Latar Belakang
Batu bergores yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pahatan atau goresan pada temuan yang merupakan bagian dari tradisi megalitik. Wujud dari batu bergores berupa (1) monolit yang dipahat/gores; (2) jenis temuan megalitik lain (menhir, batu datar, dolmen yang terdapat pahatan/goresan).
Situs-situs megalitik di Indonesia yang memiliki tinggalan batu bergores, adalah Banyuurip (Purworejo, Jawa Tengah), Sumurpule (Rembang, Jawa Tengah), Bada (Sulawesi Tengah), Cicurug (Sukabumi, Jawa Barat), Cabangdua (Lampung Barat?), Bojong, dan Pugungraharjo (Lampung Tengah), Limbanang Atas ( Sumatera Barat), Tegurwangi Lama (Lahat, Sumatera Selatan ), Pandeglang (Banten), dan Watu Pinawetengan (Sulawesi Utara) (Haris Sukendar, 1979: 15; 1997/1998: 59-69; Anwar Falah, 1994: 25).
Fenomena yang ada menunjukkan temuan batu bergores secara kuantitatif merupakan temuan yang jauh lebih sedikit dibanding temuan megalitik lainnya. Untuk kawasan Lampung, batu bergores merupakan temuan paling minim dibanding temuan menhir, dolmen, ataupun batu datar. Di sebagian besar situs megalitik, temuan batu bergores selalu berasosiasi dengan temuan megalitik lainnya.
Situs-situs batu bergores di kawasan Lampung berada di
1. Kabupaten Lampung Timur, yaitu Situs Bojong, Benteng Nibung, dan Pugungraharjo
2. Kabupten Lampung Barat, yaitu Pekon Balak, Air Ringkih, dan Sukarame
Keberadaan batu bergores dalam tradisi megalitik tentunya mengandung maksud-maksud tertentu. Demikian pula halnya dengan pahatan/goresan yang ditorehkan pada sebuah batu dapat dipastikan mempunyai tujuan. Oleh karena itu, dalam kajian ini perlu dikedepankan permasalahan tentang apa fungsi dan peranan batu bergores dalam tradisi megalitik. Hal ini menjadi lebih menarik, karena temuan batu bergores paling sedikit dibanding temuan bangunan megalitik lainnya. Tujuan dari kajian ini diharapkan dapat lebih mengungkap keberadaan batu bergores dan peranannya dalam suatu situs megalitik. Dengan demikian akan dapat diketahui kontribusi batu bergores dalam setiap situs megalitik.
Tinggalan Batu Bergores Lampung
Situs Bojong
Torehan dalam batu bergores merupakan alur-alur bekas asahan yang terdapat pada bagian permukaan. Banyaknya alur bekas asahan di setiap batu bergores beragam, dari satu torehan sampai lebih. Bentuk gorsan merupakan garis-garis lurus yang tidak beraturan.
Benteng Nibung bersisian dengan Way Capang. Luas areal benteng sekitar 1,5 hektar membentang dengan orientasi barat-timur. Sisi selatan dan sisi barat benteng bertemu dengan Way Capang. Pada pertemuan ini dahulu terdapat beberapa batu bergores dan beberapa lumpang batu. Batu-batu tersebut dipecah untuk pengerasan jalan. Di situs ini juga banyak terdapat pecahan gerabah dan keramik.
Batu bergores yang diperoleh di situs ini tidak utuh dan terletak di dekat Benteng Nibung. Berdasarkan bagian sisa yang ada, dapat diperkirakan batu bergores tersebut memiliki diameter lebih dari 1 meter. Sedang batu bergores yang lainnya tidak ditemukan lagi sisa bagiannya. Seperti halnya Situs Bojong, goresan yang ada merupakan alur-alur batu asah yang terdapat dalam batu monolit dengan bentuk garis-garis lurus.
Batu bergores di Pugungraharjo diperoleh di keseluruhan bagian situs. Tinggalan arkeologis yang terdapat pada bagian pertama berupa batu berlubang, batu bergores, dan punden berundak. Pada bagian kedua terdapat susunan menhir dan batu altar yang berbentuk denah segiempat. Kedua jenis tinggalan tersebut terdapat pahatan. Pahatan salah satu menhir yang membentuk garis melingkar di kedua ujungnya. Sedang pada salah satu batu altar terdapat pahatan yang membentuk huruf T. Adapun pada bagian ketiga adalah batu berlubang, batu bergores, batu lumpang, dan punden berundak. Selain di lokasi yang telah disebutkan, temuan batu bergores juga diperoleh di mata air. Pada lokasi ini terdapat batu bergores, batu lumpang, dan batu berlubang. Seperti halnya temuan batu bergores di Situs Bojong dan Benteng Nibung, di situs ini batu bergores juga berupa batu monolit yang terdapat alur-alur bekas asahan dengan bentuk garis lurus.
Leslie White mendefinisikan simbol sebagai “a thing the value or meaning of which is bestowed upon by those who use it”. Dengan demikian simbol merupakan sesuatu yang nilai atau maknanya diberikan oleh mereka yang mempergunakannya. Dengan demikian makna atau nilai tersebut tidak berasal dari atau ditentukan oleh sifat-sifat yang secara intrinsik terdapat di dalam bentuk fisiknya. Makna suatu simbol, hanya dapat ditangkap melalui cara-cara non sensorik; melalui cara-cara simbolis (Kamanto, 1993: 43 -- 45).
Munculnya bahasa simbol, menurut Herbert Blumerm, terdapat tiga pokok pikiran. Pertama bahwa manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) atas dasar makna (meaning) yang dipunyai sesuatu tersebut baginya. Kedua, makna yang dipunyai sesuatu tersebut berasal atau muncul dari interaksi seseorang dengan sesamanya. Ketiga makna yang diperlakukan atau diubah melalui suatu proses penafsiran (interpretative process) (Kamanto, 1993: 43 -- 45).
Sejalan dengan itu, Victor Turner mengungkap makna simbol atau perbuatan simbolik diperlukan suatu interpretasi, yang dapat dilakukan melalui tiga tahapan sebagai berikut (Sudarmadi, 1994: 87 -- 88).
a. Tingkat makna eksegetik (exegetical meaning)
Interpretasi dalam tahap ini bersumber dari informan, yang memahami seluk beluk simbol tersebut.Dengan demikian tahapan ini mengacu pada penafsiran informan ditambah dengan interpretasi pada mitos-mitos yang ada.
b. Tingkat makna operasional (operational meaning)
Pada tahap selanjutnya, interpretasi dilakukan oleh peneliti berdasarkan pengamatannya terhadap masyarakat yang menggunakan simbol tersebut. Pada tahap ini perlu dilihat dalam rangka kegiatan apa simbol-simbol tersebut dipakai.
c. Tingkat makna posisional (positional meaning)
Simbol akan dapat diketaui maknannya berdasarkan pemahaman unsur-unsur keseluruhan simbol tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan simbol yang sering memiliki berbagai ragam makna (polysemi/multivocal) sehingga dengan memahami makna keseluruhannya dapat diketahui makna yang lebih diutamakan.
Fungsi dan peranan batu bergores dalam tradisi megalitik di kawasan Lampung dapat dipahami dengan menggunakan teori tiga tingkat yang telah disebut itu. Derajat penyimpangan dari penerapan teori akan sangat kecil. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa pendirian bangunan megalit adalah sama, yaitu kepercayaan terhadap orang yang telah meninggal, arwahnya tetap dan mengawasi serta melindungi masyarakat yang ditinggal. Dengan demikian menjaga hubungan dengan alam roh harus terjaga dengan cara melakukan pemujaan terhadap arwah leluhur (Soejono, 1990: 212 -- 214).
Menhir berupa sebuah batu tegak yang sudah atau belum dikerjakan dan diletakkan dengan sengaja di suatu tempat untuk memperingati orang yang telah mati. Benda tersebut dianggap sebagai medium penghormatan, menampung kedatangan roh dan sekaligus menjadi lambang dari orang-orang yang diperingati (Soejono, 1990: 213).
Dolmen biasanya berbentuk batu datar monolit yang disangga oleh empat atau lebih tiang batu. Dolmen menurut beberapa ahli (Perry, 1923; Hoop, 1932) merupakan penguburan. Adapun menurut van Hekeeren (1955), dolmen ada hubungannya dengan penguburan. Dolmen merupakan tempat yang digunakan dalam upacara pemujaaan kepada arwah leluhur. Berdasarkan beberapa penggalian yang dilakukan Balai Arkeologi Bandung di Batuberak dan sekitarnya, menunjukkan dolmen bukan merupakan suatu kuburan, tetapi ada hubungannya dengan penguburan, terutama pada pemujaaan kepada arwah leluhur (Saptono, 1994/1995: 13).
Menurut Kaudern yang dikutip oleh Haris Sukendar (1979: 15), batu bergores merupakan alat yang dipergunakan sebagai sarana pemberian kekuatan gaib terhadap suatu alat (senjata tajam) seperti pisau dan parang yang akan digunakan, yaitu dengan jalan mengasahkan alat pada batu tersebut.
Daftar Pustaka
Falah, W. Anwar. 1994. “Penelitian Tradisi Megalitik di Situs Bojong Lampung Tengah”. Dalam Jurnal Balai Arkeologi Bandung (Edisi Perdana/1994). Bandung: Balai Arkeologi Bandung. Hlm. 25 -- 40.
Indraningsih, Ratna J. (et al). 1985. “Laporan Penelitian Arkeologi di Lampung”. Berita Penelitian Arkeologi No. 33. Jakarta : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Soejono, R.P (ed.). 1990. “Jaman Praserah di Indonesia”. Dalam Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. PN. Balai Pustaka.
Sudarmadi, Tular. 1994. “Kajian Ulang Fungsi Situs Megalitik Terjan: Tinjauan Aspek Simbolik”. Dalam Jejak-Jejak Budaya (Persempahan Untuk Prof. Dr. R.P. Soejono). Yogyakarta: Asosiasi Prehistori Indonesia Rayon II. Hlm. 83 – 100.
Sukendar, Haris. 1979. “Laporan Penelitian Kepurbakalaan Daerah Lampung”. Berita Penelitian Arkeologi No. 20. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
----------, 1997/1998 “Batu Bergores Sebagai Simbol Religius”. Dalam Kebudayaan No. 13 Th. VII 1997/1998, Edisi Khusus. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hlm. 59 – 69.
Sukendar Haris, (et al.). 1984. “A. Survei di Daerah Lampung B. Survei di Daerah Sumatera Selatan”. Berita Penelitian Arkeologi No. 2. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Sunarto, Kamanto. 1993. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia.
Triwuryani, R.R. 1996. “Pola Persebaran Situs Benteng di Sepanjang DAS Sekampung: Ditinjau dari Kajian Wilayah”. Makalah pada Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi Ujungpandang 20-26 September 1996. (belum diterbitkan).
Yondri, Lutfi. 1997/1998. Laporan Hasil Penelitian Arkeologi di Situs Kenyangan dan sekitarnya, Desa Pekon Balak, Kecamatan Belalau, Kab. Lampung Barat, Prop. Lampung. Bandung: Balai Arkeologi Bandung.
Catatan: Tulisan ini diterbitkan di buku berjudul “Hastaleleka: Kumpulan Karya Mandiri Dalam Kajian Paleoekologi, Arkeologi, Sejarah Kuna, dan Etnografi”, hlm. 33 - 40. Editor Agus Aris Munandar. Jatinangor: Alqaprint, 2005.
Sumber : http://arkeologilampung.blogspot.com