Mengungkap Peninggalan Arkeologis di Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Bogor

Berdasarkan beberapa prasasti yang pernah ditemukan, kerajaan tertua yang dikenal di Jawa Barat yaitu Kerajaan Tarumanegara. Prasasti yang berasal dari masa tersebut adalah Prasasti Ciaruteun, Pasir Koleangkak, Kebon Kopi, Tugu, Pasir Awi, Muara Cianten, dan Prasasti Cidanghiang. Selain prasasti, sumber lain yang menyebut tentang keberadaan Kerajaan Tarumanegara adalah berita asing dari Cina.

I’Tsing (abad ke-7 M) dalam catatan perjalanannya menyebut tentang To-lo-mo. Berita dari masa dinasti Soui dan berita dari masa dinasti T’ang Muda juga menceritakan mengenai sebuah kerajaan yang bernama To-lo-mo. Menurut beberapa ahli To-lo-mo merupakan lafal Cina dari Taruma. Berdasarkan data yang ada diduga keberadaan kerajaan Tarumanegara berlangsung dari abad ke-5 hingga akhir abad ke-7 M.

Selain To-lo-mo di Jawa Barat juga disebut-sebut adanya Kerajaan Holotan. Sejarah Lama Dinasti Sung (420 – 478) menyebutkan tentang adanya utusan sebuah kerajaan lain yang diduga juga berada di Jawa Barat. Diceritakan bahwa pada tahun 430 datang utusan dari Kerajaan Holotan dengan membawa upeti. Kedatangan utusan dari Kerajaan Holotan tersebut tercatat pada tahun 430, 433, 434, 437, dan 452. Setelah tahun 452 Kerajaan Holotan tidak lagi mengirimkan utusan ke Cina, hal ini diduga karena kerajaan tersebut sudah menjadi bawahan Kerajaan Tarumanegara.

Menurut beberapa ahli nama Holotan dapat dihubungkan dengan (Ci)Aruteun. Merupakan kebiasaan pada masa lalu bahwa nama kerajaan yang berada di dekat muara sungai selalu menggunakan nama sungai yang bersangkutan. Berdasarkan tinggalan arkeologis yang ada, bekas kerajaan di muara sungai tersebut adalah situs Muarajaya. Situs ini berada di Kampung Muarajaya, Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor.


Bagaimana menuju ke lokasi?
Kampung Muara Jaya merupakan daerah yang berpenduduk jarang. Mata pencaharian mayoritas penduduk adalah berladang. Kampung ini berada di daerah pedataran sedikit bergelombang dengan ketinggian berkisar 100 – 200 meter dari permukaan laut. Lahan kampung dikelilingi tiga aliran sungai yaitu Sungai Cisadane di sebelah utara, Sungai Cianten di sebelah barat, dan Sungai Ciaruteun di sebelah timur. Di sebelah selatan Kampung Muarajaya terdapat Kampung Munjul.

Kampung Muarajaya berjarak sekitar 19 km di sebelah barat daya kota Bogor. Kondisi jalan yang telah beraspal memungkinkan situs dapat dicapai dengan menggunakan kendaraan roda empat atau roda dua. Untuk menuju lokasi dapat melalui jalur Bogor-Ciampea-Simpang Lebak Sirna-Ciaruteun Ilir. Apabila menggunakan kendaraan umum, dapat menggunakan angkutan kota jalur Bogor-Ciampea, dan dilanjutkan dengan ojek sampai ke lokasi.


Obyek-obyek arkeologis yang terdapat di situs Muarajaya berupa batu dakon, prasasti Ciaruteun, Prasasti Kebon Kopi I, Prasasti Muara Cianten, dan batu datar. Selain itu berdasarkan hasil ekskavasi oleh Balai Arkeologi Bandung pada tahun 2006 dan 2008, di lokasi tersebut ditemukan adanya tatanan batu mendatar yang membentuk seperti balai.

Jejak-jejak tinggalan

a. Batu Dakon
Batu Dakon berada pada suatu lahan berukuran 7 x 6 m, dikelilingi pagar tembok setinggi sekitar 140 cm. Di dalam lahan tersebut terdapat dua batu dakon yang berjajar timur barat, berjarak sekitar 1 m. Pada permukaan batu dakon tersebut masing-masing terdapat 8 dan 10 lubang. Di sebelah selatan batu dakon terdapat dua menhir yang berjajar timur – barat berjarak sekitar 1 m.

b. Prasasti Ciaruteun
Prasasti Ciaruteun sekarang ditempatkan pada lahan berpagar seluas sekitar 1000 m2 dan dilengkapi cungkup berukuran 8 x 8 m. Prasasti dipahatkan pada sebongkah batu andesit. Prasasti ini ditulis dengan huruf Palawa berbahasa Sansekerta, dituliskan dalam bentuk puisi India dengan irama anustubh terdiri dari 4 baris. Berdasarkan pembacaan oleh Poerbatjaraka prasasti tersebut berbunyi

vikkranta syavani pateh
srimatah purnnavarmmanah
tarumanagarendrasya
visnoriva padadvayam

yang artinya sebagai berikut.

“ini (bekas) dua kaki yang seperti kaki dewa Wisnu
ialah kaki Yang Mulia Sang Purnavarman,
raja di negeri Taruma
raja yang gagah berani di dunia”

Di atas tulisan terdapat goresan membentuk gambar sepasang tapak kaki dan di tengahnya terdapat gambar laba-laba.

c. Prasasti Kebon Kopi I
Prasasti Kebon Kopi I oleh masyarakat juga disebut Batu Tapak Gajah. Prasasti Kebon Kopi I berada pada lahan berteras seluas sekitar 1500 m2. Untuk melindungi prasasti telah dibuatkan cungkup dengan ukuran 4,5 x 4,5 m. Prasasti Kebon Kopi I dipahatkan pada sebongkah batu dengan bentuk tidak beraturan. Pada permukaan batu yang menghadap ke timur terdapat pahatan yang membentuk 2 telapak kaki gajah. Di antara kedua pahatan tersebut terdapat 1 baris tulisan setinggi 10 cm. Prasasti ditulis dalam bentuk puisi anustubh yang artinya sebagai berikut

“Di sini nampak sepasang tapak kaki ... yang seperti Airawata, gajah penguasa taruma (yang) agung dalam ... dan (?) kejayaan”.

d. Prasasti Pasir Muara
Prasasti ini berada di tepi sisi barat Sungai Cisadane, berjarak sekitar 50 m dari pertemuan dengan Sungai Cianten. Karena masih berada pada lokasi semula, maka pada waktu air sungai pasang akan terendam.

Prasasti Pasir Muara dipahatkan pada sebongkah batu dengan bentuk yang tidak beraturan. Keadaan batu pada beberapa bagian sudah mengelupas karena tergerus air sungai. Tulisan berupa aksara ikal seperti motif suluran yang belum dapat dibaca.

f. Struktur Batu
Ekskavasi pada tahun 2006 di kebun milik H. Murad Effendi menemukan struktur batu pada kedalaman 65 cm. Struktur batu tersebut berupa susunan batu kali yang disusun memanjang dengan orientasi arah timur-barat.

Pada ekskavasi tahun 2008 struktur batu juga ditemukan di sebelah barat daya prasasti Kebon Kopi, pada kedalaman sekitar 40 cm. Struktur batu tersebut berupa tatanan batu kali yang membentuk lantai.

Prasasti Ciaruteun dan Kebon Kopi I menunjukkan bahwa Tarumanegara menguasai wilayah ini. Batu dakon, menhir, dan temuan struktur batu merupakan sisa-sisa kota di muara Ciaruteun yang dapat disamakan dengan Holotan dalam berita Cina (Endang Widyastuti).

Catatan:
Tulisan ini diterbitkan Balai Arkeologi Bandung (2008) dalam bentuk leaflet.

Sumber : http://arkeologisunda.blogspot.com