Maka adalah kudapati bangsa Melayu itu makin lama usahkan makin pandai, makin pula bodoh adanja ... lihatlah engkau sendiri akan hal Inggeris yang ada pada zaman ini, pandaikah atau bodoh? Maka kalau katamu baik djuga `adatmu jang ada sekarang ini, tiada engkau mau mengubahkan dia, maka itupun patutlah ia pulang ...
(Hikajat Abdullah, hal. 419 dan 424.)
Setiap perbincangan tentang `yang bodoh` selalu disertai dengan perbincangan tentang `yang pandai`. Bagian yang mendasar dari perbincangan itu adalah perbincangan tentang `yang bodoh` akan dibatasi ruang geraknya demi kemapanan `yang pandai`. Perbincangan tentang `yang bodoh` terjadi ketika `yang pandai` menganggap dirinya sebagai hal yang paling benar dan baik, serta `yang bodoh` mutlak salah dan buruk. Sifat mutlak itu menyebabkan lahirnya penghakiman terhadap `yang bodoh` dan mengapologikan diri sendiri sebagai `yang paling pandai`. Pada hari ini adalah fakta kiranya `yang bodoh` identik dengan yang buruk.Keburukan suatu bangsa merupakan sebuah kebenaran yang harus diterima secara mutlak atas `yang pandai`. Bangsa yang bodoh adalah bangsa yang buruk.Bangsa yang buruk selalu terpuruk dalam kepedihan dan perbedaan. Kepedihan tercipta dari perbedaan antara bangsa yang bodoh dan bangsa yang pandai. Bangsa Melayu adalah bangsa yang malas dan lalai ... dalam seratus barangkali sepuluh saja yang ada berkerja. Pertimbangan tentang `yang bodoh` diciptakan atas kebodohan bangsa Melayu sendiri, yang lalai, berkedudukan rendah dan berpikiran rendah, sehingga tidak mampu mengatasi keburukan bangsanya sendiri.Mengikuti pandangan Nietzsche, hanya kepedihan dari perbedaan yang memberikan bangsa Melayu kekuasaan untuk lepas dari kebodohan bangsanya `yang buruk`.`Yang bodoh` dan `yang buruk` ditemukan dalam kepedihan terhadap kehormatan bangsa Melayu dan perbedaannya dengan `yang pandai` dan `yang bodoh`.Dalam hal ini, bangsa yang pandai dan bangsa yang baik itu adalah bangsa Inggris, golongan yang lebih tinggi daripada bangsa Melayu, `yang pandai` yang memerintah dalam hubungannya dengan golongan `yang bodoh`.
Tindakan-tindakan `yang pandai` dalam mengatur `yang bodoh` bertujuan untuk menguasai `yang bodoh`. Bangsa `yang pandai` menganggap bangsa Melayu sebagai bangsa yang bodoh sehingga kebodohannya harus dirobah dengan menjadikan bangsa `yang pandai` sebagai agen perubahan. Tetapi, tujuan itu sebenarnya telah terlupakan oleh `yang bodoh` sehingga ia tidak menyadarinya. Selain menjadi terlupakan, `yang bodoh` memberikan kesan pada dirinya sendiri tentang kedasaran yang terlupakan. Tindakan-tindakan `yang pandai` akhirnya terlupakan oleh `yang bodoh` karena menganggap dirinya telah berguna bagi `yang pandai`, dan oleh sebab itu, `yang bodoh` merasa dirinya sebagai bangsa yang paling berharga.
Rasa itulah yang menjadi masalah besar bagi bangsa Melayu. Masalah itu menjadi besar ketika harga diri bangsa `yang bodoh` benar-benar dirasakan berharga bagi bangsa `yang pandai`. Rasa berharga itu akan mengkarakterisasikan harga diri bangsanya melalui kebanggaan dan masa lalu. Kebanggaan `yang bodoh` akan harga dirinya yang berharga berawal ketika lahirnya ketidaksadaran atas sebuah rasa. Dengan memandang bangsa `yang pandai` dari harga diri, maka melalui ketidaksadaran atas rasa harga diri bangsa `yang bodoh` akan lahir. Ketidaksadaran atas rasa itulah yang menyebabkan bangsa Melayu merasa bukan sebagai bangsa yang malas dan lalai. Melalui rasa tidak malas, bangsa Melayu tidak sadar bahwa harga diri bangsanya berada dalam kedudukan yang rendah, yang sebenarnya bergantung di bawah bayang-bayang masa lalu yang tinggi dan hebat.
Di bawah bayang-bayang masa lalu yang hebat, bangsa `yang bodoh` hanya menerima kehebatan dari masa lalu. Kehebatan masa lalu bangsa Melayu adalah kehebatan yang dibangun pada waktu masa lalu, ketika kehebatan itu diterima pada waktu sesudahnya, maka bangsa Melayu yang malas dan lalai hanya menerima kehebatan itu sebagai `warisan` dari masa lalu. Sebaliknya, bangsa `yang bodoh` harus membangun masa kini dengan kesadaran atas rasa harga diri. Ketidaksadaran atas rasa itulah yang menyebabkan bangsa Melayu merasa harga dirinya berkedudukan lebih tinggi, yang merasa terhormat dan berpikiran maju. Rasa harga diri yang berharga akan terus ada selama kehebatan bangsa Melayu dari masa lalu dianggap sebagai kehebatan masa kini.Melalui masa lalu, bangsa`yang pandai` melakukan tindakan-tindakan terhadap bangsa `yang bodoh`.Tindakan-tindakan itulah yang menjadi instrumen bagi bangsa `yang pandai` untuk mengatur `yang bodoh`.
Ketika masa lalu dijadikan instrumen tanpa adanya kesadaran dari `yang bodoh`, maka `yang bodoh` merasa bangsanya sebagai bangsa yang paling berharga, dan oleh sebab itu, bagian yang mendasar atas rasa itu adalah persoalan kesadaran yang terlupakan. Ia bukan saja bagian dari persoalan ingatan melainkan juga bagian dari persoalan pemikiran atas bangsa yang dianggap sebagai bangsa yang paling berharga, sehingga patut kiranya muncul sebuah pertanyaan; bagaimanakah jadinya suatu bangsa jika hanya menganggap kepandaian bangsanya di masa lalu sebagai kepandaiannya di masa kini, dan tidak menganggap kebodohan bangsanya di masa kini sebagai kebodohan yang sedang dijalankannya?
Selain tidak adanya pertarungan ingatan melawan lupa, ketidaksadaran atas rasa juga menjadi penyebab bangsa Melayu menganggap bangsanya bukanlah sebagai bangsa yang bodoh. Sebaliknya, bagi bangsa yang pandai, bangsa Melayu adalah bangsa yang bodoh. Pada bagian itulah bagaimana sebuah kelupaan dapat dibayangkan oleh bangsa yang bodoh. Persoalan yang mendasar dari kelupaan itu adalah terjadinya kesalahan dalam menerima tindakan. Kedatangan bangsa yang pandai ke wilayah bangsa yang bodoh adalah bertujuan untuk menguasai bangsa yang bodoh. Bagaimanakah kita dapat percaya dalam setiap tindakan `yang pandai` untuk menguasai `yang bodoh` tidak terdapat sebuah kesalahan? Apakah sejauh ini kesalahan itu telah mewujudkan dirinya melalui kekuasaan atas pikiran?
Seperti yang pernah dikatakan Nietzsche, hidup adalah kehendak untuk berkuasa. Kehendak itu muncul ketika lupa memiliki kuasa atas dirinya sendiri. Melalui kuasa lupa, kita hanya bisa menerima keburukan-keburukan suatu bangsa dari sebuah teks, kita hanya bisa menerima bangsa Melayu sebagai bangsa apabila ia adalah benar-benar bangsa yang bodoh. Teks itu bermula ketika Munsyi menjadi bagian dari bangsa yang pandai, suatu bangsa yang ingin menguasai bangsa yang bodoh.
Dalam kehendak untuk menguasai, tindakan-tindakan yang dipilih bukanlah tindakan yang akan mengantarkan bangsa yang pandai pada cara tindakan bangsa yang bodoh, melainkan tindakan-tindakan itu dilakukan dengan cara yang pandai. Melalui bahasa, apa yang disampaikan oleh bangsa yang pandai dapat “mencuci otak” manusia sehingga pikirannya dapat dikuasai. Ia mempengaruhi manusia melalui pernyataan-pernyataan.Teks itu berkembang dari satu teks ke teks yang lain, dan dari satu teks ke individu-individu.Ketika teks itu diterima sebagai hal yang belum diketahui, maka ia telah menjadi pengetahuan bagi individu. Sebaliknya, ketika pengetahuan itu dalam bentuk teks diperbanyak dan disebarluaskan, bagaimana mungkin kita menyebut individu bisa langsung cerdas setelah membaca teks? Kemustahilan itu dibangun menjadi kemungkinan setelah melalui pemikiran.
Dengan membaca, berarti baru sampai pada taraf membuka kebodohan, dari tidak tahu sama sekali akhirnya jadi mengetahui. Setelah berpikir, membangun apriori dan menemukan makna di balik sesuatu yang diketahui, maka barulah muncul kecerdasan.Tetapi, bagaimanakah kecerdasan itu memberikan jaminan untuk tidak memihak pada kepentingan si pemilik kecerdasan? Ketika kecerdasan berawal dari bahasa, dan bahasa dengan praktik-praktik diskursusnya “mencuci otak” manusia, bagaimanakah kita harus percaya pada bahasa yang menciptakan diskursus Melayu bodoh? Ketika kesadaran kita akan kuasa lupa benar-benar terlupa, maka praktik-praktik diskursus itu akan menjadi pengetahuan bagi kita yang telah “dicuci otaknya”.
Sebagai manusia yang hanya bisa menerima keburukan-keburukan suatu bangsa, menyumpah-serapah dan hanya bisa mengutuk, maka kita telah ikut membangun kekuasaan bagi bangsa yang pandai atas pikiran kita sendiri. Pada bagian itulah pengetahuan yang kita miliki hanyalah sebatas pengetahuan yang “nampak” (eksplisit). Sebuah pengetahuan yang mengantarkan manusia pada sebuah lahan untuk kemudian meneroka lahan kebodohan itu. Bagian yang mendasar dari pengetahuan eksplisit itu adalah persoalan bagaimana manusia melakukan pencarian terhadap pengetahuan yang ada di balik pengetahuan itu sendiri. Ketika kita berhenti pada pengetahuan eksplisit, dan mempercayainya sebagai pengetahuan final, maka itulah pengetahuan yang lahir dari kuasa lupa. Betapa kuatnya kuasa lupa dalam diri kita sehingga dengan tidak menjemput kesadaran kita, bagaimanakah kelupaan dapat dibayangkan oleh kita yang bodoh?
Sampai kapan pun kita tidak akan menemukan pengetahuan implisit selama institusi masih melandaskan kajiannya pada pengarang yang telah mati. Pengetahuan implisit hanya ditemukan apabila kita telah menghidupkan pengarang. Tetapi, institusi manakah yang sanggup melakukan kerja berat itu? Pengetahuan pada periode zaman tertentu akan digali sehingga pengetahuan implisit ditemukan sebagai temuan “arkeologi”. Ketika hal itu dikerjakan, maka kita telah melakukan “arkeologi” pengetahuan, dan pengarang, dalam hal ini adalah penemuan baru dari manusia.
Romi Zarman, bergiat di Study Club Posmo, HMJ Sastra Indonesia, Universitas Andalas
Sumber :