1. Pendahuluan
Salah satu upaya pengembangan kepariwisataan adalah dengan memanfaatkan potensi kepariwisataan. Adapun untuk menemukan potensi kepariwisataan di suatu daerah orang harus mengacu pada apa yang dicari oleh wisatawan. Umum diketahui bahwa modal atraksi yang menarik kedatangan wisatawan itu ada tiga, yakni: alam, kebudayaan, dan manusia itu sendiri.
Keberadaan obyek arkeologis pada situs-situs yang cukup besar di Indonesia – yang menempati bentanglahan yang juga beragam, di tengah lingkungan masyarakat yang berbeda-beda kebudayaannya – serta aktivitas arkeologis yang menyangkut upaya penelitian dan pelestarian, harus juga dipandang sebagai potensi kepariwisataan yang harus diberdayakan bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan. Bentuk wisata yang didasari motivasi/maksud bepergian wisatawan berkenaan dengan obyek tersebut, salah satunya adalah wisata minat khusus.
Aktivitas lapangan dalam bidang arkeologi dapat menjadi salah satu atraksi wisata yang cukup potensial mendatangkan wisatawan minat khusus dari dalam dan luar negeri. Adapun yang menjadi permasalahan, penanganan sebuah situs memerlukan kehati-hatian yang cukup tinggi karena obyek arkeologi memiliki sifat tidak terperbaharui. Selain itu, dapat dikatakan belum atau tidak ada praktisi dunia kepariwisataan (di Indonesia khususnya) yang memanfaatkan peluang itu dalam mendatangkan dan meningkatkan kunjungan wisata.
2. Arkeologi, perburuan akan masa lalu
Sebelum berkembang sebagai cabang ilmu pengetahuan dengan metodologi dan sistematikanya, arkeologi yang dikenal sekarang tidak lebih dari kegiatan pengumpulan barang-barang antik dan berharga. Ketika itu orang berdatangan untuk mencari, menemukan, dan menggali kubur kuno, atau menyelam, dan menggerayangi bangkai perahu, bahkan membongkar piramid untuk memiliki dan mengumpulkan benda-benda berharga yang dikandungnya. Mereka juga beramai-ramai menelusuri dan menggali kota-kota yang hilang untuk memboyong harta karun yang terpendam di dalamnya.
Sejalan dengan aktivitas tersebut, orang juga memulai kegemaran memamerkan benda-benda antik, unik, dan menarik yang dimilikinya, yang diperolehnya dari kegiatan sebagaimana disebutkan di atas. Semua lebih ditekankan pada upaya menunjukkan kekayaan dan gengsi, yakni kehormatan dan pengaruh. Baru kemudian, lambat-laun, hal-hal tersebut mulai diarahkan. Koleksi yang ada mulai dipertanyakan asal-usulnya. Orang ingin pula mengetahui tentang masyarakat pembuat dan pemakai benda-benda tadi. Berkaitan dengan itu, lambat-laun koleksi tersebut mulai menyandang peran lain dalam tata kehidupan masyarakat (“papan atas” tentunya) dengan pemanfaatannya sebagai sarana penguak sejarah dan kebesaran masa lalu. Begitu pula halnya dengan kegiatan “gali-menggali” yang sebelumnya dilakukan hanya untuk mendapatkan harta karun, mulai diikuti dengan kesadaran untuk memperhatikan juga hal atau benda lain yang terdapat di sekitar “harta karun” yang ingin diperoleh. Semua dilakukan untuk lebih mengenal asal-usulnya, dan ini dapat diartikan ingin mengetahui “sejarah”-nya.
Demikianlah awal dari apa yang sekarang dikenal sebagai arkeologi. Tidak dapat pula dibantah bahwa sejarah dari arkeologi sendiri memang merupakan sejarah dari ide-ide, metode-metode, dan penemuan-penemuan baru (Renfrew & Bahn,1991). Kita juga dapat merasakan bahwa yang berjalan beriringan dengan arkeologi adalah museologi. Ini menyangkut ilmu yang mewadahi segala ikhwal yang berkaitan dengan museum yang semula dianggap sebagai tempat penyimpanan benda-benda sejarah, benda-benda aneh dan indah. Koleksi yang semula hanya dilihat dari aspek keunikan dan keantikannya, mulai ditata dan dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan sehubungan dengan pemenuhan kebutuhan manusia akan pengenalan sejarahnya, kebudayaannya.
Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa arkeologi (modern) itu berawal pada abad ke-19 dengan diterimanya tiga konsep kunci, yakni (a) the great antiquity of humanity (b), prinsip evolusi yang dikemukakan oleh Charles Darwin, serta (c) three age system dalam pengklasifikasian material culture (menjadi obyek-obyek stone age, bronze age, dan iron age). Setelah berakhirnya PD II langkah perubahan dalam disiplin arkeologi berlangsung demikian cepat. Pendekatan ekologi dimanfaatkan pula untuk membantu mengerti adaptasi manusia terhadap lingkungannya. Teknik-teknik baru dalam sains juga diterapkan untuk penentuan tarikh atau dating (Renfrew & Bahn,1991).
Pada prinsipnya dapat disebutkan bahwa arkeologi adalah ilmu yang secara sistematis dan terkendali mempelajari manusia dan kebudayaan masa lampau berdasarkan peninggalannya yang tersisa, tidak saja bagi kepentingan ilmu pengetahuan melainkan untuk kepentingan lain yang lebih luas. Berkenaan dengan itu maka masuk dalam kerja arkeologi adalah upaya penemuan (discovery), pencatatan (recording), preservasi (bila diperlukan), serta interpretasi atas jejak okupasi manusia dan lingkungan tempat kehidupannya di masa lalu.
Adapun menyangkut kehadirannya sebagai cabang ilmu pengetahuan, arkeologi bertujuan untuk (1) menggambarkan sejarah kebudayaan (2) merekonstruksi cara hidup manusia di masa lampau, serta (3) menjelaskan proses informasi budaya yang telah berlangsung. Sebagaimana yang telah dikemukakan Binford (1972), untuk memenuhi tujuan pertama harus berusaha mendapatkan, mengenali, dan memberikan beberapa bentuk sisa budaya fisik (artefak) yang ditemukan di berbagai situs (tempat yang mengandung atau diduga mengandung benda-benda arkeologis) dan yang masing-masing jelas memiliki tarikh berbeda. Hal ini menyebabkan dimensi-dimensi bentuk, waktu, dan ruang, merupakan aspek dari benda temuan yang harus selalu diperhatikan. Kemudian untuk memenuhi tujuan kedua, yang harus diperhatikan adalah aspek fungsi dari sisa budaya fisik yang dijumpai. Caranya dengan menganalisis hubungan antar benda-benda arkeologi tadi, hubungan benda-benda itu dengan situsnya, hubungan antara situs-situs, serta hubungan situs-situs dengan lingkungan fisiknya. Selanjutnya, untuk mencapai tujuan yang ketiga, harus dipahami proses-proses budaya yang terjadi agar diperoleh kejelasan mengenai mengapa dan bagaimana kebudayaan masyarakat masa lalu itu mengalami perubahan.
Dalam implementasi di lapangan, penelitian arkeologi memerlukan berbagai tahapan yang mutlak harus diikuti. Tahapan itu dimulai dari proses pengumpulan data arkeologi melalui survei dan ekskavasi, pengolahan data lapangan, pelaporan, serta diakhiri dengan publikasi sebagai upaya sosialisasi hasil penelitian, baik untuk lingkup ilmiah maupun masyarakat pada umumnya.
Pada suatu aktivitas pengumpulan/penjaringan data, ekskavasi merupakan bagian penting dari sebuah aktivitas arkeologis – sekaligus menjadi trademark dari arkeologi itu sendiri. Ekskavasi sendiri adalah salah satu teknik pengumpulan data melalui penggalian tanah yang dilakukan secara sistematis untuk menemukan suatu atau himpunan tinggalan arkeologi dalam situasi in situ. Masuk dalam tahapan kerjanya adalah pembuatan peta wilayah dan peta situs yang akan diteliti atau digali. Melalui ekskavasi diharapkan akan diperoleh keterangan mengenai bentuk temuan, hubungan antar temuan, hubungan stratigrafis, hubungan kronologis, tingkah laku manusia pendukungnya serta aktivitas, alam dan manusia setelah temuan terdepositkan. Kesalahan yang terjadi dalam ekskavasi akan menyebabkan salah interpretasi sehingga para pelaksana perlu memiliki pengetahuan teori, metode, dan teknik yang memadai.
Adapun dalam konteks preservasi dan konservasi, yakni upaya-upaya pengamanan, pengawetan, dan pelestarian obyek-obyek arkeologis, apalagi yang berukuran besar atau monumental, aktivitas arkeologis kerap melibatkan banyak orang dan memakan waktu yang panjang. Ini berkenaan dengan pemugaran candi, benteng, istana, mesjid-mesjid tua, dan sebagainya. Prinsip yang digunakan dalam kegiatan dimaksud adalah mengupayakan keaslian benda dan bentuk, serta membuatnya lebih tahan lama. Di kawasan kepurbakalaan Padang Lawas, Tapanuli Selatan misalnya, upaya penelitian dan pemugaran kompleks benteng dan candi Sipamutung dilakukan secara bersamaan. Penggalian yang dilakukan untuk kepentingan pemugaran (oleh pihak Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Banda Aceh, yang sekarang disebut Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Banda Aceh) sekaligus menjadi sarana penjaringan data bagi penelitian (oleh Balai Arkeologi Medan). Hal yang sama juga berlaku di situs Benteng Portugis Pulau Cingkuk, Sumatera Barat. Ekskavasi dalam kegiatan penelitian (Balai Arkeologi Medan) sekaligus menjadi sarana pengumpulan bahan bagi upaya-upaya pemugaran (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar).
3. Pariwisata, antara motivasi, atraksi, dan pemberdayaan masyarakat
Arti kata wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati obyek dan daya tarik wisata. Adapun pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut.
Dalam pariwisata jelas diperlukan modal kepariwisataan (tourism assets), atau sering juga disebut sumber kepariwisataan (tourism resources). Suatu daerah atau tempat hanya dapat menjadi tujuan wisata – dimana wisatawan akan datang berkunjung – kalau kondisinya sedemikian rupa, sehingga ada yang dapat dikembangkan menjadi atraksi wisata. Dengan kata lain, yang disebut modal atau sumber kepariwisataan adalah apa yang dapat dikembangkan menjadi atraksi wisata.
Kita harus mampu mengenali modal kepariwisataan yang dapat dikembangkan sedemikian rupa sehingga dapat menahan wisatawan selama berhari-hari dan dapat berkali-kali dinikmati, bahkan pada kesempatan lain wisatawan mungkin akan kembali lagi ke tempat yang sama. Atraksi demikian itu dikenal sebagai atraksi penahan. Sebaliknya ada juga atraksi yang hanya dapat menarik kedatangan wisatawan. Inilah yang dikenal sebagai atraksi penangkap wisatawan, yang cenderung hanya sekali dinikmati, kemudian ditinggalkan lagi oleh wisatawan. Bila kita pandang Candi Prambanan di perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah sebagai atraksi penangkap wisatawan, maka Pantai Parangtritis di sebelah selatan Yogyakarta dapat dikategorikan atraksi penahan wisatawan.
Dalam pembangunan pariwisata ada beberapa hal yang harus mendapat perhatian. Atraksi wisata in situ, kalau pembangunannya berhasil akan menarik kedatangan wisatawan dalam jumlah besar namun harus diingat pula akan timbulnya berbagai dampak polusi pada lingkungannya yang jauh lebih besar dibanding bila atraksi itu disajikan ex situ. Hal ini sama dengan pembangunan atraksi penahan wisatawan, yang juga akan menimbulkan dampak yang jauh lebih besar daripada pembangunan atraksi penangkap wisatawan. Dampak dimaksud juga berkenaan dengan dampak yang bersifat ekonomis.
Pembangunan pariwisata jelas berhubungan dengan tipe wisatawan yang akan menjadi sasaran. Atraksi penahan terutama cocok untuk wisatawan rekreasi, sedang atraksi penangkap terutama seduai dengan minat wisatawan tamasya atau wisatawan budaya. Dengan kata lain penyesuaian pembangunan atraksi wisata dan motif wisata itu juga berkenaan dengan pilihan apakah modal wisata tertentu itu akan dikembangkan in situ atau ex situ, dikembangkan sebagai atraksi penangkap atau penahan wisatawan.
Pengembangan pariwisata di Indonesia jelas harus sejalan dengan upaya pemerintah untuk mewujudkan perekonomian yang berbasis kerakyatan. Sektor usaha skala kecil dan menengah yang pada umumnya merupakan usaha yang dikembangkan dan dikelola oleh masyarakat sendiri secara kuantitatif berkembang dan tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia dan bergerak di berbagai bidang ekonomi, termasuk di dalamnya usaha di bidang kebudayaan dan pariwisata, baik dalam bentuk usaha perjalanan, penginapan, rumah makan, usaha cinderamata dan sebagainya, Komposisi penduduk Indonesia yang sebagian besar terdiri dari masyarakat menengah ke bawah, akan menuntut perhatian dan langkah-langkah konkrit dalam memberdayakan potensi tersebut bagi kesejahteraan masyarakat secara lebih luas.
4. Pariwisata Minat Khusus dan Kawasan Pariwisata
Melihat Pasal 20 UU Nomor 9 Tahun 1990 tentang kepariwisataan akan kita ketahui bahwa: pengusahaan obyek dan daya tarik wisata minat khusus merupakan usaha pemanfaatan sumber daya alam dan potensi seni budaya bangsa untuk menimbulkan daya tarik dan minat khusus sebagai sasaran wisata. Selanjutnya dalam Penjelasan UU dimaksud, di sebutkan bahwa: termasuk ke dalam kelompok pengusahaan obyek dan daya tarik wisata minat khusus adalah: pengelolaan lokasi-lokasi wisata buru, antara lain berburu babi hutan dan berburu rusa; pengelolaan wisata agro; pembangunan dan pengelolaan wisata tirta seperti hotel terapung dan olah raga air; pengelolaan lokasi-lokasi wisata petualangan alam seperti mendaki gunung dan arung jeram; pembangunan dan pengelolaan wisata gua; pembangunan dan pengelolaan wisata kesehatan seperti sumber air panas mineral dan tempat pembuatan jamu; pemanfaatan pusat-pusat dan tempat-tempat budaya (padepokan seni budaya), industri, dan kerajinan, seperti padepokan seni budaya/tari dan desa industri/kerajinan.
Kemudian juga dijelaskan bahwa pengusahaan obyek dan daya tarik wisata yang berintikan kegiatan yang memerlukan penanganan terhadap keselamatan wisatawan, kelestarian dan mutu lingkungan, atau ketertiban dan ketenteraman masyarakat diselenggarakan sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya berkenanan dengan kawasan pariwisata, dalam Pasal 29 UU Nomor 9 Tahun 1990 dinyatakan bahwa: kawasan wisata adalah usaha yang kegiatannya membangun dan mengelola kawasan dengan luasan tertentu yang dibangun atau disediakan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata. Di dalam usaha kawasan pariwisata dapat dibangun prasarana dan sarana pariwisata serta obyek dan daya tarik wisata.
Beranjak dari pengertian di atas maka dalam pembangunannya harus dengan memperhatikan beberapa hal. Pertama adalah kemampuan untuk mendorong peningkatan perkembangan kehidupan ekonomi dan sosial budaya. Berikutnya yang tidak dapat diabaikan adalah nilai-nilai agama, adat istiadat, serta pandangan dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Kemudian kelestarian budaya dan lingkungan hidup, kelangsungan pariwisata itu sendiri, tata ruang, serta rencana induk pembangunan pariwisata daerah. Begitupun, harus diperhatikan pula sediaan prasarana dalam lokasi kawasan seperti jalan, listrik, pos dan telekomunikasi; serta sediaan fasilitas untuk wisatawan dalam kawasan seperti akomodasi, dan obyek wisata yang menarik.
5. Situs, obyek, dan aktivitas arkeologis bagi pengembangan usaha wisata minat khusus
Bahasan tentang itu sengaja dikelompokkan dalam point-point (SWOT) di bawah ini, dengan tujuan untuk memudahkan penilaian yang diperlukan bagi penetapan kesimpulan yang akan ambil. Inti bahasan berkenaan dengan kemungkinan pemberdayaan situs, obyek dan aktivitas arkeologis bagi pengembangan wisata minat khusus.
a. Kekuatan
Unsur-unsur daya tarik yang melekat pada obyek arkeologis antara lain adalah: keaslian, keunikan/langka, nilai sejarah/arkeologis, keutuhan, variasi kegiatan/motivasi, luas kawasan, kenyamanan dsb. Ini jelas merupakan kekuatan yang tidak dapat diabaikan dan sebaliknya menjadi harus dikedepankan. Daya tarik obyek arkeologis sebetulnya menjangkau seluruh anggota masyarakat. Itu berkenaan antara lain dengan kekaguman akan kebesaran budaya masa lalu, keingintahuan akan aspek kehidupan masa lalu dan kaitannya dengan kondisi masa kini, serta pengenalan akan komponen-komponen pembentuk budaya yang telah menghasilkan ujud fisik kebudayaannya.
Beberapa kompleks kepurbakalaan di Nusantara jelas merupakan potensi kepariwisataan yang demikian besar. Kompleks percandian di Gunung Penanggungan, Jawa Timur, kompleks percandian Muara Jambi, Jambi, atau Muara Takus, Riau, dan kompleks kepurbakalaan Padang Lawas di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara jelas memiliki modal atraksi yang menarik kedatangan wisatawan, yang meliputi tiga unsur, yakni: alam, kebudayaan, dan manusia itu sendiri. Modal kepariwisataan itu dapat dikembangkan menjadi atraksi di tempat dimana modal wisata itu ditemukan atau in situ. Di Padang Lawas misalnya, begitu banyak obyek arkeologis berupa sisa bangunan dan kelengkapannya pada areal yang demikian luas. Demikian pula dengan berbagai aktivitas arkeologis bagi kepentingan penelitian dan pemugaran/pelestarian. Sungai-sungai yang membelah kawasan itu sekaligus dapat menjadi pilihan bagi sarana transportasi. Itu masih ditambah dengan masyarakatnya sebagai bagian dari satuan etnis tertentu yang memiliki kebudayaan yang unik.
Modal kepariwisataan itu dapat dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu menahan wisatawan selama berhari-hari dan dapat berkali-kali dinikmati, bahkan pada kesempatan lain wisatawan mungkin akan kembali lagi ke tempat yang sama. Banyak obyek arkeologis yang dapat dikemas sebagai atraksi penahan. Masih dengan contoh kompleks kepurbakalaan Padang Lawas, maka situs dan obyek arkeologis, aktivitas arkeologis, lingkungan alam, serta lingkungan budaya masyarakatnya jelas merupakan modal kepariwisataan yang besar, dan kelak dapat dimanfaatkan sebagai sebuah kawasan pariwisata (yang terbuka).
b. Kelemahan
Aktivitas arkeologi jelas memerlukan kehati-hatian. Hal ini disebabkan karena obyek arkeologis cukup langka dan terlebih lagi tidak terperbaharui. Ini jelas akan meninggikan nilainya. Sikap kehati-hatian – karena sifat yang dimilikinya – akan mempersempit keleluasaan wisatawan untuk bergerak. Tidak seperti wisatawan yang cenderung lebih bebas bila mengunjungi obyek wisata alam atau lainnya, wisatawan minat khusus yang berkunjung ke suatu situs jelas diminta untuk berhati-hati. Kerap yang dikunjungi adalah lokasi yang obyeknya terbentuk dari bahan yang rapuh, atau kondisi medannya yang masih dalam penanganan – baik itu yang berupa ekskavasi dalam kaitannya dengan penelitian, pra rekonstruksi, atau sedang dalam tahap pemugaran – sehingga pengunjung harus ekstra hati-hati. Demikian pula halnya dengan sementara situs yang masih dikeramatkan oleh masyarakat di sekitarnya, yang dalam hal ini tentu masih memberlakukan beberapa tata cara atau sikap tertentu kepada pengunjung.
Selain itu, menyangkut obyek arkeologis yang meliputi luasan yang cukup besar, tentu harus diperhatikan berbagai hal bila akan dikembangkan atau diusahakan menjadi obyek pariwisasta. Dalam hal ini tentu diperlukan adanya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Amdal merupakan kajian mengenai dampak besar dan penting, suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup. Amdal diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan dan merupakan proses pengajian terpadu, yang mempertimbangkan aspek ekologi, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya sebagai pelengkap studi kelayakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.
Guna Amdal adalah untuk menjamin suatu usaha atau kegiatan pembangunan layak lingkungan. Lewat pengajian Amdal, sebuah rencana usaha atau kegiatan pembangunan, diharapkan telah secara optimal meminimalkan kemungkinan dampak lingkungan hidup yang negatif, serta dapat memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam secara efisien.
c. Peluang
Dengan demikian banyaknya warisan budaya yang tersebar di berbagai tempat – yang kondisi rupa fisiknya juga beraneka ragam – Indonesia memiliki peluang yang cukup besar untuk memberdayakan situs, obyek dan aktivitas arkeologis sebagai atraksi wisata. Keingintahuan masyarakat akan peninggalan kepurbakalaan juga merupakan peluang besar bagi masyarakat untuk melakukan kunjungan ke berbagai obyek arkeologis dan ikut dalam kegiatan arkeologis yang berlangsung di sana.
Sebagai atraksi penahan wisata, khususnya bagi pelaku wisata minat khusus obyek arkelogis maupun aktivitas arkeologis yang menyertainya tetap dapat diupayakan untuk dapat menarik kedatangan wisatawan. Atraksi itu ialah atraksi penangkap wisatawan, yang cenderung hanya sekali dinikmati, kemudian ditinggalkan lagi oleh wisatawan. Contohnya adalah Candi Borobudur, Candi Prambanan, atau Istana Maimoon di Medan. Menarik juga untuk dikemukakan bahwa selain sebagai atraksi penangkap wisatawan, situs dan aktivitas arkeologis juga dapat berlaku sebagai atraksi penahan wisatawan. Ini bila berhubungan dengan situs-situs besar pada kawasan khas yang tidak saja secara geografis luas dan beragam bentuk, melainkan juga kondisi budaya masyarakat di sekitarnya yang unik. Contohnya adalah kawasan Padang Lawas di Sumatera Utara, atau Muara Jambi di Jambi.
d. Hambatan/ancaman
Secara umum dapat disebutkan bahwa tidak ada ancaman untuk mengembangkan dan menekuni kegiatan-kegiatan arkeologis. Sebaliknya upaya peningkatan apresiasi masyarakat akan keberadaan obyek-obyek tadi akan memperkecil ancaman terhadap keberadaannya. Menjadikannya obyek arkeologis sebagai atraksi wisata adalah sekaligus langkah memperkenalkan yang diharapkan mampu meningkatkan apresiasi masyarakat akan keberadaannya.
Dikaitkan dengan upaya penelitian dan pemugaran/pelestarian atas obyek-obyek arkeologis di berbagai kawasan, masalah dana memang merupakan kendala di lapangan. Apalagi bila dipandang dengan kacamata tertentu yang menunjukkan bahwa dana yang cukup besar yang diperlukan bagi penanganan obyek arkeologis cenderung tidak terlihat manfaatnya untuk jangka pendek. Berkenaan dengan ini memang harus ada kesepakatan untuk mengerti bahwa kegiatan arkeologis baru akan terasa manfaatnya pada jangka panjang, dan harus diingat bahwa itu juga berhubungan dengan proses pembentukan jati diri bangsa.
6. Penutup
Kepariwisataan merupakan sarana mempercepat persatuan bangsa maupun bangsa-bangsa di dunia karena saling mengenal budaya masing-masing. Keanekaragaman budaya adalah kekayaan yang menjadi milik semua orang. Itu semua bukan untuk dijadikan sarana pembeda sebaliknya menjadi media pengenalan diri masing-masing. Kemudian yang juga harus disadari bahwa memperkenalkan kekayaan budaya sekaligus adalah kegiatan meningkatkan kunjungan wisatawan. Oleh karena itu, jelas diperlukan kerjasama berbagai pihak agar situs dan obyek arkeologis tetap lestari, dan pemberdayaannya – dalam hal ini berkenaan dengan wisata minat khusus - mampu mendatangkan dan meningkatkan kunjungan wisata yang sekaligus juga menghasilkan kesejahteraan masyarakat. Tentu tidak mudah mewujudkan keinginan tersebut, namun upaya ke arah itu harus segera dimulai. Prinsip dalam wisata minat khusus yang mengandung kecenderungan mendapatkan sesuatu/atraksi wisata yang baru serta pengalaman yang baru oleh wisatawan tampaknya dapat dipenuhi oleh cukup banyak situs/kawasan kepurbakalaan di beberapa wilayah Indonesia.
Menyangkut paparan di atas, seyogyanya kita patut mengingat kembali yang disampaikan oleh pakar keparwisataan Salah Wahab dalam salah satu karyanya (1992), bahwa ada hal-hal penting yang harus dipertimbangkan menyangkut hari depan pariwisata – juga di Indonesia sebagai bagian dari pariwisata internasional. Hal dimaksud meliputi bukan saja peran kebijakan pemerintah; melainkan juga peran unsur pelaku usaha pariwisata yang harus lebih terdorong terhadap peranan sosial pariwisata; dan kecenderungan wisatawan akan rekreasi dalam berwisata; serta peran masyarakat penerima wisatawan memiliki orientasi untuk mengerti wisatawan dan kebutuhan-kebutuhannya. Pesan ini tentu perlu disikapi dengan baik, begitupun bagi upaya pengembangan usaha wisata minat khusus. Demikianlah.
Kepustakaan
Binford, Lewis R, 1972. An Archaeological Perspective. New York: Seminar Press
Deetz, James F. 1967. Invitation to Archaeology. New York: The Natural History Press
Harkantiningsih, Naniek et al (eds.), 1999. Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
Renfrew, Colin & Paul Bahn, 1991. Archaeology Theories, Methods, and Practise. London: Thames and Hudson
Sharer, Robert J & Wendy Ashmore, 1979. Fundamentals Of Archaeology. California: Benjamin Cummings Publishing Company
Soekadijo, RG, 2000. Anatomi Pariwisata. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Suratmo, F Gunawan, 1998. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya
Undamg-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil
Wahab, Salah, 1992. Manajemen Kepariwisataan (diterjemahkan oleh Frans Gromang). Jakarta: Pradnya Paramita
Sumber : http://balarmedan.wordpress.com