Hikayat Hang Tuah Dalam Pertunjukan (Keberagaman Tafsir Kelisanan)

Oleh: Sutamat Arybowo

A. Pengantar
Untuk memahami cerita Hang Tuah, dapat dilakukan dengan berbagai metode. Paling kurang ada tiga metode yang dapat ditempuh menggunakan medium penyampaiannya. Pertama, melalui teks tulisan berupa Hikayat Hang Tuah atau naskah Sejarah Melayu. Kedua, melalui teks lisan berupa Cerita Rakyat yang disampaikan oleh Penutur. Ketiga, melalui proses pemanggungan berupa teks pertunjukan dalam teater, sandiwara radio, dan televisi. Ketiga medium tersebut masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Tetapi hal yang paling penting, semuanya berhubungan dengan audien, yaitu publik pembaca atau pendengar atau penonton. Apabila berhubungan dengan publik, mau tidak mau publik tersebut dapat memberikan makna atau reaksi terhadap apa yang dihadapinya, baik secara spontan maupun melalui proses pentahapan.

Reaksi yang disebut juga tanggapan, dapat bersifat pasif dan dapat pula bersifat aktif. Dikatakan pasif, apabila seorang pembaca, pendengar atau penonton dapat memahami suatu teks hanya dengan melihat hakekat estetika di dalamnya. Sedangkan dikatakan aktif, jikalau seorang pembaca, pendengar atau penonton dapat melihat bagaimana merealisasikannya (Junus, 1985). Hal ini berarti penelitian mengenai tafsir terhadap teks pertunjukan dapat mencakup relasi antara penonton dengan teks pertunjukan yang disaksikannya.

Seorang pembaca ketika membaca teks pada umumnya sudah diwarnai oleh faktor tertentu yang dibangunnya. Faktor tersebut mencakup cakrawala sempit yaitu berupa pengalaman membacanya; dan cakrawala yang luas yaitu pengetahuan sosial budaya yang melatarbelakangi kehidupannya (Jauss, 1982, dan Hassan, 1991). Bagi seorang pembaca yang memiliki cakrawala yang luas, biasanya sangat komprehensif dalam memberikan makna terhadap suatu teks yang dibacanya. Juga akan tampak dengan jelas bagaimana seorang pembaca telah memberi makna pada suatu teks dalam bentuk yang lain.

Tulisan ini akan mencoba mempelajari kasus variasi tafsir teks Melayu lama yang disebut Hang Tuah yang dipentaskan pada suatu pertunjukan Wayang Bangsawan di Riau Kepulauan. Di situ akan diperlihatkan bagaimana seorang sutradara pertunjukan dengan latar belakang sosial budayanya mementaskan Hikayat Hang Tuah supaya memenuhi harapan penontonnya yang multi-etnis dan multi-kultur. Di daerah Riau Kepulauan, hikayat tersebut diyakini penduduknya sebagai cerita sejarah dan dianggap sakral oleh para pendukungnya. Selain itu, tulisan ini mencoba melihat bagaimana sang sutradara mewujudkan teks untuk mengubah resepsi Hikayat Hang Tuah (HHT) kepada para penontonnya.

HHT adalah suatu cerita heroik Melayu yang mencerminkan sikap kesetiaan hamba kepada rajanya, sebagai hasil karya sastra lama yang masih terpelihara hingga sekarang (Sudjiman, 1995). HHT tidak menyebutkan nama pengarangnya dan tahun berapa ia dikarang. Diperkirakan hikayat ini ditulis setelah Semenanjung Melaka kedatangan bangsa Portugis (Ahmad, 1990) dan sementara para pakar menganggap HHT adalah suatu roman sejarah. Hingga kini masih terjadi perdebatan yang tak kunjung selesai, darimana sesungguhnya Hang Tuah berasal dan dilahirkan.

B. Ringkasan Cerita
Adapun HHT yang dipentaskan Wayang Bangsawan di Riau Kepulauan dapat diringkas, seperti berikut:

Menurut alkisah, pada jaman dahulu kala di Pulau Bentan dekat Temasik terdapat lima teruna gagah perkasan. Mereka adalah Hang Tuah, Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu. Pada zaman itu tidak ada yang dipikirkan, kecuali mereka ingin pergi merantau ke tempat lain untuk mengubah nasib supaya hidupnya senang.

Agar di rantau tidak percuma begitu saja, seperti mengadu air dengan garam, mereka bersepakat mencari tahu tentang ilmu beladiri. Kemudian Hang Tuah memberi petunjuk kepada teman-temannya dan terlebih dahulu melihat kebolehannya untuk bermain tangan. Setelah mereka cukup berbekal ilmu beladiri, pergilah berlayar menuju ke Negeri Melaka.

Sampai di suatu pantai Semenanjung Melaka, salah satu kawannya ada yang merasa penat lalu ingin berehat dahulu. Di antara mereka sedikit berbeda pendapat. Ada yang ingin terus melanjutkan perjalanan dan ada yang ingin istirahat. Kemudian Hang Tuah berkata : “Tak baik kita berbantah, bukankah kita ini bersaudara dan sama-sama merantau ke lurah sama menurun bukit sama mendaki, baiklah kita berehat sebentar di sini.”

Begitu Hang Tuah dan sahahat-sahabatnya istirahat, terdapat gerombolan perompak lanun datang mendekatinya. Perompak lanun itu menggertak Hang Tuah dan sahabat-sahabatnya yang sedang istirahat. Gerombolan lanun merasa bahwa daerah itu adalah wilayah kekuasaannya dan tidak boleh seorang pun berada di situ. "Kalau engkau semuanya hendak hidup dan selamat serahkan semua barang-barang bawaanmu kepadaku", kata pimpinan lanun. Hang Tuah mencoba menyadarkan lanun tersebut, bahwa dirinya dan kawan-kawan hendak merantau ke Melaka, oleh karena itu ia minta kepada lanun agar jangan mengganggu perjalanan ini. Akhirnya terjadi perkelaian seru yang menewaskan semua gerombolan lanun tersebut.

Perkelahian yang menewaskan gerombolan lanun itu dilihat dari jauh oleh para pengawal istana yang sedang berjaga-jaga di kawasan pantai. Setelah perkelahian selesai, seorang pengawal datang mendekat dan bertanya kepada Hang Tuah dan kawan-kawannya mengenai apa yang sedang terjadi. Terlebih dahulu Hang Tuah memperkenalkan diri dan mengatakan bahwa ia dan teman-temannya ini berasal dari Bentan, setelah itu ia menjelaskan maksud dan tujuannya kemari yaitu ingin merantau ke Negeri Melaka namun dicegat orang tidak dikenal sehingga terjadi perkelahian.

Kemudian pengawal itu bercerita bahwa Negeri Melaka ini telah lama dikacau oleh perompak lanun. Lanun-lanun tersebut tidak mudah dimusnahkan, bahkan panglima Negeri Melaka tidak sanggup menentang mereka. Kejadian yang telah dilihat pengawal itu dianggap aneh, karena lanun-lanun itu dalam prakteknya dapat ditewaskan oleh rombongan Hang Tuah. Selanjutnya pengawal itu minta kepada rombongan Hang Tuah agar mau ikut ke istana untuk dipersembahkan ke hadapan Sultan Negeri Melaka.

Pada saat itu Sultan mengadakan pembincaraan penting dengan para pembesar kerajaan bertempat di Balairung. Datuk Bendahara dan para Menteri telah melaporkan keadaan terakhir di Negeri Melaka yang menunjukkan tidak aman karena diganggu oleh perompak lanun yang merajalela di sepanjang pantai. Tiba-tiba pengawal datang untuk mempersembahkan Hang Tuah dan kawan-kawannya yang baru saja selesai menewaskan gerombolan perompak lanun. Setelah mendengar persembahan tersebut, Sultan sangat gembira dan minta Hang Tuah dan kawan-kawannya sudilah menghadap.

Berhubung Sultan sangat puas atas keluguan dan keperkasaan Hang Tuah, Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu, atas bukti nyata yang disaksikan para pengawal istana, maka pada saat itu Hang Tuah hendak diangkat sebagai Laksamana dan keempat temannya diangkat sebagai pegawai utama istana Negeri Melaka. Setelah Hang Tuah dilantik sebagai Laksamana, Patih Kermawijaya merasa tidak puas. la merasa dirinya sudah lama mengabdi kepada Sultan Negeri Melaka, untuk itu ia patut dilantik sebagai Laksamana. Sultan dianggapnya "tidak mengenang budi dan jasa", katanya.

Menghadapi keadaan Negeri Melaka seperti itu, Patih Kermawijaya berusaha mengatur siasat untuk menggulingkan Hang Tuah. Pada suatu hari Permaisuri Tun Tijah sedang memanggil laksamana Hang Tuah ke tempat kediamannya. Laksamana Hang Tuah datang menghadap dan mohon ampun samba bertanya apakah gerangan tengku permaisuri memanggilnya. Tun Tijah mengaku sudah lama ingin berjumpa dengan Datuk Laksamana, akan tetapi ia merasa ragu. Kemudian Tun Tijah berpantun:

Cendana bukan sembarang cendana
Cendana dibawa ke Inderagiri
Laksamana bukan sembarang Laksamana
Laksamana perkasa berbudi tinggi

Mendengar pantun tersebut, Hang Tuah ketakutan dan mohon ampun kepada tengku permaisuri, lalu ia mohon diri sebelum Sultan murka nantinya. Tun Tijah makin menjadi-jadi dan melanjutkan pantunnya:

Wahai Datuk Laksamana
Bukan hati memuji Laksamana
Bukti nyata di seluruh Melaka
Jejaka perkasa di pandang mata
Menegak bangsa dan Negara

Walaupun Hang Tuah telah memohon ampun berulangkali, Tun Tijah pun tetap tidak peduli. Dengan disaksikan oleh dayang-dayang istana, Hang Tuah memaksakan diri untuk pulang, sambil berpantun:

Ampun tuanku permaisuri
Biarlah patik bermohon diri
Janganlah patik dipanggil lagi
Akhirnye buruk name negeri

Keadaan di kediaman Tun Tijah itu diketahui oleh Patih Kermawijaya, sehingga ia manfaatkan peristiwa ini untuk mengatur siasat. Kemudian ia menghadap Sultan dengan mengatakan bahwa “Laksamana Hang Tuah berperilaku sungguh memalukan dan berani berbuat melanggar pantang, ceroboh, berani bersendau-gurau dengan tengku permaisuri Tun Tijah”. Selama ini Sultan tidak pernah mendengar berita buruk, tetapi Patih Kermawijaya sangat meyakinkan Sultan, sehingga Sultan segera memanggil Datuk Bendahara dan memutuskan hukuman mati terhadap Hang Tuah.

Datuk Bendahara ragu terhadap keputusan Sultan tersebut, apakah benar Hang Tuah melakukan pelanggaran seperti yang dikemukakan Patih Kermawijaya? Untuk itu Datuk Bendahara mohon kepada Sultan hendaknya menyelidiki terlebih dahulu benar salahnya berita ini. Akan tetapi Sultan sudah terlanjur percaya kepada Patih Kermawijaya karena Patih tersebut sudah lama mengabdi kepada kerajaan Negeri Melaka. Datuk Bendahara pun tidak berdaya kemudian memanggil Hang Tuah untuk diajak menghadap Sultan dengan mengatakan suatu hal yang sesungguhnya. Sejak peristiwa ini Hang Tuah dipecat sebagai Laksamana dan diputuskan hukuman mati di tengah hutan yang akan dilaksanakan oleh Datuk Bendahara.

Sebagai penggantinya diangkatlah Hang Jebat menjadi Laksamana Negeri Melaka. Pada masa transisi seperti ini Sultan sering pergi ke negeri jajahannya dan lama tidak pulang ke istana.

Tuah untuk membalas bela kematian sahabatnya Hang Tuah. Oleh karena itu, Hang Jebat mengamuk di istana dan siapa pun yang mendekatinya ia tikam hingga tewas. Dayang-dayang dan Permaisuri Tun Tijah yang cantik rupawan diminta menghibur Hang Jebat. Tidak seorang pun berani menangkap Hang Jebat yang sedang durhaka. Ketika Sultan mengetahui peristiwa ini, ia pun tidak berani pulang ke istana, melainkan mengungsi di kediaman Datuk Bendahara.

Dengan segala penyesalan, Sultan berkeluh di hadapan pembesar kerajaan dengan mengatakan bahwa “bila Tuah masih hidup mungkin tak kan sampai Jebat berani mendurhaka". Kemudian Datuk Bendahara bersembah di hadapan Sultan dengan reaksi, “apabila Hang Tuah masih hidup, sudikah Paduka Sultan memaafkannya?” Sultan terkejut sambil berseloroh, “bicara apa pula yang datuk sampaikan kehadapan beta, tak kan lah mungkin orang yang sudah mati akan hidup kembali, mustahil... tapi ...tapi ... apa maksud datuk sebenarnya?"

Sewaktu Sultan memerintahkan untuk menghukum mati Hang Tuah, Datuk Bendahara tidak sampai hati melakukannya. Pada saat itu Hang Tuah disembunyikan di hulu sungai Melaka untuk berguru di sana. Lalu Datuk Bendahara segeri menjemputnya untuk dipersembahkan ke hadapan Sultan. Sultan pun mengampuni kesalahan Hang Tuah dan langsung menugaskan Hang Tuah untuk segera menangkap Hang Jebat.

Hang Tuah berangkat menuju ke istana untuk membujuk Hang Jebat supaya menyerah dan berhenti berbuat durahaka. Hang Jebat tidak mau menyerah begitu saja, malah ia bicara dengan nada menantang : "Biar Jebat dikatakan mendurhaka, tak jadi apa, karena beta ingin membela kebenaran atas kematian kak Tuah!” Selanjutnya terjadi pertarungan hebat antara Hang Tuah dengan Hang Jebat. Pertama-tama mereka saling merebut keris Taming Sari, seterusnya saling tikam-menikam. Akhirnya Hang Jebat memberikan keris kepada Hang Tuah sambil mengatakan: “Kak Tuah silahkan bunuhlah beta!” Hang Tuah menghujamkan keris Taming Sari ke dada Hang Jebat hingga tewas mengenaskan.

C. Resepsi Cerita dan Tafsir Kelisanan
Demikian cerita HHT yang dipentaskan oleh suatu rombongan Wayang Bangsawan di Riau Kepulauan. Cerita ini sangat populer di kalangan masyarakat dan sudah dipublikasikan dalam bentuk tulisan oleh beberapa penerbit baik di Malaysia maupun di Singapura. Bahkan "Hang Tuah" sendiri telah menjadi judul beberapa prosa, cerita pendek, puisi dan drama. Berkaitan dengan pertunjukan di atas, persoalan yang muncul adalah darimana sang sutradara mendapatkan pokok cerita yang dipentaskan rombongan Wayang Bangsawan tersebut? Sang sutradara pernah tinggal di sebuah ibukota kecamatan dan bekerja sebagai karyawan Penambangan Timah. Ia telah menyelesaikan pendidikan agama tingkat menengah. Ia sering juga pergi ke Singapura untuk kunjungan ke rumah kerabatnya yang tinggal di sana. Dalam pengakuannya sebelum menyusun skenario pertunjukan, ia pernah membaca HHT yang diterbitkan oleh Methodist Publishing House Singapura tahun 1916.

Dalam mengkaji resepsi di sini hal yang penting diperhatikan adalah perlunya kesadaran bahwa adanya perbedaan teks tulisan dan teks pertunjukan. Teks tulisan pada umumnya tidak terikat oleh keterbatasan waktu dan panjangnya cerita. Sedangkan teks pertunjukan dibatasi oleh kemasan dan pragmentasi

ketika dipentaskan terbatas oleh ruang dan waktu. Kalau jaman dulu Wayang Bangsawan dapat dimainkan selama 5 jam, pada saat ini sering dikemas menjadi 2 jam untuk kepentingan tertentu. Oleh karena itu, HHT – 1916 yang dipentaskan di Riau Kepulauan telah disempitkan latarnya dan jumlah tokohnya diperkecil disesuaikan dengna jumlah pem-“babak”-an dalam penyajiannya. Babak yang disajikan yaitu latar keadaan di Pulau Bentan; kehidupan perompak lanun di pantai Melaka; suasana di istana Negeri Melaka; romantisme di kediaman permaisuri; dan ketegangan di rumah Datuk Bendahara. Begitu pula tokoh-tokoh yang dimunculkan hanya terdiri dari Sultan Manshur Syah Alam, Tengku Permaisuri Tun Tijah, Datuk Bendahara, Patih Kermawijaya, Tumenggung, Dayang-dayang, Gerombolan perompak lanun, dan Rombongan Hang Tuah. Juga pada akhir cerita telah ditonjolkan peran tunggal Hang Jebat.

Seorang pembaca teks tulisan mungkin tidak mengalami kendala keterbatasan ruang, waktu, lokasi, atau latar yang lain, karena ia dapat seenaknya berhenti di mana raja dan akan melanjutkan kapan saja (Hassan, 1991). Namun ketika seseorang sedang menyaksikan pertunjukan, sudah barang tentu ia harus terus menerus pancainderanya terarah kepada pertunjukan. Begitu ia berhenti, misalnya pergi ke kamar kecil atau keluar jauh dan arena panggung, dapat jadi terputus kontak pikirannya dengan lakon yang disajikan. Walaupun suatu cerita dapat diulang pada pertunjukan rombongan yang lain, belum tentu penyajiaannya sama. Faktor inilah yang perlu diperhatikan di dalam mengkaji resepsi teks pertunjukan.

Dalam mementaskan HHT, sang sutradara pada umumnya sangat hati-hati terhadap adegan akhir pertunjukan. Menurut pengakuan salah seorang sutradara di Riau Kepulauan, ia sama sekali tidak berani mengubah sejarah. Akan tetapi hal ini bergantung pula pada sumber acuannya, apakah seorang sutradara telah mengambil sumber cerita Hang Tuah dari HHT atau dari Sejarah Melayu. Keduanya membicarakan kisah Hang Tuah, namun kedua sumber itu tentu ada bedanya. Misalnya, watak Hang Tuah dalam Sejarah Melayu tidak digambarkan selengkapnya, sedangkan di dalam HTT diceritakan watak pribadinya dari kecil hingga masa tuanya. Pada pokoknya tokoh Hang Tuah yang diuraikan dalam Sejarah Melayu terdapat perbedaan dengan yang ditulis dalam HHT. Di satu pihak dalam Sejarah Melayu sering dijadikan sumber sejarah, dan di lain pihak dalam HHT dianggap sebagai legenda, padahal pokok bahasannya sama.

Terlepas dari itu semua bagi sang sutradara mengambil acuan dari kedua teks tersebut tetap menganggap keduanya memiliki kegunaan yang sama, yaitu paling kurang sebagai sumber imajinasi dalam proses penciptaan kembali menjadi bentuk teks pertunjukan. Bahkan tidak segan-segan seorang pembaca teks Melayu lama di Riau Kepulauan mengatakan bahwa Sejarah Melayu maupun HHT merupakan sumber ilmu pengetahuan dan sarana pendidikan adat-istiadat Melayu.

Begitu pula dalam HHT yang dipentaskan di Riau Kepulauan adalah memiliki makna sebagaimana tampak pada fungsi teater pada umumnya. Antara lain, pertunjukan tersebut dapat mengajarkan nilai-nilai sebagaimana diekspresikan para pemainnya sesuai dengan adegan yang diperankan. Bahkan pokok cerita dalam HHT yang dipentaskan, sekaligus memungkinkan sang sutradara berimprovisasi untuk melihat masa kini.

Pada prolognya tema yang diutamakan dalam pementasan HHT di Riau Kepulauan ketaatan orang Melayu. Hal ini digambarkan melalui tokoh Hang Tuah yang memiliki sifat heroik yang mentaati segala titah Sultan, namun tetap santun. Hal ini juga ditunjukkan dalam dialognya ketika Hang Tuah dipanggil untuk menghadap tengku permaisuri Tun Tijah. Di samping itu kesanggupan dan kemasyhuran Hang Tuah dapat dianggap sebagai wawasan orang Melayu yang dikenal sedunia (Chambert-Loir, 1995). Kemasyhuran itu juga ditonjolkan pada keberanian Hang Tuah untuk mengembara dari Pulau Bentan menuju ke Semenanjung Melaka yang penuh mencekam karena harus derhadapan dengan gerombolan perompak lanun.

Dalam epilognya, sang sutradara mencoba menafsirkan kembali pertikaian Hang Tuah dengan sahabatnya Hang Jebat. Pada mulanya kesetiaan Hang Tuah kepada Sultan dalam segala-galanya mendapat pujian dan tepuk tangan dari penontonnya, dianggapnya hal ini merupakan nilai luhur orang Melayu. Namun, begitu terjadi adegan perebutan keris Taming Sari dari tangan Hang Jebat, maka penonton mulai serius dengan beberapa bisikan antar teman, siapa yang bakal menang? Dalam dialognya, Hang Tuah berusaha membujuk agar Hang Jebat untuk berhenti durhaka, dengan mengingatkan: “Anak Melayu pantang durhaka!” serunya. Hang Jebat menangkis: “Biar Jebat durhaka tak jadi apa, karena beta membela kebenaran atas kematian kak Tuah”. Tampaknya sang sutradara telah menyesuaikan keadaan penonton pada saat ini, bahwa pada adegan ini Hang Jebat diekspresikan sebagai seorang yang pemberani untuk membela kebenaran dan Hang Tuah digambarkan sebagai seorang yang setia secara membabi buta kepada Sultan, karena tega membunuh sahabatnya sendiri demi martabat Sultan, padahal Hang Jebat sesungguhnya membela kehenaran untuk Hang Tuah.

D. Penutup
Sepanjang pementasan, pertikaian antara Hang Tuah dengan Hang Jebat adalah babak yang paling penting, karena babak ini merupakan puncak alur cerita HHT dan menjadi kunci yang menentukan dalam memanipulasi HHT menjadi sebuah teks pertunjukan. Pada babak terakhir tersebut, justru dalam teks bacaan HHT - 1916 kurang dillematis dibandingkan dengan teks pertunjukan. Barangkali karena teks pertunjukan diekspresikan seorang aktor, sehingga sang sutradara dapat menonjolkan lebih dilematis terhadap apa yang dialami oleh Hang Tuah. Di satu pihak, Hang Tuah harus mengamankan Negeri Melaka, di lain pihak ia harus membunuh sahabatnya sendiri, yakni Hang Jebat. Dalam hal ini sang sutradara dapat mentransformasikan teks HHT dengan perkembangan zaman melalui teks pertunjukan. Selain itu dalam teks pertunjukan dialognya lebih jelas, karena penonton (pembaca) dapat membandingkan dan mendengarkan langsung tentang dua tokoh yang berdebat mengenai pandangan hidupnya yang sama-sama menghadapi dilema. Hang Tuah berjuang untuk melaksanakan tugas setia kepada Sultan, sedangkan Hang Jebat berjuang melawan kezaliman dan mempertahankan suatu kebenaran.

Teks pertunjukan yang mengacu pada HHT yang dipentaskan di Riau Kepulauan, pengamatan penulis, sangat variatif bergantung kepada yang menyutradai. Ada yang fokus ceritanya ditekankan pada pertikaian Tuah-Jebat; ada yang ditekankan pada siasat Patih Kermajaya; dan ada pula yang menonjolkan pada hilangnya Laksamana Hang Tuah. Sepengetahuan penulis, ketika mendengarkan cerita langsung dari tukang cerita (penutur) di Riau Kepulauan, belum pernah terdapat cerita bahwa Hang Tuah telah mati dibunuh. Menurut tukang cerita, Hang Tuah dikisahkan mirip seperti Patih Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit yang kuburannya.

Sebagai catatan penutup, walaupun kepercayaan orang Melayu tidak berani mengubah sejarah, namun pada prakteknya sang sutradar tampaknya lebih leluasa meresepsi maupun mencipta kembali lebih luas, beraneka ragam, dan membuat penonjolan cerita Hang Tuah dari masa ke masa. Adapun karakteristik yang ditaati beberapa sutradara terhadap HHT yang pernah dipentaskan, sama sekali belum pernah mengakhiri cerita tentang Hang Tuah yang dapat mati dibunuh lawannya. Dengan kata lain, baik dalam teks tulisan maupun teks pertunjukan, hingga kini tokoh Hang Tuah tidak pernah mati, ia hanyalah musnah hilang.

Daftar Pustaka
Ahmad, Annas Haji, 1988. Sastra Melayu Lama dan Baru. Selangor: Masa Enterprise.

Anonim, 1916. Hikayat Hang Tuah, Jilid 1-4. Singapura: Methodist Publishing House.

Chambert--Loir, Henri, 1995. "Wawasan Politik Sedunia Dalam Hikayat Hang Tuah", kertas kerja Konggres Bahasa Melayu Sedunia, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur.

Hassan T. Fuad, 1991. “Suatu Variasi Resepsi Teks”, dalam Naskah dan Kita. Lembaran Sastra. , Fakultas Sastra Universitas Indonesia, hlm. 106-116.

Jauss, Hans Robert, 1982. Toward and Aesthetic of Reception. Brighton: Harvester Press.

Lubis, Nabilah, 1996. Naskah, Teks, dan Metode Penelitian Filologi. Jakarta: Forum Kajian Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah.

Luxemburg, Jan Van (dkk.), 1984. Pengantar Ilmu Sastra, diindonesiakan oleh Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.

-------,1991. Tentang Sastra. Penerjemah Achadiati Ikram. Jakarta: Intermasa.

Robson, S.O., 1994. Prinsip-Prinsip Filologi Indonesia. Jakarta-Leiden: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa bekerja sama dengan Universitas Leiden.

Sudjiman, Panuti, 1995. Filologi Melayu. Jakarta: Pustaka Jaya.

______________
Sutamat Arybowo adalah peneliti pada PMB-LIPI dan Asosiasi Tradisi Lisan.

Sumber: http://tradisilisan.blogspot.com