Jatuh Bangun Sebuah Dinasti; Komedi Tuhan atau Tragedi


Oleh : Bisri Effendy

(Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI)

Inilah syair, Juragan Budiman namanya1. Ia adalah sebuah narasi kisah perjalanan suatu dinasti (keluarga sultan) yang disajikan dalam bentuk syair; suatu kebiasaan yang sangat banyak kita temukan dalam tradisi penulisan naskah Melayu, seperti dalam Syair Siti Zubaidah, Syair Dandan Setia, Syair Perang Siak dan sebagainya. Tak begitu jelas, bahkan samar-samar pun tidak, mengapa “gaya ungkap” seperti itu menjadi lazim dalam masyarakat Melayu. Mungkin, dengan menyajikannya dalam bentuk syair, kisah-kisah itu enak dibaca sembari didendangkan.

Di Natuna-Anambas, syair Juragan Budiman masih berdendang, dibacakan oleh beberapa orang tua Melayu di hadapan publik (audience) terbatas, biasanya sekitar 4 – 7 orang, dalam suasana yang lebih mengesankan “kenangan masa lalu”. Pada tahun 1992, ketika saya untuk pertama kali mengunjungi Natuna, pembacaan semacam itu relatif tampak, meski terkesan mulai “lesu” dan terpinggirkan oleh kesenian-kesenian lain yang seluruhnya baru. Hanya kalangan tua yang bisa dipastikan mengenal syair ini secara baik; hafal urutan kisah-kisahnya, kerapkali rindu bila lama tak membacanya dan percaya pesan-pesannya sebagai petuah yang perlu diindahkan, meski ada pula yang cenderung kurang memperdulikannya. Pada pertengahan tahun 1995, peristiwa pembacaan seperti itu sangat sulit dijumpai, dan jika ada lebih merupakan pembacaan individual seperti yang masih secara agak rutin dilakukan oleh Syafii Abdurahman.2

Sebagai yang dibaca, besar kemungkinan syair ini merupakan bagian penting dari kehidupan komunitas Melayu Natuna, meskipun tidak sepenuhnya menjadi cermin darinya. Bukankah sebuah world-view atau weltanschauung seseorang maupun sekelompok orang selalu terbangun atau diwarnai, antara lain, oleh bacaan-bacaannya. Apa yang sering dikatakan sejumlah ahli, antara lain oleh Achadiati Ikram (1983; 5), bahwa melalui naskah kita akan memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai alam pikiran, adat istiadat dan sistem nilai orang pada zaman lampau mungkin hanya berlaku bagi naskah yang tidak dibacakan. Tetapi jika naskah itu masih dibaca, alam pikiran, adat istiadat dan sistem nilai itu tidak hanya milik orang di zaman lampau ketika naskah itu dibuat melainkan juga bagi pembacanya sekarang. Dengan demikian, menyimak syair yang masih dibaca ini dapat dijadikan pintu-masuk untuk mengawali pemahaman kita tentang masyarakat Melayu Natuna.

Hal kedua mengapa syair Juragan Budiman ini penting disimak karena yang menjadi perhatian utamanya adalah perihal jatuh-bangun sebuah dinasti yang dihayati sebagai irama takdir Tuhan. Sebuah kejatuhan kekuasaan, keterpurukan struktural, dalam syair ini, lebih dipahami sebagai keterpelesetan menangkap dan mengikuti irama takdir, karenanya harus dihadapai dengan kesabaran dan kepasrahan. Kendatipun semua itu lebih diakibatkan oleh keangkuhan dan keserakahan pihak luar yang merampasnya. Dengan kesabaran dan kepasrahan, demikian pesan syair ini, sebuah tahta yang tergadai akan dapat diduduki kembali, kekuasaan akan dapat diraih ulang dan kejayaan akan dapat dipulihkan.

Pandangan yang terkesan fatalistik itu sangat urgen ketika kita lihat dalam konteks dunia Melayu yang tak pernah lepas dari cengkeraman hegemonis pihak luar. Portugis, Belanda dan terakhir rezim Orde Baru adalah bagaikan “raksasa” yang rajin mencabik-cabik dunia Melayu. Batam-Bintan-Natuna adalah contoh terakhir yang spektakuler. Persoalannya di sini, bukanlah memastikan keterampasan dan keterkoyakan itu karena sebab-sebab internal dunia Melayu, melainkan apakah idealisasi masa lalu masih signifikan untuk menatap masa kini. Masa lalu memang bisa jadi mengagumkan dan membanggakan, tetapi mungkin tidak sepenuhnya untuk melihat masa kini, apalagi untuk menatap masa depan.

Seperti Roda Berputar

Dengan menarasikan kisah perjalanan hidup sebuah keluarga sultan yang jatuh dari singgasananya karena serangan pihak luar dan bangkitnya kembali putra-putrinya memimpin negeri, Syair Juragan Budiman ini hendak menempatkan sebuah perjalanan jatuh-bangun sebagai suatu putaran kehidupan yang wajar (manusiawi). Manusia hanya mengikuti roda takdir berputar, perguliran jatuh-bangun, sengsara-makmur, sedih-senang yang berlangsung menurut kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa.

Tetapi secara eksplisit syair ini hanya menarasikan perguliran takdir sebuah dinasti kekuasaan. Kejatuhan seorang sultan, apalagi karena direbut sultan lain yang tak berhak, akan mengangkat (di kemudian hari) keturunannya memperoleh tahta kesultanan yang baru, mungkin, di tempat yang berbeda. Ini sangat jelas, di mana secara eksplisit dinyatakan di akhir syair ini; ketiga anak sultan yang di-lengser akhirnya menjadi penguasa—atau permaisuri—sebuah negeri. Paparan semacam itu mempunyai, paling tidak, dua pengertian, yakni kepercayaan akan “darah biru” sebagai basis terpenting dalam memangku dan mengendalikan kekuasaan, dan perguliran kekuasaan sebagai perguliran takdir. Kedua hal itu mungkin sangat penting dilihat dalam konteks kenyataan empirik kekuasaan Melayu yang sejak dinasti Malaka runtuh tahun 1511 merosot kekuatan otoritasnya sebagai kekuasaan politik maupun sosial ekonomi dan semakin ke sini kian menghilang, memudar dan terpencar tidak memusat. Suatu fenomena yang kemudian mendorong sejumlah ahli mengkategori Melayu sebagai [masyarakat] cair.

“Darah biru” adalah mitos yang memberikan keabsahan (justification) raja dan keturunannya sebagai pemegang kekuasaan di bumi, hanya keturunan “macan”lah yang akan jadi “macan”, hanya keturunan pemimpinlah yang bisa menjadi pemimpin. Sebuah kenyataan yang oleh sejumlah pengritiknya dikategori sebagai problem ekologis, kastanis. Tampaknya, mitos darah biru ini telah mengakar jauh ke relung-relung kultural masyarakat Melayu tempo dulu yang, menurut Maznah (1993), sengaja dibangun oleh elite politik (The Rulling Class) Melayu sesudah zaman kejayaan Malaka runtuh, antara lain dengan menciptakan cerita rakyat, dongeng, bahkan juga teks-teks hikayat dan syair seperti halnya, mungkin, Syair Juragan Budiman ini.

Sikap Hulubalang yang berhasil memberangus raja—dan bala tentaranya—yang menggulingkan ayah Jayaputra tetapi tetap setia mencari Jayaputra untuk menduduki tahta kerajaan karena dialah yang sah mendudukinya, hanya mengartikan betapa mitos darah biru dikukuhkan sebagai sebuah kebenaran. Barnard (1994) dengan menarik melukiskan bagaimana Raja Kecil, seorang petualang Minangkabau, membangun legitimasi kekuasaannya atas Johor dengan membuat cerita bahwa dirinya adalah keturunan Sultan Mahmud melalui selirnya yang sebelum sultan itu meninggal disuruh meminum air maninya yang tercecer di tikar. Dengan cerita semacam itulah penguasaan Raja Kecil atas Johor memperoleh pengesahan karena seperti apapun prosesnya ia adalah keturunan Sultan Mahmud.

Mitos darah biru dalam dunia Melayu sangat berkaitan, atau bahkan berawal dari, mitos tentang status keinderaan (divinitas) raja-raja Melayu yang juga diciptakan oleh para penguasa. Dan, seperti halnya mitos darah biru, mitos keinderaan ini juga diluncurkan melalui cerita-cerita, hikayat-hikayat dan syair-syair. Penciptaan fiksi-fiksi yang menonjolkan kehebatan penguasa Melayu dari segi moral merupakan salah satu fungsi utama dari mitos yang terdapat dalam kisah-kisah kesejarahan Melayu dengan nuansa-nuansa ideologis tertentu. Ia dimaksudkan untuk memberikan legitimasi bagi posisi penguasa dan memberikan justifikasi bagi moralitas mereka. Dengan agak ekstrim Maznah (1993; 57) menyatakan bahwa dalam kisah-kisah kesejarahan Melayu, penonjolan kehebatan, kekeramatan, dan kemampuan penguasa dalam soal magic dimaksudkan untuk memperdaya pikiran rakyat agar mereka berjiwa budak yang tidak punya bahasa lain kecuali patuh, dan kepatuhan inilah yang kemudian dimanfaatkan dengan baik oleh penguasa. Sebuah pernyataan spekulatif yang terkesan sangat ideologis seperti halnya penciptaan mitos itu sendiri.

Jika di Jawa ada mitos bahwa seorang raja (Mataram) adalah kalipatullah sayidin panatagama, di Melayu, seorang raja digambarkan sebagai “wakil Tuhan di atas bumi” (Sejarah Melayu, 1979; 141), yang “diturunkan oleh Tuhan untuk menjadi raja sampai akhir zaman” (Hikayat Hang Tuah,1975; 5). Ada ungkapan-ungkapan lain bahwa “melihat raja sama artinya dengan melihat Tuhan” (Hikayat Hang Tuah, Ibid; 14 dan 78), atau “melayani raja sama dengan melayani Tuhan” (Sejarah Melayu, op cit; 141), dan “bertindak melawan raja sama dengan melakukan perbuatan yang dilarang Tuhan” (Hikayat Hang Tuah, op cit; 73).

Tampaknya tidak hanya dengan inkarnasi atau “penyandaran” kepada Tuhan, status keinderaan raja Melayu juga dipertegas dengan kepusakaan atau dinisbatkannya asal-usul dan sifat-sifat yang penuh keajaiban. Sang Sapurba, misalnya, muncul dari laut dengan menunggang kuda putih dan kedatangannya di Bukit Siguntang telah membuat ladang padi menjadi emas (Sejarah Melayu, op cit; 17). Kekuatan gaib raja dilihat tidak sebagai atribut pribadi melainkan lebih sebagai emanasi dari kekuatan yang bersifat baik atau buruk yang dibawa sejak lahir dan diturunkan melalui keturunan. Sewaktu Sultan Mansur mencelupkan kakinya ke dalam air yang dengan mustajab dapat menyembuhkan penyakit kulit Raja Cina (Sejarah Melayu, Ibid; 97), ia memberikan legitimasi asal-usul kegaiban dan kekuatan magic diwarisi dari nenek-moyangnya.

Tetapi dalam konteks sosial seperti apa mitos itu dibangun? Cuthbertson (1975; 160-161) menyatakan bahwa mitos secara sistematis memberikan respons terhadap “teriakan zaman”. Maznah menyatakan bahwa mitos-mitos Melayu muncul semarak setelah kekuasaan sukubangsa ini terkoyak, sesudah Malaka, simbol kejayaannya, diambil-alih oleh Portugis. Sejarah Melayu dan Hikayat Hang Tuah, dua teks yang biasa dikategori sebagai kisah kesejarahan Melayu yang utama, ditulis ketika kekuasaan dan rakyat Melayu menuju kemunduran. Dengan dua kisah kesejarahan itu, penguasa Melayu tradisional tampak memilih menghindar dari dunia nyata yang penuh keserakahan, kekerasan, dan ketakpastian ke dunia sufistik yang damai, kembali pada kesempurnaan yang diimajinasi.

Sejarah Melayu ditulis kira-kira seratus tahun setelah kejatuhan Malaka, di mana kekuasaan Melayu menjadi, seperti dilukiskan de Jong (1964; 240) terpencar-pencar sebagai istana-istana kecil yang apatis, tak bisa mengelak dari gangguan Portugis dan Aceh dan terletak di daerah rawa-rawa yang jorok. Iskandar (1970; 45) menyatakan bahwa sampai tahun 1641 kesultanan Johor nyaris kewalahan menghadapi serangan Portugis yang terus menggencar. Pusat kekuasaannya harus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain; dari Johor Lama ke Batu Sawar, ke Pasir Raja kemudian ke Makam Tauhid. Demikian pula Hikayat Hang Tuah yang ditulis kira-kira 250 tahun sesudah penaklukan Malaka oleh Portugis. Waktu itu, gangguan Portugis dan Aceh memang tampak redam dan Kesultanan Johor memegang kendali di kedua pinggir kawasan Selat Malaka. Tetapi, supremasi militernya di Selat Malaka telah musnah bersama takluknya Malaka, di samping permusuhan dan peperangan dengan Jambi serta ketegangan internal yang menyebabkan terbunuhnya sultan terakhir. Dalam masa-masa sulit seperti itulah diperkirakan Hikayat itu ditulis.

Tetapi bagaimana dengan orang Melayu sekarang yang berjarak lebih 500 tahun dari zaman ketika kisah kesejarahan Melayu, dan mungkin lebih dari 100 tahun dari zaman Juragan Budiman, ditulis? Orang Melayu sekarang termasuk kaum elitenya memang bukan yang menulis kisah-kisah dan cerita-cerita itu. Mereka pun tidak menyaksikan secara langsung teriakan zaman yang melahirkan kisah-kisah kesejarahan Melayu itu. Namun dalam kontinuitas kesejarahan—jika jika kita percaya itu—bukankah mereka masih merupakan bagian dari masa lalunya? Penokohan Hang Tuah, zaman keemasan Malaka, kehebatan Raja Kecil, dan pemitosan sejarah masa lalunya sendiri, termasuk masih berlakunya pembacaan hikayat-hikayat dan syair-syair seperti Juragan Budiman, adalah indikasi berharga bahwa masa lalu, bagi orang Melayu, adalah bagian penting dari masa kini.Jika mitosisasi zaman kejayaan masih menguat, jika pembacaan hikayat-hikayat dan syair-syair masih kontinu semata untuk mengabadikan kenangan masa lalu, tak mungkinkah pernyataan Cassirer (1948; 23) akan berlaku bahwa manusia modern, seperti halnya manusia primitif, menggunakan mitos pada saat-saat mengalami kesukaran. Atau, sebagaimana pernah diungkap oleh Malinowski (1948), pada saat-saat seseorang berada dalam kecemasan dan ketakuan, secara umum ia cenderung kembali dan mengacu pada cara berpikir magic dan mitos.

Secara teoritis, mitos-mitos yang ditulis dalam masa dan untuk merespons “teriakan zaman” itu tidak terbatas pada penegasan dan pengesahan status quo, ke-tak-terputus-an dinasti melalui aliran darah biru sebagai jelmaan Tuhan atau dewa di muka bumi, tetapi juga peneguhan-peneguhan, pembalutan sikap dengan kesabaran dalam menghadapi situasi dan keadaan sehancur apapun. Hasil liputan etnografi di banyak tempat melukiskan, jika dalam kelompok pertama, konsentrasinya pada kehebatan, kekeramatan, keajaiban dan kesucian ilahiah, maka dalam kelompok kedua yang terpenting adalah kesabaran, kepasrahan dan kewajaran manusiawi. Kejatuhan kekuasaan, seperti yang dialami dinasti dalam Syair Juragan Budiman ini, keterpurukan situasi, kehancuran sebuah negeri, oleh beberapa teks Melayu dilukiskan sebagai ketidaktepatan manusia dalam perguliran takdir Yang Maha Esa. Bukankah Tuhfat al-Nafis, buku induk orang Melayu karya Raja Ali Haji, menyatakan: Nyatalah manusia ini seperti keadaan lereng ma`alum adanya. Adapun kebesaran itu siapa-siapa yang dikehendaki Allah jua adanya (1982; 407).

Kewajaran manusiawi yang cukup jelas tergambar dalam sikap dan perilaku dinasti yang tergulingkan dalam Juragan Budiman. Mereka meniti hidup sebagai orang biasa, sebagai saudagar di negeri orang lain yang setiap hari harus memasarkan dagangannya, tanpa merasa hal itu sebagai beban. Kejatuhan negerinya bukan suatu tragedi yang harus disiasati, melainkan sebagai “komedi ilahiah” yang penuh kesementaraan, atau sebagai tamparan Tuhan untuk merendahkan hatinya, dan dengan demikian menyadarkan akan nasib manusiawinya. Dan kejatuhan dari kemakmuran hidup di dalam istana ke-sengsa-raan menjaja barang itu pula mengajarkan penguasa dinasti tentang ketidakajegan dan kefanaan semua kemuliaan duniawi. Sebuah kesadaran manusiawi yang dari beberapa segi cukup mulia dan sangat penting untuk mengontrol ke-liar-an nafsu angkara, untuk merefleksi diri.

Hal itu sangat umum di dunia Melayu. Koster (1994; 31) setelah membaca Syair Perang Siak memperoleh kesan bahwa timbulnya pertarungan kekuasaan antar dua bersaudara yang berakibat runtuhnya Siak sebagai penguasa besar di Selat dapat dipahami sebagai pengimbang adil yang dibangkitkan oleh kemakmuran berlebih yang dinikmati kerajaan. Dalam syair ini tak sedikit anjuran meneladani Ayub yang dengan sabar menanggung semua terpaan nasib, yang terburuk sekalipun. Tuhan telah merenggut seluruh harta benda dari tangan Ayub yang tak berdosa dan polos, kemudian menyuruh Iblis menggodanya untuk menguji apakah ia menista Tuhan atau tetap tabah dalam ketaatannya terhadap kehendak Allah, yang ternyata Ayub tak terusik akan godaan-godaan itu.

Batam-Bintan-Natuna: Komedi Tuhan atau Tragedi

Tentu, apa yang terpapar di atas hanyalah realitas teks yang sangat mungkin berbeda bahkan berlawanan—tetapi bisa juga ada kesesuaian—dengan realitas empiris. Sebagai realitas teks, ia hanya ada dalam teks itu sendiri seperti yang diyakini kaum strukturalis, atau hanya ada dalam pikiran si pembaca teks sebagaimana poststrukturalis menyadarinya. Adakah persinggungan, keterpengaruhan, kesesuaian (afinity) antara keduanya, saya tak punya data untuk menjelaskannya.

Tetapi, realitas teks itu akan segera melahirkan sejumlah pertanyaan serius ketika kita hadapkan pada perkembangan kontemporer di dunia Melayu. Dengan proyek Batam-Bintan-Natuna sebagai Kawasan Ekonomi Khusus, negara berhasil menancapkan “kuku-kuku” intervensinya yang berimplikasi bukan saja pada terampasnya sejumlah pulau dan sumber-sumber kekayaaan alam, tetapi juga terpasungnya kebudayaan dalam arti luas. Orang Melayu sekarang, seperti yang sering kita dengar, nyaris—atau bahkan telah—terasing di negerinya sendiri. Apakah keterpurukan struktural itu akan dipandang sebagai ke-tak-tepat-an manusia mengikuti irama takdir? Samakah perenggutan Batam-Bintan-Natuna dengan perenggutan harta-benda Ayub, yang harus dipahami sebagai ujian hidup? Akankah orang Melayu menganggap industrialisasi Batam-Bintan-Natuna bukan sebagai tragedi, tetapi sebagai lelucon Tuhan yang harus diterima benar-benar sebagai komedi? Masih percayakah orang Melayu bahwa hanya dengan mengikuti perguliran takdir (tanpa usaha), mereka akan menjadi dinasti yang berkuasa atas Batam-Bintan-Natuna sebagaimana Jayaputra memperoleh kembali tahta di negeri bekas kekuasaan ayahnya yang terampas? Hanya orang Melayulah yang sepenuhnya berhak menjawab.

Sumber : http://www.lipi.go.id