai ke tanah, sehingga Putri Bungsu tetap tinggal di bumi dan berbunyi setiap bulan purnama.

Dalam cerita-cerita Melayu kita selalu mendengar nama Nenek Ka­bayan. Nenek Kebayan adalah seorang wanita tua yang tidak mempunyai kaum kerabat, tetapi mempunyai handai tolan dan ke­nal­an yang banyak sekali. Nenek Kebayan inilah yang selalu men­dongeng.
_____________________

Soeman Hs., lahir di Bengkalis pada tahun 1904. Pendidikannya ditempuh di Normal School Langsa dan kursus guru di Bandung. Dia aktif dalam berbagai kegiatan, terutama yang berkaitan dengan pendidikan. Kecintaan dan kepe­du­liannya terhadap pendidikan diwujudkannya dengan mendirikan TK Islam, SD Islam, SMP Islam, SMA Islam, Universitas Islam, dan SMA Setia Dharma. Dia juga menjadi pembina Bahasa Indonesia di RRI Pekanbaru. Pernah menjabat se­bagai Ketua Umum JLPI, sebagai Ketua Yayasan Lem­baga Pendidikan Islam Riau (1985). Tokoh pendidikan ini juga aktif menulis. Hasil karyanya antara lain Kasih Tak Terlerai, Percobaan Setia, Mencari Pencuri Anak Perawan, Kawan Bergelut, dan Tebusan Darah.
______________________

Makalah ini disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau.