Candi Pari terbuat dari Batu Andesit dengan ukiran yang membentuk Tahun Caka 1293 atau 1371 Masehi. Ukuran luar tinggi bangunan 13,80 meter, belum termasuk bangunan puncak yang rusak. Panjang 13,55 meter, lebar 13,4 meter.
Asumsinya begini :
Legenda Candi Pari Sarat dengan Nuansa Politik
Berdasarkan analisis tim Forum Komunikasi Budayawan (FKB) Sidoarjo, ada perbedaan antara ukiran batu andesit di ambang pintu atas, berupa angka Caka 1293 (atau 1371 Masehi) dengan legenda Candi Pari.
Menurut penjelasan ketua FKB Sidoarjo Bambang, Trimulyono (Eyang Bete), Tahun 1293 Caka merupakan masa kepemimpinan Raja Hayam Wuruk di Kerajaan Majapahit. Ini berbeda dengan legenda Candi Pari yang menyebut nama Raja Brawijaya. “Dimungkinkan ada unsur politis dalam legenda Candi Pari yang dibuat oleh musuh Brawijaya untuk menjatuhkan kewibawaan raja, “ papar Eyang Bete kepada RADAR Sidoarjo.
Di legenda yang banyak beredar di masyarakat, dikatakan bahwa Prabu Brawijaya tidak bertanggungjawab atas akibat perselingkuhannya dengan seorang gadis desa bernama Ni Jinjingan. Ni ini sangat menderita. Kisah ini mendramatisasi penderitaan rakyat jelata akibat penguasa yang sewenang-wenang.
Kesimpulannya, Brawijaya bukan raja yang arif dan bijaksana. “Nuansa politis memang sangat terasa dalam legenda ini” kata Eyang Bete, budayawan senior Sidoarjo.
Mengapa ada perbedaan yang sangat nyata antara kisah sejarah dan legenda ? Menurut para budayawan yang tergabung dalam FKB Sidoarjo, sejak dulu sampai sekarang yang namanya penguasa selalu menciptakan scenario untuk menopang kekuasaannya. Sebaliknya, kepada lawan politik direkayasa cerita-cerita tertentu untuk memburukkan citra atau reputasinya.
Perang image memang tak hanya terjadi sekarang. Karena itu FKB mengaku terus mendalami kisah sejarah maupun legenda. Eyang menambahkan, legenda Candi Pari mengajarkan perilaku tawakal, perilaku saling menyayangi sesama makhluk Tuhan. Perilaku loyal kepada Pemerintah, loyal kepada Negara, tanggungjawab laki-laki, perjuangan merebut hak asasi manusia. Satu hal yang penting menurut Eyang Bete, Candi Pari dicitrakan sebagai candi kesuburan. Pari berarti padi, mengisyaratkan bahwa sejak jaman Majapahit kawasan Sidoarjo dan sekitarnya dikenal sebagai lumbung beras. Praktis, semua kebutuhan pangan untuk kawasan Kerajaan Majapahit dicukupi oleh warga tani Sidoarjo.
Ketua Dewan Kesenian Hartono menambahkan, Kerajaan majapahit tempo doeloe tidak sebatas wilayah Jawa Timur atau Jawa sekarang. Majapahit bahkan tembus ke luar negeri. “Kita layak bangga sebagai warga Sidoarjo, karena di masa lalu kita ini produsen beras. Nah, sekarang apakah tradisi itu masih dipertahankan? Ini menjadi tantangan kita semua, masyarakat Kabupaten Sidoarjo”, tukas Hartono.
Legenda Ikan Deleg
Seperti situs-situs sejarah lain di tanah air, Candi Pari di Desa Candi Pari, Kecamatan Porong, punya legenda sendiri. Legenda ini beredar di masyarakat luas secara lisan dari generasi ke generasi. FKB Sidoarjo mencatat satu versi legenda candi terindah di Kabupaten Sidoarjo tersebut.
Ceritanya bermula dari Gunung Penanggungan. Kala itu hidup seorang pertapa bernama Ki Gede Penanggungan bersama Nyi Injingan, adik perempuannya yang menjanda. Ki Gede mempunyai dua anak perempuan, yakni Ni Lara Walang Sangit dan Ni Lara Walang Angin. Sedangkan Ni Injingan punya anak laki-laki bernama Joko Walang Tinunu.
Ketika dewasa, Walang Tinunu dan dua temannya – Sebalong dan Satim – membuka hutan di kawasan desa Kedu Kras untuk dijadikan sawah dan tempat permukiman. Suatu hari Sebalong menemukan seekor ikan deleg (gabus besar) yang terperangkap di bubu di Sungai Kedungsuko. Ketika ditunjukkan kepada Walang Tinunu dan Satim, ikan deleg itu bisa berbicara seperti manusia. (Namanya juga legenda, bukan fakta sejarah!)
Ikan Deleg bilang, dia adalah anak Prabu Brawijaya dari salah satu selir. Karena khawatir Joko Deleg bakal naik tahta menggantikan raja, isti raja menenungnya menjadi ikan dan dibuang ke sungai. Kini ia hidup sendiri, namun menurut pesan alam gaib, Deleg bisa menjelma kembali menjadi manusia manakala ia bertemu dengan saudaranya yang tinggal di Gunung Penanggungan.
Walang Tinunu terharu mendengar omongan si ikan gabus, “Jika asalmu manusia, kembalilah jadi manusia!” Ajaib, ikan deleg berubah kontan menjadi manusia. Wajahnya mirip Joko Walang Tinunu. Sejak itu pula ‘manusia ikan’ itu dijadikan saudara angkat Walang Tinunu. Ia diberi nama Joko Deleg atau Joko Pandelegan. Kini mereka hidup berempat.
Babat alas sudah kelar. Tanah siap ditanami padi. Tapi repotnya, walang tinunu dan tiga kawannya tak punya bibit padi. Tinunu kemudian minta bibit padi ke Ki Gede Penanggungan, pamannya. Bibit padi benar-benar subur. Panen padi seperti tidak habis-habisnya. Mereka minta Ki Gede agar dua putrinya (Ni Lara Walang Sangit dan Ni Lara Walang Angin) diijinkan membantu memanen padi. Permintaannya ditolak, sehingga kedua Joko akhirnya pulang ke kampungnya dengan hati luka.
Walang Angin dan Walang Sangit ternyata cinta berat pada dua jejaka ini. Kedua gadis cantik ini menyusul kekasihnya, dan menikah. Walang Sangit kawin dengan Tinunu, Walang Angin menikah dengan Pandelegan (manusia ikan). Ki Gede Penanggungan hanya bisa pasrah kepada Tuhan melihat anaknya nekat kawin lari. Ki Gede cukup bijaksana dan ia bersemedi untuk menangkap tanda-tanda alam.
Ki Gede pun teringat kedatangan seorang raja (Prabu Brawijaya) yang sempat tinggal di padepokannya selama beberapa hari. Sang raja itu menjalin hubungan asmara dengan Ni Injingan, adik Ki Gede dan membuahkan anak.
Namanya Joko Walang Tinunu. Belum juga bayi berumur lima, sang raja harus kembali ke keratin. Di desa itu, Ni Injingan bersama bayinya dititipkan kepada Ki Gede Penanggungan hingga dewasa. Takut menjatuhkan wibawa raja, Ni Injingan dan Ki Gede tak pernah berterus terang tentang siapa sebenarnya orang tua (ayah) Joko Walang Tinunu.
Candi Pari Tempat Persembunyian Manusia Ikan
Ketika Joko Walang Tinunu mengalami panen raya padi, Kerajaan Majapahit justru paceklik. Kelaparan sangat hebat, sehingga penguasa kerajaan pusing. Prabu Majapahit mengutus patihnya untuk meminta bantuan negeri-negeri tetangga. Sampailah patih di wilayah Gunung Penanggungan. Disanalan Majapahit mendapat pasokan makanan sebanyak-banyaknya.
Anehnya, berapapun padi yang dikirim ke Majapahit, persediaan padi milik Joko Walang Tinunu tak pernah berkurang. Hal ini segera dilaporkan ke Prabu Brawijaya. Setelah mendapat laporan bahwa padi yang dikirimkan ke Majapahit adalah milik seorang yang bernama Joko Walang Tinunu, maka sang Prabu menjadi terharu. Ia ingat bahwa dirinya pernah mengadu asmara dengan Ni Injingan, dan membuahkan Joko walang Tinunu. Saat itu juga raja mengutus Patih untuk membawa Joko Walang Tinunu ke istana.
Di depan raja, yang tak lain adalah ayah kandungnya, Joko walang Tinunu mengatakan bahwa panenan melimpah itu berkat usaha Joko Pandelagan alias Joko Deleg. Joko Deleg ini tak lain anak Prabu Brawijaya hasil selir, yang sempat disihir jadi ikan deleg (gabus). Rajapun menangis bahagia karena ternyata kedua anaknya yang tinggal di kawasan Sidoarjo (sekarang) sangat berjasa untuk kerajaan.
Prabu Brawijaya kemudian mengutus patih untuk menjemput Joko Deleg, manusia ikan. Kedatangan utusan Prabu Brawijaya ternyata disambut dengan penuh kecurigaan oleh Joko Deleg. Ia menduga kedatangan Patih bukan atas perintah Prabu Brawijaya, melainkan muslihat ibu tirinya agar Joko Deleg gampang dibunuh. Dihabiskan agar tidak mengganggu suksesi kepemimpinan kelak. Meski patih meyakinkan bahwa kedatangannya atas titah raja, Deleg tetap saja ragu. Ia kemudian mengajak istrinya Nyi Walang Angin, kabur. Joko Deleg bersembunyi di lumbung padi (pari, bahasa Jawa), Nyi Walang Angin bersembunyi di balik sumur.
Di dua tempat itu sang patih; dengan dukungan prajurit Majapahit, mencari dan menunggu hingga berhari-hari, namun tidak berhasil menemukan Joko Deleg dan Istri. Apa boleh buat, Patih kembali ke kerajaan dengan tangan hampa. Pupu s sudah harapan Prabu Brawijaya untuk bertemu dengan anaknya, Joko Deleg yang sangat berjasa itu.
Sesampai di kerajaan, Patih melaporkan peristiwa yang telah terjadi. Prabu Brawijaya diam dan menyesali dirinya. Joko Deleg dan istrinya, Nyi Walang Angin, sudah hilang bersama angin.
Untuk mengenang Joko Deleg dan Walang Angin, Prabu Brawijaya memerintahkan pembangunan Candi Paridan Candi Sumur, yang berdiri kokoh sampai sekarang.
Legenda Candi Pari ini memang sarat dengan unsur politik. Pesan dalam cerita ini jelas; bahwa penguasa dimanapun dan kapan pun jangan suka menang sendiri! Jangan mentang-mentang berkuasa, kemudian memberikan beban kepada rakyat, kawula alit!
Sumber :Radar Surabaya, 25 Juni 2003
Radar Surabaya, 26 Juni 2003
Radar Surabaya, 27 Juni 2003
http://www.sidoarjokab.go.id
Photo : http://media.photobucket.com