Struktur “Kota” Kuna Gunung Terang, Tulangbawang, Lampung

Oleh : Nanang Saptono

Pendahuluan
Kondisi geografis kawasan Tulangbawang, Lampung merupakan daerah pedataran rendah sedikit bergelombang. Di antara bukit-bukit kecil dan pedataran, banyak terdapat rawa (bawang). Rawa yang ada kebanyakan merupakan suatu sistem rangkaian yang dihubungkan sungai-sungai kecil (muara) kemudian menyatu dengan sungai besar (way). Sungai besar utama yang menjadi induk tersebut adalah Way Tulang Bawang. Sungai ini merupakan persatuan antara Way Kanan dan Way Kiri yang menyatu di daerah Pagardewa. Baik pada aliran Way Kanan maupun Way Kiri banyak dijumpai situs-situs pemukiman. Situs pemukiman ini ada yang sudah ditinggalkan, ada pula yang terus berlanjut hingga saat sekarang. Pada aliran Way Kanan terdapat situs Batu Putih yang berada di tepi sebelah selatan, pada posisi 424’03” LS dan 10504’ BT (berdasarkan peta topografi lembar 30 daerah Gedongratu). Lokasi ini telah ditinggalkan. Menurut tradisi lisan masyarakat, situs Batu Putih merupakan lokasi pemukiman sebelum pindah ke Gunung Terang (Saptono, 2000: 20). Kampung Gunung Terang berada di sebelah timur dan utara aliran sungai. Dalam tradisi lisan, lokasi Kampung Gunung Terang sebelumnya merupakan perkampungan orang Melayu.

Masyarakat Tulangbawang pada umumnya menyebut lokasi tinggalnya dengan istilah tiyuh atau kampung. Kampung dapat mengalami pemekaran. Anggota masyarakat suatu kampung diperbolehkan membuka hutan untuk tanah garapan. Tanah garapan ini disebut umbulan. Apabila umbulan tersebut cocok untuk lokasi tinggal dan memenuhi berbagai persyaratan adat, maka dapat berkembang menjadi kampung. Sebelum menjadi kampung, umbulan menginduk pada kampung asalnya.

Konsep tiyuh pada masyarakat Tulangbawang dapat disamakan dengan konsep wanua pada masyarakat Austronesia pada umumnya. Wanua, Banua, atau Nua bagi masyarakat Kayuagung, Komering, dan Lampung merujuk pada permukiman masyarakat desa dengan status sosial, politik, dan ekonomi yang otonom (Wiryomartono, 1995: 17). Wanua pada masyarakat Jawa Kuna juga merujuk pada permukiman masyarakat setingkat desa yang dipimpin oleh Rama (Sumadio, 1990: 190). Masyarakat penghuni tiyuh biasanya merupakan satu keluarga besar (kebuayan) yang membentuk marga. Masyarakat Gunung Terang membentuk marga Suay Umpu Ilir. Kesatuan marga dipimpin oleh pesirah marga dengan didampingi para penyimbang adat. Struktur organisasi tersebut memperlihatkan sudah ada konsep kepemimpinan. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa tiyuh sebagai wilayah untuk bertempat tinggal akan memuat masyarakat yang jenjang sosial dan pola kegiatannya berragam.

Kondisi masyarakat seperti ini menunjukkan tingkat peradaban. Menurut Gordon Childe evolusi peradaban manusia dapat dibagi dalam tiga tahap yaitu savagery, barbarism, dan civilization. Tahap savagery dianggap sebagaimana masa berburu dan mengumpulkan makanan. Masyarakat hidup secara berpindah-pindah (nomad) bermukim secara sementara pada gua-gua atau tempat tinggal sederhana. Pada masa ini belum dikenal adanya hukum dan tata pemerintahan. Tahap barbarism merupakan masyarakat bercocok tanam yang sudah mengenal hukum dan tata pemerintahan secara sederhana dalam kelompok yang terbatas dan tertutup. Bermukim secara semi menetap tergantung sumberdaya alam yang tersedia. Sedangkan pada tahap civilization adalah suatu masyarakat agrikultur dan industri. Kelompok masyarakat ini sudah mengenal tata pemerintahan dan hukum yang telah teratur. Bermukim secara menetap pada suatu lokasi (Childe, 1979: 12-14). Secara fisik, tingkat peradaban manusia sejalan dengan tingkat pemukimannya. Bentuk pemukiman yang sudah maju berupa kawasan di mana sudah dilengkapi bangunan-bangunan baik bersifat pribadi maupun fasilitas umum. Bentuk pemukiman yang dianggap paling maju berupa kota.

Pengertian tentang “kota”, hingga saat ini belum terdapat suatu batasan yang dapat diterapkan secara universal. Di dunia Islam jaman pertengahan elemen kota meliputi masjid, pasar, dan tempat mandi publik. Di Eropa terdiri benteng pertahanan, pasar, dan tempat pengadilan (Rapoport, 1986: 22-23). Pada jaman kejayaan kesultanan Islam di Indonesia, sudah dapat dikatakan “kota” apabila sudah dilengkapi kraton sebagai pusat kekuasaan, masjid sebagai pusat kegiatan ibadah (ritual), dan pasar sebagai pusat kegiatan ekonomi serta kadang-kadang juga taman. Dengan demikian keanekaragaman pengertian kota disebabkan pula karena perkembangan zaman yang mengakibatkan terjadinya perubahan. Pemukiman lama di Kampung Gunung Terang, secara fisik sulit dikatakan sebagai kota. Namun dilihat dari tingkat peradaban masyarakat pendukungnya sudah mencirikan suatu kota. Dengan demikian pemukiman Gunung Terang sudah pantas disebut “kota”.

Cerita Sejarah Lisan
Sumber sejarah Gunung Terang belum ditemukan. Sejarah mengenai leluhur (moyang) Gunung Terang berupa tradisi lisan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Dalam tradisi lisan tersebut diceritakan bahwa masyarakat Gunung Terang sebelum bermukim di Way Kanan, Tulangbawang, mula-mula bermukim di Way Besai, Sekala Berak. Dari daerah ini kemudian pindah ke Batu Putih, Way Kanan. Ketika itu di seberang sungai sebelah hilir terdapat perkampungan orang Melayu. Karena lokasi Batu Putih dinilai tidak tepat lalu mengekspansi kampung Melayu dan pemukiman pindah ke Kampung Melayu. Sejak itu Batu Putih ditinggalkan. Tokoh Melayu yang dikalahkan adalah Melayu Gelang Besi. Tokoh ini dimasukkan ke kotak lalu dihanyutkan di Way Kanan. Kotak itu ditemukan oleh Ruguk Adipati, penguasa Muara Ruguk.

Mengenai tokoh cikal bakal (moyang asal), diceritakan adalah Minak Sekendar Alam. Keturunan Minak Sekendar Alam di antaranya tiga laki-laki yaitu Tuan Riou Terbumi, Minak Patih Seriou Bumi, dan Minak Riou Bumi. Tuan Riou Terbumi dimakamkan di sebelah hilir Moyang Purba, Negeri Besar, menurunkan Suku Tepuk Gabou. Minak Patih Seriou Bumi dimakamkan di Gunung Terang keturunannya disebut Suku Pinggir Way. Minak Riou Bumi dimakamkan di Kurindang, Meriksa menurunkan Suku Tepuk Gedung.

Selain tiga anak laki-laki tersebut Minak Sekendar Alam juga mempunyai tiga anak perempuan. Tiga anak perempuan ini tidak diketahui apakah sebagai ayu (kakak perempuan) atau adik ketiga anak laki-laki itu. Seorang anak perempuan menikah dengan orang Bakung Udik, seorang lagi menikah dengan orang Pulau Tabuhan, Teluk Semangka, dan seorang lagi yang bernama Minak Kemalo menikah dengan Pangiran Menang Jagad, Kampung Negara Batin, Way Kanan.

Ketika Minak Kemalo dipersunting Pangiran Menang Jagad meminta sesan (barang bawaan) yang tidak bisa habis. Permintaan Minak Kemalo ini ditujukan kepada saudara laki-lakinya yaitu Tuan Riou Terbumi, Minak Patih Seriou Bumi, dan Minak Riou Bumi. Minak Kemalo diberi sesan berupa Muara Buluh di Gunung Terang, Muara Menelapai di Batu Putih, rotan hidup, tiku (mendong), dan bejuku (kura-kura).

Pada generasi itu ada juga moyang di antaranya adalah Minak Riou Galih yang diketahui makamnya di Simpang Kenali, Sekala Berak. Minak Riou Galih menikah dengan ayu Minak Jagad menurunkan Suku Galih. Salah satu anak Minak Riou Galih bernama Minak Buay Sugih dimakamkan di Batu Putih, Gunung Terang. Minak Jagad menurunkan Suku Ruang Tengah. Minak Jagad mempunyai saudara bernama Minak Ngegulung dimakamkan di Umbul Lekou, Rantau Tejang (Tiyuh Toho, Menggala). Minak Ngegulung berada di Menggala dalam rangka membantu Minak Sengaji untuk mempertahankan Menggala. Buay Minak Ngegulung yang bermukim di Menggala membentuk Marga Suay Umpu Ilir, sedangkan buay Minak Jagad menyatu dengan buay moyang-moyang Gunung Terang lainnya membentuk Marga Suay Umpu Udik. Saudara Minak Riou Galih yang belum diketahui namanya dipersunting Prajurit Puting Gelang dari Gunung Katun. Keturunan Prajurit Puting Gelang, Suku Tepuk Gabou, bermukim di Kampung Panaragan.

Pada masa Tuan Riou Terbumi dan moyang-moyang lainnya sebagai moyang unsur Gunung Terang dan Gunung Agung mempunyai kebiasaan memasang bubu (alat penangkap ikan) di kuala Way Tulangbawang. Pada suatu saat ketika melewati Kampung Pagardewa sekarang, ada moyang (apakah Tuan Riou Mangkubumi atau Minak Kemala Bumi/Minak Patih Pejurit) yang menunjukkan kesaktian dengan jalan memotong dan membelah bambu tidak dengan golok tetapi dengan tangan saja. Kerabat Tuan Riou Terbumi berkali-kali mengajak menanggapi kesaktian itu. Tuan Riou Terbumi belum bersedia menanggapi ajakan kerabatnya.

Dalam satu riwayat diceritakan Tuan Riou Terbumi bersaudara ketika berada di Pagardewa (Cakat Menaso) mengeluarkan kesaktian di atas perahu yang ditumpangi. Tuan Riou Terbumi berada di depan sedang Minak Patih Seriou Bumi dan Minak Riou Bumi berada di belakang. Minak Riou Bumi lalu berbalik arah ke hilir dan mereka bertiga saling mendayung perahu berlawanan arah. Perahu akhirnya putus menjadi tiga bagian. Kepala perahu dibawa Tuan Riou Terbumi, bagian tengah dibawa Minak Patih Seriou Bumi, dan bagian belakang dibawa Minak Riou Bumi.

Pada suatu ketika Sesat Watun milik masyarakat Gunung Terang dan Gunung Agung dihancurkan oleh moyang Pagardewa (Tuan Riou Mangkubumi dan Minak Kemala Bumi atau Minak Patih Pejurit) lalu dihanyutkan di Way Kanan. Salah satu tiyang menancap di tebing dan terjadilah Muara Watun di Pagardewa. Moyang-moyang Gunung Terang mengadakan perlawanan. Minak Jagat Kuasa mengeluarkan senjata pedang yang kemudian disebut Pedang Sejalur. Pedang ini sekarang disimpan Bapak Mat Mukhtar, Suku Galih.

Oleh Minak Jagat Kuasa pedang itu dilepaskan saja di Pagardewa. Pedang itu berjalan sendiri melakukan perlawanan. Sedang Minak Jagat Kuasa menunggu di sungai (diperahu). Minak Kemala Bumi meminta kepada Minak Jagat agar memanggil kembali Pedang Sejalur dan menghentikan perang. Kepala orang yang terpotong pedang dimuatkan di perahu yang panjangnya 9 depa. Kepala tersebut dibawa ke Gunung Terang ditempatkan di suatu bawang. Bawang tersebut sekarang bernama Bawang Ngisen (Nisan), yang ditengahnya terdapat tanah memanjang bekas kepala orang-orang Pagardewa. Sampai sekarang pada musim kemarau air Bawang Ngisen berwarna merah darah. Penamaan Pedang Sejalur karena menurut riwayat perahu yang dipakai untuk mengangkut kepala orang-orang Pagardewa bernama Perahu Sejalur, maka pedang itu disebut juga Pedang Sejalur. Dalam mengakhiri peperangan tersebut, Minak Jagat tidak mau kembali ke Gunung Terang bila tidak diberi wanita Pagardewa untuk dipersunting. Hingga sekarang di Pagardewa terdapat keturunan Minak Jagat.

Di wilayah Gunung Terang dan Gunung Agung sampai sekarang akan terdengar suara meriam gaib warisan nenek moyang dari arah Gunung Sri Gandow. Suara meriam tersebut terdengar bila akan terjadi peristiwa yang mengganggu masyarakat di Kampung Gunung Terang dan Gunung Agung. Gangguan tersebut dalam arti merupakan ulah masyarakat lain. Selain Gunung Sri Gandow juga terdapat Gunung Mengguk. Masyarakat meyakini bahwa di lokasi Gunung Mengguk terdapat kuda emas yang bersifat gaib. Masyarakat sering melihat penampakan kuda emas ini berjalan dari Gunung Mengguk ke Gunung Sri Gandow. Posisi tubuh ketika berjalan selalu rata dengan tanah. Pada saat dilihat sedang mendaki gunung, kaki belakang panjang dengan sendirinya, sedangkan pada saat turun kaki depan yang panjang dengan sendirinya.

Di belakang (selatan) kampung warga transmigran Panca Marga, Satuan Pemukiman I, Menggala B terdapat Gunung Putik (burung). Dalam satu riwayat disebutkan bahwa moyang Gunung Terang mempunyai tunggangan kuda emas dan burung. Berdasarkan riwayat ini masyarakat menduga apakah mungkin Gunung Putik merupakan tempat burung tunggangan. Di dekat Batu Putih terdapat Bawang Loday. Disebut Bawang Loday karena bawang tersebut merupakan tempat nenek moyang memelihara loday (ular besar yang tidak bisa berjalan). Pada jaman dahulu sebelum agama Islam kuat, peliharaan moyang (kuda emas, burung, dan loday) dikeramatkan masyarakat dengan jalan diberi sesaji sebagaimana masyarakat lain. Setelah Islam kuat pelaksanaan sesajen tersebut tidak pernah ada lagi.

Lingkungan Pemukiman Gunung Terang
Sekarang ini, Gunung Terang secara administratif terdiri dari Kampung Gunung Terang dan Gunung Agung, namun secara fisik kedua kampung tersebut menyatu. Pemukiman secara umum berada di tepian Way Kanan sebelah timur dan utara aliran sungai. Pola pemukiman memanjang utara – selatan. Kampung Gunung Agung berada di bagian selatan sedangkan di bagian utara merupakan Kampung Gunung Terang. Di daerah ini aliran Way Kanan berkelok-kelok. Bermula dari arah barat daya menuju arah barat laut. Di dekat pemukiman sungai berbelok ke arah selatan kemudian ke arah timur. Pada kelokan sungai dari arah utara ke arah timur masyarakat menyebutnya Lubuk Kali Mangkuk. Aliran Way Kanan dari Lubuk Kali Mangkuk ke arah timur terdapat pertemuan sungai antara Way Ngisen dengan Way Kanan. Way Ngisen bermula di Bawang Ngisen yang berada di sebelah barat laut kampung. Di bagian hilir sungai ini disebut Tulung Mayat. Di dekat muara Way Ngisen terdapat bukit kecil yang disebut Gunung Sri Gandow.

Pada bagian selatan pemukiman terdapat cekungan parit yang disebut pelantingan, membujur dari selatan ke utara hingga Way Ngisen. Parit ini dijadikan batas antara Kampung Gunung Agung dengan Gunung Terang. Di bagian utara pemukiman juga terdapat parit/sungai buatan yang menghubungkan antara Way Kanan dengan Way Ngisen. Sungai ini disebut Sungai Pengaliran Darah. Kawasan di sebelah selatan dan timur perkampungan terdapat beberapa lebung antara lain Lebung Seroja yang terdapat di antara pelantingan dengan Way Kanan, Lebung Kibang terdapat di sebelah barat laut Gunung Sri Gandow, dan Lebung Tikak yang berada di sebelah timur kampung.

Pola pemukiman Gunung Terang yang terlihat sekarang sudah menunjukkan pola “kota” terrencana. Prasarana transportasi sebagai akses menuju lokasi berupa sungai dan jalan darat. Jaringan jalan dibuat secara berpotongan tegak lurus sejajar dengan aliran sungai utama. Orientasi rumah tinggal menghadap ke jalan. Pembangunan pemukiman dengan pola “kota” ini mungkin berlangsung pada jaman penjajahan Belanda. Hal ini terlihat dari penyebutan jalan dengan istilah straat. Semula terdapat empat jalur jalan utama yang membujur arah utara – selatan. Sekarang tinggal tiga jalur yang masih utuh. Jalur kedua dari barat (Straat II) pada bagian utara sudah terputus. Struktur kampung lama sulit diamati karena kondisi fisiknya mengalami perkembangan terus menerus hingga sekarang. Berdasarkan sebaran artefak, terlihat bahwa perkampungan lama berada di sebelah utara pelantingan. Selain sebaran artefak juga terdapat beberapa fetur yaitu bekas kampung lama, makam, dan tumulus.

Bekas Kampung
Bekas kampung lama terdiri bekas kampung Melayu dan bekas Kampung Gunung Terang. Lokasi bekas kampung Melayu berada di ujung tenggara pemukiman dekat Lebung Tikak. Jejak-jejak bekas pemukiman tidak terlihat dengan jelas, kecuali hanya sebaran artefak pada lahan yang berpola segi empat dengan luas sekitar 2 hektar. Di sebelah selatan lokasi ini merupakan lokasi kampung Gunung Terang lama. Pada bagian selatan lokasi ini terdapat bekas sesat Gunung Terang yang disebut Sesat Watun. Lokasi ini sekarang berupa lahan yang banyak ditumbuhi pohon pisang. Di antara sela-sela rumpun pohon pisang masih dapat dijumpai bekas-bekas fondasi bangunan. Dalam cerita tutur masyarakat, di depan sesat ini pernah terjadi peristiwa peperangan antara Prajurit Puting Gelang dengan prajurit dari Bugis. Pengamatan di sekitar lokasi terdapat sebaran fragmen keramik asing dan lokal.

Makam Minak Jagat
Makam Minak Jagat berada di bagian selatan kampung di tengah pemukiman penduduk, tepatnya pada posisi 04o23’41,1” LS dan 105o05’49,7” BT (berdasarkan pembacaan GPS Garmin). Lahan lokasi makam relatif lebih rendah dari pemukiman. Untuk menuju lokasi makam dari jalan desa melalui jalan setapak ke arah timur sejauh sekitar 25 m. Kondisi makam dilengkapi bangunan cungkup. Bangunan ini merupakan bangunan baru yang terakhir direnovasi tahun 2000. Di dalam bangunan cungkup tersebut terdapat empat makam. Makam Minak Jagat adalah makam kedua dari barat. Nisan juga merupakan nisan baru berbentuk silindrik (tipe gada). Ketiga makam yang lain bernisan pipih. Menurut keterangan ketiga makam tersebut adalah makam isteri Minak Jagat.

Makam Minak Patih Seriou Bumi
Makam Minak Patih Seriou Bumi terletak di sebelah barat laut kampung, berada di tepi sebelah timur Way Kanan, tepatnya pada posisi 0423’32,7” LS dan 10505’44,4” BT (berdasarkan pembacaan GPS Garmin). Untuk menuju lokasi makam dari jalan desa melalui jalan setapak sejauh sekitar 100 m. Kondisi makam dilengkapi bangunan cungkup yang merupakan bangunan baru. Di dalam bangunan cungkup hanya terdapat makam Minak Jagat. Keadaan makam sulit dikenali karena hanya berupa hamparan pasir sedikit menggunduk, tidak dilengkapi jirat dan nisan.

Tumulus
Di bagian barat laut kampung, tepi sebelah utara Way Kanan, tepatnya pada posisi 0423’31,8” LS dan 10505’45,4” BT (berdasarkan pembacaan GPS Garmin) terdapat gundukan tanah (tumulus) yang disebut Cabuh Gelou. Untuk menuju lokasi, dari jalan desa melalui jalan setapak ke arah barat sejauh 50 m. Tumulus tersebut berdiameter 8 m tinggi hingga puncak 2 m. Menurut keterangan masyarakat, tumulus tersebut merupakan kuburan pusaka berupa alat perang bernama Cabuh Gelou (Cabuh = alat untuk menangkap ikan, gelou = gila).

Perkembangan Struktur Pemukiman
Menurut cerita sejarah dalam tradisi lisan masyarakat Gunung Terang, pemukiman di Gunung Terang tidak diawali dengan aktifitas membuka hutan. Para moyang menempati wilayah itu dengan jalan mengekspansi masyarakat yang sebelumnya menempatinya yaitu masyarakat Melayu. Bagaimana struktur pemukiman pada awalnya sulit untuk diketahui. Ketika masyarakat Gunung Terang telah menetap di lokasi itu, pembangunan pemukiman dengan melengkapi infrastruktur mulai dilakukan. Secara fisik, pemukiman masyarakat Lampung pada umumnya dikenal adanya jenjang umbulan dan tiyuh (kampung). Umbulan sebetulnya hanya merupakan unsur pemukiman berupa wilayah garapan, yang dapat berkembang menjadi tiyuh. Dalam satu tiyuh terdapat beberapa bagian yang disebut bilik. Pada setiap bilik terdapat tempat kediaman suku. Dalam perkembangannya, pada satu tiyuh akan terdapat rumah kerabat yang disebut nuwou balak atau nuwou menyanak. Selain itu juga terdapat bangunan tempat bermusyawarah para penyimbang adat yang disebut sesat (Troe, 1997: 129). Di Gunung Terang ini diceritakan terdapat sesat yang disebut Sesat Watun. Berdasarkan sisa pondasi yang ada, sesat ini dibangun menghadap sungai ke arah selatan. Masyarakat bermukim di sekitar sesat. Akses keluar masuk kampung dapat melewati pelantingan selanjutnya ke Way Kanan.

Wilayah teritorial Gunung Terang ketika itu dapat diperkirakan seluas wilayah yang dibatasi dengan sungai alam dan sungai modifikasi. Sebagai sungai alam adalah Way Kanan. Sedang sungai modifikasi adalah pelantingan, Way Ngisen, dan Way Pengaliran Darah. Modifikasi terlihat dari adanya pelurusan di beberapa tempat. Pada parit atau sungai yang disebut Pengaliran Darah, tanda adanya modifikasi terlihat pada bagian barat air mengalir ke arah barat, sedangkan pada bagian timur air mengalir ke arah timur. Selain batas berupa sungai, secara magis dibatasi oleh dua makam keramat moyang. Di sebelah barat laut terdapat makam Minak Patih Seriou Bumi dan di sebelah tenggara terdapat makam Minak Jagad. Penempatan makam seperti ini menunjukkan bahwa tokoh Minak Patih Seriou Bumi merupakan tokoh yang lebih utama, karena makamnya berada di sebelah hulu sungai.

Dilihat dari sebaran artefak yang ada, pemanfaatan ruang untuk bermukim hanya pada sekitar sesat. Tidak seluruh wilayah dijadikan pemukiman. Sebagai pemukiman yang berpola over bounded city, wilayah teritorialnya lebih luas dari wilayah pemukiman, perencanaan tata ruang mudah dilakukan perluasan. Satu hal yang diperhatikan adalah konservasi lahan sumber daya (Yunus, 2000: 113). Lahan sumber daya yang terdapat di sekitar kampung Gunung Terang adalah lebung. Pada musim hujan di mana air sungai besar melimpah, lebung akan terisi air dan ikan akan memasuki lebung. Ketika musim kemarau, air kembali ke sungai besar. Pada saat itu di pintu masuk lebung dipasang jebakan dan perburuan ikan di lebung dilakukan. Sampai sekarang pola penangkapan ikan dengan sistem pemanfaatan lebung masih berlanjut dikelola secara tradisional (Djausal, 1996: 3).

Seiring dengan perkembangan populasi, areal pemukiman mengalami perkembangan. Perkembangan pemukiman di Gunung Terang ini tampak melalui perencanaan. Salah satu ciri kota yang berkembang secara direncanakan adalah adanya jaringan jalan yang berpotongan secara tegak lurus (Wertheim, 1959: 147). Sistem perencanaan jalan dengan pola kisi pertama kali dikenal di Mohenjo Daro pada sekitar 2500 SM. Bentuk kota semacam ini kemudian berkembang menjadi pola bastides cities sebagaimana kota-kota benteng. Bagian kota dibagi sedemikian rupa menjadi blok-blok empat persegi panjang dengan jalan-jalan yang paralel longitudinal dan transversal membentuk sudut siku-siku (Yunus, 2000: 150). Sungai alam dan sungai modifikasi di sekitar Gunung Terang selain berfungsi sebagai batas juga sebagai benteng. Sebagaimana lazimnya situs-situs pemukiman di Tulangbawang, jejak adanya benteng tanah di Gunung Terang terlihat dari adanya tumulus yang disebut cabuh gelou. Secara magis pemukiman Gunung Terang juga dibatasi dua gunung keramat yaitu Gunung Sri Gandow di sebelah tenggara dan Gunung Putik di sebelah barat laut.

Pola perkembangan struktur kota memanjang ke arah utara menjadikan pemukiman di Gunung Terang berbentuk empat persegi panjang (rectangular cities). Perkembangan memanjang disebabkan tidak mungkinnya melebar karena adanya hambatan fisikal terhadap perkembangan kota (Yunus, 2000: 115). Hambatan fisikal yang dihadapi Gunung Terang adalah lahan sumber daya berupa lebung di sebelah timur pemukiman dan sungai di sebelah barat dan selatan pemukiman. Perkembangan kota mengikuti bentuk rectangular di Gunung Terang ini berlangsung pada jaman penjajahan Belanda.

Simpulan
Pemukiman di Gunung Terang pada mulanya secara fisik sulit dikatakan sebagai kota. Tingkat peradaban yang tumbuh dan berkembang menunjukkan pada jenjang civilization dimana sudah terdapat sistem pemerintahan. Struktur “kota” yang mula-mula berupa pemukiman yang berpusat pada sesat, dikelilingi perumahan penduduk dan secara fisik dibatasi sungai alam dan sungai modifikasi. Selain itu juga terdapat batas yang bersifat sakral berupa makam keramat.

Wilayah teritorial yang lebih luas dari pada pemukiman memudahkan dalam perencanaan perkembangan kota. Meningkatnya populasi dan tersedianya lahan menyebabkan perkembangan pemukiman berjalan secara direncanakan. Struktur kota yang mula-mula sederhana berkembang menjadi pola bastides cities dengan mengikuti bentuk rectangular. Perkembangan menjadi demikian ini karena adanya hambatan fisikal berupa sungai dan lebung.


Daftar Pustaka

Childe, V. Gordon
1979 “The Urban Revolution”. Dalam Gregory L. Possehl (ed.) Ancient Cities of the Indus. Durham: Carolina Academic Press. Hal. 12-17.

Djausal Anshori
1996 “Pendekatan Lingkungan Dalam Pembangunan Persiapan Kabupaten Daerah Tingkat II Tulangbawang”. Makalah pada Seminar Pembangunan Masyarakat Tulangbawang. Bandar Lampung, 29 – 30 Maret 1996. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Persiapan Kabupaten Daerah Tingkat II Tulangbawang (belum diterbitkan).

Rapoport, Amos
1986 “Tentang Asal-usul Kebudayaan Permukiman”. Dalam Anthony J. Catanese, (et al.). Pengantar Sejarah Perencanaan Perkotaan. Bandung: Intermedia. Hlm. 21 – 44.

Saptono, Nanang
2000 Laporan Hasil Penelitian Arkeologi, Pemukiman Masa Islam di Daerah Tulangbawang, Lampung (Tahap II). Balai Arkeologi Bandung (tidak diterbitkan).

Sumadio, Bambang
1990 Jaman Kuna, Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Troe, Adnand (et all.)
1997 Menyelami Tulangbawang. Menggala: Pemerintah Kabupaten Tulangbawang dan Tulangbawang Enterprise.

Wertheim, W.F.
1959 Indonesian Society in Transition, A Study of Social Change. Bandung: Sumur Bandung.

Wiryomartono, A. Bagoes P
1995 Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia. Kajian Mengenai Konsep, Struktur, dan Elemen Fisik Kota Sejak Peradaban Hindu-Buddha, Islam Hingga Sekarang. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Yunus, Hadi Sabari
2000 Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Catatan: Tulisan ini diterbitkan di buku "Teknologi dan Religi Dalam Perspektif Arkeologi", hlm. 42 - 54. Editor: Agus Aris Munandar. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komda Jawa Barat - Banten, 2004.

Sumber : http://arkeologilampung.blogspot.com