Dari segala macam ungkapan dan kalimat yang tersimpan di dalam khazanah sastra yang berkembang di Bumi Indonesia selama sekurang-kurangnya satu milenium-baik sastra daerah maupun sastra nasional, sastra lama maupun sastra modern-rasanya tak ada yang dewasa ini lebih terkenal daripada bhinneka tunggal ika. Hal itu karena kira-kira lima setengah abad setelah karya yang memuat kalimat itu diciptakan, para pendiri Republik sepakat untuk mengangkat kalimat itu dari kegelapan sejarah dan memilihnya sebagai semboyan yang layak untuk dicantumkan di dalam lambang negara kita.
Sejak itu, kalimat singkat itu tidak hanya dapat kita lihat setiap saat dalam Burung Garuda yang menghiasi dinding setiap kantor pemerintah dan juga di banyak rumah pribadi, tetapi juga menjadi kutipan yang paling sering kita baca dan kita dengar dalam berbagai pidato, terlebih-lebih jika sedang terjadi peristiwa genting yang dianggap dapat mengancam kelangsungan persatuan bangsa dan kesatuan negara kita.
Tulisan ini bermaksud mengungkapkan diri penyair yang telah menciptakan kalimat bhinneka tunggal ika tersebut dan juga sedikit membicarakan peninggalan kedua karyanya yang selamat sampai kepada kita.
Dari sejumlah kira-kira 170 kakawin yang naskah-naskahnya masih tersimpan di berbagai perpustakaan, hanya kira-kira 20 kakawin yang dapat kita pastikan berasal dari Jawa purba. Apabila kita ingat bahwa syair Jawa Kuna berbentuk kakawin yang tertua terdapat di dalam prasasti tahun 825 M, dan kakawin terbesar yang sampai pada kita-Ramayana-barangkali ditulis tak lama sesudah itu, maka dapatlah diperkirakan bahwa 20 kakawin tersebut pasti hanya merupakan sebagian kecil dari semua kakawin yang pernah dihasilkan di Jawa purba. Dugaan ini diperkuat oleh kesaksian Mpu Prapanca, yang mengatakan bahwa selain Nagarakertagama dia juga telah menulis beberapa karya lain. Ternyata hanya Nagarakertagama saja yang selamat sampai kepada kita.
Dari sekitar 20 kakawin yang berasal dari Jawa tersebut, hanya tujuh buah yang masih dikenal di Jawa. Lainnya hanya terdapat di Bali, pulau yang telah berperan sebagai “cagar alam” untuk sastra Jawa Kuna, sejak Majapahit mengalami kemunduran dan akhirnya lenyap dari panggung sejarah pada permulaan abad ke-16. Dengan demikian, sastra Jawa Kuna, khususnya sastra kakawin, dapat bertahan di Bali dan bahkan kemudian memberikan inspirasi kepada penyair Bali untuk terus mengembangkan jenis sastra tersebut.
Meskipun banyak kakawin yang dihasilkan di Bali, ternyata sampai sekarang kakawin dari Jawa itu tetap dipandang tinggi kedudukannya. Lima di antaranya bahkan dianggap yang paling terkemuka di antara semua kakawin yang ada, yaitu kakawin Ramayana, Arjunawiwaha, Bharatayuddha, Bhomakawya, dan Sutasoma. Ini terlihat dari kenyataan bahwa di dalam acara mabasan atau pembacaan kakawin yang sampai sekarang masih sering dilakukan di Bali, kelima kakawin itulah yang masih paling sering dibaca.
Dari lima kakawin tersebut, dua di antaranya, yaitu Bhomakawya dan Sutasoma, agaknya sejak lama telah hilang dari peredaran di dalam lingkungan masyarakat Jawa. Dan justru di dalam kakawin Sutasoma itulah terdapat kalimat bhinneka tunggal ika.
Salah satu konvensi penulisan kakawin yang agaknya telah lazim sejak Mpu Kanwa menulis Arjunawiwaha (sekitar 1030 M) ialah bahwa penyair (kawi) memulai kakawinnya dengan beberapa bait kata pengantar yang biasanya disebut manggala-barangkali ini salah kaprah-dan mengakhirinya dengan semacam epilog atau kata penutup. Di dalam manggala itu biasanya kita dapati tiga unsur. Pertama adalah permohonan penyair agar tugas menulis kakawin yang akan dilaksanakan mendapat rida dari istadewata, yaitu Dewa yang dipilih sebagai dewa pelindung; kedua, pemujaan kepada raja yang telah berkenan menjadi pelindung atau patron (yang di dalam teks sering disebut manggala); dan ketiga semacam perkenalan oleh penyair dengan menyebutkan nama dirinya. Nama penulis itu sering juga kita dapati di dalam epilog, di mana dia mengungkapkan rasa syukur karena telah bisa menyelesaikan tugasnya serta mohon maaf kepada semua pihak atas segala kekurangan, baik yang terdapat di dalam karyanya maupun yang melekat pada pribadinya. Dengan demikian, dalam bait-bait pengantar dan penutup kakawin itu sering kita jumpai data sejarah (nama raja, nama kerajaan, bahkan tahun penulisan) yang dapat diandalkan, sehingga merupakan sumber yang penting untuk penulisan sejarah sastra dan sejarah pada umumnya.
Penulis kakawin Sutasoma dengan saksama telah mengikuti konvensi tersebut. Untuk sekadar mengetahui bagaimana caranya seorang kawi memperkenalkan dirinya, di bawah ini saya kutipkan terjemahan bait 147.1 dari kakawin Sutasoma:
“Demikianlah akhir gubahan kisah Boddhacarita yang istimewa ini / Diuntai menjadi kakawin yang indah oleh kawi yang ber-parab Mpu Tantular/ Dan termashur dengan judul Purusadasanta yang akan selalu diingat orang/ Dirgahayulah yang sudi mendengarkannya, membaca dan menyalinnya.”
Jelaslah dari baris kedua dari bait di atas bahwa penyair itu menyebut dirinya Tantular. Kecuali di dalam Sutasoma, nama Tantular juga terdapat di dalam sebuah kakawin lain yang berjudul Arjunawijaya (73.1), yang terjemahannya sebagai berikut:
“Demikianlah akhir gubahan kisah yang berawalkan cerita Dasamuka / Berjudul Arjunawijaya, termashur, senantiasa dikisahkan orang / Diuntai menjadi kakawin yang indah oleh yang ber-parab Tantular/ ‘Yang tak tergoncangkan’- karena meskipun tak faham kepelikan sastra toh ikut mencipta puisi.”
Bahwa kedua kakawin itu ditulis oleh penyair yang sama, tidak hanya terlihat dari nama penulisnya yang sama, tetapi juga dari nama pelindungnya, yaitu Sri Ranamanggala, dan pilihan kata serta gaya bahasa kedua karya tersebut. Seperti yang berkenaan dengan kebanyakan penulis dari zaman dahulu, sesungguhnya sedikit sekali yang kita ketahui mengenai diri penulis kedua kakawin tersebut. Bahkan “Tantular” itu sendiri barangkali bukan nama diri penyair itu yang sesungguhnya. Di dalam kedua kakawin tersebut, dia menggunakan kata sang aparab atau ” yang ber-parab,” yang dalam bahasa Jawa Kuna sering digunakan dalam arti “nama samaran.” Barangkali “nama samaran” itu dipilih sendiri oleh penulis karena dianggap sesuai dengan watak atau kepribadiannya.
Demikianlah di dalam kutipan Arjunawijaya di atas kita lihat bahwa nama Tantular itu kemudian diikuti dengan baris yang menjelaskan maknanya, yaitu “Dia yang tak tergoncangkan (hatinya)” (ndatan tular ika) – bahkan diberikan pula alasannya: “karena meskipun tidak paham akan kepelikan ilmu sastra toh dia telah memberanikan diri untuk ikut-ikutan menulis kakawin.”
Bahwa di dalam Arjunawijaya kita dapati penjelasan arti parab yang dipilihnya, sedangkan keterangan seperti itu tidak terdapat di dalam Sutasoma, barangkali menunjukkan bahwa Arjunawijaya adalah kakawin pertama yang ditulis oleh Tantular. Hal serupa juga kita lihat pada penyebutan nama patron kedua karya itu. Di dalam Sutasoma, nama Sri Ranamanggala, terdapat di dalam baris terakhir (148.4d), sedikit pun tanpa penjelasan, sedangkan di dalam Arjunawijaya, penyebutan nama itu diikuti dengan keterangan bahwa “Beliau adalah kemenakan (bhratratmaja) Sang Hyang Wekas ing Suka / Lagi pula, beliau juga menjadi menantu adik bungsu Sri Baginda Maharaja.” (Arjunawijaya 1.3d-4b)
Dari keterangan itu dapatlah dipastikan bahwa Arjunawijaya ditulis sesudah tahun 1367, karena dari Prasasti Bungur kita ketahui bahwa perkawinan Ranamanggala dengan putri adik bungsu Sang Hyang Wekas ing Suka-raja Majapahit yang juga terkenal dengan nama Rajasanagara atau Hayamwuruk-baru berlangsung sekitar 1367. Berapa lama Tantular menciptakan Arjunawijaya (yang panjangnya kira-kira 580 bait) dan kapan dia mulai menulis Sutasoma (yang panjangnya lebih dari 1.220 bait) tidak kita ketahui dengan pasti. Yang dapat dipastikan ialah bahwa Sutasoma sudah selesai ditulis pada tahun 1389, karena pada tahun itu Rajasanagara telah mangkat. Dengan demikian dapatlah dikatakan dengan pasti bahwa semboyan negara kita bhinneka tunggal ika pada waktu ini telah berusia lebih dari 600 tahun.
Kedua karya Tantular tersebut kini telah disunting dan diterjemahkan (sayang, ke dalam bahasa Inggris): Sutasoma oleh Dr Soewito Santoso (Sutasoma, A Study in Javanese Wajrayana, New Delhi 1975) dan Arjunawijaya oleh penulis sendiri (S Supomo: Arjunawijaya, A Kakawin of Mpu Tantular, The Hague 1977).
Mengenai isi kedua kakawin tersebut, dapatlah dengan singkat dikatakan bahwa seperti yang tersirat dari judulnya, kakawin Arjunawijaya, yang artinya “kejayaan Arjuna,” mengisahkan kemenangan Arjuna atas diri Raja Dasamuka. Barangkali perlu disebutkan di sini, bahwa Arjuna di dalam kakawin ini bukan Arjuna tokoh Pandawa yang terkenal di dalam wiracarita Mahabharata, melainkan Arjuna Sahasrabahu, raja Kerajaan Mahispati.
Seperti yang ternyata dari kutipan dari Arjunawijaya di atas, kakawin ini dimulai dengan kisah Dasamuka atau Rawana, mulai dari kelahirannya sampai menjadi Raja Langka yang disegani oleh lawan-lawannya. Bagian kedua menceritakan perjalanan Arjuna dengan permaisurinya mengelilingi kerajaan untuk bersenang-senang sambil memeriksa keadaan rakyat dan kerajaannya – seperti yang, menurut Nagarakertagama, biasa dilakukan oleh raja-raja Majapahit. Dalam perjalanan itu Arjuna bertemu dengan Dasamuka di Sungai Narmada, dan kemudian terjadi pertempuran, yang berakhir dengan kekalahan Dasamuka. Penelitian yang terperinci menunjukkan bahwa kakawin ini bersumber pada Uttarakanda versi Jawa Kuna, yaitu bagian ketujuh atau terakhir dari epos India Ramayana, yang telah dijawakan dalam bentuk prosa (parwa) sekitar akhir abad kesepuluh.
Isi kakawin Sutasoma juga terbayang dalam judul sebenarnya yang disebutkan di dalam kakawin itu, yaitu Purusadasanta, yang berarti “Peruwatan Kanibal”. Kakawin ini juga bisa dibagi menjadi dua bagian. Yang pertama dimulai dengan kelahiran Sutasoma sebagai penjelmaan Buddha di kerajaan Hastina, kemudian perjalanannya dengan meninggalkan keraton secara diam-diam untuk bertapa di Gunung Sumeru, perkawinannya dengan Candrawati, dan penobatannya menjadi Raja Hastina. Bagian kedua menceritakan seorang raja raksasa pemakan daging manusia (karena itu terkenal dengan nama Purusada atau Porusada) yang berjanji akan mempersembahkan korban seratus orang raja kepada Betara Kala. Dia telah berhasil mengumpulkan seratus raja, tetapi Kala minta tambahan seorang lagi, yaitu Sutasoma. Dalam pertempuran yang kemudian terjadi antara Porusada dan Sutasoma, Porusada menunjukkan dirinya sebagai penjelmaan Siwa, sedangkan Sutasoma menunjukkan jati-dirinya sebagai Buddha. Akhirnya, dengan sukarela Sutasoma menyerahkan dirinya untuk diserahkan kepada Kala. Ini menyebabkan hati Porusada mengalami perubahan total, keganasannya sebagai raksasa lenyap diganti dengan rasa kasih sayang kepada sesama makhluk. Bahkan Betara Kala sendiri akhirnya juga berubah, hatinya dipenuhi dengan rasa kasih sayang, dan minta menjadi murid Sutasoma.
Betapapun pentingnya, cerita hanyalah satu unsur dari suatu kakawin. Di dalam kakawin kita dapati juga satuan-satuan yang lain untuk memenuhi kaidah penulisan kakawin: lukisan keindahan alam, seperti pegunungan dan lautan, taman dan pedesaan, fajar dan senjakala; lukisan keperwiraan, seperti pengiriman utusan, perundingan, keberangkatan pasukan, pertempuran dan kemenangan sang pahlawan; lukisan kesenangan, seperti bermain-main di taman, berenang-renang di laut, dan adegan percintaan, terutama lukisan rasa asmara yang meliputi rasa duka karena penolakan atau perpisahan maupun rasa nikmat yang diperoleh dari puncak sanggama; dan di tengah-tengah semuanya itu selalu kita dapati juga pembicaraan tentang dharma dan masalah kerohanian.
Dari satuan naratif yang beraneka ragam itu jelas bahwa kakawin menyandang berbagai fungsi: sebagai gambaran keadaan setempat atau sindiran pada peristiwa yang benar-benar terjadi, sebagai hiburan, sebagai sarana pendidikan, dan sebagai perwujudan gagasan keagamaan. Dan dari banyaknya bait yang berisi ajaran dan pesan keagamaan di dalam Sutasoma, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa fungsi spiritual itulah yang agaknya dianggap sangat penting oleh Tantular.
Di dalam manggala Sutasoma (1.3) Tantular mengatakan bahwa kakawinnya digubah dari boddhakawya. Walaupun sampai sekarang para peneliti belum berhasil menemukan sumbernya yang asli, tetapi dari nama sumber serta isi cerita pada umumnya, dan khususnya dari pembicaraan mengenai dharma yang terdapat di dalam kakawin Sutasoma, tak dapat dihindarkan kesan bahwa Mpu Tantular adalah seorang boddha atau pengikut ajaran Buddha. Ini diperkuat lagi dengan kenyataan bahwa istadewata yang dipuja di dalam bait pengantar (1.1a) adalah Sri Bajrajnana, yang di tempat lain juga dikenal dengan sebutan Adi-Buddha.
Akan tetapi masalahnya tidak sesederhana itu. Seperti yang telah kita lihat di atas, kakawin Tantular yang lain, Arjunawijaya, bersumber pada Uttarakanda, yaitu bagian dari Ramayana, sebuah wiracarita India yang jelas merupakan pemujaan kepada Dewa Wisnu. Masalahnya menjadi lebih rumit lagi, karena istadewata yang dipuja oleh Tantular di dalam manggala Arjunawijaya adalah Sri Parwatarajadewa yang berarti “Dewa Raja Gunung”. Dewa itu, dengan sedikit perubahan-yaitu Parwatanatha-juga dipuja oleh Prapanca di dalam bait pengantar Nagarakertagama (1.1).
Jadi, siapakah Dewa Raja Gunung yang dipuja di dalam manggala itu? Di dalam sastra India, dan juga di dalam sastra Jawa Kuna pada umumnya, nama diri yang berarti “raja gunung” itu biasanya menunjuk ke Himalaya, atau kadang-kadang kepada Dewa Siwa, yang menurut mitologi India adalah menantu Himalaya. Akan tetapi, seperti yang telah pernah saya jelaskan di tempat lain (buku Arjunawijaya, hal. 69-82) pemujaan kepada “Raja Gunung” yang disebutkan di dalam berbagai karya abad ke-14 itu agaknya menunjuk pada tradisi pemujaan Gunung Keramat yang ada di Jawa, suatu kepercayaan pada kekeramatan tempat-tempat tinggi yang ada hubungannya dengan pemujaan arwah nenek moyang yang terdapat di Asia Tenggara pada umumnya sejak lama sebelum kedatangan agama Hindu dan Buddha di sekitar permulaan abad pertama dari milenium pertama.
Dewa tertinggi yang disebut dengan nama “Raja Gunung” itu pada mulanya barangkali hanya dewa setempat yang dipuja oleh penguasa dan penduduk setempat, tetapi kemudian meningkat menjadi dewa nasional atau dewa yang secara resmi dipuja sebagai Dewa Kerajaan, setelah penguasa setempat tersebut dinobatkan sebagai raja karena berhasil menyatukan kawasan di sekitarnya di bawah kekuasaannya. Dengan kedatangan agama dari India tersebut, kepercayaan lama itu mungkin agak pudar, tetapi tidak pernah hilang sama sekali, dan agaknya mencuat kembali dalam abad-abad ke-14 dan selanjutnya.
Demikianlah, Dewa “Raja Gunung” yang disebut di dalam berbagai karya abad ke-14 itu agaknya dewa resmi Kerajaan Majapahit. Dia bukan Siwa, bukan pula Buddha, tetapi, seperti yang dijabarkan oleh Prapanca di Nagarakertagama (1.1), adalah Siwa-Buddha, Pelindung dari Yang Mutlak (natha ning anatha), Raja dari segala Raja Dunia (pati ning jagatpati) dan Dewa dari semua istadewata (sang hyang ning hyang inisti). Di dalam pantheon kerajaan itu, Sang Hyang Buddha dan Siwa dianggap sama. Ini diuraikan juga oleh Tantular di dalam Arjunawijaya, lewat ucapan seorang pendeta kepada Arjuna Sahasrabahu ketika raja itu berkunjung ke sebuah kompleks percandian agama Buddha dan Hindu. Setelah menjelaskan bahwa dewa-dewa tertinggi dan di dalam pantheon agama Buddha berpadanan dengan dewa-dewa tertinggi dalam agama Hindu (misalnya, Wairocana berpadanan dengan Siwasada, Amoghasiddhi dengan Wisnu, dan sebagainya), maka sang pendeta menyimpulkan bahwa.
… tan hana bheda sang hyang / hyang Buddha rakwa kalawan Siwa rajadewa / kalih sameka sira pinakesthi-dharma. (Arjunawijaya 27.2)
“… tak ada perbedaan antara Dewa-Dewa tersebut/ Hyang Buddha sama dengan Siwa, raja segala dewa / keduanya itu sama, keduanya merupakan tujuan dharma.”
Perpadanan antara Buddha dan para Jina lainnya dengan Siwa dan para dewa lain seperti yang diuraikan di Arjunawijaya tersebut kita dapati juga di dalam kakawin Sutasoma, dalam rumusan yang lebih sempurna, baik dari segi irama maupun segi makna. Ini terdapat di dalam episode pertempuran antara Porusada dengan Sutasoma. Porusada, yang telah berubah menjadi Maharudra atau Siwa, karena marahnya kemudian menampakkan dirinya sebagai api Kala yang akan membakar seluruh dunia. Khawatir bahwa dunia benar-benar akan binasa sebelum waktunya, para dewa turun ke dunia untuk melerai pertempuran itu. Untuk menenangkan Siwa, para dewa mengatakan bahwa tidak mungkin dia (Siwa) dapat mengalahkan Sutasoma-yang adalah penjelmaan Buddha-karena, walaupun Buddha dan Siwa adalah dua substansi (anekadhatu) yang berlainan, tetapi tidak mungkin keduanya dipisahkan. Dan kemudian ditegaskan oleh para dewa itu bahwa,
… Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal / bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa (Sutasoma 139.5c-d).
“pada hakekatnya yang paling dalam Buddha dan Siwa adalah satu / [Keduanya] itu berbeda, [tetapi] itu satu, tak ada dharma yang mendua.”
Di bagian lain dari kakawin Sutasoma (38.1-42.6) Mpu Tantular, kini lewat mulut Sutasoma, memberikan uraian panjang lebar tentang dua macam yoga yang masing-masing dilakukan oleh pengikut Siwa dan pengikut Buddha. Ditegaskannya, bahwa ajaran apa pun yang diikuti, orang harus mengetahui kedua jalan itu. Pendeta Buddha, kata Sutasoma, akan gagal (tiwas) jika tidak mengetahui jalan kesiwaan (Siwatattwamarga), demikian pula sebaliknya, pendeta Siwa akan gagal jika tidak tahu hakikat Buddha (Jinatwa). Di tempat lain lagi, Tantular menyatakan bahwa jalan yang harus dilalui untuk menyembah Yang Maha Agung adalah seperti jalan menuju ke gunung – orang dapat mencapai puncak gunung itu dari segenap penjuru, dari timur, barat, utara dan selatan. (Sutasoma 53.5c). Perumpamaan seperti itu juga sudah terdapat di dalam kakawin Sumanasantaka, yang ditulis di Kadiri pada tahun 1200-an, di mana kita baca bahwa “tak hanya satu saja jalan yang menuju ke kesempurnaan hidup – seperti halnya jalan menuju ke puncak gunung.” (Sumanasantaka 128.1d: tan tunggal marga ning kadyan asemu hawan ing munggah ing parwatagra).
Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, jelaslah bahwa Mpu Tantular mempunyai toleransi keagamaan yang sangat besar. Maka apakah dia adalah seorang boddha-seperti yang dikatakan di dalam suatu tradisi Bali-barangkali tidak penting benar. Di dalam kedua karyanya dia sendiri tidak pernah menyebut dirinya seorang boddha, tetapi seorang kawi, penyair. Dan seperti yang telah dijelaskan secara panjang lebar oleh Profesor Zoetmulder di dalam bukunya Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang, (hal. 203-237) seorang kawi pada dasarnya adalah seorang mango, yaitu pemuja keindahan dalam artinya yang luas. Bagi seorang kawi, siapa pun yang dipuja sebagai istadewata, dewa itu disembah pertama-tama sebagai manifestasi dari Dewa Keindahan, perwujudan dari Yang Mutlak. Untuk sang kawi penciptaan kakawin itu merupakan suatu yoga, yaitu laku untuk mencapai kemanunggalan dengan Yang Mutlak agar dengan demikian dapat mencapai pembebasan terakhir (moksa). Dan karena yoga yang dilakukan oleh sang kawi ini menyangkut penulisan sastra, jenis yoga ini bisa disebut sebagai “yogasastra.” Bagi penyair, menata kata-kata menjadi kakawin di mana Dewa Keindahan akan bersemayam dan dipuja, sepadan dengan pembangun candi menyusun batu-batu menjadi candi di mana Dewa Yang Maha Agung bersemayam dan dipuja. Karena itulah kakawin sering disebut sebagai “candi bahasa” atau “candi pustaka.” Ini dapat kita lihat, misalnya, di dalam bait pertama Arjunawijaya. Setelah memuja istadewata, Mpu Tantular melanjutkan dengan kata-kata sebagai berikut:
“Tujuanku memuja duli Batara tersebut ialah agar Dia sudi mempedulikan persembahan penyair ini / Semoga berhasillah usahaku mendirikan candi bahasa di papan-tulis (karas) ini – inilah permohonanku.”
Seperti dikatakan dalam permulaan tulisan ini, kalimat bhinneka tunggal ika itu telah diangkat dari kegelapan sejarah dan dipilih menjadi semboyan yang dicantumkan pada lambang negara. Bagaimana jalannya proses pemilihan semboyan itu tidak saya ketahui dengan pasti. Sesungguhnya saya pernah membaca sebuah tulisan Mr. Muhammad Yamin yang barangkali dapat memberi keterangan sedikit mengenai proses pemilihan semboyan itu, tetapi sayang buku yang judulnya saya sudah lupa itu tidak bisa saya dapatkan di tempat saya bermukim sekarang.
Menurut ingatan saya, di dalam buku itu Yamin menceritakan bahwa ketika dia sedang merenung-renung dan mengucapkan kata-kata “bhinneka tunggal ika” sendirian, seorang pendeta (?) dari Bali kebetulan mendengarnya dan dengan spontan menyambungnya dengan ucapan “tan hana dharma mangrwa.” Ini memberi keyakinan kepada Yamin, bahwa ucapan itu masih dikenal di lingkungan masyarakat Bali, dan karena itu dianggapnya sangat tepat untuk dijadikan semboyan, walaupun tentu saja dengan pemberian makna baru yang disesuaikan dengan kebutuhan baru, yaitu pembentukan negara kesatuan Republik Indonesia.
Dalam hubungan ini, saya ingat pendapat Deliar Noer yang dimuat di dalam buku Anthony Reid and David Marr (eds.) Perception of the Past in Southeast Asia, (p. 259) mengenai penggunaan kata “Pancasila”. Dalam pidatonya di dalam sidang Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno mengatakan bahwa nama “Pancasila” untuk menyebut dasar negara yang diusulkannya adalah berdasarkan “petunjuk seorang teman kita ahli bahasa.” Menurut Deliar Noer, yang disebut “teman kita” oleh Bung Karno itu mungkin sekali adalah Muhammad Yamin.
Seperti halnya kalimat bhinneka tunggal ika, kata pancasila itu juga terdapat di dalam kakawin Sutasoma (4.5; 145.2). Arti baru yang diberikan oleh Muhamad Yamin pada kalimat bhinneka tunggal ika itu dapat kita baca di dalam bukunya Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, (jilid II, hal. 77-81). Perubahan mendasar yang diterapkan pada kalimat itu ialah ruang lingkup yang dicakupnya. Seperti yang diuraikan di atas, di dalam kakawin Sutasoma, Mpu Tantular menggunakan ungkapan itu khusus untuk merumuskan perpadanan antara Buddha dan Siwa yang berlaku di Majapahit abad keempat-belas. Dalam pengertian baru ruang lingkupnya diperluas sehingga meliputi apa yang oleh Yamin disebut segala macam “aliran”-agama, alam pikiran, kebudayaan dan politik-yang pada waktu itu “memang banyak” terdapat di Majapahit. Maka oleh Yamin kalimat itu selengkapnya diartikan “Berbedalah itu, satulah mereka itu; dan di dalam peraturan undang-undang tidak adalah diskriminasi atau dualisme. “Kalimat filsafah itu,” tulis Yamin selanjutnya “berasal dari tinjauan hidup untuk memperkuat persatuan dalam negara keprabuan Majapahit di zaman emas.”
Di dalam Kongres Bahasa Jawa II yang diadakan di Malang pada tahun 1996, saya menyampaikan satu makalah yang berjudul Fungsi Sastra Jawa Kuna dan Relevansinya di Sepanjang Masa. Tulisan kecil ini dapat dianggap sebagai catatan (kaki) untuk makalah tersebut. Pada akhir makalah itu saya menyampaikan harapan sebagai berikut:
“Alangkah tepat dan kenanya jika di dalam Kongres Bahasa Jawa yang bertempat di Jawa Timur ini kita sepakat untuk memugar-menyunting-semua ‘candi bahasa’ yang sebagian besar diciptakan di Jawa Timur ini, dan kemudian menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia, agar kita bisa menggali emas-permata yang terkandung di dalamnya.”
Di dalam tulisan kecil ini saya mencoba menunjukkan bahwa “permata” berupa kalimat singkat padat makna-bhinneka tunggal ika-yang tergali dari “candi bahasa” tersebut, masih tetap relevan untuk kehidupan Republik kita dalam mileniun baru ini. Semoga tulisan kecil ini bisa membangkitkan kemauan dan semangat untuk menyunting, menerjemahkan, menerbitkan, dan terus-menerus mengkaji semua kakawin dan hasil sastra Jawa Kuna pada umumnya.
Mantan dosen/ Visiting Fellow, Southeast Asia Centre, The Australian National University.