Candi Panataran adalah sebuah candi berlatar belakang Hindu (Siwaitis) yang mulai dibangun dari kerajaan Kadiri dan dipergunakan sampai dengan kerajaan Majapahit. Candi Penataran terdiri atas beberapa gugusan sehingga lebih tepat kalau disebut komplek percandian yang melambangkan penataan pemerintahan kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa Timur dan Kompleks candi ini merupakan yang terbesar di Jawa Timur. Candi Penataran terdaftar dalam laporan Dinas Purbakala tahun 1914 - 1915 nomor 2045 dan catatan Verbeek nomor 563
A. Lokasi
Lokasi bangunan terletak di lereng barat daya Gunung Kelud pada ketinggian 450 m dpl (di atas permukaan air laut), di suatu desa yang juga bernama Panataran, kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar. Untuk sampai di lokasi percandian dapat di tempuh dari pusat kota Blitar ke arah utara yaitu kearah jurusan Makam Proklamator Bung Karno. Jarak dari kota sampai lokasi diperkirakan 12 km, jalan mulus beraspal dan dapat ditempuh dengan berbagai jenis kendaraan. Setelah perjalanan mencapai 10 km dari kota Blitar, maka sampailah di pasar Nglegok, kemudian terus sampai pasar desa Panataran. Dari sini jalan bercabang dua, yaitu belok ke kanan menuju desa Modangan sedangkan yang belok kekiri (ke arah barat) menuju ke lokasi percandian jaraknya tinggal sekitar 300 m.
B. Susunan Umum Komplek Percandian
Secara garis besarnya susunan umum komplek Candi Penataran menempati areal tanah seluas 12.946 m2 dengan bangunan candi berjajar dari barat laut ke timur kemudian berlanjut ke bagian tenggara. Seluruh halaman komplek percandian kecuali halaman yang berada di bagian tenggara di bagi-bagi (disekat) oleh dua jalur dinding yang melintang dari arah utara ke selatan sehingga membagi halaman komplek percandian menjadi tiga bagian yaitu halaman A untuk halaman I, halaman B untuk halaman II, dan halaman C untuk halaman III. Pembagian halaman komplek percandian menjadi tiga bagian adalah berakar pada kepercayaan lama nenek moyang kita. Sebagian dapat diamati oleh peta situasi, halaman B masih di bagi lagi oleh dinding yang membujur arah timur - barat sehingga membagi halaman B menjadi dua bagian. Apakah halaman B ini dahulu tertutup oleh tembok keliling belum di ketahui dengan pasti sebab kini yang tinggal hanya pondasi - pondasinya saja. Begitu juga tembok keliling komplek percandian sudah sejak lama runtuh, yang nampak sekarang adalah bagian pagar tanaman hidup yang berfungsi sebagai batas pagar keliling. Tembok keliling dan dinding penyekat terbuat dari bahan bata merah, sehingga karena perjalanan waktu yang cukup lama menyebabkan keruntuhannya.
Susunan komplek percandian Penataran memang menarik karena letak bangunan yang satu dengan yang lain berhadap-hadapan terus ke belakang yang sepintas kelihatannya agak membingungkan. Susunan bangunan mirip dengan susunan bangunan pura yang ada di Bali. Dalam susunan seperti ini di bagian halaman yang terletak paling belakang adalah yang paling suci karena di sini terdapat bangunan pusatnya atau bangunan induknya. Juga di Bali tempat bagi dewa - dewa berada di bagian candi yang paling belakang yakni bagian yang paling dekat dengan gunung. Di Jawa Timur perwujudan dalam bentuk bangunan berupa bangunan candi yang berteras-teras dengan susunan makin ke atas makin kecil yang di sebut punden berundak. Pintu masuk ke halaman komplek percandian yang sementara ini juga berfungsi sebagai pintu keluar terletak di bagian barat. Dengan menuruni tangga masuk yang berupa undak-undakan (tangga) sampailah kita di ruang tunggu tempat pengunjung mendaftarkan diri sebelum masuk halaman komplek percandian. Disini terdapat dua buah arca penjaga pintu (Dwaraphala) yang di kalangan masyarakat Blitar di kenal dengan sebutan “Mbah Bodo” yang menarik dari kedua arca penjaga ini bukan karena ukurannya yang besar dan wajahnya yang menakutkan (daemonis) tetapi pahatan angka tahun tertulis dalam huruf Jawa Kuno: tahun 1242 Saka atau kalau di jadikan mesehi (ditambah 78 Tahun) menjadi 1320 Masehi
Dwaraphala (Mbah Bodo)
Berdasarkan pahatan angka tahun yang terdapat pada kedua lapik arca penjaga tersebut para Arkeolog berpendapat bahwa bangunan suci Pala (nama lain untuk candi penataran) di resmikan menjadi kuil negara (state temple) baru pada jaman Raja Jayanegara dari Majapahit yang memerintah pada tahun 1309 - 1328 AD. Di sebelah timur kedua arca penjaga di tempat yang tanahnya agak tinggi terdapat sisa-sisa pintu gerbang dari bahan bata merah. Pintu gerbang tersebut masih di sebut-sebut Jonathan Rigg dalam kunjungannya ke candi Penataran pada tahun 1848. Dengan melalui bekas pintu gerbang ini sampailah kita ke bagian terdepan halaman A. Disini masih dapat disaksikan sekitar 6 buah bekas bangunan yang hanya tinggal pondasinya saja itu terbuat dari bahan batu bata merah. Melihat banyaknya umpak - umpak batu yang tersisa di sini dapat diduga bahwa dahulu terdapat bangunan - bangunan yang menggunakan tiang kayu seperti yang dapat kita jumpai di Bali. Berapa banyak bangunan yang menggunakan tiang - tiang kayu belum dapat diketahui dengan pasti. Bangunan -bangunan penting yang terletak di halaman A adalah sebuah bangunan yang berbentuk persegi panjang yang disebut dengan nama “Bale Agung”, kemudian bangunan bekas tempat pendeta yang hanya tinggal tatanan umpak-umpak saja, sebuah bangunan berbentuk persegi empat dalam ukuran yang lebih kecil dari bangunan bale agung yang di sebut dengan nama “pendopo teras” atau “batur pendopo” dan bangunan yang berupa candi kecil berangka tahun yang di sebut candi Angka tahun. Bangunan - bangunan tersebut seluruhnya terbuat dari batu andesit.
Menurut halaman B juga melewati sisa-sisa bekas pintu gerbang yang bagian depannya di jaga oleh dua buah arca dwarapala dalam ukuran yang lebih kecil. Kedua arca dwarapala ini pada lapik arca nya juga terpahat angka tahun, tertulis tahun 1214 Saka atau 1319 Masehi. Peristiwa apa yang dikaitkan dengan angkat tahun ini belum diketahui. Di Halaman B masih dapat di saksikan sekitar 7 buah bekas bangunan, ada bangunan yang terbuat dari bahan bata merah dan ada juga bangunan yang terbuat dari bahan batu andesit. Dari ketujuh buah bekas bangunan tersebut enam buah diantaranya sudah tidak dapat dikenali lagi bentuknya. Satu satunya bangunan yang cukup di kenal adalah Candi Naga, di sebut demikian karena sekeliling tubuh bangunan tersebut di lilit ular Naga. Bangunan Candi Naga seluruhnya terbuat dari batu andesit.
Halaman terakhir adalah halaman C, di situ juga terdapat bekas pintu gerbang yang bagian depannya di jaga oleh dua buah arca dwarapala. Ada sekitar 9 buah bekas bangunan, dua buah yang sudah dapat dikenali adalah bangunan candi induk, tujuh bangunan yang lain sementara ini belum terungkapkan.
Disebelah selatan bangunan candi masih berdiri tegak sebuah batu prasasti atau batu bertulis. Melihat besarnya ukuran batu prasasti ini para ahli menduga batu tersebut masih berada di tempat aslinya. Prasasti menggunakan huruf jawa kuno bertahun 1119 Saka atau 1197 Masehi di keluarkan oleh Raja Srengga dari kerajaan Kediri. Karena isinya antara lain menyebutkan tentang peresmian sebuah perdikan untuk kepentingan Sira Paduka Batara Palah maka para Arkeolog berpendapat bahwa yang dimaksud Palah tentunya tidak lain adalah Penataran. Andaikata dapat dibenarkan bahwa Palah adalah Candi Penataran sekarang maka usia pembangunan komplek percandian Penataran memakan waktu sekurang-kurangnya 250 tahun, di bangun dari 1197 Masehi pada jaman kerajaan Kediri sampai tahun 1454 pada jaman kerajaan Majapahit. Hampir semua bangunan yang dapat kita saksikan sekarang berasal dari masa pemerintahan raja-raja Majapahit. Barangkali bangunan-bangunan yang lebih tua (dari jaman Kediri) telah lama runtuh. Masih ada dua bangunan lain yang letaknya di luar komplek percandian tentunya masih ada hubungannya dengan komplek percandian Penataran secara keseluruhan. Bangunan tersebut berupa sebuah kolam berangka tahun 1337 Saka atau 1415 Masehi yang terletak di sebelah tenggara dan sebuah kolam lagi (Petirtaan) dalam ukuran yang agak besar terletak kira-kira 200 m ke arah timur laut komplek percandian.
Bale Agung
Lokasi bangunan terletak di bagian barat laut halaman A, posisinya sedikit menjorok ke depan. Bangunan seluruhnya terbuat dari batu dindingnya masih dalam keadan Polos. Pada dinding sisi selatan dan sisi utara terdapat tangga masuk yang berupa undak-undakan sehingga membagi dinding sisi utara maupun sisi selatan menjadi dua bagian. Begitu pula pada dinding sisi timur ini menjadi tiga bagian. Sekeliling tubuh bangunan bale agung dililiti oleh ular atau naga, kepala ular tersembul pada bagian sudut bangunan. Di sebelah kiri dan kanan masing-masing tangga naik terdapat arca penjaga yang berupa arca mahakala. Arca-arca Mahakala yang teletak di sebelah kiri dan kanan tangga masuk dinding sisi timur nampaknya tidak lengkap lagi. Bangunan Bale Agung berukuran panjang 37 meter, lebar 18,84 meter dan tinggi 1,44 meter. Sejumlah umpak batu yang berada di lantai atas diperkirakan dahulu sebagai penumpu tiang-tiang kayu untuk keperluan atap bangunan. Fungsi bangunan Bale Agung menurut N.J Krom seperti juga di Bali dipergunakan untuk tempat musyawarah para pendeta atau Pedanda.
Pendopo Teras
Juga di sebut Batur Pendopo, lokasi bangunan berada di sebelah tenggara bangunan Bale Agung. Berbeda dengan bangunan Bale Agung yang polos bangunan pendopo teras ini dindingnya dikelilingi oleh relief-relief cerita. Pada dinding sisi barat terdapat dua buah tangga naik yang berupa undak-undakan, tangga ini tidak berlanjut di dinding bagian utara. Pada masing-masing sudut tangga masuk di sebelah kiri dan kanan pipi tangga terdapat arca raksasa kecil bersayap dengan lutut di tekuk pada satu kakinya dan salah satu tangannya memegang Gada Pipi tangga yang pada bagian yang berbentuk ukel besar berhias umpal yang indah. Bangunan pendopo teras berangka tahun 1297 Saka atau 1375 Masehi. Letak pahatan angka tahun ini agak sulit mencarinya karena berbaur dengan hiasan yang berupa sulur daun-daunan, lokasi berada di pelipit bagian atas dinding sisi timur, seperti pada bangunan bale agung, sekeliling tubuh bangunan pendopo teras juga dililiti ular yang ekornya saling berbelitan, kepalanya tersembul diatas di antara pilar-pilar bangunan. Kepala ular sedikit mendongak ke atas, memakai kalung dan berjambul.
Bangunan tersebut seluruhnya dari batu, berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran panjang 29,05 meter, lebar 9,22 meter dan tinggi 1,5 meter. Diduga bangunan pendopo teras ini berfungsi sebagain tempat untuk menaruh sesaji dalam rangka upacara keagamaan.
Candi Angka Tahun
Disebut demikian karena di atas ambang pintu masuk bangunan terdapat angka tahun: 1291 Saka (=1369 Masehi). Lokasi bangunan berada di sebelah timur bangunan pendopo teras dalam jarak sekitar 20 m. Di kalangan masyarakat lebih di kenal dengan nama Candi Browijoyo karena model bangunan ini dipergunakan sebagai lambang kodam V Brawijaya. Kadang-kadang ada yang menyebut Candi Ganesa karena di dalam bilik candinya terdapat sebuah arca ganesa. Pintu masuk candi terletak di bagian barat, pipi tangganya berakhir pada bentuk ukel besar (voluta) dengan hiasan tumpal yang berupa bunga-bungaan dalam susunan segitiga sama kaki. Candi Angka Tahun seperti umumnya bangunan-bangunan candi lain terdiri dari bagian - bagian yang disebut: Kaki candi yaitu bagian candi yang bawah, kemudian tubuh candi dimana terdapat bilik atau kamar candi (gerbagerha) dan kemudian mahkota bangunan yang berbentuk kubus. Pada bagian mahkota nampak hiasan yang meriah. Pada masing-masing dinding tubuh candi terdapat relung-relung atau ceruk yang berupa pintu semu yang dibagian atasnya terdapat kepala makhluk yang bentuknya menakutkan. Kepala makhluk seperti ini disebut kepala kalayang di Jawa Timur sering disebut banaspati yang berarti raja hutan yang bisa berupa singa atau harimau. Penempatan kepala kala diatas relung candi dimaksudkan untuk menakut-nakuti roh jahat agar tidak berani masuk ke komplek percandian. Bangunan candi Angka Tahun cukup terkenal seakan-akan bangunan inilah yang mewakili komplek percandian Panataran. Di bagian atas bilik candi pada batu penutup sungkup terdapat relief “Surya Majapahit” yakni lingkaran yang dikelilingi oleh pancaran sinar yang berupa garis-garis lurus dalam susunan beberapa buah segitiga sama kaki. Relief Surya Majapahit juga ditemukan di beberapa candi yang lain di Jawa Timur ini dalam variasi yang sedikit berbeda.
Candi Naga
Berbeda dengan bangunan-bangunan yang telah diterangkan di atas, Candi Naga berada di halaman B. Bangunan terbuat seluruhnya dari batu dengan ukuran lebar 4,83 meter, panjang 6,57 meter dan tinggi 4,70 meter. Seperti Candi Angka Tahun pintu masuk bilik candi terletak di bagian barat dengan pipi tangga berhiasan tumpal. Fisik bangunan hanya tinggal bagian yang disebut kaki dan tubuh candi, bagian atapnya yang kemudian dibuat dari bahan yang tidak tahan lama telah runtuh. Bangunan yang kita saksikan pada saat ini adalah hasil pemugaran tahun 1917 - 1918. Disebut Candi Naga karena sekeliling tubuh candi dililit naga dan figur-figur atau tokoh-tokoh seperti raja sebanyak sembilan buah masing-masing berada di sudut-sudut bangunan bagian tengah ketiga dinding dan disebelah kiri dan kanan pintu masuk. Kesembilan tokoh ini digambarkan dalam pakaian mewah dengan prabha di bagian belakangnya, salah satu tangannya memegang genta (bel upacara) sedang tangan yang lain mendukung tubuh naga yang melingkar bagian atas bangunan.
Kesembilan tokoh tersebut dalam keadaan berdiri dan menjadi pilaster bangunan. Pada masing-masing dinding tubuh candi masih dihias dengan model-model bulatan yang disebut dengan “Motif Medallion”. Di dalam bulatan terdapat relief yang menggambarkan kombinasi antara daun-daunan atau bunga-bungaan dengan berbagai jenis biantang atau burung. Di antara motif-motif medallion terdapat relief cerita binatang dalam ukuran yang lebih kecil, sayang cerita yang digambarkan dalam relief-relief ini belum dapat diungkapkan. Menurut orang-orang Bali yang pernah mengunjungi komplek percandian Panataran fungsi Candi Naga adalah sama dengan Pura Kehen di Bali sebagai tempat untuk menyimpan milik dewa-dewa. Pura Kehen itu terletak di daerah Bangli, usianya belum terlalu tua di dalamnya terdapat arca-arca yang diduga berasal dari abad XIV. Jadi yang tua adalah koleksi-koleksinya bukan bangunannya. Barangkali lebih tepat kalau Candi Naga dibandingkan dengan Pura Taman Sari yang terletak di Kabupaten Klungkung. Pura yang ditemukan tahun 1975 ini menunjukkan pertalian yang dekat dengan kerajaan Majapahit. Pura ini kecuali berfungsi sebagai pemujaan kerajaan Klungkung juga dipergunakan sebagai tempat pemasupatian (pemberian kesaktian) senjata-senjata pusaka yang dibawa dari kerajaan Majapahit. Apabila perbandingan ini dapat dibenarkan maka fungsi Candi Naga bukan hanya untuk menyimpan benda-benda upacara milik para dewa tetapi lebih tepat kalau untuk pemasupatihan benda-benda milik kerajaan Majapahit. Untuk keperluan pemasupatihan tidak perlu dibawa ke Bali.
Candi Induk
Lokasi bangunan terletak dibagian yang paling belakang yakni bagian yang dianggap suci.
Bangunan Candi Induk terdiri dari tiga teras bersusun dengan tinggi seluruhnya 7,19 meter. Teras pertama berbentuk empat persegi dengan diameter 30,06 meter untuk arah timur barat. Pada keempat sisinya kira-kira di bagian tengah masing-masing dinding terdapat bagian yang menjorok keluar sekitar 3 meteran. Pada teras pertama dinding sisi barat terdapat dua buah tangga naik yang berupa undak-undakan.
Teras kedua bentuknya berbeda dengan teras pertama bagian-bagian yang menjorok bukan ke luar tetapi ke dalam untuk ukuran yang lebih kecil. Adanya perbedaan ukuran antara teras pertama dan teras kedua menyebabkan terjadinya halaman kosong di lantai teras pertama sehingga orang dapat berjalan-jalan mengelilingi bangunan sambil menyaksikan adegan-adegan yang digambarkan dalam relief. Tempat kosong ini namanya selasar. Pada teras kedua terdapat sebuah tangga naik yang letaknya hampir di tengah-tengah dinding, tangga naik bersambung dengan tangga yang berada di teras ketiga.
Teras ketiga bentuknya hampir bujur sangkar, dinding-dindingnya berpahatkan arca singa bersayap dan naga bersayap. Naga bersayap kepalanya sedikit mendongak ke depan sedangkan singa bersayap kaki belakangnya dakam posisi berjongkok dan kaki depannya diangkat keatas. Pahatan-pahatan pada dinding teras ketiga selain untuk mengisi bidang yang kosong juga menjadi pilaster bangunan. Yang menarik dari lantai teras ketiga ini adalah sewaktu diadakan pembukaan lantai dalam rangka pemugaran ternyata bagian tengah lantai teras terbuat dari bata merah. Nampak jelas denah bangunan yang berbentuk persegi empat dengan bagian-bagian yang menjorok ke depan. Berdasarkan data-data tersebut timbul dugaan bahwa bangunan asli Candi Penataran dibuat dari batu merah. Dalam kurun waktu berikutnya diperluas dengan menutupinya memakai batu andesit. Perluasan itu terjadi pada jaman Majapahit. Apakah bangunan yang lama yang dibuat dari bahan bata merah ini yang dimaksudkan dalam prasasti Palah kiranya perlu penelitian lebih lanjut di masa yang akan datang.
Dengan sampainya di lantai teras ketiga candi induk sampailah kita pada dasar kaki candi. Disinilah seharusnya berdiri tubuh candi. Sebagian dari tubuh candi induk ini telah di susun dalam susunan percobaan di lapangan percandian. Karena bagian-bagian percandian belum dapat di temukan semuanya maka sampai saat ini bangunan tubuh candi induk belumdapat diselesaikan.
Pada masing-masing sisi kedua tangga naik ke teras pertama terdapat arca dwarapala, pada alas arca terdapat tahun angka 1269 Saka atau 1347 Masehi. Di bagian arca dwaraphala ini terdapat relief cerita, relief-relief cerita juga terdapat pada dindingdinding teras pertama dan kedua bangunan candi induk yang nanti akan diceritakan tersendiri.
C. Cerita-cerita Singkat Relief-relief
Sejumlah bangunan purbakala di Jawa Timur dindingnya berpahatkan relief-relief cerita dalam kombinasi berbagai ragam hias yang indah dan menarik. Relief-relief tersebut dipahatkan pada bangunan-bangunan yang dibuat dari bahan batu keras dan juga dipahatkan pada bangunan-bangunan yang di buat dari bahan bata merah walaupun jumlahnya tidak terlalu banyak.
Pada umumnya relief-relief gaya Jawa Timur berbentuk agak pipih (gepeng) seperti wayang, berbeda dengan relief-relief gaya Jawa Tengah yang berbentuk naturalis atau realistik dalam arti mendekati bentuk model yang sebenarnya. Dengan melalui visualisasi relief-relief ininenek moyang kita atau seniman ingin menyampaikan informasi atau pesan kepada masyarakat. Informasi atau pesan tersebut dapat berupa cerita yang didalamnya terkandung tentang ajaran-ajaran agama, tentang kepahlawanan, tentang cinta kasih dan sebagainya. Juga berupa tutur yakni dongengan yang bersifat mendidik. Dan tidak mustahil bila di antara sekian banyak relief ada yang menggambarkan semacam protes sosial yang terjadi pada zamannya. Studi tentang relief memang menarik sebab dari sinilah kita dapat melihat gambaran sebagian dari kejadian-kejadian yang terjadi di masa lalu, tentang kehidupan masyarakat sehari-hari, tentang model-model bangunan, tentang berbagai pola ragam hias, tentang filsafat dan kepercayaan nenek moyang pada waktu itu. Untuk pembacaan suatu adegan dalam relief dapat mengikuti arah jarum jam yang juga di sebut pradaksina dan juga dapat kebalikannnya yakni berlawanan dengan arah jarum jam yang di sebut prasawnya. Jadi ada yang berurutan dari kiri ke kanan atau sebaliknya. Di komplek percandian penataran relief-relief yang terdapat di dinding-dinding pendopo teras pada bidang atau panil-panil tertentu di bagian atasnya terdapat tulisan singkat dalam huruf jawa kuno yang diduga merupakan petunjuk bagi para pemahat cerita apa yang harus digambarkan. Beberapa tulisan singkat yang telah berhasil dibaca memang sesuai dengan adegan yang dilukiskan dalam relief tersebut. Tulisan-tulisan singkat seperti ini juga terdapat di candi Borobudur. Adapun relief-relief di komplek percandian Penataran yang telah diketahui jalan ceritanya seperti di bawah ini.
Relief: Sang Setyawan
Lokasi: dinding sisi timur bangunan pendopo teras Urutan adegan: Prasawya, dari kiri ke kanan dimulai dari sudut tenggara terdiri dari sekitar 18 panil
Cerita singkat: Adalah seorang penduduk khayangan bernama Sang Setyawan seseorang yang dikisahkan mempunyai sifat-sifat patuh dan setia sehingga bersedia mengerjakan segala pekerjaan sampai pekerjaan yang dipandang hina sekalipun. Pada suatu ketika Sang Setyawan menghadap di kerajaan Pus - pa Tan Alum, rajanya bernama Jayati dari negeri Kertanirmala. Sang raja terpikat oleh sifat-sifat Sang Setyawan sehingga dengan senang hati ia menjodohkan dengan putrinya yang bernama Suwistri.
Tibalah saatnya Sang Setyawan meninggalkan istrinya untuk pergi bertapa. Suwistri bersama abdinya yang bernama Sucita mencarinya ke hutan. Begitu melihat istrinya datang dari kejauhan, Sang Setyawan tiba-tiba mengubah dirinya menjadi ular dan harimau untuk membuat Suwistri takut.Ternyata Suwistri tenang-tenang saja. Begitu juga sewaktu digoda oleh pertapa-pertapa yang sedang mengerjakan sawah mereka jatuh cinta pada Suwistri dan saling berkelahi. Sang Setyawan kemudian menciptakan sebuah pertapaan yang indah dan kemudian mengganti namanya dengan Cilimurti. Suwistri kemudian dijadikan pertapa dan diberi pelajaran hal ihwal yang menyangkut kebiaraan. Setelah selesai menuntut pelajaran tersebut kemudian ia menjadi satu dengan Cilimurti yang ternyata adalah Sang Hyang Wenang. Tersebutlah kemudian orang tua Suwistri bersama istrinya yang bernama Dewayani kemudian pergi untuk mencari anaknya. Akhirnya diketahui bahwa anaknya telah bersatu dengan Sang Hyang Wenang. Raja Jayanti bersama istrinya kemudian mengikuti jejak anaknya untuk menjadi pertapa. Atas perintah Sang Hyang Wenang mereka diperintahkan untuk menuju ke gunung Meru, raja Jayanti di bagian Timur sedangkan Dewayanti di bagian barat.
Relief: Sri Tanjung
Lokasi: dinding sisi barat kemudian terus berlanjut pada dinding sisi selatan pada bangunan pendopo teras. Urutan Adegan: prasawya, dimulai dari dinding sebelah kanan tangga masuk sebelah selatan.
Cerita Singkat:Dikisahkan, adalah Pangeran Sidapaksa salah seorang turunan Pandawa yang mengabdi pada prabu Sulakarma di negeri Sindurejo. Pada suatu ketika Sidopaksa diutus sang prabu untuk mencari obat ke tempat seorang begawan yang bernama Tambapetra di desa Prangalas.Obat pesanan sang prabu memang tidak diperoleh malah Sidapaksa jatuh cinta pada putri sang begawan yang bernama Sri Tanjung. Sidapaksa berhasil mempersunting Sri Tanjung yang memang cantik rupawan. Kecantikan Sri Tanjung terdengar pula oleh sang prabu dan berminat untuk berbuat yang tidak senonoh. Dicarinya akal untuk memperdaya Sidapaksa dengan diutus kekhayangan dengan maksud supaya dibunuh para dewa sesuai dengan bunyi surat yang dibawakannya. Memang dikhayangan Sidapaksa sempat dihajar oleh para dewa dan hampir saja dibunuhnya. Pada saat-saat kritis Sidapaksa menyebut-nyebut nama Pandawa, akibatnya ia tidak jadi dibunuh karena sebenarnya ia adalah keluarga sendiri. Sidapaksa kembali dari khayangan dengan selamat. Sementara Sidapaksa berangkat ke khayangan, prabu Sulakrama berusaha menggoda Sri Tanjung akan tetapi tidak berhasil. Merasa malu kemudian sang prabu menempuh jalan lain dengan memfitnah Sidapaksa. Dikatakannya bahwa selama ia pergi kekhayangan istrinya telah berbuat serong. Fitnah ternyata berhasil membuat Sidapaksa kalap dan sebagai puncak kemarahannya istrinya kemudian dibunuh. Diceritakan dalam perjalanan ke alam roh Sri Tanjung naik ikan (dalam versi lain diceritakan naik buaya putih) menyeberangi sebuah sungai yang maha luas. Di sana ia bertemu dengan Betari Durga, karena belum waktunya meninggal maka oleh sang betari ia dihidupkan kembali. Sri Tanjung kemudian kembali ke Desa Prangalas.
Tersebutlah Sidapaksa yang mengetahui bahwa sebenarnya istrinya tidak bersalah sebagaimana diucapkan sesaat sebelum merenggang nyawa, menjadi sakit saraf dan hampir-hampir saja bunuh diri. Kemudian datanglah Betari Durga yang menyuruh Sidapaksa ke Desa Prangalas untuk menemui Sri Tanjung. Terjadi kesepakatan, Sri Tanjung bersedia kembali asal Sidapaksa dapat memenggal kepala Prabu Sulakrama. Permintaan tersebut dapat dipenuhi bahkan kepala sang prabu dijadikan alas kaki (keset = bahasa Jawa) Sri Tanjung. Mereka kemudian hidup bahagia.
Relief: Bubuksah-Gagang Aking
Lokasi: Dinding pendopo teras sisi timur
Urutan Adegan: Prasawya, dari kiri ke kanan
Cerita Singkat: Adalah dua orang bersaudara masing-masing dikenali dengan nama Bubuksah dan Gagang Aking. Kedua bersaudara tersebut bertapa untuk mencapai tingkat kesempurnaan hidup. Caranya memang berbeda dalam melaksanakan “laku”, Bubuksah makan segala makanan sehingga badannya gemuk sedangkan Gagang Aking menjauhi makan minum sehingga menjadi kurus kering. Pada suatu ketika Betara Guru mengutus Kalawijaya yang sebenarnya juga seorang dewa yang menyamar sebagai harimau putih untuk menguji kakak beradik tersebut. Kalawijaya mengatakan menginginkan daging manusia, ketika permintaan ini disampaikan ke Gagang Aking serta merta ditolaknya dengan alasan tak ada gunanya memakan dirinya yang kurus itu. Sedangkan Bubuksah menyediakan diri sepenuhnya untuk dimakan harimau putih karena dirinya dalam menjalankan laku juga memakan segala jenis makanan dan juga binatang-binatang. Harimau putih kemudian menjelma kembali menjadi Kalawijaya, Bubuksah dinyatakan lulus dalam ujian. Setelah meninggal roh Bubuksah didukung di atas tubuh harimau tersebut sementara Gagang Aking hanya bergelantung di ekornya saja.
Relief Bubuksah-Gagang Akih dapat kita saksikan di candi-candi yang lain misalnya di Candi Surowono yang terletak di daerah Pare, Kediri dan di Candi Gambar Wetan yang terletak di perkebunan Gambar, Nglegok, Blitar.
Relief: Ramayana (Hanoman Duto)
Lokasi: Dinding teras pertama candi induk, mengelilingi dinding teras.
Urutan Adegan: Prasawnya, dimulai dari dinding sisi utara yang menghadap ke barat terus melingkar kembali ke dinding utara yang menghadap ke utara jumlahnya sekitar 91 panil.
Cerita Singkat: Hanoman salah satu pimpinan kera kepercayaan sugriwa pada suatu ketika diutus ke alengka tempat istana Rahwana untuk mencari sinta. Dengan jalan mendaki gunung kemudian menyebrangi lautan sampailah ia di istana Rahwana. Sementara Hanoman bersembunyi di atas pohon, kemudian setelah keadaan memungkinkan ia menyelinap kedalam istana untuk menyerahkan cincin titipan Rama. Sewaktu keluar istana Hanoman kepergok penjaga istana hingga terjadilah perkelahian. Hanoman mengamuk merusak taman, kejadian ini dilaporkan kepada Rahwana. Bala bantuan di kirim, pertempuran sengit terjadi. Banyak korban berjatuhan bahkan Aksa anak rahwana sampai patah tulang tangannnya. Pasukan berikutnya di pimpin oleh Indrajid yang mempergunakan panah ular (panah berantai). Dengan panah ini hanoman berhasil di belenggu, ekornya di bungkus kain kemudian dilumuri minyak terus dibakar. Tentu saja membuat Hanoman meronta-ronta, dengan bergulung-gulung belenggu dapat dilepaskan. Dalam keadaan terbakar ekornya ia melompat kian kemari, melompat ke atas hubungan rumah sehingga seluruh istana terbakar. Suasana istana menjadi gempar, sebelum meninggalkan tempat, Hanoman sempat pamitan kepada Sinta. Hanoman kemudian lapor kepada Rama dan Laksmana. Sugriwa diperintah untuk mengerahkan pasukan kera. Dengan menembok samudra pasukan kera berhasil membangun jembatan yang menuju ke alengka. Setelah persiapan selesai bala tentara kera dipimpin oleh sugriwa, Laksmana dan Rama menyerang alengka.
Korban banyak berjatuhan diantara dua pihak. Dalam pertempuran ini Laksmana berhasil memanah Kumbokarno hingga mati seketika. Pertempuran masih terus berlangsung untuk menumpas sisa-sisa pasukan.
Relief: Kresnayana (Noroyono Maling)
Lokasi: Dinding teras kedua candi induk
Urutan Adegan: Pradaksina, dari kanan terus ke kiri
Cerita Singkat: Dewi Rukmini putri dari Raja Bismaka dari negeri Kundina sudah dipertunangkan dengan Suniti raja dari negeri Cedi. Pertunangan ini tidak disetujui oleh ibu Rukmini yang menginginkan putrinya dapat dijodohkan dengan Kresna. Ibu Rukmini berusaha untuk menggagalkan perkawinan ini. Sewaktu perkawinan akan berlangsung ibu Rukmini menghubungi Kresna. Rukmini keluar istana menuju pintu gerbang Sri Manganti, kemudian disambut oleh Kresna utnuk dibawa lari. Suasana istana gempar, terjadilah pertempuran antara kedua belah pihak. Dalam pertempuran ini Rukma adik Rukmini terkena panah Kresna kemudian terjungkal jatuh. Rukmini minta kepada Kresna supaya adiknya tidak dibunuh. Kresna dan Rukmini kemudian pergi ke Dwarawati, mereka hidup bahagia.
Relief: Pemburu yang tertipu
Lokasi: Dinding sisi utara kolam berangka tahun dan juga di bagian belakang arca penjaga sebelah kiri tangga utara candi induk.
Urutan Adegan: Prasawya, dari kiri terus ke kanan, yang dibagian belakang arca Dwaraphala candi induk hanya suatu adegan.
Cerita Singkat: Seorang pemburu hampir menjelang senja pulang dari hutan dengan membawa hasil tangkapannya yang berupa seekor kura-kura. Seekor kancil yang konon merupakan sahabat akrab kura-kura berusaha untuk menolongnya dengan memalingkan perhatian pemburu kepadanya.
Karena penasaran pemburu itu kemudian meletakkan hasil buruannya ketanah dan beralih mengejar kancil. Kura-kura berhasil meloloskan diri masuk semak-semak belukar. Kancil larinya semakin kencang dan menghilang dalam hutan. Pemburu yang terkecoh oleh ulah kancil terpaksa pulang dengan tangan hampa.
Relief: Kura-kura yang sombong
Lokasi: Dinding kolam berangka tahun, dinding sisi barat
Urutan Adegan: Dari kanan terus ke kiri, letak panil hampir di bagian tengah dinding
Cerita Singkat: Adalah dua ekor kura-kura di sebuah sungai yang hampir-hampir kering. Maklumlah sedang musimnya kemarau panjang. Seekor burung belibis berusaha untuk menolongnya dengan menerbangkan kedua kura-kura itu ke sebuah telaga. Dengan bergantung pada masing-masing ujung cabang kayu yang digigit oleh burung belibis kedua kura-kura itu berhasil dibawa terbang. Sebelum diterbangkan burung belibis berpesan kepada kedua kura-kura itu untuk tidak berkata-kata sepanjang perjalanan. Namun amanat burung belibis itu dilanggar gara-gara tidak kuat menahan ejekan sekelompok serigala sewaktu melewati sebuah hutan. Akibat menjawab ejekan mulut kedua kura-kura ini lepas dari cabang kayu yang digigitnya, jatuh ketanah dan menjadi santapan lezat kawanan srigala.
Relief: Lembu dan Buaya
Lokasi: Dinding kolam berangka tahun pada dinding bagian barat, juga terdapat pada bagian belakang arca dwarapala bertahun 1269 Saka yang terletak di sebelah kanan tangga masuk bangunan candi induk sisi utara
Urutan Adegan: Dari kiri terus kanan
Cerita Singkat: Seekor buaya tiba-tiba kerobohan sebatang pohon, untung berada di suatu tempat yang berlubang sehingga masih sempat menyelamatkan diri tidak sampai mati. Seekor lembu jantan lewat didepannya kemudian dimintainya pertolongan. Lembu jantan tidak keberatan dan berhasil mengangkat pohon yang tumbang tersebut.
Karena tempat buaya di lautan maka lembu jantan dimintanya untuk mengantarkannya. Setelah perjalanan sampai di tengah laut punuk (ponok, bonggol punggung) lembu digigitnya. Terasa sakit terjadilah perekelahian. Lembu jantan hampir kalah karena laut bukan alamnya. Datanglah kemudian kancil yang bertindak sebagai wasit perkara (tidak digambarkan dalam relief). Buaya dikembalikan ke tempat semula sewaktu kerobohan pohon dan kemudian ditinggal sendirian. Buaya tinggal menuju ajalnya saja.
Sumber : http://blitarian.com