Upacara diikuti puluhan umat Hindu setempat dan sejumlah pemedek dari Bali. Ritual diawali dengan tirta prayascita dan pelukatan lokasi. Upacara ini melibatkan sejumlah pemangku dari Bali dan Jawa. Suara bunyi genta mengalun mengiringi prosesi upacara. Para pemangku berkeliling memberikan tirta suci di seluruh areal candi yang akan segera dibangun. Setelah itu dilanjutkan penyucian batu yang akan ditanam di dasar candi.
Prosesi dilanjutkan peletakan batu yang dilakukan perwakilan tokoh umat Hindu Jawa dan Bali. Umat dari Bali diwakili Anak Agung Ngurah Manik Danendra,sedang dari Jawa diwakili pengurus PHDI Kecamatan Bangorejo. Batu yang ditanam sebagai dasar diambil dari tiga gunung di Banyuwangi. Masing-masing, gunung Tumpangpitu, gunung Raung dan gunung Srawet. Ketiga puncak gunung ini diyakini memiliki ikatan sejarah. Konon, ketiganya adalah perwujudan dari Tri Murti. Lokasinya berada dalam garis segitiga yang membentang dari utara ke selatan.
Usai mulang dasar, ritual dilanjutkan persembahyangan bersama. Sebelumnya, umat mendengarkan dharma wacana dari pengurus PHDI Bangorejo terkait tujuan pembangunan candi tersebut. Termasuk pengalaman rohani yang dirasakan Anak Agung Ngurah Manik Danendra sesaat setelah datang di lokasi. Dia mengaku melihat seberkas sinar putih di atas puncak gunung Srawet. ''Ini adalah kenyataan, apa yang terjadi pasti akan terwujud, termasuk pembangunan candi,'' kata Danendra.
Rencananya, candi di puncak gunung itu dibangun dengan ketinggian sekitar 9 meter. Di dalamnya akan diisi pratima Raja Airlangga dan Empu Bharadah. Dua tokoh ini adalah tauladan kebersamaan antara raja dan penasehat istana. Diyakini, puncak Srawet pernah digunakan semadi Prabu Airlangga sebelum berangkat ke Bali dan akhirnya menjadi raja diraja di tanah Jawa.
Upacara diakhiri dengan selamatan menggunakan adat Jawa. Sesaji yang digunakan seluruhnya mengadopsi filosofi Jawa yang dikenal dengan selamatan. Prosesinya, sesaji diletakkan di depan Padmasana, kemudian tokoh umat setempat memberikan doa menggunakan bahasa Jawa kuno. Setelah itu, umat bersama-sama menyantap tumpeng tersebut.
Sumber : http://www.parisada.org
Photo : http://www.lareosing.org