Oleh Desril Riva Shanti
(Peneliti pada Balai Arkeologi Bandung)
Sari
Salah satu bentuk religi yang berkaitan dengan nenek moyang dalam suatu kepercayaan adalah unsur totemisme. Hal ini masih terlihat pada sitem kepercayaan etnis Cina. Bukti tentang totemisme dapat ditemukan dari motif hiasan yang ada di klenteng-klenteng. Motif hiasan tersebut mengandung lambang dan makna simbolik dalam bentuk lukisan atau pahatan. Hiasan tersebut dalam bentuk flora, fauna, binatang mitologi, atau dewa-dewi yang secara tradisional dianggap dapat membawa pertanda baik dan mendatangkan berkah.
Ragam hias yang ada pada bangunan klenteng Hian Tan Kong dibagi dalam tiga kelompok motif. Motif flora, motf fauna, motif hiasan lain, misalnya bola ‘yin-yang’, motif awan, motif mutiara, dan motif kaisar/dewa.
Ragam hias yang ada pada bangunan klenteng Hian Tan Kong dibagi dalam tiga kelompok motif. Motif flora, motf fauna, motif hiasan lain, misalnya bola ‘yin-yang’, motif awan, motif mutiara, dan motif kaisar/dewa.
Abstract
One form of religion that related to ancestors in its belief is element of totemism. This kind of religion is especially true in the Chinese ethnic. Evidence of totemism can be seen in decoration motif exists in the Chinese temple. The decoration motif contains the symbolic meaning and device in the form of painting or bas-reliefs. Decoration in form of floral, mythology animal and deities in traditional belief can bring good fortune and blessing.
Decorations exist in Hian Tan Kong temple can be divided into three groups floral, animal and other decorational motif. For example yin-yang, cloud, pearl and emperor or deity motif.
Decorations exist in Hian Tan Kong temple can be divided into three groups floral, animal and other decorational motif. For example yin-yang, cloud, pearl and emperor or deity motif.
Kata kunci: Cina, totemisme, motif hiasan, klenteng
Pendahuluan
Salah satu bentuk religi yang berkaitan dengan nenek moyang dalam suatu kepercayaan adalah unsur totemisme. Paham totemisme ini biasa didefinisikan sebagai bentuk religi yang ada dalam masyarakat atau kelompok-kelompok kekerabatan unilineal yang mempunyai kepercayaan bahwa mereka masing-masing berasal dari dewa-dewa nenek moyang tertentu. Ikatan tersebut dianggap mempererat kesatuan dalam kelompok masing-masing dengan menggunakan totem-totemnya sendiri. Totem sendiri dapat diartikan sebagai lambang berupa jenis binatang, tumbuhan, gejala alam atau benda-benda lainnya yang diakui sebagai dewa-dewa nenek moyang suatu kelompok unilineal. Lambang-lambang itu merupakan unsur-unsur penting dalam upacara- upacara totemisme.
Totemisme sebagai pemujaan terhadap segolongan objek materi, biasanya binatang atau tumbuhan, yang karena tahayul dipandang dengan hormat. Objek-objek tersebut dipercaya memiliki hubungan sangat intim dan khusus dengan pemujanya. (Fraser,1990:8).Totemisme sebagai kebiasaan sekelompok manusia untuk menambahkan nama suatu binatang di belakang namanya sendiri karena anggapan akan adanya unsur kesamaan di antara mereka dan binatang tersebut. Selanjutnya mereka yang pertama menggunakan nama binatang itu dipuja sebagai leluhur, dan binatang yang dimaksud ikut pula dipuja (Spencer,1991:23).
Dilihat dari batasan-batasan tersebut, tampak bahwa totemisme juga berakar dari konsepsi pemujaan nenek moyang pada umumnya. Mengingat pemujaan ke nenek moyang sudah sangat meresap dalam jiwa manusia, maka konsepsi ini terbawa hingga masa kini. Hal ini masih terlihat pada sistem kepercayaan etnik Cina. Meskipun kelompok etnik Cina telah mengenal dan mengabut berbagai konsepsi keagamaan Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen, namun seringkali mereka tetap melakukan aktivitas pemujaan terhadap leluhurnya di tempat tertentu, terutama klenteng.
Dalam kepercayaan Cina terdapat tiga unsur yang dianggap merupakan konsep asli, yaitu: pemujaan alam (lingkungan fisik), pemujaan leluhur (alam kemanusiaan), dan pemujaan langit (alam ketuhanan). Selain itu juga ditemukan pula adanya unsur totemisme. Bukti tentang totem dapat ditemukan dari motif hiasan yang ada di klenteng-klenteng Cina. Motif hiasan yang dimaksud antara lain berupa binatang dan tumbuhan tertentu yang mempunyai makna simbolik dan berkaitan dengan nenek moyang. Motif hiasan yang mengandung unsur totem ada juga di klenteng-klenteng Cina di Bogor. Meskipun kadang-kadang penggambaran totem tersebut berbeda, atau bahkan tidak jarang motif hiasan yang ada pada suatu klenteng tidak dijumpai pada klenteng yang lainnya, tetapi pada prinsipnya klenteng-klenteng tersebut menganut konsep yang sama.
Data lain adanya unsur totemisme pada kelompok etnik Cina dapat dilihat pada tempat ibadah kelompok etnik Cina. Masalah pokok yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah unsur-unsur totemisme apa saja yang ada pada motif hiasan klenteng Hian Tan Kong di Bogor. Adapun tujuannya untuk memberikan gambaran atau deskripsi unsur totemisme sebagai unsur asli etnik Cina. Metode yang dipakai adalah metode deskriptif, yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang suatu fakta atau gejala yang diperoleh sedangkan metode penalaran yang dipakai, yaitu penalaran induktif. Prosedur penalaran induktif dimulai dengan pencarian data, analisis data, sintesis dan intepretasi, kemudian ditarik kesimpulan (Mundarjito, 1986:198).
Gambaran Klenteng Hian Tan Kong
Klenteng Hian Tan Kong berlokasi di Kampung Pasar Lama, yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan Cileungsi, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Lingkungan klenteng berbatasan dengan pemukiman penduduk di sebelah timur dan utara, dan perkebunan penduduk di barat dan selatan. Dilihat dari letak geografisnya, klenteng Hian Tan Kong berada pada 106 57’ 314” BT dan 06 23’ 648” LS.
Luas tanah kompleks Klenteng Hian Tan Kong kurang lebih 3000 m persegi yang di dalamnya terdapat lima bangunan besar yang letaknya terpisah yaitu: bangunan utama, bangunan Kwan Im Tong, Vihara Metta Dharma, Keraton Mbah Mega Mendung, dan Keraton Aki Jenggot. Arah hadap klenteng Hian Tan Kong menghadap ke utara. Kompleks klenteng dikelilingi pagar besi dengan gerbang utama terletak di sebelah utara. Pintu gerbang utama berupa pintu paduraksa terdiri dari tiga lubang pintu sebagai pintu masuknya yang masing-masing diberi atap. Pintu masuk di bagian tengah lebih tinggi berbentuk atap pelana dan pada bubungan atapnya diberi hiasan stupa serta memakai bahan genteng. Adapun pintu masuk di bagian kiri dan kanan atapnya lebih rendah, pada bubungan atap diberi hiasan stupa.
Koridor berdenah persegi panjang ditopang oleh empat tiang dengan tinggi 2,5 m yang dicat warna hijau. Keempat tiang dihiasi dengan hiasan naga yang melilit tiang dengan posisi muka, naga di bagian selatan saling berhadapan, sedangkan dua naga di bagian utara menghadap ke utara. Naga digambarkan dengan mulut menganga, lidah terjulur, dua kaki depan mencengkeram ke udara sedangkan dua kaki belakang mencengkeram tiang.
Dari teras menuju ruang suci utama melalui sebuah pintu yang terletak di tengah antara dua buah jendela yang berhiaskan motif hiasan lambing yin-yang. Pintu masuk utama mempunyai dua daun pintu terbuat dari kayu yang diukir dengan lukisan relief berupa dewa penjaga pintu (mui-sin atau mensen) yang digambarkan memakai pakaian perang.
Atap bangunan ruang suci utama berbentuk pelana yang bila dilihat dari luar terlihat seakan-akan bangunan ruang suci utama bertingkat. Hal ini dikarenakan atap ada balkon di bagian bawah atap sehingga bagian atap terkesan tinggi dan bertingkat. Pada bubungan atap diberi hiasan dua ekor naga yang mengapit cu(mustika). Kerangka atap terdiri dari kayu-kayu yang dipenuhi oleh ukir-ukiran dengan motif sulur-suluran, daun, dan bunga.
Di ruang suci utama terdapat altar untuk arca Hian Tan Kong yang digambarkan berukuran terbesar dibandingkan dengan arca lainnya. Ia digambaarkan duduk di atas singgasana dan berpakaian perang, pada bagian tengahnya terdapat relung tempat altar bagi Ho Tjan Kong (Po Te Kong Macan). Relung sebelah barat untuk arca Hok Tek Ceng Sin yang digambarkan dalam sikap duduk, wajah berjanggut, berpakaian jubah warna keemasan di sebelah kanan kirinya terdapat arca pendamping.
Bangunan Qin Im (Kwan Im Tong) menghadap ke utara, terletak di sebelah barat dari bangunan utama, mempunyai teras yang lantainya menyambung dengan teras bangunan utama, dengan atap bangunan yang berbentuk jurai. Teras ditopang oleh empat tiang yang letaknya berjajar, dua tiang yang letaknya di tengah mempunyai hiasan berupa burung merak tiga dimensi. Di ruang suci terdapat meja terbuat dari semen yang digunakan sebagai meja persajian. Di depan meja persajian terdapat altar berupa sebuah joli besar bagi Dewi Kwan Im. Joli berbentuk pagoda terdiri dari tiga bagian kaki, badan, dan atap. Kaki altar terbuat dari semen dengan denah segi delapan, yang dihiasi dengan lukisan relief berupa bunga teratai, keranjang, pedang, suling, kipas, dan labu. Di bagian sudut-sudut segi delapan terdapat hiasan bunga padma. Arca Kwan Im terbesar terletak pada bidang yang mengarah ke utara digambarkan berpakaian putih.
Tahun pendirian klenteng Hian Tan Kong sampai saat ini tidak diketahui dengan pasti, namun Lombard (2003: 34) menyebutkan klenteng ini berasal dari abad ke-18. Lombard juga mengatakan (2003: 40) bahwa klenteng Hian Tan Kong berciri Taois dan berciri khas Jawa mengingat adanya tempat pemujaan makam sakti atau keramat pada klenteng tersebut. Adanya ciri khas Jawa pada klenteng Hian Tan Kong menggambarkan taraf pembauran tertentu antara kultus pendatang Tionghoa dengan kepercayaan kaum pribumi. Pemuja pribumi dan orang Tionghoa peranakan kadang-kadang terlihat berziarah bersama di klenteng ini.
Secara arsitektural, klenteng Hian Tan Kong memiliki keindahan bentuk sebagai salah satu hasil karya arsitektural gaya Cina. Mengenai arsitektur klenteng, secara umum watak arsitektur klenteng tetap saja sama. Walaupun latar belakang konseptualnya berubah, tetapi konstruksi bangunan dengan struktur balok dan tiang, bentuk atap miring yang ujungnya melengkung ke atas, pemakaian warna dan pola motif hiasan bertahan hingga sekarang.
Sebagaimana umumnya klenteng di Asia Tenggara, yang kebanyakan menganut corak Cina Selatan, klenteng Hian Tan Kong dalam strukturnya juga memakai system rangka kayu, dibantu dengan batu bata sebagai penguat bagian samping. Sistem penahan bingkai segitiga (bracket) yang dalam bahasa mandarin disebut Dou Gong, digunakan untuk menahan kasau-kasau bagian atap depan seperti umumnya klenteng-klenteng yang ada. Sistem perangkaan kayu ini merupakan corak khas konstruksi gaya Cina yang pada jaman dahulu dipakai pada istana-istana (Gan, 1986: 80).
Salah satu bentuk religi yang berkaitan dengan nenek moyang dalam suatu kepercayaan adalah unsur totemisme. Paham totemisme ini biasa didefinisikan sebagai bentuk religi yang ada dalam masyarakat atau kelompok-kelompok kekerabatan unilineal yang mempunyai kepercayaan bahwa mereka masing-masing berasal dari dewa-dewa nenek moyang tertentu. Ikatan tersebut dianggap mempererat kesatuan dalam kelompok masing-masing dengan menggunakan totem-totemnya sendiri. Totem sendiri dapat diartikan sebagai lambang berupa jenis binatang, tumbuhan, gejala alam atau benda-benda lainnya yang diakui sebagai dewa-dewa nenek moyang suatu kelompok unilineal. Lambang-lambang itu merupakan unsur-unsur penting dalam upacara- upacara totemisme.
Totemisme sebagai pemujaan terhadap segolongan objek materi, biasanya binatang atau tumbuhan, yang karena tahayul dipandang dengan hormat. Objek-objek tersebut dipercaya memiliki hubungan sangat intim dan khusus dengan pemujanya. (Fraser,1990:8).Totemisme sebagai kebiasaan sekelompok manusia untuk menambahkan nama suatu binatang di belakang namanya sendiri karena anggapan akan adanya unsur kesamaan di antara mereka dan binatang tersebut. Selanjutnya mereka yang pertama menggunakan nama binatang itu dipuja sebagai leluhur, dan binatang yang dimaksud ikut pula dipuja (Spencer,1991:23).
Dilihat dari batasan-batasan tersebut, tampak bahwa totemisme juga berakar dari konsepsi pemujaan nenek moyang pada umumnya. Mengingat pemujaan ke nenek moyang sudah sangat meresap dalam jiwa manusia, maka konsepsi ini terbawa hingga masa kini. Hal ini masih terlihat pada sistem kepercayaan etnik Cina. Meskipun kelompok etnik Cina telah mengenal dan mengabut berbagai konsepsi keagamaan Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen, namun seringkali mereka tetap melakukan aktivitas pemujaan terhadap leluhurnya di tempat tertentu, terutama klenteng.
Dalam kepercayaan Cina terdapat tiga unsur yang dianggap merupakan konsep asli, yaitu: pemujaan alam (lingkungan fisik), pemujaan leluhur (alam kemanusiaan), dan pemujaan langit (alam ketuhanan). Selain itu juga ditemukan pula adanya unsur totemisme. Bukti tentang totem dapat ditemukan dari motif hiasan yang ada di klenteng-klenteng Cina. Motif hiasan yang dimaksud antara lain berupa binatang dan tumbuhan tertentu yang mempunyai makna simbolik dan berkaitan dengan nenek moyang. Motif hiasan yang mengandung unsur totem ada juga di klenteng-klenteng Cina di Bogor. Meskipun kadang-kadang penggambaran totem tersebut berbeda, atau bahkan tidak jarang motif hiasan yang ada pada suatu klenteng tidak dijumpai pada klenteng yang lainnya, tetapi pada prinsipnya klenteng-klenteng tersebut menganut konsep yang sama.
Data lain adanya unsur totemisme pada kelompok etnik Cina dapat dilihat pada tempat ibadah kelompok etnik Cina. Masalah pokok yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah unsur-unsur totemisme apa saja yang ada pada motif hiasan klenteng Hian Tan Kong di Bogor. Adapun tujuannya untuk memberikan gambaran atau deskripsi unsur totemisme sebagai unsur asli etnik Cina. Metode yang dipakai adalah metode deskriptif, yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang suatu fakta atau gejala yang diperoleh sedangkan metode penalaran yang dipakai, yaitu penalaran induktif. Prosedur penalaran induktif dimulai dengan pencarian data, analisis data, sintesis dan intepretasi, kemudian ditarik kesimpulan (Mundarjito, 1986:198).
Gambaran Klenteng Hian Tan Kong
Klenteng Hian Tan Kong berlokasi di Kampung Pasar Lama, yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan Cileungsi, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Lingkungan klenteng berbatasan dengan pemukiman penduduk di sebelah timur dan utara, dan perkebunan penduduk di barat dan selatan. Dilihat dari letak geografisnya, klenteng Hian Tan Kong berada pada 106 57’ 314” BT dan 06 23’ 648” LS.
Luas tanah kompleks Klenteng Hian Tan Kong kurang lebih 3000 m persegi yang di dalamnya terdapat lima bangunan besar yang letaknya terpisah yaitu: bangunan utama, bangunan Kwan Im Tong, Vihara Metta Dharma, Keraton Mbah Mega Mendung, dan Keraton Aki Jenggot. Arah hadap klenteng Hian Tan Kong menghadap ke utara. Kompleks klenteng dikelilingi pagar besi dengan gerbang utama terletak di sebelah utara. Pintu gerbang utama berupa pintu paduraksa terdiri dari tiga lubang pintu sebagai pintu masuknya yang masing-masing diberi atap. Pintu masuk di bagian tengah lebih tinggi berbentuk atap pelana dan pada bubungan atapnya diberi hiasan stupa serta memakai bahan genteng. Adapun pintu masuk di bagian kiri dan kanan atapnya lebih rendah, pada bubungan atap diberi hiasan stupa.
Koridor berdenah persegi panjang ditopang oleh empat tiang dengan tinggi 2,5 m yang dicat warna hijau. Keempat tiang dihiasi dengan hiasan naga yang melilit tiang dengan posisi muka, naga di bagian selatan saling berhadapan, sedangkan dua naga di bagian utara menghadap ke utara. Naga digambarkan dengan mulut menganga, lidah terjulur, dua kaki depan mencengkeram ke udara sedangkan dua kaki belakang mencengkeram tiang.
Dari teras menuju ruang suci utama melalui sebuah pintu yang terletak di tengah antara dua buah jendela yang berhiaskan motif hiasan lambing yin-yang. Pintu masuk utama mempunyai dua daun pintu terbuat dari kayu yang diukir dengan lukisan relief berupa dewa penjaga pintu (mui-sin atau mensen) yang digambarkan memakai pakaian perang.
Atap bangunan ruang suci utama berbentuk pelana yang bila dilihat dari luar terlihat seakan-akan bangunan ruang suci utama bertingkat. Hal ini dikarenakan atap ada balkon di bagian bawah atap sehingga bagian atap terkesan tinggi dan bertingkat. Pada bubungan atap diberi hiasan dua ekor naga yang mengapit cu(mustika). Kerangka atap terdiri dari kayu-kayu yang dipenuhi oleh ukir-ukiran dengan motif sulur-suluran, daun, dan bunga.
Di ruang suci utama terdapat altar untuk arca Hian Tan Kong yang digambarkan berukuran terbesar dibandingkan dengan arca lainnya. Ia digambaarkan duduk di atas singgasana dan berpakaian perang, pada bagian tengahnya terdapat relung tempat altar bagi Ho Tjan Kong (Po Te Kong Macan). Relung sebelah barat untuk arca Hok Tek Ceng Sin yang digambarkan dalam sikap duduk, wajah berjanggut, berpakaian jubah warna keemasan di sebelah kanan kirinya terdapat arca pendamping.
Bangunan Qin Im (Kwan Im Tong) menghadap ke utara, terletak di sebelah barat dari bangunan utama, mempunyai teras yang lantainya menyambung dengan teras bangunan utama, dengan atap bangunan yang berbentuk jurai. Teras ditopang oleh empat tiang yang letaknya berjajar, dua tiang yang letaknya di tengah mempunyai hiasan berupa burung merak tiga dimensi. Di ruang suci terdapat meja terbuat dari semen yang digunakan sebagai meja persajian. Di depan meja persajian terdapat altar berupa sebuah joli besar bagi Dewi Kwan Im. Joli berbentuk pagoda terdiri dari tiga bagian kaki, badan, dan atap. Kaki altar terbuat dari semen dengan denah segi delapan, yang dihiasi dengan lukisan relief berupa bunga teratai, keranjang, pedang, suling, kipas, dan labu. Di bagian sudut-sudut segi delapan terdapat hiasan bunga padma. Arca Kwan Im terbesar terletak pada bidang yang mengarah ke utara digambarkan berpakaian putih.
Tahun pendirian klenteng Hian Tan Kong sampai saat ini tidak diketahui dengan pasti, namun Lombard (2003: 34) menyebutkan klenteng ini berasal dari abad ke-18. Lombard juga mengatakan (2003: 40) bahwa klenteng Hian Tan Kong berciri Taois dan berciri khas Jawa mengingat adanya tempat pemujaan makam sakti atau keramat pada klenteng tersebut. Adanya ciri khas Jawa pada klenteng Hian Tan Kong menggambarkan taraf pembauran tertentu antara kultus pendatang Tionghoa dengan kepercayaan kaum pribumi. Pemuja pribumi dan orang Tionghoa peranakan kadang-kadang terlihat berziarah bersama di klenteng ini.
Secara arsitektural, klenteng Hian Tan Kong memiliki keindahan bentuk sebagai salah satu hasil karya arsitektural gaya Cina. Mengenai arsitektur klenteng, secara umum watak arsitektur klenteng tetap saja sama. Walaupun latar belakang konseptualnya berubah, tetapi konstruksi bangunan dengan struktur balok dan tiang, bentuk atap miring yang ujungnya melengkung ke atas, pemakaian warna dan pola motif hiasan bertahan hingga sekarang.
Sebagaimana umumnya klenteng di Asia Tenggara, yang kebanyakan menganut corak Cina Selatan, klenteng Hian Tan Kong dalam strukturnya juga memakai system rangka kayu, dibantu dengan batu bata sebagai penguat bagian samping. Sistem penahan bingkai segitiga (bracket) yang dalam bahasa mandarin disebut Dou Gong, digunakan untuk menahan kasau-kasau bagian atap depan seperti umumnya klenteng-klenteng yang ada. Sistem perangkaan kayu ini merupakan corak khas konstruksi gaya Cina yang pada jaman dahulu dipakai pada istana-istana (Gan, 1986: 80).
Secara arsitektur dan ornamental, klenteng Hian Tan Kong adalah klenteng yang mempunyai arsitek dan ornamen yang indah. Dari dekorasi dan ornament-ornamen yang ada, terlihat adanya hubungan yang erat antara para umatnya dengan kepercayaan yang dianut. Hiasan-hiasan itu mengandung lambang dan makna simbolik dalam bentuk lukisan atau pahatan, dengan motif tumbuhan, binatang mitologi atau dewa-dewi yang secara tradisional dianggap dapat membawa pertanda baik dan mendatangkan berkah.
Ragam Hias Kelenteng Hian Tan Kong Dalam Totemisme Cina
Ragam hias yang ada pada bangunan klenteng Hian Tan Kong dibagi dalam tiga kelompok motif yang meliputi motif hiasan tumbuh-tumbuhan, motif hiasan binatang, motif hiasan lain-lain. Untuk identifikasi masing-masing motif dan bentuk dalam pembahasan ini membandingkan dengan ragam hias Cina yang sudah ada selain itu informasi nara sumber dari pengurus klenteng.
Hiasan Motif Tumbuh-tumbuhan
- Hiasan Motif Pohon Bambu
Pohon bambu yang nama ilmiahnya giganthozoa dalam seni hias Cina sering muncul pada hiasan-hiasan keramik atau dalam seni hias lainnya. Ciri-ciri motif pohon bambu dalam hal ini antara lain, tumbuh pada karang daunnya lancip lonjong dan bergerombol, buku-bukunya pendek sehingga secara keseluruhan seperti bonsai. Motif pohon bambu keberadaanya sebagai pegangan seorang yang berpakaian sastrawan.
Pohon bambu adalah pohon yang tahan terhadap serangan air dan angin juga merupakan tanaman yang tahan dalam segala musim tanpa mengalami kering dan rontok daunnya tetap hijau sepanjang tahun. Oleh karena itulah maka pohon bambu melambangkan keuletan, kesucian, dan keabadian (Marcus, 2003:89).
- Hiasan Motif Teratai Merah
Teratai merah bahasa ilmiahnya disebut Nelumbium nelumbosering juga disebut bunga Padma. Ciri-cirinya daun lebar terkesan ditiup angin bergelombang dan menjulang ke atas tumbuh dari air daun bunganya sebagaian mekar dan sebagian masih terkatup dan lancip tanpa batang kayu atau ranting. Motif hiasan bunga teratai merah juga digambarkan dalam bentuk tiga dimensi.
Teratai dalam seni hias Cina melambangkan kesucian dan kesempurnaan. Karena teratai tumbuh bersih dan menarik meskipun tumbuh dalam lumpur atau rawa-rawa (Spencer, 1960: 294).
Setelah agama Buddha masuk ke Cina, teratai merah berarti juga ‘Buddha mengenal manusia’, yaitu tentang pemikiran, perasaan, pengutaraan, kebijaksanaan, dan kesadaran.
- Hiasan Motif Bunga Krisan
Seperti motif bunga botan motif ini juga sangat popular pada seni hias Cina. Cirri-ciri bunga krisan antara lain daunnya kecil berujung lancip dan kelihatan jelas garis tengahnya, batangnya keras tumbuh pada karang. Daun bunganya bergelombang dua dan sebagian mekar. Biasanya digambarkan bersama motif karang dan motif burung.
Bunga krisan adalah pohon yang berbunga pada musim gugur. Pada waktu bunga mekar daunnya terlihat. Jadi motif hiasan ini melambangkan musim gugur. Warna putih atau terang yang berarti sifat yang selain itu motif hiasan bunga krisan melambangkan keabadian. Hal ini berhubungan dengan para pertapa di gunung hidup dari ramuan bunga krisan (Marcus, 2003:255).
- Hiasan Motif Labu Air
Labu air termasuk suku Lagneria siceraria, labu air ini sering disebut labu kendi atau Kukur rusbi dalam bahasa Cina sering disebut Ku Chan To. Cirri-cirinya bentuknya seperti gitar akan tetapi silinder dagingnya lunak kulitnya keras apabila dikeringkan sehingga sering digunakan sebagai tempat air. Pada motif ini tengahnya yang cekung sering diikat dengan tali atau kadang-kadang selendang yang berguna untuk membawannya. Pada hiasan motif ini digambarkan dengan motif vas bunga dan motif daun ai-yeh.
Motif labu air (labu) merupakan atribut dewa Li The Guai dan Dewa Show Low. Kendi labu merupakan tempat air tuak atau air amerta. Tuak dapat digunakan sebagai tuak sarana untuk samadi. Jadi motif labu air sebagai lambang ketenangan dan keabadian atau wu wei (Marcus,2003:236).
- Hiasan Motif Pohon Perdu
Motif pohon ini biasa dilukiskan pada keramik Cina demikian juga pada lukisan-lukisan Cina lainnya terutama lukisan pemandangan. Ciri-ciri motif pohon perdu antara lain: batangnya berkelok-kelok seperti bonsai daunnya bergerombol-gerombol tumbuh di atas karang.
Motif pohon perdu dapat disamakan dengan pohon hayat yang merupakan tempat untuk terkabulnya suatu doa. Hal yang demikian karena orang Cina percaya bahwa tumbuhan tersebut termasuk salah satu fenomena yang didiami oleh ch’i selain tanah, air dan gunung. Jadi pohon hayat merupakan sumber dari segala sumber hidup dan melambangkan dunia atas (Setiawan,1982:64).
- Hiasan Motif Daun Ai Yeh
Dalam seni hias Cina motif daun Ai yeh ini banyak dijumpai pada klenteng-klenteng, jarang diketemukan pada seni hias seperti keramik atau lukisan-lukisan Cina . Ciri-ciri motif daun Ai yeh antara lain daunnya lebar memanjang pada pucuk daun terbelah dua dan tengahnya terdapat lingkaran menyerupai bulu merak kadang-kadang daunnya bergerigi biasanya yang demikian ini dipadukan dengan motif kebutan lalat sedangkan yang bergerigi dipadukan dengan motif kendi.
Dalam mitologi Cina motif daun Ai yeh adalah daun yang dipercaya dapat menyembuhkan segala macam penyakit. Motif ini selalu dibawa oleh qilin yang membawa berkah. Jadi daun Ai yeh merupakan lambang kesehatan dan kebahagiaan (Setiawan,1982:76).
- Hiasan Motif Sulur-suluran
Motif sulur-suluran banyak sekali didapatkan pada seni hias Cina seperti di keramik maupun lukisan pada klenteng, motif ini biasa digunakan sebagai hiasan garis tepi. Ciri-ciri motif sulur-suluran antara lain: digambarkan sebagai pohon yang menjalar daunnya bercabang tiga menjalar seperti angka enam dan sembilan silih berganti.
Sulur-suluran adalah pohon yang menjalar. Pohon menjalar disamakan dengan ular yang merayap. Ular dapat berganti kulit setiap ia tua, sehingga dipercaya dapat hidup abadi. Oleh karena itu motif sulur-suluran dapat dihubungkan dengan lambang keabadian (Gan,1986:65).
Hiasan Motif Binatang
- Hiasan Motif Rusa
Motif Rusa sangat popular dalam seni hias Cina terutama pada keramik-keramik dan klenteng . Motif ini juga ditemukan dalam seni hias Jawa maupun Madura misalnya terdapat pada gunongan di Madura. Rusa digambarkan sedang berlari dan menengok ke belakang, ada juga rusa digambarkan sedang menggigit daun bambu dan berusaha untuk menariknya. Kesamaan masing-masing rusa bertanduk dan kelihatan energik.
Rusa menurut mitologi Cina adalah binatang surga. Di surga rusa dianggap sebagai kendaraan penghubung antara alam baqa dan alam nyata dalam tugasnya mengantar roh. Rusa selalu dikendarai oleh Dewa Show Low. Jadi motif rusa melambangkan dunia atas dan kematian atau keabadian (Ong,1996:214).
- Hiasan Motif Naga
Motif Naga biasa dijumpai pada seni hias di Tiongkok, baik pada peninggalan arsitektural maupun pada porselin ataupun lukisan-lukisan. Ciri-ciri motif naga Cina adalah mempunyai moncong yang bergerigi tajam, kadang-kadang menyemburkan api, berkumis panjang dan jarang mempunyai tanduk yang bercabang seperti menjangan, berambut panjang seperti rambut kuda, badan panjang bersisik, bersirip atas dan mempunyai kaki seperti cakar elang dan ekor seperti burung merak atau bola api.
Naga dalam mitologi Cina merupakan binatang yang nafasnya merupakan angin, suaranya dianggap halilintar dan dapat menciptakan hujan. Karena keaktifannya di langit maka kehadirannya dianggap Dewa Langit. Oleh karena itu di klenteng-klenteng motif naga disembah sebagai Dewa Langit (Ong, 1996: 70).
- Hiasan Motif Macan
Motif ini banyak dijumpai pada klenteng-klenteng sebagai Dewa Bumi. Pada klenteng motif ini sering dijumpai pada lorong pertama di bawah arca Hok Tek Ceng Sin. Ciri-ciri motif ini adalah wajah seperti singa akan tetapi tidak mempunyai bulu yang lebat, sekujur tubuhnya berloreng-loreng, ekor tidak berambut
Macan binatang yang memakan ikan di sungai, selain itu macan adalah kendaraan Dewa Bumi. Oleh karena itu pada klenteng-klenteng macan disembah sebagai penjelmaan Dewa Bumi. Dalam lambang Hong Shui gambar macan dianggap sebagai yin dan naga sebagai yang. Dengan demikian motif macan dapat dihubungkan dengan unsur yin (Ong, 1996:107).
- Hiasan Motif Burung Merak
Motif burung merak sering muncul pada seni hias Cina. Di Jawa motif merak sangat popular terutama pada seni batik daerah pesisiran seperti Cirebon, Pekalongan, dan Lasem. Motif burung merak digambarkan seperti burung phoeniks ekor dan jenggernya lebih pendek dan teratur, jengger hanya berupa jambul, ekor tanpa gelombang. Burung merak digambarkan sepasang seperti burung phoeniks dan berlatar belakang bunga krisan.
Burung merak apabila memekarkan ekornya akan membentuk setengah lingkaran yang berwarna-warni. Setengah lingkaran tersebut melambangkan matahari yang baru muncul ataupun yang akan tenggelam. Matahari yang timbul-tenggelam dapat diartikan dengan siklus kehidupan, kelahiran, dan kematian manusia. Selain itu matahari melambangkan unsur yang atau dunia atas (Ong, 1996:277).
- Hiasan Motif Qilin
Motif ini sangat popular pada seni hias Cina terutama pada tempat-tempat sakral. Motif Qilin biasanya dibuat dalam bentuk arca akan tetapi ada pula yang dilukiskan atau dipahatkan. Pengaruhnya pada seni hias di Jawapun sangat terasa terutama pada seni batik di Lasem, Pekalongan dan Cirebon demikian juga pada seni ukir kayu di Jepara.
Ciri-ciri motif Qilin antara lain berbadan anjing dan berkepala singa, telinganya panjang seperti kuda menginjak dunia yin-yang. Mutiara terdapat pada mulut dan kening. Atribut yang lain yaitu daun Ai yeh pada salah satu kakinya, bunga botan pada dada tengah atau antara dua kaki depan dalam posisi jongkok. PadaQilin yang berbentuk arca biasanya dibuat secara berpasangan sebelah kanan membawa pedang dan sebelah kiri membawa Qilin kecil atau dragon fish.
Qilin adalah binatang dalam mitologi Cina yang terdiri dari kata Chidan Lin. Chi berarti jantan dan Lin berarti betina. Oleh karena ituchi-lin merupakan binatang yang berkelamin ganda. Dengan demikian motif Chi-lin merupakan persatuan antara yin dan yang yang berarti kesempurnaan. Kedatangan Qilin selalu dianggap membawa berkah kesehatan, keselamatan dan keamanan. Ini dilambangkan dengan atribut yang dibawanya. Atribut tersebut adalah daun Ai yeh dan pedang (Ong, 1996:233).
Kelompok Hiasan Motif lain-lain
- Motif Bola Yin-yang
Motif bola dunia adalah suatu benda yang berbentuk bulat yang terdapat motif garis di tengah sehingga membelah benda tersebut menjadi dua bagian atas dan bawah dan masing-masing terdapat lubang yang sejajar, motif ini keberadaannya sebagai atribut motif singa. Motif bola dunia terdapat pada teras, yang terletak pada kaki kiri singa.
Bola yin-yang sering dijumpai di klenteng dan tempat sesembahan. Bola yin-yang digunakan untuk mengundi ramalan nasib. Motif ini terdiri dari dua setangkup, masing-masing setengah lingkaran. Cara mengundinya dengan menangkupkan kemudian melemparkan dan melihat hasilnya terbuka atau tertutup. Benda ini disebut bola yin-yang karena kedua kutubnya melambangkan yin dan yang. Menurut dasar berpikir orang Cina, seluruh fenomena alam itu dapat dibagi menjadi dua klasifikasi yaitu yang dan yin. Yang melambangkan prinsip dasar untuk laki-laki, matahari, arah selatan, panasnya cahaya, dan lain sebagainya yang termasuk keaktifan. Sedangkan Yin adalah suatu prinsip seperti wanita, bulan, arah utara, dingin, gelap (malam) dan segala sesuatu yang bersifat pasif (Fung, 1990:20).
- Motif Awan
Motif awan sangat popular pada seni hias Cina. Seperti motif air dan karang merupakan ciri khas motif Cina yang bercorak pemandangan.Ketiganya sering muncul pada lukisan dan ukiran baik pada keramik maupun pada klenteng. Motif ini di Jawa terkenal dengan motif Mega Mendung dan motif karang terkenal dengan Wadas Cino yang sering muncul pada seni batik Cirebonan.
Awan dalam mitologi Cina selalu dihubungkan dengan dunia kayangan atau dunianya para Dewa. Kayangan digambarkan sebuah pulau karang yang dikelilingi awan-awan. Jadi awan adalah lambang dunia atas atau unsur Yang.
Motif awan digambarkan dengan garis-garis yang berani dan membentuk pusaran-pusaran yang bergelombang sehingga berkesan seperti awan yang bergulung-gulung. Motif digambarkan bersama motif seorang tokoh yang sedang naik binatang dan tokoh yang berperang (Gan,1986:22).
- Motif Mutiara
Motif mutiara sering dijumpai pada seni hias Cina. Motif ini sering dijumpai pada motif burung Hong, burung Feng Huang, Naga, danQilin sebagai atributnya, sehingga motif mutiara sama populernya dengan motif-motif yang memakainya.
Motif mutiara sering digambarkan sebagai bulatan yang mulus tanapa goresan, pada seni ukir atau seni lukis digambarkan sebagai bola api atau bulatan yang diberi tanda berpijar, sebagai atribut biasanya terletak di depan atau di dalam mulut atau patuk binatang yang memakainya.
Mutiara apabila berada pada tempat yang gelap ia akan bercahaya seperti matahari. Dalam hal ini mutiara bersifat Yang, akan tetapi walaupun bercahaya tetap dingin yang berarti unsurYin. Jadi mutiara mempunyai dua unsur Yin dan Yang yang berarti melambangkan kesempurnaan (Fung, 1990:23).
- Motif Payung
Payung banyak dijumpai pada klenteng-klenteng yaitu pada tempat senjata. Payung digunakan untuk memayungi senjata atau tokoh yang dikultuskan. Payung ini sampai sekarang masih digunakan.
Payung mempunyai ciri-ciri sebagai berikut bentuknya seperti payung biasa akan tetapi ditutupi kain yang berjuntai ke bawah kadang-kadang kain berjuntai ini dapat berlapis tiga atau empat lapis, pegangannya berupa tongkat yang panjang.
Payung dalam kebudayaan Cina melambangkan kekuasaan, karena payung selalu digunakan untuk para bangsawan. Dalam mitologi Cina yaitu See ju, payung selalu digunakan pendeta Buddha Tom Sam Cong pergi ke dunia barat untuk mengambil kitab agama Buddha . selain itu payung juga berjasa untuk memayungi kitab-kitab agama Buddha agar tidak rusak. Payung silinder dikultuskan di klenteng-klenteng untuk memayungi senjata pusaka dan tokoh sesembahan yang dikultuskan. Dengan demikian motif payung dapat dihubungkan dengan kekuasaan dan kemuliaan (Setiawan, 1982:47).
- Motif Kaisar
Motif kaisar sering dijumpai pada pintu-pintu rumah maupun klenteng-klenteng, kadang-kadang hanya digambarkan sebagai huruf Cina yang dituliskan pada sehelai kertas merah berartiChiang Tze Ya ada di tempat tersebut.
Ciri-ciri motif kaisar antara lain seperti dewa yaitu memkai topi seperti topi perang memakai pakaian perang lengkap dengan atributnya kadang-kadang berlukiskan seekor Naga, digambarkan dalam posisi berdiri.
Motif kaisar merupakan lambang kekuatan dan kekuasaan kaisar yang memerintahnya. Jadi lambang kaisar melambangkan kekuasaan dan kekuatan (Marcus, 2003:94).
Penutup
Motif hiasan dengan penggambaran binatang dan tumbuh-tumbuhan tertentu dan dewa-dewa nenek moyang, selain mengandung makna simbolik, juga dianggap sebagai totem. Unsur-unsur totem tersebut dapat dilihat di klenteng Hian Tan Kong yang berlokasi di Cileungsi Kabupaten Bogor.
Pada klenteng Hian Tan Kong, motif hiasan yang bermakna totemisme antara lain digambarkan dalam wujud binatang seperti Naga, Qilin, burung merak, macan, dan rusa. Selain mengandung makna simbolik gambar tersebut juga mengandung unsur totem. Dengan menggunakan lambang-lambang binatang tersebut masyarakat etnik Cina mengharapkan, agar kekuatan dan segala sifat baik yang ada pada binatang totem tersebut, dapat berpindah dan dimanfaatkan untuk kepentingan mereka.
Unsur-unsur totem yang berupa tumbuh-tumbuhan juga digambarkan pada motif hiasan di klenteng Hian Tan Kong, antara lain berupa bunga teratai, bunga krisan, pohon bambu. Karena sifatnya tumbuh-tumbuhan tersebut dianggap sebagai lambang-lambang yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengan kelompok etnik Cina yaitu mempunyai kekuatan alami antara lain tahan terhadap berbagai perubahan cuaca atau iklim. Sementara itu bambu bagi sekelompok suku di Cina fianggap sebagai asal mula nenek moyang mereka.
Selain hiasan yang berupa binatang dan tumbuh-tumbuhan, terdapat juga lukisan dewa pintu, dianggap sebagai dewa-dewa nenek moyang. Dengan adanya paham totemisme tersebut, maka lukisan dewa-dewa nenek moyang diyakini dapat menolak roh- roh jahat. Dengan demikian, totemisme sebagai bentuk kepercayaan yang paling elementer, ternyata ditemukan juga pada kelompok etnik Cina. Unsur ini diwujudkan baik pada bentuk hiasan pada klenteng maupun dalam ritus-ritus pemujaan nenek moyang. Kedua perwujudan unsur totemisme tersebut ternyata masih besar peranannya dalam kehidupan sosial budaya etnik Cina hingga sekarang.
Daftar Pustaka
Fraser, J.G. 1990. Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esai Tentang Manusia. Diterjemahkan oleh Alois A. Nugroho. Jakarta: PT Gramedia.
Fung Yu Lang. 1990. Sejarah Ringkas Filsafat Cina (Sejak Confusius sampai Han Fei Tzu). Yogyakarta: Liberty.
Gan Kok Hwie. 1986. Buku Peringatan 240 Tahun (1746 - 1986) Klenteng Tay Kak Sie. Semarang: Klenteng Tay Kak Sie.
Lombard D. dan Salmon C.J. 2003. Klenteng-klenteng dan Masyarakat Tionghoa di Jakarta. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka.
Marcus, A. S. 2003. Hari-hari Raya Tionghoa., Jakarta : Marvin.
Mundardjito. 1986. “Metode Induktif-Deduktif dalam Penelitian Arkeologi di Indonesia”. Makalah pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV, hlm. 197 – 203. Jakarta: Proyek Penelitian Purbakala.
Ong Hean- Tatt. 1997. Simbolisme Hewan Cina. Jakarta: Kessaint Blanc.
Setiawan et.al. 1982. Mengenal Klenteng Sam Poo Kong Gedung Batu Semarang. Semarang: Yayasan Klenteng Sam Poo Kong Gedung Batu.
Spencer, H. 1991. Pictorial History of Phylosophy. Tennessee: Kingsport Press. Inc.
Catatan:
Tulisan ini diterbitkan di buku berjudul “Widyasaparuna”, hlm. 90 – 101. Editor Prof. Dr. Timbul Haryono. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komda Jawa Barat – Banten, 2007.