Seni Gulat Benjang : Revitalisasi Kesenian Tradisional

Oleh Rostiyati Ani

Pendahuluan
Kesenian tradisional adalah kesenian rakyat yang merupakan refleksi dari cara hidup sehari-hari dan biasanya bersumber pada mitos, sejarah atau cerita rakyat. Kesenian tradisional ini biasanya diwariskan secara turun-temurun dari generasi sebelumnya dengan menggunakan alat atau cara-cara yang sederhana, berfungsi spiritual dan sosial, serta sarat dengan makna simbolis. Nilai- nialai yang terkandung dalam kesenian tradisional dapat bersifat profan atau bersifat sakral.

Kesenian tradisional ini merupakan peninggalan leluhur yang harus tetap dilestarikan, karena memiliki peranan penting yakni sebagai identitas bangsa yang mampu menyatukan dan menunjukkan jati diri bangsa. Selain itu sebagai asset nasional, kesenian tradisional juga bisa dikembangkan sebagai daya tarik wisata sehingga pada akhirnya bisa mendatangkan devisa bagi negara dan pendapatan bagi seniman itu sendiri. Namun dalam perkembangannya kesenian tradisional mengalami pasang surut, meski berusaha tetap tegar dan bertahan ditengah makin menjamurnya tontonan seni modern dan perubahan nilai sosial masyarakat. Untuk itu perlunya revitalisasi kesenian tradisional berupa pemanfaatan, pengembangan, dan pelestarian kesenian tradisional agar tidak punah tergerus oleh perubahan jaman. Beberapa upaya yang dilakukan antara lain :

Perlunya adanya penggalian dan penelitian mengenai kesenian tradisional.

Mengadakan festival atau pementasan (pagelaran) sebagai upaya pembinaan pada generasi muda agar mereka tahu dan memahami kesenian tradisional.

Mengadakan lokakarya dengan tujuan untuk studi maupun pertemuan bagi para senimannya agar terjadi komunikasi, serta memberi kesadaran apresiasi seni pada masyarakat.

Mengadakan workshop bagi masyarakat yang berupa pameran dan pelatihan.

Menampilkan kesenian tradisional pada berbagai event nasional maupun internasional dan kepariwisataan.

Melakukan pembinaan dan wadah bagi para senimannya agar mereka tetap eksis.

Tentunya upaya pemanfaatan dan pelestarian kesenian tradisional tidak terlepas dari kerjasama berbagai instansi pemerintah atau badan-badan yang mengurus dan menangani dalam pembinaan dan pengembangan kesenian tradisional tersebut. Misalnya Dinas Kebudayaan, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Dewan Kesenian Pusat yang memiliki pusat penelitian dan pengembangan kesenian rakyat, dan instansi lain yang terkait.

Beberapa hal di atas dilakukan sebagai upaya revitalisasi kesenian tradisional agar tetap eksis tidak punah tergerus oleh perubahan jaman. Sudah selayaknyalah kita semua harus tetap mencintai dan tetap memelihara budaya asli peninggalan leluhur ditengah arus menjamurnya tontonan seni modern dan perubahan nilai sosial masyarakat yang terjadi saat ini. Sebagai salah satu contoh adalah apa yang sudah dilakukan oleh masyarakat Garung, Kabupaten Bandung Jawa Barat. Masyarakat Garung sampai sekarang tetap ‘ngamumule’ (melestarikan) Seni Gulat Tradisional Benjang yang dilaksanakan berbarengan dengan pelaksanaan upacara adat (perkawinan atau khitanan) dan perayaan hari kemerdekaan RI.

Seni Gulat Tradisional Benjang Dari Jawa Barat
“Ngamumule budaya titinggal karuhun “. Ungkapan inilah yang seharusnya menjadi modal bagi kita semua untuk peduli terhadap seni gulat tradisional Benjang. Tidak tahu secara persis kapan sebetulnya seni Benjang itu lahir. Namun, diperkirakan cikal bakal seni ini sudah ada sejak akhir abad ke 19, dan mulai dikenal oleh masyarakat luas pada pertengahan tahun 1920-an. Kelahiran seni Benjang melalui proses yang panjang. Dari tinjauan umum kesenian yang hidup di Jawa barat, bisa ditelusuri bahwasanya seni ini berasal dari seni rudat . Seni rudat kemudian berkembang menjadi seni kencring atau seni genjring dan seni bernafaskan Islam yang disebut gedut. Seni gedut berkembang ke bentuk seni terbangan yang terdiri dari ujungan, seredan, dan gesekan. Seni terbangan yang hidup di wilayah Ujung Berung dan wilayah Kabupaten Bandung disebut ubrug. Seni terbangan ubrug inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya seni Benjang, yakni seni gulat tradisional.

Seni gulat tradisional Benjang adalah seni beladiri yang dikembangkan awal tahun 1920-an oleh Bp. H. Hayat atau Mas Suryawikanta di kampung Warung Gede Desa Cibiru Kecamatan Ujung berung, Kotamadya Bandung. Seni Benjang ini akhirnya menyebar sampai wilayah kota Subang, Purwakarta, Cirebon, Indramayu, Garut. Dan hampir seluruh Jawa Barat. Pada perjalanan berikutnya, seni bela diri Benjang berkembang menjadi seni arak-arakan (Benjang helaran). Benjang helaran adalah bentuk seni arak-arakan untuk mengarak anak sunatan yang akan dikhitan. Seni ini digubah oleh Madsari yang kemudian dikembangkan oleh anak didiknya Al Wasim dari kampung Ciwaru dan Asnarif dari kampung Cigupakan. Pada pertengahan tahun 1930-an seni benjang gulat dan helaran semakin berkembang melahirkan kesenian topeng benjang. Akhirnya semua bentuk kesenian ini dihadirkan menjadi satu rangkaian pertunjukkan yang digelar selama hampir satu hari (24 jam), suatu bentuk seni pertujukkan tradisional yang relatif panjang. Secara umum seni benjang dibagi menjadi 3 bagian yakni benjang helaran (seni arak-arakan), topeng benjang (seni pertunjukkan), dan benjang gulat (seni bela diri).

Benjang helaran adalah bentuk seni arak-arakan untuk mengarak anak yang dikhitan. Seni ini bertopang pada budaya Islam dan Mistis. Dua Budaya yang saling bertentangan itu menyatu menciptakan suatu bentuk seni yang unik dan sekaligus indah. Adapun topeng benjang adalah bentuk seni tari topeng yang digelar pada akhir pertunjukkan benjang helaran. Tarian ini dimainkan oleh seorang penari yang memainkan beberapa peran sekaligus yakni peran raksasa, satria, putri, dan emban. Perubahan karakter tersebut ditandai dengan pergantian topeng yang dikenakan oleh sang penari.

Adapun seni Benjang Gulat, adalah seni bela diri yang memiliki gerakan mirip olah raga gulat, karena itulah disebut Benjang Gulat. Sebagai bentuk olah raga kompetisi, benjang gulat memiliki beberapa kaidah pertandingan yang berlandaskan nilai sportifitas yang tinggi. Seni beladiri ini juga bersifat komunikasi sehingga menciptakan hubungan yang integral antara penonton dan pemain benjang gulat.

Dalam perkembangannya seni Benjang telah mengalami pasang surut, namun berusaha tetap tegar dan bertahan ditengah makin menjamurnya tontonan seni modern dan perubahan nilai sosial masyarakat. Semua itu dilandasi rasa kecintaan dan tanggung jawab yang masih dimiliki oleh sebagian masyarakat untuk tetap melestarikan seni asli peninggalan leluhurnya. Salah satunya, adalah masyarakat Kampung Garung Desa Cilengkrang Kabupaten Bandung yang sampai sekarang masih tetap melaksanakan salah satu tradisi karuhunnya yakni seni tradisional gulat Benjang.

Seni gulat Benjang, bagi masyarakat Garung sudah menjadi bagian dari kehidupan yang tidak bisa dipisahkan dari setiap aktivitasnya. Baik dalam pelaksanakan upacara daur hidup, peringatan 17 Agustus, dan upacara lainnya, benjang gulat selalu diikutsertakan.. Bahkan di waktu senggang yakni sore hari, kaum laki-laki baik anak-anak, remaja maupun dewasa, mengadakan latihan gulat di depan halaman rumah masing-masing, juga saat menggembala ternak mereka bermain gulat. Boleh dikatakan, mulai dari anak-anak, remaja, dan kaum dewasa di Kampung Garung mengenal dan menyukai seni gulat benjang ini. PABEGA (Paguyuban Benjang Garung) adalah satu perkumpulan gulat Benjang di Garung yang sangan dikenal dan disegani oleh perguruan (paguron) Benjang lain. Banyak jawara-jawara Benjang yang berasal dari Garung mendapat penghargaan karena menjadi pemenang (juara) jika ada pasanggiri (pertandingan) Benjang . Benjang gulat di Garung, tidak hanya sebagai olah raga dan hiburan , tapi juga kesenian yang sakral karena didahului dengan upacara ritual yakni terdapat tarian, sesajen, mandi bunga, dan rapal. Untuk menjadi pemenang seorang ‘pembenjang’ harus melakukan upacara ritual seperti di atas, meski untuk masa sekarang sudah mulai ditinggalkan.

Kampung Garung, adalah sebuah desa kecil yang terletak di kaki gunung Manglayang. Kampung Garung merupakan salah satu kampung yang ada di Desa Cilengkrang, di samping beberapa kampung yang lain yakni Cipulus, Cikupakan, Ciwaru, babakan, dan Pasir Angin. Untuk menuju kesana, harus melewati jalan yang cukup menegangkan karena letak jalan yang menanjak tajam, kadang-kadang turun, , berkelak-kelok, berbatu-batu, dan tak jarang jalan berada ditepi jurang. Kondisi inilah yang menyebabkan Kampung Garung agak terpencil, sehingga masyarakatnya enggan ke pusat kota . Untuk menuju ke pusat kota Kecamatan yang berjarak 7 km membutuhkan ongkos naik ojeg Rp. 10.000,00. Jalan hanya bisa dilalui dengan kendaraan bermotor, meskipun kendaraan beroda empat jika dipaksakan bisa pula sampai di tempat namun dibutuhkan suatu ketrampilan mengemudi karena medan jalan cukup sulit. Kampung Garung berada pada topografi dataran tinggi dengan ketinggian tanah dari permukaan air laut kurang lebih 1000 m dan dengan suhu udara 19-25 derajat Celcius, bisa dibayangkan betapa dinginya udara di malam hari dan sejuknya udara di siang hari. Pemandangan di sekitar wilayah di kaki Gunung Manglayang sunggulah indah, adanya pohon pinus dan air terjun atau biasa disebut dengan curug 7 menjadikan kawasan Garung bisa dijadikan daerah wisata. Lahan di Garung sepertiganya adalag milik tanak adat dan sisanya adalah milik perhutani yang saat ini dikembangkan sebagai hutan lindung. Selain memiliki alam yang indah, di sekitar wilayah Garung juga terdapat peninggalan sejarah berupa batu peti, batu kecapi, batu kursi, dan batu keraton, yang memiliki nilai historis tersendiri. Potensi wisata yang ada di Garung dan sekitarnya jika digarap dengan serius, akan menjadi wisata alam dan budaya, yang akhirnya akan menambah pendapatan daerah setempat.

Luas Kampung Garung kurang lebih 200 ha dengan jumlah penduduk 673 orang dan jumlah Kepala Keluarga l66. Sebelah utara Kampung Garung berbatasan dengan Kaupaten Sumedang, sebelah selatan berbatasan dengan Kota Bandung, sebelah barat dengan Desa Ciporet dan sebelah timur dengan Desa Cibiru Wetan.

Dalam hidup sehari-hari masyarakat Garung bermatapencaharian sebagai petani dan peternak sapi perah. Mereka bukan sebagai petani sawah, melainkan sebagai petani hortikultura yang menanam tanaman sayur, ubi-ubian, dan tanaman palawija. Keadaan alamnya memang tidak memungkinkan untuk bersawah, karena berupa tegalan yang hanya bisa ditanami tanaman sayuran dan palawija. Selain itu masyarakat Garung bekerja sama dengan KUD Sinar Jaya melakukan usaha sapi perah, di mana KUD sebagai pemodal dan masyarakat yang memelihara sapi. Usaha sapi perah ini dirasakan sangat menguntungkan, karena keuntungan yang didapat cukup besar, rata-rata l ekor sapi mampu menghasilkan 15-20 liter susu dengan harga Rp 1.700,00 per l liter. Harga l ekor sapi mencapai 6 juta rupiah, yang dibeli melalui pinjaman dari Bank Danamon dan dicicil selama 3 tahun.

Kampung Garung, meski terletak agak terpencil di atas bukit Manglayang, namun tetap memiliki fasilitas sosial dan pendidikan. Satu-satunya SD madrasah yang ada di Garung memiliki fasilitas yang cukup memadai untuk anak-anak menimba ilmu pengetahuan. Selain itu juga terdapat satu gedung puskesmas sebagai tempat berobat jika ada warga yang sakit atau melahirkan. Terdapat pula sebuah mesjid sebagai sarana beribadah, karena semua warga Garung memeluk agama Islam. Tempat pemukiman warga Garung sebagian masih berupa bangunan semi permanen, dengan bentuk rumah panggung. Namun, sebagian lagi warga yang dianggap mampu sudah membangun rumahnya secara permanen, dengan bentuk rumah semi modern.

Dalam menjalankan tradisi warisan karuhunnya, masyarakat Garung masih tetap ‘ngamumule’ (melestarikan), salah satunya adalah seni gulat tradisional benjang yang selalu dilaksanakan berbarengan dengan pelaksanaan upacara Khitanan. Hampir sebagian besar masyarakat Garung terutama yang mampu, jika mengadakan upacara khitanan maka akan diadakan pula pertunjukkan kuda renggong dan seni gulat benjang. Ada keharusan anak yang dikhitan harus menunggang kuda renggong yang diarak keliling kampung, dan sebagai puncak acara pada malam harinya terdapat pertunjukkan seni gulat benjang.

Bapak Ena adalah salah seorang tokoh benjang di Garung yang sangat dikenal sebagai jawara benjang (pembenjang), di samping beberapa tokoh benjang yang lain seperti Bapak Cece Sasmita dan Bp Gandi. Sudah hampir 30 tahun Bp. Ena bertanding sebagai pembenjang, dan sudah puluhan gelar juara yang sudah diraih mulai dari tingkat desa, kecamatan dan kotamadya. Sekarang ini beliau sudah pensiun sebagai pembenjang dan menjabat sebagai wasit yang sangat dipercaya untuk memimpin pertandingan benjang, karena pengalaman dan kemampuan yang dimilikinya.

Seni gulat benjang, bagi masyarakat Garung sudah menjadi bagian dari kehidupan yang tidak bisa dipisahkan dari setiap aktivitasnya. Dalam pelaksanaan upacara daur hidup, peringatan Kemerdekaan RI, dan upacara lainnya, benjang gulat selalu diikutsertakan sebagai puncak acara. Bahkan diwaktu senggang yakni sore hari, kaum laki-laki baik anak-anak maupun dewasa mengadakan latihan benjang gulat di depan halaman rumah masing-masing. Juga pada saat menggembala ternak, anak-anak bermain gulat di atas tumpukan jerami atau tanah lapang yang ditumbuhi rumput. Boleh dikatakan, mulai dari anak-anak, remaja, dan kaum dewasa di kampung Garung mengenal dan menyukai seni benjang gulat ini. Selain sebagai arena bermain untuk mengisi waktu luang, juga sebagai sarana olah raga agar badan menjadi kuat dan sehat. Banyaknya warga yang menyukai benjang gulat ini, akhirnya di Garung dibentuk satu perguruan atau paguron yang disebut PABEGA yang artinya Paguyuban Benjang Garung.

Pabega adalah satu perkumpulan atau perguruan gulat benjang di Garung yang sangat dikenal dan disegani oleh perguruan benjang lain. Pabega melahirkan jawara-jawara benjang yang banyak mendapat penghargaan karena menjadi pemenang (juara) jika ada pasanggiri (pertandingan) benjang. Anggota Pabega cukup banyak kurang lebih 150 orang, termasuk beberapa jawara yang sangat disegani yakni Bp Daep, Karma, Wawat, Asep, Ajad, Ujang, dan Tarja. Mereka ini sudah dikenal sering menjuarai berbagai pasanggiri (pertandingan) benjang, sehingga sering ditakuti lawan dari perguruan lain. Selain Pebega dari Garung, di wilayah Ujung Berung terdapat kurang lebih 30 pergururuan benjang, antara lain paguron Libot Muda dari Ciwaru, Buhun Kencana dari Pasir Angin, paguron dari Tanjakan Panjang, Ciporeat, Sukalilah, Palalangon, Cikupakan, Cinangka, Cipanjalu, Terak Dengklok, dan Cimincrang. Jika ada hajatan atau pasanggiri di salah satu daerah tersebut, maka akan mengundang pembenjang dari daerah lain, entah itu sebagai hiburan atau mencari juara dalam suatu pertandingan. Misalnya di Garung akan ada pertunjukkan benjang, maka mereka mengundang perguruan benjang lain untuk mempererat tali persaudaraan (ajang silaturahmi) sesama pembenjang. Sesuai motto benjang yakni cari kawan bukan lawan.

Benjang gulat di Garung, tidak hanya sebagai hiburan dan olahraga saja, tapi juga merupakan kesenian sakral karena didahului dengan upacara ritual yakni menggunakan tarian, sesajen, mandi air bunga, minum jampe, dan rapal. Dahulu jika ada anaknya yang mau bertanding, maka orang tua akan memberi air yang sudah diberi jampe untuk diminumkan agar menjadi pemenang. Bahkan sebelumnya disuruh puasa dan mandi air bunga, juga ada pantangan seperti tidak boleh masuk ke ring dari arah utara. Terakhir, diberi doa-doa seperti istifar, sholawat, Al Fatekah, ayat kursi, dan doa Nabi Sulaiman. Maksud dari doa tersebut adalah agar diberi kekuatan, ketenangan, keistimewaan, keunggulan, kemenangan, dan taufik hidayah dari Tuhan. Untuk menjadi pemenang seorang ‘pembenjang’ harus melakukan upacara ritual seperti di atas, meski untuk masa sekarang sudah mulai ditinggalkan. Adapun sesajen yang disajikan berupa kopi pahit, teh pahit, teh manis, bunga tujuh rupa, pisang, telur, aneka makanan kering (ranginang, opak), krupuk, damar dan leumareun (dupa kemenyan). Sesajen memiliki makna tertentu yang ditujukan pada karuhun (leluhur) agar pertandingan berlangsung dengan selamat tanpa ada yang halangan apapun. Sesajen pada umumnya berupa simbol yang memiliki makna tertentu seperti kopi pahit manis dan teh pahit manis yang mengandung arti bahwa kehidupan manusia tidak selamanya senang kadang terasa pahit kadang manis, oleh sebab itu harus selalu ingat pada Tuhan YME. Bunga tujuh rupa merupakan simbol keindahan, artinya manusia harus seharum bunga agar senantiasa bahagia lahir dan batin. Telur berujud bulat merupakan simbol kebulatan tekad, artinya manusia harus memiliki tekad yang kuat dan bulat. Damar atau lampu kecil meruapakn simbol penerangan, artinya manusia selalu membutuhkan api sebagai sumber kehidupan dan penerangan. Sedangkan leumareun berupa dupa kemenyan, rokok (cerutu), dan daun sirih, ini merupakan makanan yang disukai leluhur (mahluk halus), memiliki arti bahwa agar semua doa dikabulkan oleh Tuhan YME termasuk juga leluhur. Sesuai dengan asap dupa yang membumbung ke atas, maka doa yang dipanjatkan akan sampai kehadapan Tuhan YME. Demikianlah, sesajen yang selalu ada di tiap pertujukkan benjang, sebagai upaya permohonan keselamatan pada Tuhan YME termasuk jupa pada leluhurnya.

Sebelum pertandingan benjang dimulai, terlebih dulu diadakan tarian ritual yakni para sesepuh benjang ‘ngibing’ (menari) dengan meletakkan satu tangan dipunggung dan satu tangan lain di atas dahi serta kepala menunduk ke bawah sebagai penghormatan pada leluhur. Gerakan tari sangat pelan mengikuti irama musik terbang, tarian ini sebagai simbol dimulainya suatu pertandingan (perang). Usai para sesepuh menari maka dimulailah pertandingan gulat benjang. Orang yang pertama kali ke atas ring adalah sebagai penantang yuda (penantang perang). Sebagai penantang dia harus menari dengan meletakkan jari telunjuknya di atas dahi, dan jika ada orang yang ingin melawan maka orang tersebut naik ke ring dan membuka baju sebagai tanda berani melawan. Demikianlah, sebelum pertandingan benjang dimulai terlebih dahulu ada tarian ritual sebagai penghormatan pada leluhur dan sekaligus sebagai penantang yuda.

Dilihat dari sejarahnya, tidak ada yang tahu secara pasti kapan sebetulnya seni benjang itu lahir. Menurut penuturan beberapa tokoh benjang seperti Bapak Aki Anang, Bp Dede, dan Bp Yayat, diperkirakan cikal bakal seni ini sudah ada sejak akhir abad ke 19 dan mulai dikenal oleh masyarakat luas pertengahan tahun 1920-an. Kelahiran seni benjang melalui proses yang panjang, ditinjau dari kesenian yang hidup di Jawa Barat, seni ini berasal dari rudat. Seni Rudat lalu berkembang menjadi seni kencring atau genjring dan seni bernafaskan Islam yang disebut gedut. Seni gedut berkembang ke bentuk seni terbangan yang terdiri dari ujungan, seredan, dan gesekan. Seni terbangan yang hidup di wilayah Ujung Berung disebut seni ubrug. Seni Ubrug inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya seni gulat tradisional benjang yakni bentuk seni beladiri. Dari hasil wawancara pada beberapa informan , terdapat berbagai pendapat tentang sejarah benjang antara lain disebutkan bahwa terciptanya benjang gulat berawal dari seorang pengusaha kaya bernama Hasan Dikarta yang memiliki pabrik tepung tapioka bertempat tinggal di Ujung Berung. Orangnya sangat baik dan sangat peduli dengan kesenian daerah. Depan halaman rumahnya yang luas sering digunakan untuk arena bermain anak-anak dan pertunjukkan kesenian tradisional seperti rebana dan seni terbang buhun. Permainan anak yang sering dilakukan adalah bermain tarik menarik pada sepotong bambu sampai ada yang menjadi pemenangnya. Bentuk permainannya adalah dua orang anak saling menarik sepotong bambu yang diberi batas sebuah garis lingkaran di atas tanah, mereka saling adu kekuatan adu pundak sampai ada pemenangnya. Permainan ini terus berkembang, sampai akhirnya adu gulat yakni saling menjatuhkan, memiting, dan membanting. Sementara itu, kesenian tradisional yang sering dipertujukkan adalah rebana dan terbang buhun (kepling) juga beluk. Adapun nama tabuhan adalah rincik manik yang terdiri dari 3 terbang yakni bulan, bumi, dan matahari (terompet, kendang, kecrek). Kesenian terbang sangat kental dengan nilai kegamaan, sehingga terciptalah musik yang sakral dan religius. Pada perkembangan berikutnya, adu gulat tersebut diiringi dengan musik terbang dan terdapat beberapa aturan permainan seperti tidak boleh memiliki kuku panjang, pakai senjata tajam, menggigit, menarik rambut, lagi mabuk dan lain sebagainya. Jadi kata benjang sendiri berasal dari kata ‘pabenjang-benjang’ (tarik menarik), yang awalnya dari permainan anak tarik menarik sepotong bambu.

Pendapat lain mengatakan bahwa sejarah benjang ada hubungannya dengan masa penjajahan Belanda. Waktu itu benjang gulat dilakukan anak-anak muda, dengan tujuan untuk mengalihkan perhatian Belanda. Para kompeni Belanda senang sekali menyaksikan benjang, sebagai hiburan pelepas rasa lelah. Ketika mereka menyaksikan adu gulat benjang, kaum tua di wilayah Ujung Berung dan sekitarnya sedang rapat menyusun strategi perang melawan Belanda. Bahkan ketika pendudukan Jepang, benjang makin berkembang dengan sebagian menggunakan tehnik gulat Jepang seperti humsai, help say badan, dan double soun. Perbedaan benjang dengan gulat Jepang adalah kalau benjang adu gulatnya rapat (gaya grego) dan tidak boleh pegang kaki tapi kalau gulat Jepang tidak rapat dan boleh pegang kaki. Sering pula diadu benjang dengan gulat jepang, yang terjadi adalah benjang sering menjadi pemenangnya karena memiliki tehnik lebih baik. Benjang pada masa pendudukan Jepang, pada akhirnya dipakai sebagai taktik untuk berperang.

Sejarah benjang tidak terlepas dari beberapa tokoh pendirinya yakni :

Mas Hasan Wikanta, yakni seorang pengusaha kaya yang tertarik pada seni benjang. Dia inilah yang berjasa dalam hal pemberian dana untuk melestarikan seni benjang.

Mama Haji Hayat (Surya Wikanta atau Surya Koncara), yakni seorang pencipta gulat benjang yang dianggap maha guru benjang.

Mama Haji Enjoh (kholifah), yakni tokoh ulama yang memiliki kemampuan medis menyembuhkan jika ada tulang yang patah atau bengkok (bengkel tulang benjang).

Abah Wasim, yakni penganut ilmu batin yang dianggap mampu memberi bekal ilmu batin pada pembenjang.

Abah Asrip, seorang paranormal.
Abah Winanta Dirja, orang yang memiliki ilmu kebal tubuh.
Aki Sukria, yakni orang yang berjasa dalam menyebarkan seni gulat benjang.
Abdulah, Obing, Didi, dan Enggah. Ke empat orang ini adalah tokoh silat dari Cianjur yang berjasa memberikan ilmu atau tehnik dalam adu gulat benjang. Tehnik dalam benjang merupakan perpaduan antara silat dan gulat.

Adapun tehnik dalam permainan benjang adalah sebagai berikut :

Tehnik double soun
Help say badan
Belit belakang (merangkul dari belakang lalu banting)
Belit depan (merangkul dari depan lalu dibanting)
Gebotan (membanting)
Piting (memiting)
Gelengan (menarik tangan)
Engkel mati (mengunci badan agar tidak bergerak)

Sebagai bentuk permainan (olah raga), benjang tentu memiliki peraturan yang sudah ditetapkan dan diakui oleh para pembenjang. Beberapa aturan yang harus dipatuhi oleh pembenjang adalah sebagai berikut :

Tidak boleh memiliki kuku panjang.
Tidak boleh menggunakan senjata tajam.
Tidak boleh menarik (menjabak) rambut.
Tidak boleh menggigit.
Tidak boleh dalam keadaan mabuk (minuman keras).
Tidak boleh memakai gelang atau cincin.
Tidak boleh menonjok.
Tidak boleh menangkap kaki atau dari pinggang ke bawah.

Peraturan tersebut dibuat agar selama dalam pertandingan tidak ada cidera atau luka yang bisa menimbulkan rasa sakit atau kematian. Oleh sebab itu pada saat akan dimulainya pertandingan, pembenjang diperiksa dulu tangannya oleh wasit. Jika selama pertandingan ada yang melakukan kecurangan misalnya menggigit atau menjabak rambut maka pertandingan dihentikan dan orang tersebut dikeluarkan. Waktu yang digunakan untuk satu babak pertandingan benjang adalah 3 menit, diharapkan waktu yang tidak terlalu lama tersebut untuk menghindari emosi pemain dan cedera atau luka. Permainan benjang memiliki tujuan untuk saling menjatuhkan lawan masing-masing, posisi jatuhnya lawan mempunyai nilai tersendiri. Adapun penilaian adalah sebagai berikut :

1. Nilai 5 (sempurna)
Bila pemain dapat mengangkat lawannya dan menjatuhkan terlentang.
Bila pemain dapat menjatuhkan lawannya dari posisi berdiri dengan menggunakan kaki (membelit).
Bantingan leher dan pinggang bila dilakukan dari posisi berdiri dan lawan jatuh terlentang.

2. Nilai 3 (kurang sempurna)
Bila seorang pemain dapat menjatuhkan lawan dari posisi jongkok dan lawan jatuh terlentang.
Bila seorang pemain dapat menjatuhkan lawan dari posisi berdiri tapi lawan jatuh miring.

3. Nilai 2 (tidak sempurna)
Bila seorang pemain dirugikan, gagal karena lawan melakukan pelanggaran berat (menangkap kaki sewaktu diangkat , mencekik, atau menyerang kaki dengan tangan).

Bila pemain hanya berlari-lari atau tidak mau rapat bertanding setelah dia tahu menang angka, maka akan diperingati, dan jika terus begitu dia akan mendapat hukuman yakni lawannya diberi nilai 2.

4. Nilai 1 (tipis)

Bila pemain dapat menjatuhkan lawan dari posisi berdiri tapi lawan jatuh telungkup.

Bila pemain dapat menarik lawan dari posisi berdiri sampai lawan jatuh telungkup.

Pemain benjang harus berada di dalam batas arena lingkaran, jika berada di luar batas lingkaran maka akan dihentikan sebentar. Pemain lalu disuruh masuk ke arena lingkaran dan adu gulat dilanjutkan kembali. Pertandingan benjang akan dihentikan jika lawan mengalami cedera, sakit, pemain mulai emosi dan brutal, atau lawan menyerah. Jika ada pelanggaran maka akan mendapat hukuman diskualifikasi dan lawan akan mendapat nilai 2. Pemain benjang dikatagorikan menurut kelompok umur yakni remaja (14-15 th), kadet (16-17 th), yunior (18-20 th), dan senior (20 th ke atas). Pemain yang termasuk yunior diperbolehkan mengikuti pertandingan kelompok senior. Adapun pakain pemain benjang harus bercelana pendek warna biru dan merah, sedangkan atasnya bertelanjang dada. Tidak diperbolehkan memakai celana panjang dan kaos, juga celananya tidak boleh menggunakan nama sponsor.

Adapun tempat atau arena yang digunakan untuk adu gulat benjang adalah sebuah matras berukuran 7 x 7 m dan di dalamnya terdapat lingkaran berdiameter 6 m sebagai daerah pertandingan. Matras ini bisa dilakukan di bawah (di permukaan tanah) tapi bisa pula di sebuah ring dengan ketinggian kurang lebih 1 meter. Kalau dahulu, pertandingan benjang cukup dilakukan di halaman rumah saja atau di tanah lapang, tapi sekarang karena sudah menjadi sebuah tontonan (hiburan masyarakat) maka menggunakan ring (seperti ring tinju) agar penonton bisa melihat lebih jelas.

Petugas yang terlibat dalam pertandingan benjang adalah ketua matras, juri (hakim), dan wasit. Mereka bertugas mengikuti setiap pertandingan dengan teliti dan menilai setiap gerakan sampai pada keputusan akhir. Wasit harus bersikap adil, teliti, melihat dengan seksama dan memimpin jalannya pertandingan dengan baik. Wasit juga berhak untuk menegur, memberi hukuman, dan mengeluarkan jika ada pemain yang melanggar peraturan. Juri (hakim) bertugas untuk menilai setiap gerakan secara cepat dan benar. Sedangkan ketua matras bertugas sebagai penengah jika ada beda pendapat antara wasit dan juri. Secara keseluruhan baik ketua matras, wasit, dan juri harus mampu bekerja sama memimpin jalannya pertandingan agar berjalan lancar.

Adapun prosedur pertandingan (pasanggiri atau kompetisi) adalah sebagai berikut:

Pemain mendaftar pada panitia.

Pemain diperiksa kesehatan, ditimbang badannya, dan mengambil nomor undian.

Pemain yang tidak datang ke atas ring saat dipanggil dianggap mengundurkan diri.

Pemain jika datang saat dipanggil harus menari atau ngibing sebagai bentuk penghormatan pada leluhur. Menari atau ngibing harus dilakukan karena merupakan ritual dari benjang.

Jika ada yang naik ke atas ring dan membuka baju berarti berani melawan.

Pemain berganti pakaian dengan celana benjang berwarna merah dan biru.

Pemain diperiksa telapak tangannya, apa memakai cincin atau gelang.

Kedua pemain berjabat tangan sebagai tanda penghormatan.

Setelah semuanya siap, kedua pemain mulai pasang kuda-kuda dan saling adu strategi.

Dengan diiringi musik terbang, mereka saling adu strategi dan kekuatan.

Selama pertandingan berlangsung, suara tabuhan musik terbang terus mengalun dengan iringan suara kendang, gembrung, panglipur, kecrek, terompet, dan bedug. Irama musik terbang sangat dinamis, tapi kadang bernuansa magis. Alat-alat yang terdapat pada terbang benjang sendiri memiliki nama tersendiri antara lain kempling, tempas, kemprang, dan indung. Sedangkan lagu-lagu yang dibawakan antara lain lagu ela-ela dan rinci manik.

Ada 2 tujuan dilaksanakan benjang gulat yakni hanya sebagai hiburan (ajang silaturahmi) dan dipertandingkan dengan merebut juara (pasanggiri atau kompetisi). Pertandingan (pasanggiri) benjang biasanya diselenggarakan oleh PGBSI yakni Persatuan Gulat Benjang Seluruh Indonesia atau PSGB Ujung Berung yakni Paguyuban Seni Gulat Tradisional Benjang Ujung Berung, untuk menjaring atlet-atlet gulat benjang. Sedangkan sebagai hiburan atau ajang silaturahmi (persahabatan) biasanya benjang diselenggarakan di kampung atau desa jika ada acara hajatan atau perayaan Kemerdekaan RI.

Demikian pula di Kampung Garung, sudah menjadi tradisi bagi masyarakatnya bila mengkhitankan anaknya mendatangkan seni kuda renggong yang diarak keliling kampung dan malam harinya sebagai puncak acara mengadakan pertunjukkan benjang. Benjang yang diadakan bukan merupakan pertandingan untuk merebut juara, melainkan hanya sebagai hiburan dan ajang silaturahmi sesama pemain benjang yang berasal tidak saja dari satu kampung tapi juga dari luar kampung. Pabega (Paguyunan benjang Garung) adalah perguruan atau ‘paguron’ yang sangat dikenal dan disegani oleh paguron benjang lain. Oleh sebab itu jika ada pertunjukkan benjang di Garung, maka bisa dipastikan penonton maupun pemain benjang dari Kampung lain berduyun-duyun datang. Mereka ingin menyaksikan dan mengadu keberanian melawan pebenjang dari Garung.

Tepat pukul 8 malam, warga sudah berdatangan dan mulai memadati arena benjang gulat. Warga yang hadir tidak saja dari Garung tapi juga dari beberapa kampung dan desa lain,. terutama para pemain gulat (pebenjang) yang ingin mengadu kebolehannya atau menantang pebenjang lain. Suasana makin lama makin ramai dan tegang, benar-benar seperti adu tinju, atau smack down yang saat ini digandrungi masyarakat kota. Tepat pukul 9 malam acara dimulai dengan dibuka oleh sambutan sesepuh benjang yakni Bp. Aki Anang, dilanjutkan dengan sambutan kepala desa Bp Ade. Sebagai pembukaan, para sesepuh benjang dan tokoh desa melakukan tarian ritual sebagai penghormatan pada leluhur. Dengan diiringi musik terbang yang terdiri dari alat musik gembrung, kendang, kecrek, dan terompet, mereka menari (ngibing) kurang lebih 15 menit.

Usai para sesepuh menari, maka mulailah adu gulat benjang yang dikuti kurang lebih 30 paguron. Seseorang naik ke atas ring lalu menari dengan menunjuk satu jari sebagai tanda menantang lawan, jika ada yang naik ke ring dengan menepuk bahu itu artinya tidak berani melawan. Akan tetapi kalau orang tersebut membuka baju, itu artinya berani melawan tantangannya. Maka mulailah mereka melakukan adu gulat benjang, dengan disambut tepuk sorak dari penonton. Penonton akan merasa senang jika ada orang yang membuka baju, itu artinya dianggap jantan berani melawan. Melihat gulat benjang teringat pula adu gulat dari Jepang, bedanya kalau gulat Jepang badannya tidak rapat, tapi gulat benjang badannya harus rapat. Jurus-jurus gulat benjang antara lain menggunakan tehnik double soun, help say badan, belit belakang, belit depan, engkel mati, dan gebotan (tangan ditarik lalu dibanting), piting, dan gelengan. Seperti olah raga lainnya gulat benjang memiliki aturan permainan yakni tidak boleh menendang kaki, menggigit, menonjok, kuku tidak boleh panjang, pegang rambut, pakai gelang cincin, dan lagi mabuk atau minum alkohol. Maka ketika mau gulat, wasit akan memeriksa kuku dan tangan pemain. Selama pertandingan berlangsung, wasit juga harus memimpin secara adil dan melihat secara seksama agar tidak terjadi pelanggaran. Wasit ini benar-benar orang yang sudah berpengalaman dan mantan jawara benjang gulat, agar tahu persis aturan permainan benjang, saat ini Bp Ena lah satu-satunya mantan pebenjang yang dianggap cocok sebagai wasit. Dalam memberikan penilaian seorang wasit harus jeli dan adil, jika musuh terlentang maka diberi nilai 5 skor paling tinggi dan musuh tertelungkup diberi nilai 1. Tiap satu babak permainan membutuhkan waktu 3 menit untuk membatasi cidera atau emosi pemain, selanjutnya ganti pemain yang lain, begitu seterusnya. Untuk mendapatkan sang juara, para pemenang diadu sampai tidak ada pemain yang berani melawan.

Penutup
Benjang adalah seni bela diri yang memiliki gerakan mirip olah raga gulat, karena itulah disebut benjang gulat Sebagai bentuk olah raga kompetisi, benjang gulat memiliki beberapa kaidah pertandingan yang berlandaskan nilai sportifitas yang tinggi. Seni beladiri ini bersifat komunikasi konvergensi sehingga menciptakan hubungan yang integral antara penonton dan pemain. Dalam perkembangannya seni benjang telah mengalami pasang surut, namun berusaha tetap tegar dan bertahan ditengah makin menjamurnya tontonan seni modern dan perubahan nilai sosial masyarakat yang terjadi. Salah satu masyarakat yang masih tetap melestarikan benjang sebagai warisan leluhur adalah warga kampung Garung.

Seni gulat tradisional benjang yang hidup di Kampung Garung Desa Cilengkrang Kabupaten Bandung, sampai sekarang masih tetap eksis, bahkan sudah menjadi bagian kehidupan yang tidak bisa dipisahkan dari setiap aktivitas masyarakatnya. Semua itu dilandasi atas rasa kecintaan dan tanggungjawab yang masih dimiliki masyarakat Garung untuk tetap mencintai dan melestarikan seni asli peninggalan leluhurnya. Mungkin inilah yang membedakan keberadaan benjang gulat di Garung dengan daerah lain, seperti di Subang, Purwakarta, Sumedang, dan wilayah lain di Jawa Barat. Pabega (Paguyuban Benjang Garung) adalah sebuah perkumpulan (perguruan atau ‘paguron’) benjang yang sangat dikenal dan disegani oleh perkumpulan benjang dari daerah lain. Melalui Pabega telah melahirkan jawara-jawara benjang yang banyak memenangkan kejuaraan dalam setiap pertandingan (kompetisi atau pasanggiri) benjang, mulai dari tingkat kecamatan sampai provinsi.

Saat ini, benjang gulat mulai dikembangkan dan ditingkatkan pembinaannya mengingat antusias dan potensi masyarakat Jawa Barat terhadap benjang gulat, dan manfaat yang didapat, serta dalam rangka melestarikan salah satu kesenian tradisional Sunda. Para tokoh benjang, sesepuh benjang, anggota benjang, serta masyarakat umum dan pemerintah, mengadakan sarasehan dan seminar untuk membahas perkembangan benjang, pembinaan pemain (atlet) dan upaya peningkatan prestasi benjang gulat. Hasil dari pertemuan tersebut terbentuklah PGBSI yakni Persatuan Gulat Benjang Seluruh Indonesia dan PSGB Ujung Berung yakni Pagubunan Seni Gulat Tradisional Benjang Ujung Berung, lengkap dengan kepengurusannya.

Melihat potensi, manfaat benjang, dan dalam rangka pelestarian salah satu seni budaya Sunda, sudah selayaknyalah ‘seni gulat tradisional benjang’ ‘dingamumule’ agar tidak punah dan digerus oleh perubahan jaman. Barangkali kita bisa belajar dari masyarakat Garung, bagaimana kita kita harus tetap mencintai dan memelihara budaya asli peninggalan karuhun, ditengah arus menjamurnya tontonan seni modern dan perubahan nilai sosial masyarakat yang terjadi saat ini. Inilah salah satu contoh upaya revitalisasi kesenian tradisional yang dilakukan oleh masyarakat Garung.

Daftar Pustaka
Boas F, Primitive Art, New York, 1966.
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, Rineka Cipta, Jakarta 1990.
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1974

Photo : http://farm4.static.flickr.com

Dra. Ani Rostiyati adalah sebagai Tenaga Peneliti Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisonal Bandung, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata