Makna dan Fungsi Pertunjukan Seni Bangreng

Oleh : Enden Irma R

Pendahuluan
Dalam fase kehidupan masyarakat terhadap seni khususnya generasi muda, saat ini umumnya mereka lebih memiliki perasaan yang mengikuti pola kehidupan budaya asing dari pada mencoba menjadi dirinya sendiri di tengah budayanya. Kenyataan ini berdampak luas pada kehidupan seni budaya tradisi yang berdampak pada terkikisnya nilai-nilai budaya khususnya seni tradisional.

Di tengah-tengah perubahan pola kehidupan masyarakat tersebut, kita masih berharap seni tradisioanal di wilayah Jawa Barat tidak sirna dalam kehidupan masyarakatnya. Hal ini akan menguat pada masyarakat yang belum banyak tersentuh pola pengaruh budaya asing walaupun dalam kondisi yang cukup memprihatinkan. Hadirnya atau adanya perhatian dari kaum intelektual terhadap pentingnya nilai-nilai budaya dan seni tradisional yang masih hidup di dalam masyarakat sangatlah berarti bagi generasi penerus yang akan mengkonversi nilai-nilai budaya tradisional tersebut.

Dari sekian banyak seni tradisional yang masih hidup dalam masyarakat Jawa Barat, semuanya memiliki makna dan fungsi yang berarti bagi masyarakat. Salah satu jenis seni tradisional yang masih eksis tersebut adalah seni tradisional Bangreng ini berkaiatan erat dengan kegiatan-kegiatan ritual khususnya dalam kehidupan masyarakat agraris. Seni Bangreng ini merupakan bentuk seni rakyat yang memiliki nilai religi yang cukup tinggi bagi masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu saat ini seni Bangreng masih tetap ada maupun tampil di dalam kehidupan masyarakat, bahkan masih dianggap atau dijadikan simbol religi dalam upacara ritual desa walaupun masih ada juga masyarakat yang kurang begitu mempercayai terhadap makna dan religi tersebut.

Batasan Seni Bangreng
Kata bangreng berasal dari dua suku kata “bang“ dan “reng“ yang masing-masing merupakan akronim dari kata terbang dan ronggeng (Ensiklopedi Musik, jilid I , 1992 : 23). Terbang adalah alat bunyi-bunyian yang terbuat dari kayu dengan muka bulat yang berkulit, seperti rebna. Ronggeng adalah juru kawih merangkap penari wanita dalamm ketuk tilu dengan tarian dan nyanyiannya melayani tarian pria yang menghadapinya ( Ensiklopedi Umum, 1977 : 88).

Batasan di atas baru mengungkapkan dua sisi dari seni bangreng dan belum menyatakan kesenian bangreng secara utuh. Lebih lengkapnya diungkapakan dalam Ensiklopedi Musik, Jilid I (1992 : 31) yaitu :

Bangreng kependekan dari kata ter-Bang dan rong-Eng, yakni bentuk kesenian rakyat di Jawa Barat yang dimainkan dengan seorang interpreter gerak keindahan. Instrument yang di-gunakan adalah rebab, terbang, saron, kendang, kulanter, kempul, dan goong.

Dari berbagai definisi di atas dapat diambil pemaknaan yang lebih mendalam dan fokus, bahwa seni bangreng merupakan suatu bentuk kesenian rakyat yang mempergunakan terbang serta waditra lainnya, dan ditambah dengan ronggeng sebagai penari sekaligus juru sekar. Pada awalnya kesenian ini lebih sering berfungsi sebagai sarana upacara ritual, tetapi perkembangan selanjutnya menuju pada fungsi seni sebgai hiburan atau tontonan.

Seni Bangreng
Seni bagreng merupakan salah satu jenis kesenian rakyat yang makin popular khususnya di Kabupaten Daerah Tingkat II Sumedang, namun sayangnya hingga saat ini belum ada keterangan yang jelas mengenai kapan dan dimana awal lahirnya seni bangreng ini.

Lilis Sumiati, dkk., dalam buku Capita Selekta Tari ( 1996 : 1 ) mengatakan bahwa Bangreng merupakan kesenian rakyat khas daerah sunda, yang perkembangannya mengalami beberapa periode, yaitu :

periode ketika terbang berfungsi sebagai alat untuk menyebarkan agama Islam, kira-kira tahun 1550 ;

periode ketika terbang mengalamai perkembangan dan berubah menjadi gembyung, kira-kira tahun 1956;

periode ketika gembyung mengalami perkembangan dan berubah menjadi bangreng, kira-kira tahun 1968.

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa seni bangreng merupakan metamorfosa dari seni terbang yang pada mulanya berfungsi sebagai sarana dakwah agama Islam. Hal ini dimungkinkan karena berdasarkan tinjauan sejarah kebudayaan masyarakat sumedang bahwa kesenian tradisioanal terbang dibawa oleh para saudagar Islam dari Cirebon yang kemudian dikembangkan oleh kalangan santri dalam rangka syi’ar agama Islam di Sumedang. Kemudian terbang mendapat pengaruh dari seni ketuk tilu, sehingga ia berkembang dan kemudian disebut gembyung, seperti diungkapakan Atik Sopandi dan Enoch Atmadibrata (1983: 45) yang menyatakan bahwa :

Gembyung adalah seni terbang yang telah dikombinir dengan alat bunyi-bunyian ketuk tilu antara lain empat buah terbang, kendang, dan kulanter, goong dan kempul, saron, dan rebab. Selanjutnya beliau menambahkan bahwa :

Gembyung sumedang terdiri dari instrument-instrumen 5 buah gembyung atau terbang besar, kendang, dan goong awi ( goong bumbung yang terbuat dari seruas bambu ).

Perkembangan dari jenis kesenian gembyung di Sumedang disebut bangreng. Menurut data lain ditemukan bahwa seni gembyung berubah atau berkembang menjadi seni bangreng sekitar tahun 60-an (Odin Abidin, Wawancara, Sumedang, 20 juni 2000). Pada saat ini seni gembyung mendapat penambahan alat yang terdiri dari kendang dan kulanter, terbang besar, rebab atau terompet (yang berfungsi sebagai melodi), goong dan kempul, serta dua buah saron (Atik Sopandi dan Enoch Atmadibrata, 1983: 45). Selain itu perubahan juga terjadi pada lagu-lagu yang disajikan, syair-syair berhubungan dengan ke-agamaan berubah menjadi lagu-lagu yang diambil dari gamelan seperti : Kidung, Baju Beureum, Turun Sintren, Kicir-kicir, Rincik Rincang, Adem Ayem, dan se-bagainya (Ibid, halaman 45).

Pada tahun 1975 seni Bangreng mendapat penambahan alat yaitu dengan seperangkat gamelan lengkap (Odin Abidin, Wawancara, 20 Juni 2000). Kemudian penambahan ini terjadi sehubungan dengan perubahan lagu-lagu yang disajikan pada seni ini.

Pelaksanaan Ruwatan Seni Bangreng
Pelaksanaan ruwatan dilakukan satu malam, yang di mulai pada pukul 06.00. Dengan acara numbal yang dilakukan oleh tokoh masyarakat yang dianggap paling tua dan memiliki kemampuan khusus untuk melaksanakan kegiatan numbal.

Acara numbal dimakusdkan sebagai upaya untuk menolak malapetaka yang akan muncul pada tahun berikutnya. Tumbal dianggap sebagai pengganti dari kerugian yang akan dialami jika terjadi bencana atau malapetaka. Adapun sesajen yang dijadikan tumbal antara lain : pohon hanjuang, samara (bumbu-bumbu dapur), seekor ayam, rurujakan (sebangsa rujak diantaranya rujak asem dan rujak pisang dengan kelapa), dan lain-lain.

Barang-barang yang dijadikan tumbal dikubur di pusat dusun atau tengah-tengah dusun oleh sesepuh dengan jampe-jampe yang berbentuk jangjawokan (mantra-mantra) sebagai kalimat penolak bala.

Pertunjukan kesenian bangreng di mulai pada pukul 9.30 dengan mengetengahkan lagu-lagu buhun sebagai pembuka. Lagu-lagu buhun yang disajikan antara lain Kembang Gadung, Lagu Sampeu, Buah Kawung, dan kembang Beureum. Lagu-lagu buhun harus pertama kali disajikan sebelum lagu-lagu lainnya, dengan alasan bahwa lagu-lagu ini merupakan kesenangan para karuhun semasa hidupnya. Dan diharapkan dengan penyajian lagu-lagu kesenangan para karuhun ini pelaksanaan ruwatan dapat diterima oleh roh-roh leluhur yang dianggap turut menyaksikan serta menikmati suguhan yang diberikan.

Kemudian setelah sajian lagu-lagu buhun selesai, pertunjukan bangreng berikutnya lebih didasarkan pada permintaan penonton. Pada kesempatan ini penonton dapat meminta lagu yang sesuai dengan kesenangannya dan menari bersama ronggeg pilihannya yang kemudian harus memberikan bayaran kepada kepada ronggeng tersebut sebagai upahnya.

Makna Ruwatan Seni Bangreng
Dengan merujuk pada istilah kata ritual pada berbagai upacara dalam keagamaan sebagai manifestasi dari konsep doktrin agama atau kepercayaan yang dipegang teguh oleh masyarakat yang merupakan bentuk nyata dari ungkapan ritual masyarakat yang merupakan hak asasi dari setiap insan manusia akan sesuatu yang diluar kemampuannya sebagai makhluk tak berdaya. Data-data yang telah diuraikan pada se-belumnya merupkan alasan yang kuat sebagai pembuktian pernyataan ini.

Data pertama yaitu adanya usaha mempertautkan kegiatan ruwatan dengan ajaran agama Islam malalui pelibatan Ustadz sebagai juru doa ke hadirat Allah SWT sebagai satu sumber ke-kuatan yang menaungi jagat ini.

Data kedua menyebutkan bahwa acara ini dilakukan sebagai sarana memuja dan menghormati leluhur yang dianggap sebagai jembatan penghubung antar manusia dengan satu kekuatan yang maha dahsyat, di lain pihak masyarakat percaya bahwa kejadian-kejadian alam ini ada hubungannya dengan dunia transenden yang tidak terjangkau oleh manusia dalam wujud kasar.

Makna Sosial
Makna sosial lebih jelas terlihat realitasnya pada acara ruwatan, dimana warga mayarakat bahu membahu menyelenggarakan acara ini tanpa mengenal usia atau strata sosial. Semangat kebersamaan dalam bermasyarakat ditunjukan mulai dari persiapan dengan mengadakan musyawarah sebagai jalan pemecahan masalah. Kemudian pada pelaksanaan acara ruwatan dilakukan secara gotong royong dari mulai pendanaan hingga persiapan panggung dan urusan makanan dikerjakan secara bersama-sama. Maka jelaslah bahwa acara ini merupakan momen dalam rangka memupuk tali kekeluargaan dan persaudaraan.

Fungsi Seni Bangreng
Dari berbagai penelaahan maka seni bangreng mempunyai beberapa fungsi di antaranya fungsi ritual, hiburan, pendidikan, dan fungsi ekonomis.

Fungsi Ritual
Secara umum, kebanyakan seni-seni yang tumbuh di daerah yang bermasyarakatkan petani atau daerah agraris lebih cen-derung difungsikan sebgai saran ritual upacara keagamaan terutama dalam hubungannya dengan kesuburan bagi lahan pertanian dan keberhasilan panen. Demikian pula yang terjadi pada seni Bangreng yang tumbuh dan berkembang di daerah agraris. Ciri ritual pada seni bangreng ini terlihat antar lain : Dengan adanya ijab kabul yang dilakukan oleh sesepuh grup seni bangreng pada awal, pertunjukan, sebagai permohonan ijin dan sekaligus permohonan perlindungan dari para karuhun dengan tujuan supaya dalam pertunjukan tidak terhalang oleh hal-hal yang tidak diharapkan.

Kemudian sajian lagu-lagu buhun sabagai pembuka khusus diperuntukan bagi arwah-arwah leluhur yang semasa hidupnya dipercayai menyukai lagu-lagu tersebut. Hal ini cukup membuktikan bahwa seni bangreng berfungsi sebagai sarana upacara ke-agamaan.

Fungsi Hiburan
Fungsi hiburan dipertunjukan seni bangreng pada acara ruwatan terlihat pada tahapan pertunjukan yang diperuntukan bagi masyarakat dengan jalan meminta lagu kesukaan dan menari dengan ronggeng pilihannya. Pada tahap ini penonton dipersilahkan berjoget (menari) sepuas-puasnya.

Fungsi Sosial
Upaya melibatkan generasi muda dalam pelaksanaan acara ruwatan secara eksplisit menunjukan adanya keinginan dari generasi tua untuk mewariskan seni budaya tradisional ada generasi penerusnya.

Selain upaya pewarisan nilai dan norma budaya pada generasi muda, acara ruwatan ini memberi didikan untuk hidup bergotong royong dalam membangun ma-syarakat. Proses internalisasi nilai-nilai budaya dari generasi tua kepada generasi muda melanjutkan proses yang sama pada periode berikutnya, merupakan usaha pendidikan yang paling berharga.

Fungsi Ekonomis
Satu hal tidak bisa dielakan dalam pertunjukan seni adalah sebagai sarana ekonomi. Hal ini berlaku baik bagi penonton maupun bagi pelaku seni atau senimannya. Pemanfaatan acara ruwatan sebagai salah satu kesempatan untuk menjual produk masyarakat merupakan salah satu contoh fungsi ekonomi dari sebuah pertunjukan seni bangreng.

Makna Seni Bangreng
Pertunjukan seni bangreng pada acara ruwatan memiliki makna simbolis sebagai penolak bala dan penghormatan serta pemujaan terhadap roh-roh nenek moyang. Hal ini. Hal ini tercermin pada sajian pembuka dengan menyajikan lagu-lagu buhun sebagai lagu kesenangan para arwah leluhur sebgai symbol pengakuan terhadap eksistensi roh-roh gaib disekitar Manusia

Daftar Pustaka
Atik Sopandi dan Enoch Atmadibrata, 1983, Khasanah Kesenian daerah Jawa Barat, Bandung : Pelita Masa;

Arthur S Nalan, 1996, Capita Selekta Tari, Bandung STSI Pers ;

Koentjaraningrat, 1984, Kebudayaan Jawa, Jakarta : Balai Pustaka;

Sri Mulyono, 1983, Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang : Sebuah Tinjauan Filosofi, Jakarta : Gunung Agung;

R. M. Ismunandar, 1988, Wayang : Asal Usul dan Jenisnya, Semarang : Dahara Prize;

Dra. Enden Irma R. adalah Tenaga Peneliti Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung. Direktorat Jenderal Nilai Budaya Seni, dan Film. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata
Sumber : Buddhiracana ◙ Vol. 10\No. 1\ Januari 2005 BPSNT Bandung
Photo : http://4.bp.blogspot.com