Oleh: Kolubi Arman
Pemerhati Sosial tinggal di Tanjunguban, Bintan.
Pernahkah Anda berpikir mengapa bahasa Melayu diambil menjadi bahasa Indonesia? Dengan kata lain bahwa bahasa Melayu menjadi cikal bakal bahasa Indonesia. Pernahkah Anda juga berpikir atau bertanya sampai sejauh manakah perkembangan bahasa dan sastra Melayu? Pernahkah Anda memperhatikan bagaimana anak-anak (Melayu) kita berbahasa? Pernahkah Anda berpikir bahwa bahasa dan dialek Melayu akan lebih cepat terkikis dan hilang?
Bahasa Indonesia adalah dialek baku dari bahasa Melayu yang asalnya dari bahasa Melayu Riau sebagaimana diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara dalam Kongres Bahasa Indonesia I tahun 1939 di Solo, Jawa Tengah. Dia menyebut, ”Jang dinamakan Bahasa Indonesia jaitoe bahasa Melajoe jang soenggoehpoen pokoknja berasal dari Melajoe Riaoe, akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah ataoe dikoerangi menoeroet keperloean zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh rakjat di seloeroeh Indonesia; pembaharoean bahasa Melajoe hingga menjadi bahasa Indonesia itoe haroes dilakoekan oleh kaoem ahli jang beralam baharoe, ialah alam kebangsaan Indonesia”.
Atau sebagaimana diungkapkan dalam Kongres Bahasa Indonesia II 1954 di Medan, Sumatra Utara, ”bahwa asal bahasa Indonesia ialah bahasa Melaju. Dasar bahasa Indonesia ialah bahasa Melaju jang disesuaikan dengan pertumbuhannja dalam masjarakat Indonesia” (Wikipedia Indonesia).
Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai bahasa nasional pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan bahwa, ”Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan”.
Namun Penyebutan pertama istilah ’’Bahasa Melayu’’ sudah dilakukan pada masa sekitar 683-686 M, yaitu angka tahun yang tercantum pada beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno di Palembang dan Bangka. Prasasti-prasasti ini ditulis dengan aksara Pallawa atas perintah raja Sriwijaya, kerajaan maritim yang berjaya pada abad ke-7 sampai ke-12. Wangsa Syailendra juga meninggalkan beberapa prasasti Melayu Kuno di Jawa Tengah. Keping Tembaga Laguna yang ditemukan di dekat Manila juga menunjukkan keterkaitan wilayah itu dengan Sriwijaya (wikipedia Indonesia). Kembali ke pertanyaan mengapa Bahasa Melayu, berkembang menjadi bahasa Indonesia?
Apakah karena waktu itu orang melayu gencar melakukan pelatihan, kursus bahasa Melayu terhadap suku-suku lain sehingga bahasa Melayu begitu luasnya dapat dipahami hampir di seluruh Indonesia. Hal yang sulit membayangkan jika waktu itu sudah ada kursus bahasa Melayu. Apakah jumlah suku Melayu lebih banyak dan merata di nusantara waktu itu dibanding suku lainnya? Apakah para tokoh bangsa kita dahulu tanpa pertimbangan, pemikiran, untuk menetapkan bahasa Melayu sebagai bahasa dasar bangsa Indonesia?
Apakah jawaban dari berbagai pertanyaan-pertanyaan tersebut. Tesis pertama (dugaan sementara) yang paling sederhana adalah karena waktu itu orang melayu sudah dominan dan hampir ada di semua wilayah/tempat di Indonesia yang perdagangan, perekonomian, budaya dan sosialnya telah ramai dan berkembang. Dengan dominan kala itu orang Melayu menjadi tempat untuk bertanya dan bertukar pendapat serta tempat untuk belajar. Tingkah lakunya, tutur bahasanya menjadi pusat perhatian, panutan, dan banyak ditiru banyak orang di sekelilingnya. Konon, bahasa Melayu sangat mudah diterima, sopan, enak didengar, (gaul gitu lho…) Lama kelamaan bahasa Melayu berkembang secara pesat sehingga banyak dipahami orang dari berbagai suku yang ada di Indonesia.
Tesis kedua adalah tanah Melayu telah menjadi pusat kedatangan atau persinggahan dari berbagai suku-suku lain Indonesia, baik yang antara pulau se Indonesia maupun orang Indonesia yang akan melakukan perjalanan keluar wilayah nusantara untuk berniaga, atau singgah untuk berangkat haji. Banyaknya kedatangan atau persinggahan tersebut yang terus menerus mengakibatkan para pendatang/tamu dari luar itu harus belajar bahasa Melayu agar selama singgah dapat berkomunikasi, sehingga transaksi apapun dapat berjalan lancar juga untuk memenuhi kebutuhan. Hal ini terus berlangsung lama maka makin banyaklah suku-suku di Indonesia yang memahami dan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa sehari-hari.
Lalu bagaimana sekarang keadaan bahasa Melayu?. Sekarang banyak yang meninggalkannya, kosa kata dalam bahasa Indonesia saat ini boleh dibilang yang terbanyak menyumbang adalah dari bahasa Jawa dan Betawi, sementara bahasa Melayu tidak mengalami perkembangan yang berarti. Dari segi sastra, sulit rasanya kita menemukan hasil sastra berlatarbelakang Melayu. Dari segi sosial budaya juga hampir dikata nasibnya sama dengan bahasanya, kepedulian anak Melayu dirasa sangat rendah terhadap perkembangan bahasa, sastra, sosial, budaya. Apalagi pemerintah daerahnya, lihat saja belum terdengar Perda tentang ini, lihat pula radio-radio swasta di Kepri, para penyiarnya lebih suka berlogat Betawi, Iklan yang mereka buatpun lebih banyak berdialek Betawi (Jakarta). Pemda/DPRD belum melakukan apapun untuk hal itu. Tanda-tanda bahasa dan dialek Melayu akan lebih cepat terkikis.
Mengapa lebih cepat terkikis, dampak lain FTZ adalah kedatangan para saudara kita dari daerah lain yang hampir tak terbendung untuk mencari penghidupan di Batam, Bintan, Karimun dan tempat lainnya di Kepri merupakan faktor lain penyebab akan terkikisnya bahasa dan dialek Melayu. Anggota Badan Pengusahaan Kawasan FTZ BBK I Wayan Subawa mengatakan, per 19 Juni 2009, Badan Pengusahaan mencatat ada 768 perusahaan yang telah terdaftar di Batam. Wayan menjelaskan, dari jumlah itu, 437 perusahaan di antaranya bergerak di sektor industri, seperti perkapalan dan elektronik. ’’Sebanyak 331 perusahaan lainnya bergerak di sektor perdagangan,’’ ujar I Wayan kepada Kontan, Selasa (23/6).
Bahasa dan dialek Melayu kini mulai sulit kita dengar di kota, terdengar ramai di pesisir saja. Bahkan yang lebih menyedihkan ketika kelompok musik Nidji konser di Lagoi beberapa waktu yang lalu, sang vokalis mengatakan dia seolah seperti di Malaysia, karena orang-orang yang ditemuinya waktu itu seperti logat orang Malaysia. Itulah salah satu bentuk miskinnya pengetahuan orang tentang Melayu. Bangsa Babylonia di Irak pernah sangat jaya pada zamannya, menurut Al Maududi cendikiawan muslim asal Pakistan, sesungguhnya keturunan mereka hingga kini masih ada namun adat dan budaya merekalah yang hilang. Apakah menurut Anda berpakaian adat Melayu di hari Jumat dan Sabtu bagi anak sekolah dan pagawai negeri sudah cukup mengembalikan kejayaan Melayu? Apakah anda melihat berpantun atau berbalas pantun hanya sekadar, pelengkap sebuah pidato atau sambutan, atau sebuah budaya tanpa makna/nilai? Silahkan jawab sendiri.
Dari berbagai hal di atas dan rasa kekhawatiran nasib bahasa Melayu ke depan maka sudah selayaknya, dilakukan upaya yang sistematis dan berkesinambungan guna mengembalikan kejayaan Melayu. Semua komponen tentu harus peduli dan bahu membahu, dimulai dengan duduk dalam satu simposium untuk mencari lalu merumuskan upaya yang sistimatis untuk mengembalikan kejayaan Melayu. Jangan sampai Melayu tinggal sebuah catatan kaki dari sebuah sejarah, perlahan tapi pasti terkikis lalu hilang.
Sumber : http://batampos.co.id