FESTIVAL SEBAGAI DIPLOMASI KEBUDAYAAN
Festival Banggai menjadi unik dan penting karena membuktikan bahwa wilayah kebudayaan memang berbeda dengan wilayah administratif pemerintahan. Walaupun kini sudah terbagi dalam dua kabupaten yang terpisah sejak beberapa tahun yang lalu, rumpun budaya Banggai, Balantak, Saluan (Babasal) dulunya berada dalam satu wilayah adminsitratif Kabupaten Banggai yang beribukota Luwuk.
Festival yang diikuti oleh hampir seluruh kecamatan di dua wilayah Kabupaten itu, akhirnya menjadi upaya untuk mempererat kembali simpul-simpul budaya tersebut tanpa perlu dipengaruhi oleh terpisahnya wilayah administratif politik. Apalagi kemudian festival ini dirangkaikan dengan perayaan hari ulang tahun (Kerajaan) Banggai yang ke-406 sebagai bagian dari kesultanan Ternate yang jatuh pada tanggal 16 Mei 2009. Di sini terlihat ikatan memori kolektif sejarah dalam sebuah bekas wilayah kerajaan yang sama diharapkan dapat semakin memperkuat persatuan itu.
Festival Banggai yang melibatkan dua kabupaten dan dirangkaian dengan hari jadi Banggai mulai diadakan tahun 2001 dan terakhir dapat dilaksanakan pada tahun 2002. Setelah itu terputus. Masing-masing kabupaten membuat festival dan merayakan hari jadi (Kerajaan) Banggai sendiri-sendiri. Atas prakarsa Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banggai Kepulauan Drs. Muis Abdul Latif M. Pd, Festival Banggai diadakan lagi tahun ini untuk kemudian rencananya dilaksanakan secara bergantian di kedua ibukota kabupaten.
Kebudayaan yang berbasis pada kesamaan sejarah dan unsur-unsur budaya (sistem kepercayaan, sistem sosial, teknologi, seni, bahasa, dll) diharapkan menjadi perekat dan dapat melampaui serta mencairkan ketegangan yang ditimbulkan akibat persoalan - persoalan dalam administratif politik. Bukan kapasitas penulis untuk membicarakan konflik yang sempat terjadi ketika pemindahan ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan dari Banggai (sebuah pulau) ke Salakan (sebuah pulau yang lain). Namun, yang dapat penulis katakan adalah sebuah festival bisa berfungsi sebagai diplomasi kebudayaan untuk meredam konflik. Dengan dihadiri oleh kedua Bupati masing – masing, Tomundo (Raja) Banggai, serta Raja Ternate yang diundang secara khusus, maka festival ini dapat dipandang sebagai salah satu langkah penting untuk menyudahi persoalan yang ada dan lebih berkonsentrasi pada persoalan – persoalan pembangunan yang ada di depan.
Dari sinilah penulis memahami mengapa usulan penulis kepada seniman dan budayawan Banggai untuk sedikit mengubah format festival diterima oleh mereka. Penulis memberi usulan agar sedikit-demi sedikit mengurangi aroma lomba kebudayaan pada festival ini. Karena, bila aroma lomba yang dipertahankan, maka dapat mengakibatkan peserta datang ke arena festival dengan semangat untuk saling mengalahkan satu sama lain, bukan untuk saling memahami satu sama lain. Padahal, fungsi festival ini justru untuk meredam konflik dan kembali menjadi perekat rumpun budaya Babasal (Banggai, Balantak, Saluan), menjadi sarana untuk memahami varian–varian budaya yang ada serta perkembangan pembinaan seni budaya yang ada di setiap kecamatan di Banggai.
Olehnya, workshop seni yang diadakan setiap pagi pada saat pelaksanaan festival lebih dirasa penting daripada sibuk mempertahankan bahwa penampilan sebuah kecamatan adalah yang terbaik. Karena workshop seni berisi komentar dewan pengamat atas penampilan dari setiap kecamatan. Dewan Pengamat tidak memosisikan diri sebagai “dewan juri” yang memutuskan salah benar atau menang kalah. Tetapi sebagai teman diskusi yang kritis untuk mengomentari hasil pertunjukan setiap kecamatan. Adapun hasil diskusi itu dikembalikan lagi ke setiap pembina seni budaya di kecamatan untuk mengkajinya lebih mendalam, mengambil yang dirasa perlu dan membuang yang dianggap tidak perlu. Dewan pengamat tidak mengharuskan komentar-komentarnya menjadi “ajaran baru” dalam mengembangkan seni budaya.
BANGGAI SEBAGAI TANAH BURUNG?
Perhelatan yang dihelat di bagian timur Sulawesi Tengah berintikan lomba olahraga tradisional berupa lomba perahu, permainan hadang dan permainan tradisional mengambil batu. Adapun dalam cabang kesenian mempertontonkan kreativitas dari masing–masing kecamatan dalam cipta lagu daerah, cipta musik kreasi baru, cipta tari kreasi baru, pertunjukan masyarakat adat dan sastra daerah.
Dari hasil pengamatan penulis dan diskusi dalam workshop selama festival berlangsung, nampak bahwa burung menjadi hal yang penting dalam alam bawah sadar orang Banggai. Saya sebut alam bawah sadar, karena orang Banggai sendiri belum dapat menjelaskan mengapa burung hampir selalu ada dalam setiap pertunjukan mereka. Baik burung sebagi simbol yang diletakkan pada tengah panggung dan dikelilingi oleh penari, gerakan-gerakan tari dari Sea-Sea (suku pedalaman di Banggai) yang seolah-olah menyerupai burung, maupun fungsi Burung dalam cerita-cerita rakyat yang ditampilkan, baik sebagai simbol kebaikan maupun simbol perusak.
Deretan referensi mengenai burung masih dapat diperpanjang lagi dengan pernyataan orang Banggai sendiri selama workshop berlangsung (terutama dari Pak Mangais dan Pak Alwi seniman budayawan Banggai) bahwa acara Tumpek yang menjadi ikon pesta rakyat orang Banggai adalah proses melaksanakan amanah leluhur: membawa telur burung maleo pertama ke pulau Banggai, perlambang perhatian yang besar orang Banggai terhadap kesinambungan reproduksi burung Maleo. Gugusan kepulauan di Banggai Kepulauan adalah tiruan burung dimana Balantak disebut sebagai kepala Burung. Masama, sebagai nama kecamatan, berasal dari kata Sama yang berarti burung elang.
Tugas antropolog, dan terutama orang Banggai sendiri yang menjawab pertanyaan mengapa burung begitu penting di alam bawah sadar orang Banggai? Jawabannya bisa menjadi salah satu perspektif untuk menentukan arah pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata di wilayah Banggai. Fokus pembangunan kebudayaan dapat diarahkan pada semakin menguak fungsi burung pada kebudayaan Banggai dengan melakukan survey, penelitian, diskusi kebudayaan dll. Sehingga hasilnya dapat dijadikan salah satu elemen untuk membentuk identitas, pendidikan kebudayaan, perspektif pembangunan dan penopang pariwisata Banggai.
Penopang Pariwisata karena kalau Tanah Toraja menjual pariwisatanya dengan merek “Toraja sebagai Tanah Kerbau” (The Land of Buffalos), maka wilayah Banggai pun dapat menjual wilayahnya dengan merk “Banggai Sebagai Tanah Burung” (The Land of the Birds). Tabea.
* Amin Abdullah, S. Sn, M. Sn, MA, Praktisi Seni dan Kebijakan Kebudayaan Kepala Seksi Pembinaan Kesenian dan Perfilman Dibudpar Prop Sulteng.
Sumber : http://www.radarsulteng.com