Aceh Dan Kesadaran Sejarah

Oleh : Hafas Furqani

Fa‘tabiru ya ulil abshar! Lakukanlah i‘tibar wahai orang-orang yang berpandangan! Demikian perintah Allah swt dalam surah al-Hasyr; 2. Al-Qur‘an selalu menyebut contoh-contoh dari sejarah dan mendesak kepada si pembaca supaya menjadikannya pelajaran agar lebih bijaksana menghadapi masa depan. Karena, peristiwa yang dihadapi hari ini dan akan dilalui kelak adalah kelanjutan peristiwa-peristiwa lampau.

Kisah para Nabi dan umatnya dalam al-Qur‘an mendorong Zia ul-Haq, seorang ilmuan Pakistan, menulis buku “Wahyu dan Revolusi dalam Islam”. Ia menyimpulkan ada kaitan antara kisah-kisah umat terdahulu yang diceritakan al-Qur‘an dengan keberhasilan revolusi yang digerakkan oleh Nabi Muhammad saw. Kesadaran akan kebenaran peristiwa tersebut, hikmah, gambaran perjuangan, derita, kepayahan dan kesabaran para Nabi menjadi contoh paripurna bagi keberhasilan perjuangan Muhammad saw dan sahabatnya.

Menggugah kesadaran sejarah hanya bisa dicapai lewat perenungan-perenungan (i‘tibar, reflection, contemplation). Perenungan yang sempurna disamping dengan menghayati pengalaman masa lampau juga dengan menyusun langkah gerak strategis ke depan. Semakin dalam perenungan yang dilakukan, akan muncul kesadaran, dan dan pada gilirannya akan melahirkan kebijaksanaan terhadap masa depan.

Perenungan sejarah (historical reflection) perlu dilakukan untuk melahirkan kesadaran sejarah (historical consciousness) yang akan memberikan "pengertian" terhadap berbagai peristiwa, langkah dan kebijakan yang ditempuh pada masa lalu terhadap suatu bentuk ideal (idealtype) masa depan, juga untuk terjadinya perubahan-perubahan dalam masyarakat menuju sebuah kehidupan yang lebih baik dari yang sudah didapati. Hipotesa utama mengapa kita perlu melakukan perenungan sejarah adalah bahwa semua peristiwa itu tidak terjadi dengan sendirinya (autonomous phenomena), selalu ada kaitan dan hubungan antar berbagai peristiwa masa lalu dan sekarang (linked phenomena). Kaitan-kaitan inilah nantinya yang akan menjadi bahan koreksi kita.

Muhammad Iqbal (1951), memandang sejarah sebagai satu gerak kolektif yang berkelanjutan, ia adalah perkembangan yang tidak dapat dielakkan dalam waktu. Sejarah menurut Ibnu Khaldun adalah satu gerak berkelanjutan dalam waktu (process) yang merupakan kreatifitas asli manusia dan bukan sesuatu yang perjalannya telah lebih dahulu ditentukan. Karena sifatnya yang sangat dinamis maka dialektika sejarah suatu bangsa seringkali berlainan walaupun nantinya tetap ada titik singgung persamaan dalam hal kausalita sebab akibat.

Aceh dan sejarah
Aceh dan sejarah adalah sebuah diskursus unik. Berbagai tanggapan sinis seringkali terdengar ketika Aceh berbicara sejarahnya. Aceh hanya berbangga dan terbuai dengan romantisme sejarah, Aceh telah "mati" terbunuh dengan sejarahnya sendiri sehingga tidak bangkit lagi, atau sejarah Aceh tidak lain adalah pengulangan kisah-kisah yang membosankan tentang peperangan dan heroisme pejuang.

Terlepas dari berbagai pandangan ini, Aceh terus mencipta sejarah dan terus berbicara akan sejarahnya. Karena itu, yang harus kita lakukan sebenarnya adalah berhenti sekedar berbangga terhadap kegemilangan sejarah, berhenti mengeluh dan meratapi penderitaan, dan sebagai gantinya kita harus membahas kegemilangan dan penderitaan itu kemudian menganalisanya demi sebuah “kesadaran”.

Sejarah Aceh adalah Islam, dan Islam mewarnai sejarah Aceh. Sudah menjadi kesepakatan umum, daerah yang pertama sekali masuk Islam di Nusantara adalah Aceh, di sinilah kerajaan Islam yang pertama lahir, yang menandakan dimulainya peradaban Islam. Identitas Islam terus mewarnai perjalanan peradaban ini. Hal yang unik dari ke-Islaman Aceh ialah, ia tidak hanya sebagai agama yang dipakai dalam keseharian dan kebudayaan, tetapi juga menjadi ideologi yang telah menyatu dengan Aceh. Islam menjadi dasar negara untuk sebuah pemerintahan baru yang kemudian dibentuk dan menjadi pedoman hukum tertinggi negara tersebut.

Perkataan H.A.R Gibb yang terkenal; “Islam sesungguhnya lebih dari satu sistem agama saja, ia adalah satu peradaban yang lengkap” menjadi terbukti di Aceh. Rakyat Aceh pada masa itu, dengan kecerdasan yang tinggi, ketaatan kepada Tuhan, dan dinamika sosial-budaya yang beragam, berhasil memanifestasikan Islam dalam sebuah peradaban madani. Semua tingkah laku negara dan rakyat berdasarkan Islam. Ini terangkum dalam sebuah adagium: adat bak po teumeuruhom, hukom bak syiah kuala, kanun bak putroe phang, reusam bak laksamana. Dari sini pula, Islam kemudian bekembang dan menjadi agama yang dianut oleh mayoritas penduduk nusantara. Islam di Aceh telah menjadi sebuah peradaban yang mewarnai perjalanan hidupnya di hari-hari selanjutnya. Aceh memiliki corak ke-Islaman yang khas. Proses penyatuan Islam dengan adat setempat berlangsung sangat sempurna. Sehingga sering dikatakan adat aceh adalah Islam dan Islam telah menjadi adat rakyat Aceh (adat ngon syariat lagee zat ngon sifeut). Semangat egaliter dan peradaban yang terbuka turut pula menjadikan daerah ini memiliki peradaban yang tinggi (kosmopolit) dan lebih cepat maju seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman. Hal ini didukung pula oleh letaknya yang sangat strategis, menjadi lalu lintas nusantara dan kebudayaan di Asia dan Eropa (India, Arab, Turki, Cina, dan Eropa).

Peradaban yang dibangun disamping beridentitaskan Islam (Islamic identity), juga memiliki identitas tersendiri yang khas yaitu identitas ke-Acehan (Acehnese identity). Identitas ini bersumber dari ajaran Islam yang dimanifestasikan dalam adat kebudayaan dan juga dari peleburan berbagai kebudayaan dan peradaban luar yang singgah di aceh yang telah menyatu dalam masyarakat. Peradaban yang kosmopolit ini menjadikan Aceh lebih maju dibanding kerajaan lain di Nusantara. Di sinilah lahir ilmuan-ilmuan terkemuka, Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar-Raniry, Abdur Rauf As-sinkili dll.

Dalam fase selanjutnya Aceh mulai melemah, penyebabnya adalah peperangan yang sangat panjang dan melelahkan. Perang menjadi ciri lain sejarah Aceh. Aceh tidak pernah berhenti berperang, yang terjadi adalah pasang surut perdamaian. Sesekali damai, tapi jelas perang tak pernah reda. Konsekuensinya adalah Aceh mulai kehilangan identitas. Perang sangat anti kemapanan, ia merusak seluruh sendi kehidupan yang telah disusun beabad-abad.

Hari ini adalah masa-masa kemunduran Aceh. Masa dimana kita terpuruk di bidang politik (depolitisasi), ekonomi (eksploitasi), budaya (pelumpuhan budaya), dan juga agama (sekularisme). Aceh telah kehilangan semua identitasnya dalam bidang-bidang tersebut. Hari ini adalah juga masa dimana Aceh berhadapan dengan konflik yang sangat panjang, yang menyebabkan hilangnya ribuan nyawa manusia dan banyak harta benda. Dalam masa-masa ini juga potensi sumber daya manusia Aceh terus berkurang, Aceh kehilangan pemimpin-pemimpin cerdas, Aceh juga kehilangan ilmuan-ilmuan. Kemunduran ini juga ternyata turut menghilangkan adat dan identitas yang selama ini sangat melekat yaitu Islam.

Kejatuhan kegemilangan Aceh ini ditandai pula dengan hilangnya identitas ke-Islaman dan ke-Acehan yang diganti dengan identitas Sekuler dan Ke-Indonesian. Secara perlahan keduanya menghilangkan peradaban yang sudah mapan dibangun. Identitas negara baru, yang merupakan perpaduan berbagai daerah dan bangsa yang terletak di sepanjang gugusan nusantara, ternyata mempunyai corak keislaman dan peradaban yang berbeda. Sehingga tolak tarik dan persinggungan terlihat sepanjang perjalanan sejarah. Walaupun Aceh diakui telah memberikan sumbangan yang signifikan terhadap tegaknya negara ini, namun ternyata sepanjang perjalanannya kedua identitas ini sangat tidak harmonis. Berbagai ketidakpuasan telah melahirkan konflik yang sangat panjang sepanjang sejarah nusantara. Aceh melakukan perlawanan terhadap pemerintah. Konflik yang berlangsung sampai sekarang juga nantinya mempunyai cerita sejarah tersendiri dalam perjalanan Aceh.

Menggagas perubahan
Benar bahwa sejarah Aceh telah berputar, dari kegemilangan kepada kemunduran. Kita tidak perlu bersedih dan mengutuk diri, karena ternyata kita berada dalam masa kemunduran, yang sangat diperlukan sekarang adalah kesadaran akan sejarah kita untuk menumbuhkan semangat membangun kembali kegemilangan.

Herakleitos, seoarang filosof Yunani, berkata dengan tegas, Panta rei – semua berlalu! Konflik yang panjang dan telah lama ini pasti akan berlalu. Dan ternyata benar, kita berada di babak lain dari sejarah Aceh. Aceh saat ini mencoba berdamai dan menandatangai nota kesepahaman (MoU GAM-RI). Aceh sedang menulis sejarahnya dengan mencoba menyusun gaya pemerintahan dan gaya demokrasinya sendiri yang berbeda dengan daerah lain.

Perubahan pasti terjadi, karena esensi hidup di dunia adalah ‘gerak‘, tidak ada yang tetap, yang tetap adalah perubahan. Mungkin saja apa yang berlaku hari ini adalah tonggak (milestone) untuk kembali melakukan perubahan menuju kegemilangan. Masih ada harapan yang besar dan tantangan masa kini untuk menata perubahan dan membangun kembali peradaban di bumi Serambi Mekkah. Apa yang berlaku saat ini tentu tidak terjadi dengan sendirinya, ia adalah perjuangan mewujudkan sebuah cita-cita ideal.

Tentu ini hanya sekelumit dari pada sejarah Aceh, yang masih merupakan bagian dari ingatan kolektif bangsa Aceh. Kondisi yang tidak menyenangkan yang sekarang kita hadapi adalah juga berasal dari runtutan masa lalu yang telah kita gariskan. Segala kemungkinan untuk masa depan masih mungkin berlaku. Tugas kita adalah menyusun langkah-langkah strategis ke depan untuk memulai perubahan, mewujudkan kembali Aceh yang adil makmur, bermartabat, terhormat, menjunjung tinggi nilai-nilai Islam dan nilai-nilai kemanusian yang universal. Inilah saatnya untuk beranjak kembali menuju kegemilangan seperti yang pernah kita capai. Semua berputar dan bisa berubah (taghyir). Bisa saja setelah fase tua yang digambarkan Ibnu Khaldun ketika menceritakan sejarah sebuah peradaban, tidak menuju ke fase kematian, tetapi berputar lagi menuju remaja, karena perputaran sejarah tidak selalu persis dengan peredaran perjalanan hidup manusia, ia sangat dinamis.

Namun jelas, perubahan itu tidak terjadi dengan sendiri, juga kita tidak tahu apakah perubahan itu bisa cepat atau lambat terjadi, ia perlu kepada syarat-syarat penunjang yang harus dipenuhi untuk mempersiapkan dan mempercepat perubahan tersebut.

Inilah signifikansi lain dalam perenungan sejarah. Ia adalah seni pembakar khayal, pendobrak nurani, juga inspirasi yang tidak habis-habis. Ketika kita putus asa, ia lah yang akan membangkitkan kembali semangat kita. Atau ketika kita bingung terhadap rancangan masa depan yang ideal, ia lah yang menjadi cerminan kita. Bangsa yang bisa melakukan ini adalah bangsa yang mempunyai pengalaman yang lebih luas, kematangan yang lebih besar dari akal praktis, dan akhirnya satu pelaksanaan yang lebih lengkap dari cita-cita asasi tertentu mengenai kehidupan.

Pada akhirnya, “kesadaran” sejarah hendaklah menjadi landasan “pencerahan” untuk bisa menggagas “perubahan”. Walaupun tidak sedikit orang yang remeh dan sinis terhadap sejarah Aceh, namun kita tetap berkeyakinan bahwa itu adalah sumber pusaka terbesar yang diwariskan indatu kita, dan masih sangat relevan untuk membentuk karakter bangsa (nation building) Aceh modern di masa depan. Ia juga bisa mengajarkan kita menjadi bijaksana ketika kita “hampa” tidak punya pihan ataupun ketika kita “bingung” terhadap berbagai alternatif pilihan (politik) yang ada. History is philosophy from examples, demikian kata Dionysius of Halicarnassus, seorang historian yunani dalam Ars Rethorica.

*) Penulis adalah mahasiswa program Master of Economics pada International Islamic University Malaysia (IIUM)

Sumber : www.acehinstitute.org