Pendekatan Antropologi bagi Konflik Agraria

Oleh: Usep Setiawan

Mengiringi ulang tahun emas Antropologi Universitas Indonesia, telah digelar lokakarya bertajuk “Konflik dan Dishar-moni Sosial pada Era Reformasi di Indonesia: Sumbangan Pemikiran Antropologi untuk Pembangunan Demokrasi”, 11-12 Desember 2007, di Kampus UI, Depok.

Pada hajatan yang didukung koran Sinar Harapan ini, hadir puluhan antropolog dari Papua hingga Aceh. Kata dosen saya dulu, antropologi itu sejenis ”ilmu dewa” karena mempelajari segala aspek terkait manusia dan kebudayaannya. Maka, ketika para antropolog dari berbagi penjuru berkumpul dan berdiskusi, forum ini saya ibaratkan pertemuan ”para dewa”.

Dalam forum ini, penulis turut menyumbang pemikiran terkait fenomena konflik agraria berikut usulan solusinya. Menurut panita, konflik yang terkait dengan permasalahan akses, alokasi, dan distribusi sumber-sumber daya baik itu terkait dengan sumber daya alam, modal usaha, dan sumber-sumber kehidupan lainnya patut mendapat perhatian serius.

Kenapa konflik agraria tak pernah tertangani dengan baik? Penulis menawarkan kombinasi pendekatan politik, hukum, dan kebudayaan secara holistik dalam usaha menyelesaikan konflik agraria di Indonesia kontemporer. Mengacu data statistik permasalahan pertanahan yang saat ini ditangani Badan Pertanahan Nasional RI setelah validasi bulan Agustus 2007, diketahui terdapat 7.491 kasus, dengan rincian sengketa pertanahan 4.581 kasus, konflik pertanahan 858 kasus, dan perkaran pertanahan 2.052 kasus.

Dari 7.491 kasus tersebut, prosentase berdasarkan tipologi masalahnya adalah; (a) Penguasaan dan pemilikan 59,61%; (b) Penetapan hak dan pendaftaran hak 14,62%; (c) Batas dan letak bidang tanah 6,81%; (d) Ganti rugi eks-tanah partikelir 3,48%; (e) Tanah ulayat 1,78%; (f) Tanah objek landreform 2,27%; (g) Pembebasan dan pengadaan tanah 3,18%; (h) Pelaksanaan putusan pengadilan 8,20% (Pidato Kepala BPN RI, di Denpasar Bali, 14 November 2007).

Konflik Struktural
Menurut Mahkamah Agung, data empiris sengketa mengenai pertanahan di Indonesia cukup tinggi dibandingkan dengan sengketa lain dalam perkara perdata, baik di pengadilan tingat pertama maupun yang telah masuk ke MA. Rata-rata perkara perdata bidang pertanahan yang ditangani MA (2001-2005) tercatat 63% dari perkara perdata yang masuk ke MA (Muchsin; 2007).

Jauh sebelumnya, Konsorsium Pembaruan Agraria telah merekam 1.753 kasus konflik agraria struktural sepanjang Orde Baru, yaitu konflik yang melibatkan penduduk berhadapan dengan kekuatan modal dan/atau instrumen negara. Konflik agraria struktural adalah sengketa atau konflik yang disebabkan oleh penggunaan dan/atau penyalahgunaan kekuasaan negara yang dijalankan pemerintahan. Bukan antarwarga yang sifatnya individual.

Umumnya konflik agraria berawal dari proses “negaraisasi” tanah-tanah yang sudah lama dikuasai dan didiami rakyat. Atas nama hak menguasai dari negara, pemerintah memberikan alas klaim atau hak pemanfaatan baru bagi badan-badan usaha.

Akar konflik agraria ialah politik agraria yang dianut rezim pemerintahan yang berkuasa. Politik agraria jadi landasan perumusan dan pelaksanaan berbagai regulasi, peraturan perundang-undangan dan program pembangunan yang dijalankan pemerintah. Sepanjang dianut politik agraria yang kapitalistik, otoritarian dan represif, maka sengketa/konflik agraria struktural akan terus terjadi.

Selama hak-hak rakyat kecil terus dianaktirikan, dan kemudahan diberikan kepada pemilik modal besar, konflik dan ketimpangan yang tak adil sulit diakhiri. Maka, sebelum bicara mekanisme dan kelembagaan penyelesaian konflik, kita mesti terlebih dahulu mengubah politik agraria, dari yang pro-golongan ekonomi kuat jadi pro-golongan ekonomi lemah—seperti kaum tani, buruh, nelayan, masyarakat adat, dan kaum miskin kota.

Konflik agraria tak pernah tertangani dengan baik, selain karena politik agraria, ketiadaan mekanisme serta kelembagaan yang menanganinya, juga karena pemerintah tidak punya cukup komitmen dan kemampuan. Yang menggenapi kebuntuan penyelesaian konflik agraria ialah diabaikannya pendekatan budaya dalam memandang, menangani, mencegah, dan mengantisipasinya.

Politik, Hukum, dan Budaya
Mengingat kompleksitas persoalan yang mengitari konflik agraria, penulis menawarkan kombinasi trilogi pendekatan, yakni: politik, hukum dan budaya. Pertama, perubahan paradigma dan orientasi politik agraria nasional, dari politik yang pro “Si Kuat” menjadi pro “Si Lemah”.

Diasumsikan perubahan itu akan membuka pintu bagi dilakukannya pengkajian ulang (review) seluruh peraturan perundang-undangan terkait agraria dan sumberdaya alam. Dengan itu, dimungkinkan dibentuknya konsensus baru yang mewujud dalam aturan hukum baru yang lebih melindungi hak-hak rakyat atas tanah dan kekayaan alam. Inilah perubahan politik agraria dari yang kapitalistik, otoritarian dan represif menjadi populistik, demokratis dan menghargai hak-hak rakyat.

Kedua, pendekatan hukum secara progresif dengan mengedepankan terpenuhinya rasa keadilan substansial–kerap disuarakan Prof. Satjipto Rahardjo, bagi para korban konflik agraria. Pendekatan hukum yang mengandalkan legalisme/formalisme dalam menangani konflik agraria terbukti gagal menghadirkan keadilan dan tak mampu menuntaskan akar persoalan.

Untuk itu, tepat kiranya diadopsi gagasan yang dikembangkan dalam wacana hak asasi manusia yang dikenal sebagai konsep transitional justice—suatu pendekatan keadilan transisional, yang mengutamakan hak-hak korban konflik agraria dalam bentuk pemulihan, kompensasi dan restitusi hak asasi mereka.

Ketiga, pendekatan budaya yang menempatkan institusi dan mekanisme sosial budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sebagai instrumen alternatif penyelesai sengketa tanah/konflik agraria.

Karenanya diperlukan pemahaman utuh dan menyeluruh atas eksistensi kultural suatu komunitas masyarakat sebagai pihak yang berkonflik dengan pihak lainnya (bisnis/negara). Pemahaman sosio-budaya akan memastikan posisi masyarakat, termasuk masyarakat adat dan masyarakat setempat lainnya sebagai subjek utama perancang sekaligus pelaku penyelesaian konflik agraria secara sosio-kultural.

Dengan kombinasi ketiga pendekatan ini, kita memiliki peluang mendekati, menangani dan mencegah konflik sosial akibat konflik agraria secara utuh dan menyeluruh (holistik). Kunci pembukanya, pertama kali dibutuhkan kemauan politik yang super kuat dari para penyelenggara negara untuk menghargai antropologi sebagai induk ilmu dan pendekatan yang meletakkan keragaman budaya bangsa sebagai potensi berharga bagi upaya penyelesaian aneka konflik di tengah masyarakat, bangsa dan negara.

Akhirnya, forum yang digelar para antropolog di akhir 2007 ini relevan dengan upaya mengingatkan Presiden RI akan janjinya untuk memulai reforma agraria tahun 2007, sebagaimana beliau pidatokan pada 31 Januari 2007.

Penulis adalah lulusan antropologi Universitas Padjadjaran Bandung, kini sebagai Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Sumber: http://www.duniaesai.com