Menyerang Lewat Layar Terkembang

LAYAR Terkembang adalah novel tipis belaka. Hanya 166 halaman. Romansa di dalamnya pun tak terlalu istimewa. Kisah cinta segitiga antara Yusuf, Maria, dan Tuti mudah ditebak akhirnya. Kematian Maria di akhir cerita bukanlah alasan bagi pembaca untuk berkaca-kaca. Tak ada pendalaman tokoh, plotnya pun amat sederhana. Tapi semua orang tahu, novel yang terbit pada 1936 ini memiliki peran penting dalam pembangunan karakter kebangsaan pada awal-awal pembentukan bangsa.

Dalam novel ini Sutan Takdir Alisjahbana menyampaikan idenya tentang di mana seharusnya bangsa ini berdiri, baik di masa lalu maupun di masa depan. Dengan cara ini Takdir menebalkan benang merah yang memisahkan kubunya dengan kubu Sanusi Pane dalam Polemik Kebudayaan. Ia menegaskan posisinya yang menginginkan sebuah perubahan revolusioner dalam cara berpikir bangsa Indonesia, yang belum jadi. ”Ia ingin mengatakan bahwa sesuatu yang baru, integratif, dan progresif, hanya mungkin dibangun jika keterikatan dengan yang lama telah diputus,” kata sejarawan Taufik Abdullah.

Tampak sekali Takdir menjadikan novel ini sebagai reaksi atas terbitnya Sandhyakala Ning Madjapahit buah tangan Sanusi Pane, yang terbit tiga tahun sebelumnya. Pada halaman 93 hingga 104 Takdir membahas khusus soal ini. Diceritakan, Maria dan Yusuf berlakon dalam drama Sandhyakala Ning Madjapahit.

Selepas pertunjukan, hati Tuti mengharu-biru. Tapi sejenak ia tersadar akan kesalahan perasaannya. Tuti berterus-terang mulai menyatakan ketidaksetujuan akan pertunjukan itu. ”Tidak puas?” tanya Maria terheran-heran. ”Sandiwara tadi bagus, sebenarnya bagus. Tetapi kebagusannya itu pada pikiran saya melemahkan hati dan tenaga….”

”Melemahkan hati dan tenaga” itulah sikap Sanusi Pane dalam pandangan Takdir. Bagi Takdir, bangsa ini harus tegas bersikap, tidak setengah-setengah memandang masa depan, tak boleh lagi menengok ke belakang, membangga-banggakan kejayaan masa lalu. ”Kebudayaan pra-Indonesia telah mati semati-matinya,” kata Takdir di tempat berbeda. Dengan ungkapan lain ia mengatakan, ”Borobudur adalah mumi. Merenovasi Borobudur adalah merenovasi mumi.”

Karena novel ini hanya dipakai sebagai alat untuk ”menyerang” Sanusi Pane, Takdir tak hirau benar soal kualitas sastra. Alih-alih memperkuat plot dan karakter tokoh-tokohnya, Takdir justru banyak berceramah lewat mulut para tokoh dalam novel tersebut. Dan ini bisa dibaca sejak halaman pertama. Ia bicara tentang kemerdekaan bekerja dan konsep kebahagiaan baru dalam lima halaman (23-28), tentang agama sepanjang empat halaman (28-32), dan tentang peran perempuan (34-41).

Kisah cinta segitiga hanyalah sampiran untuk mendukung ide-ide tegas yang ingin ia sampaikan. Meski Takdir lebih dulu dikenal sebagai seorang sastrawan, banyak yang meyakini Takdir hanya menjadikan sastra sebagai sebuah media untuk menerangkan buah pikir dan filsafatnya agar lebih mudah diterima masyarakat. Ketika pertama kali membaca Layar Terkembang, kata Taufik, pembaca mungkin memihak Maria yang manis dan lincah. Tapi Maria kemudian meninggal karena TBC. ”Takdir seakan-akan memastikan bahwa masa depan bukanlah milik Maria yang romantis dan manis, tapi kepunyaan Tuti yang rasional dan ingin mencapai sesuatu.”

Meski pada akhirnya Indonesia lebih berpihak pada Sanusi Pane dan menolak ide Takdir yang mirip Mustafa Kemal Ataturk, Takdir enggan mundur dari idenya.

(48)
Layar Terkembang
Penerbit: Balai Pustaka, Jakarta (1936)

Sumber : http://yudhitc.wordpress.com