Nabi Besar Muhammad S.A.W. lahir pada tanggal 12 bulan Maulud, bulan ke tiga dari tahun Jawa. Di Yogyakarta, biasanya kelahiran Nabi diperingati dengan upacara Grebeg Maulud. Sekaten merupakan upacara pendahuluan dari peringatan hari kelahiran Nabi Besar Muhammad. Diselenggarakan pada tanggal 5 hingga tanggal 12 dari bulan yang sama.
Pada masa - masa permulaan perkembangan agama Islam di Jawa, salah seorang dari Wali Songo, yaitu Sunan Kalijogo, mempergunakan instrumen musik Jawa Gamelan, sebagai sarana untuk memikat masyarakat luas agar datang untuk menikmati pergelaran karawitannya.
Untuk tujuan itu, dipergunakan 2 perangkat gamelan, yang memiliki laras suara yang merdu. Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur Madu. Di sela - sela pergelaran, kemudian dilakukan khotbah dan pembacaan ayat - ayat suci dari Kitab Al-Qur’an. Bagi mereka yang bertekad untuk memeluk agama Islam, diwajibkan mengucapkan kalimat Syahadat, sebagai pernyataan taat kepada ajaran agama Islam. Istilah “Syahadat” yang diucapkan sebagai “Syahadatain” ini kemudian berangsur - angsur berubah dalam pengucapannya, sehingga menjadi “Syakatain” dan pada akhirnya menjadi istilah “Sekaten” hingga sekarang.
Pada tanggal 5 bulan Maulud, kedua perangkat gamelan, Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu, dikeluarkan dari tempat penyimpanannya di bangsal Sri Manganti, ke Bangsal Ponconiti yang terletak di Kemandungan Utara (Keben) dan pada sore harinya mulai dibunyikan di tempat ini. Antara pukul 23.00 hingga pukul 24.00 kedua perangkat gamelan tersebut dipindahkan ke halaman Masjid Agung Yogyakarta, ring - iringan abdi dalem jajar, disertai pengawal prajurit Kraton berseragam lengkap.
Pada umumnya, masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya berkeyakinan bahwa dengan turut berpartisipasi merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. ini yang bersangkutan akan mendapat imbalan pahala dari Yang Maha Kuasa, dan dianugrahi awet muda. Sebagai “Srono” (Syarat) nya, mereka harus menguyah sirih di halaman Masjid Agung, terutama pada hari pertama dimulainya perayaan sekaten.
Oleh karenanya, selama diselenggarakan perayaan Sekaten itu, banyak orang berjualan sirih dengan ramuannya, nasi gurih beserta lauk-pauknya di halaman Kemandungan, Di Alun-alun Utara maupun di depan Masjid Agung Yogyakarta.
Bagi para petani, dalam kesempatan ini memohon pula agar panenannya yang akan datang berhasil. Untuk memperkuat tekadnya ini, mereka membeli cambuk (bhs. Jawa : pecut) yang dibawanya pulang.
Selama lebih kurang satu bulan sebelum upacara Sekaten dimulai, Pemerintah Daerah Kotamadya, memeriahkan perayaan ini dengan pasar malam, yang diselenggarakan di Alun-alun Utara Yogyakarta.
Sumber : http://tourism.jogja.com
Pada masa - masa permulaan perkembangan agama Islam di Jawa, salah seorang dari Wali Songo, yaitu Sunan Kalijogo, mempergunakan instrumen musik Jawa Gamelan, sebagai sarana untuk memikat masyarakat luas agar datang untuk menikmati pergelaran karawitannya.
Untuk tujuan itu, dipergunakan 2 perangkat gamelan, yang memiliki laras suara yang merdu. Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur Madu. Di sela - sela pergelaran, kemudian dilakukan khotbah dan pembacaan ayat - ayat suci dari Kitab Al-Qur’an. Bagi mereka yang bertekad untuk memeluk agama Islam, diwajibkan mengucapkan kalimat Syahadat, sebagai pernyataan taat kepada ajaran agama Islam. Istilah “Syahadat” yang diucapkan sebagai “Syahadatain” ini kemudian berangsur - angsur berubah dalam pengucapannya, sehingga menjadi “Syakatain” dan pada akhirnya menjadi istilah “Sekaten” hingga sekarang.
Pada tanggal 5 bulan Maulud, kedua perangkat gamelan, Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu, dikeluarkan dari tempat penyimpanannya di bangsal Sri Manganti, ke Bangsal Ponconiti yang terletak di Kemandungan Utara (Keben) dan pada sore harinya mulai dibunyikan di tempat ini. Antara pukul 23.00 hingga pukul 24.00 kedua perangkat gamelan tersebut dipindahkan ke halaman Masjid Agung Yogyakarta, ring - iringan abdi dalem jajar, disertai pengawal prajurit Kraton berseragam lengkap.
Pada umumnya, masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya berkeyakinan bahwa dengan turut berpartisipasi merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. ini yang bersangkutan akan mendapat imbalan pahala dari Yang Maha Kuasa, dan dianugrahi awet muda. Sebagai “Srono” (Syarat) nya, mereka harus menguyah sirih di halaman Masjid Agung, terutama pada hari pertama dimulainya perayaan sekaten.
Oleh karenanya, selama diselenggarakan perayaan Sekaten itu, banyak orang berjualan sirih dengan ramuannya, nasi gurih beserta lauk-pauknya di halaman Kemandungan, Di Alun-alun Utara maupun di depan Masjid Agung Yogyakarta.
Bagi para petani, dalam kesempatan ini memohon pula agar panenannya yang akan datang berhasil. Untuk memperkuat tekadnya ini, mereka membeli cambuk (bhs. Jawa : pecut) yang dibawanya pulang.
Selama lebih kurang satu bulan sebelum upacara Sekaten dimulai, Pemerintah Daerah Kotamadya, memeriahkan perayaan ini dengan pasar malam, yang diselenggarakan di Alun-alun Utara Yogyakarta.
Sumber : http://tourism.jogja.com