Adaptasi Lingkungan Masyarakat Melayu di Nusantara pada Abad Ke-7-9 Masehi

Kota Palembang dengan tiga buah bentengnya.
Megah itu ada­lah binaan keraton, tempat tinggal raja. Tampaknya binaan ini terdiri dari dua lantai dengan atap yang dibuat dari genting. Bentuk atapnya mirip dengan bentuk atap rumah-rumah China. Bahagian hujung atapnya menaik. Logikanya, sebuah binaan yang berdiri lebih tinggi dari binaan-binaan lain di sekelilingnya, tentunya binaan tersebut dibuat dari batu, atau semi permanen dari bahan kayu dan batu. Gali-cari arkeologi yang dilakukan pada tahun 1974 dan 2002 berhasil mene­mukan indikator bahawa di lahan sekitar kompleks percan­dian Gedingsuro hingga kom­pleks Kilang Pupuk Sriwijaya III terdapat bekas-bekas kota yang ter­bakar. Indikator tersebut berupa pecah­an-pecahan keramik China dari sekitar abad ke-13-17 Masehi, dan bahagian fondasi struktur binaan bata.

Di luar ibukota Palembang terdapat wilayah-wilayah yang merupakan bahagian dari Kerajaan Palembang-Islam. Wilayah-wilayah ini dapat dikatakan meru­pakan satu kesatuan dalam satu sistem pertahanan seluruh kerajaan. Kera­na itulah, sebagai penguasa di wilayah-wilayah itu ditempatkan keluarga raja atau sanak familinya yang dekat.

Kapungutan adalah wilayah yang langsung di­perin­tah oleh raja. Menurut de Brauw[9] “... dengan orang Kepungut, yang berarti dipungut (dilin­dungi), ada­lah orang-orang dari daerah pedalaman Palem­­­­­bang yang langsung berada di bawah kekuasaan raja. Mereka dibebani segala macam pajak. Berbeda dengan penduduk perbatasan yang tidak dibebani dengan berbagai macam pajak, dan hanya diang­gap sebagai sekutu yang hanya dikenakan cukai”.

Di daerah perbatasan wilayah Kepungutan ter­letak wilayah Sindang yang merupakan wilayah paling hujung atau wilayah pinggir. Penduduk wilayah ini ber­tugas menjaga batas-batas kerajaan. Penduduk daerah ini dibe­baskan dari kewa­jiban membayar pajak kepada kerajaan. Mereka ini ada­lah orang-orang merdeka dan dianggap se­ba­gai teman raja. Hal yang dianggap sebagai suatu kewa­jib­an ada­lah melakukan seba kepada raja yang dilakukan setidaknya tiga tahun sekali ke Palem­bang. “Kewajiban” ini merupakan suatu kebia­saan adat di kalangan pen­duduk tempatan untuk saling berkunjung dengan mem­bawa buah tangan.[10]

Di antara wilayah Kepungutan dan wilayah Sindang terdapat wilayah Sikep, yang merupakan sebuah atau sekum­pulan dusun yang dilepaskan dari marga. Wila­yah Sikep berada di bawah pengawasan dan di­perintah langsung Jenang dan Raban (pejabat/pamong dari Raja atau Sultan). Dusun-dusun ini terletak di daerah per­te­muan-pertemuan sungai yang strategik. Mereka tidak dibe­bani pajak, tetapi mempu­nyai tugas-tugas sebagai tukang ka­yuh perahu raja/sultan, tukang kayu, pembawa air, tentera, dan yang sesuai dengan keahli­an­nya. Tugas yang mereka lakukan disebut gawe raja.

Penduduk sikep terdiri dari campuran berbagai etnik dalam masyarakat, misalnya etnik Palembang, Jawa, dan Melayu. Mereka itu dibebaskan dari ber­bagai macam punggutan pajak, tetapi sebagai gantinya adalah wajib bekerja un­tuk raja (gawe rajo) dengan suatu tujuan ter­tentu dalam banyak hal kerja berkayuh dan atau sebagai pemandu jalan (pekayuh dan perpat). Dapat dikemu­kakan sebagai contoh, misalnya dusun Sungsang wajib memeli­hara jalur pelayar­an antara Palembang dan Sungsang agar bebas dari segala rintangan; dusun Belida wajib menga­dakan selain laskar pada waktu perang, juga pemikul-pemikul air untuk keperluan keraton; dan dusun Betung wajib memelihara sarang-sarang burung air di muara sungai Abab. Dusun Muara Lakitan (sikep dalam Musi) dan juga dusun Medang (sikep dalam Lakitan) wajib mengadakan dan memelihara perahu-perahu pancalang. Seterusnya ada dua buah daerah sikep yang masing-masing menguasai muara-muara sungai penting, seperti Dusun Teluk Kijing dan Muara Danau menguasai muara-muara Abab, Penukal, dan Batanghari Leko; Dusun Te­rusan me­nguasai muara sungai Rawas; Dusun Muara Lakitan me­nguasai muara sungai Lakitan; Dusun Muara Enim menguasai muara sungai Enim; Dusun Padamaran mengua­sai daerah danau-danau dan pintu masuk Lem­puing di sebelah hilir sungai Komering. Daerah Belida yang dulunya merupakan daerah sikep, meliputi marga-marga Meranjat, Burai, Tambangan, Tanjung Batu, dan Danau pada masa Kerajaan Palembang mempunyai pengaruh besar dan tergolong orang-orang yang dipercaya.

Kelompok sikep tersebut mengawasi dan me­ngua­­sai Ogan dan Komering sebagai pusat penanaman padi dan penangkapan ikan. Kelompok sikep lainnya ialah dusun-dusun yang terletak di batas yang dapat dicapai perahu-perahu niaga (toendan, perahu niaga yang beratap), antara lain sikep dalam Musi Ulu, sikep dalam Lakitan, Muara Beliti, Baturaja, dan Muara Rupit. Dengan demikian sistem sikep tersebut merupakan salah satu unsur pertahanan wilayah yang alamiah.

Kota/Negara Agraris
Apabila kita kaji Melayu dari kacamata kebudayaan, maka yang akan kita lihat bagaimana orang-orang Melayu itu memahami dan menginterpretasikan ling­kungan tempat mereka tinggal yang baru yang diwujudkan dalam perilaku dan benda-benda budaya yang diciptakannya. Perilaku dan benda-benda budaya dari sukubangsa Melayu yang ada di Sumatera berbeda dengan yang ada di Jawa. Latar belakang budaya dari kedua tempat itu sangat jauh berbeda. Demikian juga dalam hal sistem mata pencaharian hidupnya. Di Sumatera berlatar budaya maritim/pedagang, sedangkan di Jawa berlatar budaya agraris.

Petunjuk kuat keberadaan orang-orang Mela­yu di tanah Jawa, pertama kali ditemukan pada sebuah prasasti batu yang ditemukan di kawasan pantai utara Jawa, yaitu di Desa Sojomerto (Kabu­paten Pekalongan, Jawa Tengah). Prasasti dari sekitar abad ke-7-8 Masehi ini menyebutkan genealogi seseorang yang ber­nama Dapunta Selendra, nama ayah dan ibunya, yaitu Santanu dan Bhadrawati, dan istrinya yang ber­nama Sampula.[11] Nama Dapunta Selendra jelas meru­pa­kan ejaan Melayu dari kata Sansekerta Śailendra yang di dalam sejarah kuna merupakan nama sebuah keluarga (wangsa).[12] Kenyataan bahawa ia menggu­nakan bahasa Melayu Kuna di dalam prasastinya menunjukkan baha­wa ia orang Melayu asli, mungkin pendatang dari Sumatera,[13] karena di Sumatera ditemukan banyak prasasti yang berbahasa Melayu Kuna, misalnya prasasti-prasasti Śrīwi­jaya seluruhnya berbahasa Melayu Kuna beraksara Pallawa.

Kelompok masyarakat Melayu rupanya tidak hanya terdapat di wilayah pesisir saja. Di daerah pe­da­laman Jawa Tengah kelompok masyarakat ini dite­mu­­kan di daerah Temanggung. Dari Desa Gondosuli di­temukan sebuah prasasti berbahasa Melayu Kuna yang bertarikh 17 Mei 827 Masehi. Prasasti ini mem­per­ingati persembahan dari Daŋ Puhāwaŋ Glis, seorang nahkoda kapal, bersama isteri dan anaknya (?), berupa sebuah alat penanak nasi dan sebuah genta upaca­ra, [14] sebagai tanda bakti dan tanda bahawa Daŋ Puhāwaŋ Glis tidak lupa pada sīma-nya. Persembahan itu disak­sikan oleh beberapa orang pendeta (di suatu candi yang diberi persembahan oleh Daŋ Puhāwaŋ Glis).[15]

Prasasti berbahasa Melayu lain ditemukan juga di Desa Gondosuli dekat dengan runtuhan binaan candi. Prasasti ini dikeluarkan oleh Daŋ Karayān Parta­pān Ratnamaheśwara Sida Busu Plār atau Rakai Patapān pu Palār. Tokoh elit ini dalam prasastinya menggunakan bahasa Melayu menunjukkan bahawa ia di­duga berasal dari Sumatera dan kemudian menjadi penguasa di Kerajaan Matarām (Mdaŋ). Mungkinkah Daŋ Puhāwaŋ Glis seorang nahkoda kapal yang juga berasal dari Sumatera, mau menunjukkan kebaktiannya pada sebuah binaan suci yang dibangun oleh orang sesukunya dan menjadi penguasa?

Kawasan tempat di mana prasasti-prasasti tersebut ditemukan merupa­kan kawasan lembah Sungai Progo di kaki dan lereng gunung api Sumbing, Sin­doro dan Perahu. Kawasan yang subur ini merupakan kawasan pertanian sawah dengan irigasi. Penduduk di lembah yang subur ini telah lama bermata-pecahari­an sebagai petani. Beberapa buah prasasti yang berasal dari sekitar abad ke-8-9 Masehi menyebutkan areal persawahan dan juga ladang sebagai tanah sīma, serta pejabat-pejabat desa yang tugasnya berkaitan dengan aktiviti pertanian.

Sebagaimana halnya dengan Kādatuan Śrīwijaya di Sumatera, Kerajaan Matarām (Mdaŋ) wilayahnya juga ditata mulai dari kesa­tuan wilayah yang ter­kecil sampai kepada wilayah administratif terbesar. Meskipun dalam penata­an­nya ada ting­katan wilayah administratif, namun tujuannya berbeda. Di Śrīwijaya lebih cen­derung untuk sistem pertahanan, sedangkan di Matarām (Mdaŋ) untuk penge­lolaan sawah. Adapun penataan wilayah di Kerajaan Matarām (Mdaŋ) adalah sebagai berikut: 1. wanua (desa), 2. watak (kumpulan beberapa desa), serta 3. bhūmi (wilayah).[16] Para pemimpin ini tinggal di wilayah kekuasa­an­nya masing-masing, sedangkan raja sebagai penguasa tertinggi tinggal di ibukota kerajaan.

Dari sekitar dua ratus prasasti yang ditemukan dapat memberi gam­baran struktur pemerintahan Kerajaan Matarām (Mdaŋ). Kerajaan ini terdiri dari daerah pusat kerajaan, yaitu ibukota kerajaan dengan istana raja atau śrī mahārāja dan tempat tinggal para putra raja dan kaum kerabat yang dekat, para pejabat tinggi kerajaan, para hamba sahaya; daerah-daerah watak, yaitu daerah-daerah yang dikuasai para rakai dan para pamgat; dan wanua, yaitu desa-desa yang diperintah oleh para pejabat desa (rāma). Di antara para rakai dan pamgat itu ada yang berkedudukan sebagai pejabat tinggi kerajaan, dan ada yang ber­kedudukan sebagai kepala daerah secara turun temurun.[17]

Berbeda keadaannya dengan permukiman di Palembang yang sebahagian besar masyarakatnya hidup dari perdagangan dan pelayaran. Mereka menempat­kan permukimannya di tepian sungai besar atau di daerah pertemuan sungai. Di Jawa yang sebahagian besar masyarakatnya hidup dari tanah-tanah pertanian, mereka menempati lembah-lembah sungai yang subur di daerah kaki dan lereng gunungapi. Hingga saat ini gambaran mengenai permukiman rakyat dapat diketa­hui dari prasasti-prasasti, sedangkan gambaran mengenai kota pusat peme­rin­tah­an diperoleh dari berita-berita China[18]

Di ibukota kerajaan yang dikeli­lingi oleh dinding, baik dari bata maupun dari kayu/bambu, terdapat istana raja yang dikeli­lingi oleh dinding. Di dalam istana itulah berdiam raja dan keluar­ga­nya, yaitu permaisuri, selir-selir dan anak-anaknya yang belum dewasa, serta para hamba sahaya istana.

Di luar istana, masih di dalam lingkungan dinding kota, terdapat kediam­an putera mahkota (rake hino), dan tiga orang adiknya (rakai halu, rakai sirikan, dan rakai wka), dan kediaman para pejabat tinggi kerajaan beserta keluarga dan hambanya. Pejabat tinggi kerajaan yang dimaksud adalah pejabat-pejabat ke­agamaan dan kehakiman yang bergelar saŋ pamgat. Mereka ini mem­pu­nyai daerah lungguh (daerah kekuasaan) di luar tembok kota, tetapi masih berada di dalam wilayah kerajaan.[19]

Di dalam lingkungan tembok kota itu juga tinggal para peja­bat sipil yang lebih rendah, yaitu yang di dalam prasasti Matarām (Mdaŋ) disebut para mańilāla drawya haji yang jumlahnya sekitar 28-50 orang, bersama-sama dengan keluar­ga mereka. Mereka ini adalah para abdi dalem keraton, termasuk para pengawal istana (magalah, mamanah, magandi),[20] para pandai emas, pandai gangsa, pandai tembaga, pandai besi, Citralekha (juru tulis), dan lain-lain. Di sebuah kerajaan agraris, pejabat kerajaan yang tugasnya cukup penting adalah wilaŋ thāni dan wilaŋ wanua yang tugasnya adalah menghitung luas tanah dan jumlah desa dalam kaitannya dengan penghitungan pajak.

Putra mahkota, para pangeran (para adik Putra Mahkota) dan para peja­bat tinggi kerajaan, kecuali pańkur, tawan, dan tirip, mempunyai daerah lungguh di luar ibukota kerajaan yang disebut watak. Mungkin mereka tidak tinggal di daerah watak mereka, tetapi mereka mempunyai bawahan yang merupakan peja­bat elit birokrasi daerah. Selain itu, ada penguasa-penguasa daerah yang berge­lar rakai, pamgat, haji atau samya haji yang bukan merupakan pejabat tinggi kera­jaan. Mereka ini mempunyai istana, karena kedudukan mereka sebagai penguasa dae­rah bersifat turun temurun. Sayang tidak disebutkan bagaimana bentuk permu­kimannya, apakah merupakan miniatur pusat kerajaan atau tidak, tidak ada satupun sumber tertulis yang menyebutkannya.

Daerah watak yang dikepalai oleh rakai, pamgat, haji atau samya haji, membawahi daerah yang tingkatannya lebih kecil lagi, yaitu wanua. Wanua atau desa (kampung) diatur oleh para pejabat desa. Penduduk desa yang disebut anak wanua atau anak thāni pada umumnya hidup dari tanah-tanah pertanian, ber­niaga, mengusahkan industri rumah tangga yang mengusahakan makanan seperti gula kelapa/aren dan minyak; barang-barang keperluan sehari-hari seperti arang, kapur, tembikar, dan barang-barang anyaman; perangkap haiwan, seperti jaring dan jerat.

Dalam kaitannya dengan lingkungan agraris, di tingkat desa terdapat pejabat-pejabat yang berkaitan dengan industri pertanian, misalnya hulair (bertugas mengurusi masalah pengairan di desa), makalaŋkaŋ dan tuŋgū duruŋ (bertugas mengurusi lumbung padi),[21] wariga (bertugas menentukan hari baik untuk memulai suatu pekerjaan pertanian), dan hulu wras (bertugas mengurusi hasil panen). Di tingkat wanua dan juga di tingkat watak, ada satu jabatan yang peranannya sangat penting, yaitu yang disebut wilaŋ thāni atau wilaŋ wanua. Pajabat ini tugasnya menghitung luas tanah karena dikaitkan dengan pajak yang harus dibayarkan oleh penduduk. Karena itulah organisasi sosial ma­sya­rakat agraris lebih kompleks dan rumit daripada organisasi sosial masya­ra­kat maritim. Keselu­ruhan pekerjaan di tingkat desa merupakan sebuah sistem yang saling berkaitan.

Daerah pesisir (pantai utara Jawa) seharusnya termasuk juga daerah yang termasuk wilayah Kerajaan Matarām (Mdaŋ), namun tidak ada satupun pra­sasti dari sekitar abad ke-8-9 Masehi yang menyebutkan kawasan ini. Adanya orang asing (warga kilalaŋ) yang dikenai pajak merupakan indikator adanya tem­pat berlabuh orang-orang asing dari tempat yang jauh. Bukti lain adanya daerah pesisir yang masih masuk dalam wilayah Kerajaan Matarām (Mdaŋ) adalah adanya perda­gangan dengan kerajaan lain di luar Jawa, misalnya dengan China dan India. Para pedagang ini tentunya akan berlabuh di daerah pesisir utara Jawa.

Budaya Melayu di Luar Semenanjung
Dari apa yang telah diuraikan, dapat dilihat suatu perbedaan yang nyata antara kelompok Melayu yang ada di Sumatera dan kelompok Melayu yang ada di Jawa. Perbedaan ini disebabkan karena lingkungan alam dan budaya dari kedua tempat tersebut berbeda. Kelompok Melayu yang ada di Sumatera mengambil tempat untuk bermukim dan berusaha di daerah pesisir sebelah timur yang lingkungan alamnya merupakan lingkungan sungai dan paya. Mereka tinggal di tepian-tepian sungai besar dengan membina permukimannya di atas air. Kehidup­an mereka sebahagian besar dari pelayaran dan perdagangan. Karena itulah mereka harus hidup di tepian sungai karena sungai merupakan jalur lalu-lintas penting sejak dahulu hingga sekarang.

Kehidupan bertani, terutama membuka areal persawahan dengan irigasi tidak dilakukan oleh kelompok Melayu yang ada di Sumatera. Tanah-tanah di seki­tar tempat tinggal mereka tidak memungkinkan untuk dibuat sebagai areal persawahan. Sebuah petunjuk bahawa ada kelompok Melayu yang hidup dari tanah-tanah pertanian ditemukan di wilayah Tanah Datar, Sumatera Barat. Di daerah itu pada zaman Ādityawarmman dibuat areal persawahan dengan irigasi. Prasasti Bandar Bapahat (abad ke-14 Masehi) yang ditemukan di tebing sebuah bukit menginforma­sikan kepada kita tentang pembuatan sebuah saluran air un­tuk mengairi tanah-tanah pertanian.[22] Ini merupakan satu bukti, bahawa di mana kelompok Melayu bermukim, maka mereka akan menyesuaikan diri dengan ling­kungan alam tempat mereka tinggal.

Kedatangan kelompok elit di Pulau Jawa pada sekitar abad ke-7 Masehi mengindikasikan adanya suatu perpindahan untuk mencari daerah baru untuk hidup. Pada awal kedatangan kelompok elit Melayu ini, menempati daerah pegu­nungan di pesisir utara Jawa Tengah. Pada masa yang kemudian, di daerah peda­laman (sebelah selatan dari tempat kedatangannya yang awal) ditemukan petun­juk keberadaan kelompok Melayu. Prasasti Daŋ Puhāwaŋ Glis (17 Mei 827 Masehi) dan Prasasti Saŋ Hyaŋ Wintaŋ memberi petunjuk adanya kelompok Melayu di daerah yang mempunyai latar budaya agraris. Namun, meskipun mere­ka tinggal di daerah agraris, identitas ke-melayu-an mereka tidak terhapus. Hal ini tampak pada nama Daŋ Pu Hawaŋ yang merupakan jabatan yang berkaitan dengan kebaharian. Daŋ Karayān Parta­pān Ratnamaheśwara Sida Busu Plār atau Rakai Patapān pu Palār yang namanya tercantum dalam prasasti dari Desa Gondosuli itu diduga orang Melayu pendatang dari Sumatera yang berkuasa di Kerajaan Mdaŋ.

Kerajaan Matarām (Mdaŋ) yang lokasinya diduga di daerah lembah sungai Progo yang subur itu, merupakan sebuah kerajaan yang hidupnya dari tanah-tanah pertanian. Sebagai pendatang tentu saja kelompok elit Melayu itu harus menye­suaikan diri dengan lingkungan alam tempat mereka tinggal. Ling­kungan alamnya memungkinkan untuk hidup sebagai masyarakat agraris dengan areal persawahan irigasi. Sistem pertanian dengan irigasi merupakan suatu sis­tem pertanian yang rumit dengan organisasi sosial yang mantap. Hal ini ter­cermin dalam sistem biro­krasi Kerajaan Matarām (Mdaŋ) yang cukup rumit. Mulai dari tingkat desa (wanua) hingga ke tingkat kerajaan/wilayah (bhūmi), terdapat pejabat-pejabat yang tugasnya berkenaan dengan pertanian.

Sistem birokrasi yang berbeda ditemukan di Sumatera dari zaman Kadā­­tuan Śrīwijaya. Dalam Prasasti Telaga Batu tidak ditemukan petunjuk ada­nya sistem birokrasi yang serumit sistem birokrasi Kerajaan Mdaŋ. Mulai dari pejabat tinggi hingga pejabat yang kedudukannya paling rendah di Kadā­tuan, semuanya tinggal di ibukota. Prasasti itu tidak menyebutkan daerah lain. Mung­kin daerah yang dikuasainya (dikoordinir) dikepalai oleh seorang dātu. Sayang sekali, data yang mengacu pada masalah birokrasi kerajaan dari zaman ini tidak banyak ditemukan. Satu-satunya data hanya dari Prasasti Telaga Batu.

Dalam hal jabatan tinggi setelah raja, ada kesamaan antara yang ada di Śrīwijaya dan Matarām (Mdaŋ). Dari berbagai prasasti yang ditemukan di Jawa, bahawa yang pertama-tama berhak untuk menggantikan tahta kerajaan adalah anak raja dari parameśwari. Putra mahkota ini bergelar rakai hino atau raka­rayān mapatih i hino. Namun kadang-kadang jabatan ini tidak harus anak dari parameśwari. Ia dapat juga adik, kemenakan, paman, atau kerabat dekat yang lain, asal masih seketurunan secara langsung.

Masih ada dua orang lagi yang berhak atas tahta kerajaan, dan memper­oleh tempat di dalam hirarki pemerintahan, yaitu rakarayan i halu dan rakarayan i sirikan. Ini sesuai dengan Berita China dari zaman dinasti Song, yang menga­takan bahawa tiga orang putera raja bertindak selaku raja muda. Dan ini sesuai pula dengan keterangan yang terdapat di dalam Prasasti Telaga Batu dari Śrī­wi­jaya, yang menyebut yuwarāja, pratiyuwarāja, dan rājakumara.

Beberapa perbedaan yang telah dikemukakan tadi, bukan bererti tidak mempunyai satu kesamaan. Kesamaan itu berasal dari satu akar budaya yang sama, misalnya dalam hal pembahagian wilayah administratif. Semakin tinggi ting­­katan administratif suatu wilayah, semakin dekat hubungan keluarga pengua­sanya dengan raja (penguasa) yang memerintah. Semakin rendah tingkatan admi­nis­tratifnya, semakin jauh hubungan keluarga penguasanya dengan raja (pengua­sa) yang memerintah.

Penutup
Masyarakat Melayu adalah masyarakat “pengembara” di mana kawasan pengem­baraannya cukup luas. Di nusantara mereka diketahui berada di Suma­tera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Nusatenggara, dan pulau-pulau lain di kawasan timur Indonesia. Mereka itu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan alam tempat mereka tinggal. Ada yang menetap di daerah pesisir, di tepian-tepian sungai, dan di pedalaman. Data sejarah yang sampai kepada kita, kelompok masyarakat Melayu ada yang menetap bahkan menjadi penguasa di daerah pedalaman yang penduduk tempatannya hidup dari tanah-tanah pertanian. Sudah barang tentu, kelompok masyarakat Melayu yang hidup di daerah ini hidup sebagaimana halnya dengan kelompok masyarakat agraris. Akibat dari tata-hidup masyarakat agra­ris, maka diperlukan suatu organisasi sosial yang mantap dengan jaringan-jaringannya yang rumit.

Bila dalam negara agraris seperti Matarām (Mdaŋ) sistem lungguh merupakan sendi utama untuk kelangsungan hidupnya dimana unsur tenaga manu­sia sangat penting di samping unsur areal tanah, maka bagi kerajaan maritim seperti Śrīwijaya dan Mālayu yang mutlak diperlukan adalah “penguasaan” pen­duduk yang mampu memanfaatkan wilayah laut sebagai sumber mata penca­harian.[23] Apabila dilihat dari lokasi pusat kekuasaan kedua kerajaan maritim tersebut, maka kedua kerajaan itu berbentuk gabungan maritim dan sungai.

Sebagai kerajaan sungai yang diperlukan adalah hubungan yang baik dengan penduduk di kawasan pedalaman di hulu-hulu sungai. Sifat dari poros ulu-ilir ini sejak dahulu senantiasa mewarnai pamor suatu kerajaan yang mengandal­kan hidupnya pada lalu-lintas sungai. Oleh sebab itu, pada masa Kerajaan Palembang-Islam hubungan dengan masyarakat Komering, Rejang, Pasemah dsb. sangat relevan sebagaimana tercermin pada pembahagian wilayah kerajaan (kapungutan, sikep, dan sindang). Sementara itu, di daerah aliran sungai Batang­hari di mana Kerajaan Mālayu berada, kerjasama dengan masyarakat Kerinci serta nagari-nagari Minangkabau di pedalaman mempengaruhi kebesaran pusat kerajaan.

Akhirnya, dapat disimpulkan bahawa persebaran puak Melayu di bebera­pa tempat di Nusantara menimbulkan budaya yang berbeda pada masing-masing suku-bangsa Melayu. Perbedaan ini lebih banyak disebabkan karena lingkungan alam tempat mereka tinggal. Dan perbeda­an ini mengakibatkan juga perbedaan dalam sistem mata pencaharian hidup yang tercermin dalam organisasi/sistem birokrasi pemerintahan.

Kepustakaan
Boechari, 1966, “Preliminary Report on the Discovery of an Old Malay Inscription at Sojomerto”, dalam MISI 3 (2&3): 241-251.

------------, 1986a, “Penelitian baru atas prasasti Kedukan Bukit”, dalam Romantika Arkeologi (edisi khusus): 4-18. Jakarta: KAMA-FSUI.

------------, 1986b, “New Investigations on the Kedukan Bukit Inscription”, dalam Untuk Bapak Guru. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

de Brauw, 1855, “Iets betreffende de verhouding der Pasemahlanden tot de sultans van Palembang”, dalam TBG 4 n.s.l.

du Bois, D.A., 1856, “De Lampongers”, dalam TNI 2,

Bambang Sumadio (ed.), 1984, Jaman Kuna (Sejarah Nasional Vol. 2), Jakarta: Balai Pustaka.

Cœdès, C dan L. Ch. Damais, 1989, Kedatuan Sriwijaya. (Seri Terjemahan Arkeologi No. 2). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Damais, L. C., 1970, Repertoire Onomastique de l‘Épigraphie Javanaise (Jusqu‘a Pu Sindok Sri Isanawikrama Dharmmotuńgadewa): Étude d‘Épigraphie Indonésienne. Paris: Publications de EFEO, LXVI.

Geertz, Clifford, 1979, “Religion as a Cultural System” dalam Reader in Comparative Religion: An Anthropological Approach (Lessa, A. William and Evon Z. Vogt, eds.). New York: Harper & Row.

------------, 1973, The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books Inc.

Groeneveldt, 1960, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sourches. Djakarta: Bhratara

Kunst, Jaap, 1968, Hindu Javaansche musical instruments (Translation Series no. 12), The Hague: Martinus Nijhoff.

Koentjaraningrat, 1984, Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Jambatan.

Krom, N.J., 1912, “Inventaries der Oudheden in de Padangsche Bovenlanden”, dalam OV 1912, Bijlage G-H, hlm. 33-52.

Kulke, Herman, 1985, “Kedatuan Sriwijaya: Kraton or Empire of Sriwijaya”, makalah dalam Seminar on the Asian City and State. Oxford: Asian Studies Centre

Lapian, A.B., 1992, “Jambi dalam Jaringan Pelayaran dan Perdagangan Masa Awal”, dalam Seminar Sejarah Melayu Kuno, hlm. 143-149. Jambi: Pemerintah Daerah Tk I Jambi

Perret, Daniel, 1999, “ Kota Raja dalam Kesusasteraan Melayu Lama”, dalam Panggung Sejarah: Persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard. Jakarta: École française d‘Extrême-Orient, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, dan Yayasan Obor Indonesia.

Rudito, Bambang, 2002, Pemecahan Konflik dari Sudut Kebudayaan, Kasus di Kalimantan Timur. Laporan penelitian kerjasama dengan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Suparlan, Parsudi. 1982. ”Struktur Sosial, Agama dan Ritual: Geertz, Hertz, Cunningham, Turner dan Levi-Strauss” dalam Ilmu Sosial Dasar. Konsorsium Antar Bidang Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sutjipto, F.A., 1968, “Struktur Burokrasi Mataram (djaman Kerta-Kartasura)”, dalam MISI IV no. 1,2 hlm 51-70).

------------, 1995, Orang Sakai. Jakarta: Yayasan Obor.

Wellan, J.W.J., 1934, “Criwijaya: 1250 jaren gelegen gesicht”, dalam KNAG 2e serie deel LI aflevering. Leiden: E.J. Brill

Bambang Budi Utomo, Drs., adalah Peneliti bidang Arkeologi pada Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta.


[1] Suparlan, Parsudi, 1995, Orang Sakai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

[2] Rudito, Bambang, 2002, “Pemecahan Konflik dari Sudut Kebudayaan, Kasus di Kali­man­tan Timur”. Laporan penelitian kerjasama dengan Departemen Kebu­dayaan dan Pari­wisata.

[3] Perret, Daniel, 1999, “ Kota Raja dalam Kesusasteraan Melayu Lama”, dalam Panggung Sejarah: Persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard. Jakarta: École française d‘Extrême-Orient, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, dan Yayasan Obor Indonesia, hlm. 246.

[4] Misalnya dalam Hikayat Merong Mahawangsa, sekelompok orang berpindah-pindah selama 200 hari.

[5] Kulke, Herman, 1985, “Kedatuan Sriwijaya: Kraton or Empire of Sriwijaya”, makalah dalam Seminar on the Asian City and State. Oxford: Asian Studies Centre.

[6] Boechari, 1986, “Penelitian baru atas prasasti Kedukan Bukit”, dalam Romantika Arkeologi (edisi khusus): 4-18. Jakarta: KAMA-FSUI.

[7] Cœdes, C dan L. Ch. Damais, 1989, Kedatuan Sriwijaya. (Seri Terjemahan Arkeologi No. 2). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

[8] Wellan, J.W.J., 1934, “Criwijaya: 1250 jaren gelegen gesicht”, dalam KNAG 2e serie deel LI aflevering. Leiden: E.J. Brill, hlm. 19.

[9] De Brauw, 1855, “Iets betreffende de verhouding der Pasemahlanden tot de sultans van Palembang”, dalam TBG 4 n.s.l, hlm. 519.

[10] Du Bois, D.A., 1856, “De Lampongers”, dalam TNI 2, hlm. 41

[11] Boechari, 1966, “Preliminary report on the discovery of an Old Malay inscription at Sojomerto” dalam MISI III no. 2&3 hlm. 241-251.

[12] Di Indonesia nama Śailendravamsa dijumpai pertama kali di dalam Prasasti Kalasan dari tahun 778 Masehi (Śailendragurubhis; Śailendrawańśatilakasya; Śailendra­raja­guru­bhis) (Damais 1970: 512). Kemudian nama itu ditemukan di dalam Prasasti Kelu­rak dari tahun 782 Masehi (Śailendra­wańśatilakena) (Bosch 1928: 1-56), dalam Pra­sasti Abhayagiriwihara dari tahun 792 Masehi (dharm­ma­tuńgadewasyaśailendra) (Damais 1970: 512), Prasasti Sojomerto dari tahun 725 Masehi (selendra­namah) (Boechari 1966: 241-251; Damais 1970: 512) dan Prasasti Kayumwuńan dari tahun 824 Masehi (śai[len­drawańśatilaka]) (de Casparis 1956: 38-41; Damais 1970: 512).

[13] Boechari dalam salah satu karyanya (tidak berangka tahun) menduga bahawa Dapūnta Selendra berasal dari suatu tempat yang berbahasa Melayu Kuna, yaitu Ākhaņ­dala­pura, suatu kerajaan yang merupakan pendahulu Kadātuan Śrīwijaya. Selanjutnya beliau menduga bahawa sekalipun belum ditemukan bukti-bukti, Ākhaņdalapura diduga berlo­kasi di daerah Riau yang pada abad ke-6-7 Masehi sebahagian besar masyara­kat­nya beragama Śiwa, dan sebagian dari raja-raja Śailendra dan raja-raja sesudah­nya sampai dengan Rakai Matarām Saŋ Ratu Sañjaya ialah penganut agama Śiwa. Baru mulai Rakai Paņamkaran agama Buddha Mahā­­yāna dianut oleh raja-raja Śailendra.

[14] Kunst, Jaap, 1968, Hindu Javaansche musical instruments (Translation Series no. 12), The Hague: Martinus Nijhoff.

[15] OJO III.

[16] Pada zaman Mataram Islam ketika ibukotanya masih di Kartasura, Kerajaan Mataram dibagi menjadi tiga daerah teritorial yang dimulai dari pusat kerajaan, yaitu 1. Kutanagara yang merupakan inti pusat kerajaan, 2. Negara Agung adalah daerah yang berada di sekitar Kutanegara, 3. Mancanegara adalah daerah di luar daerah Negara Agung (tidak termasuk daerah Pasisiran) yang terdiri dari Mancanegara Kulon dan Mancanegara Wetan, dan 4. Pasisiran yang letaknya di pesisir utara pulau Jawa juga dibagi menjadi dua bahagian, yaitu Pasisiran Kulon dan Pasisiran Wetan (Sutjipto, F.A., 1968, “Struktur Burokrasi Mataram (djaman Kerta-Kartasura)”, dalam MISI IV no. 1, 2 hlm 51-70).

[17] Sumadio, Bambang (ed.), 1984, Jaman Kuna (Sejarah Nasional Vol. 2), Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 191.

[18] Groeneveldt, 1960, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sourches. Djakarta: Bhratara, hlm. 10-12

[19] Pada zaman Mataram-Islam di lingkungan ibukota (Kutanagara yang merupakan pusat dari kerajaan Mataram) tinggal raja dan keluarganya serta beberapa pejabat tinggi lainnya (kaum bangsawan keraton). Para pejabat tinggi ini mempunyai tanah-tanah lungguh yang terletak di sekitar Kutanagara. Daerah tempat tanah-tanah lungguh ini terletak di daerah Negara-Agung.

[20] Di Yogyakarta hingga kini masih ada kampong yang bernama Numbakanyar dan kam­pong Nyutran, kampong-kampong yang dulunya ditempati oleh pasukan pengawal istana yang bersen­jatakan tombak (galah) dan panah.

[21] Pengelolaan lumbung-lumbung padi diurusi oleh juru niŋ kanayakān, patih, dan wahuta. Mereka ini, masing-masing mempunyai tuŋgū duruŋ.

[22] Krom, N.J., 1912, “Inventaries der Oudheden in de Padangsche Bovenlanden”, dalam OV 1912, Bijlage G-H, hlm. 33-52.

[23] Lapian, A.B., 1992, “Jambi dalam Jaringan Pelayaran dan Perdagangan Masa Awal”, dalam Seminar Sejarah Melayu Kuno, Jambi: Pemerintah Daerah Tk I Jambi, hlm. 143-149.