Profil Masyarakat di Sekitar Hutan Gunung Betung Kelompok Pengelola dan Pelestarian Hutan Lampung Selatan

Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan fenomena yang sering dijumpai pada suatu organisasi yang menyebabkan tidak optimal lagi kegiatannya dan kehilangan arah serta tujuannya. Analisis dinamika kelompok adalah salah satu cara untuk mendeteksi penyebab langsung maupun tidak langsung dari tidak efektifnya kelompok atau organisasi. Bentuk kelompok dan organisasi ini difokuskan pada kelompok yang dibentuk guna mencapai salah satu syarat terpenuhinya perizinan hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan kelompok formalitas yang bersifat top down justru tidak dapat mencapai tujuan dari organisasi itu sendiri.

A.PENDAHULUAN
Kesalahan paradigma pembangunan kehutanan yang selama ini menjadi panutan kegiatan pembangunan kehutanan salah satunya adalah menganggap bahwa masyarakat sekitar hutan memiliki karakteristik yang sama seperti masyarakat lain. Akibatnya berbagai program pembangunan yang dirancang secara deduktif oleh pemerintah tidak banyak bermanfaat bagi masyarakat, bahkan banyak yang ditolak oleh masyarakat. Salah satu program yang dirancang pemerintah untuk melestarikan hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan adalah program Hutan Kemasyarakatan (HKM). Program ini di satu sisi mengadopsi aspirasi banyak pihak termasuk pemerintah untuk melestarikan lingkungan dan juga aspirasi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan.

Kenyataan yang ada selama in menunjukkan bahwa program pembangunan kehutanan yang dilakukan pemerintah tidak selalu melibatkan masyarakat local secara partisipatif dalam pengelolaan sumber daya alam. Pemerintah bahkan sering kurang bersahabat, kurang tanggap dengan masyarakat local di sekitar hutan, di dalam upayanya untuk melestarikan hutan. Padahal sebagian besar masyarakat yang berdomisili di sekitar dan di dalam hutan telah beratus tahun secara turun temurun hidup dan mengetahui secara jelas tentang bagaimana cara mengelola hutan tanpa merusak, tanpa mengeksploitasinya. Selama in usaha pemerintah untuk memanfaatkan dan mengelola hutan belum menunjukkan saling keterkaitannya dengan kepentingan masyarakat yang menggantungkan hidupnya kepada hutan. Kelemahan in diasumsikan menjadi penyebab rendahnya tingkat keberhasilan pembangunan kehutanan di Propinsi Lampung.

Upaya penyelesaian berbagai kasus pertanahan di Propinsi Lampung hingga kini memang belum menampakkan hasil yang nyata. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya persoalan pertanahan yang belum terselesaikan hingga saat ini, bahkan seiring dengan masa reformasi in muncul berbagai permasalahan pertanahan yang baru. Bidang kehutanan permasalahan tentang kesempatan masyarakat setempat/lokal untuk bisa mengambil dan mengelola sumber daya produktif hutan, baru sebagian kecil yang sudah terselesaikan, dalam arti masyarakat mulai diberi kesempatan untuk mengambil dan mengelola sumber daya produktif hutan melalui program HKM (Hutan Kemasyarakatan). Program ini di satu sisi mengadopsi aspirasi banyak pihak termasuk pemerintah untuk melestarikan lingkungan, dan juga aspirasi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan. Tulisan mengenai profil masyarakat di sekitar hutan Gunung Betung melihat kesesuaian program dengan kondisi sosial ekonomi serta budaya masyarakat setempat.

B.KERANGKA TEORI
Menurut pandangan Malthusian, kondisi yang dapat menyebabkan kelestarian bumi terancam adalah karena tidak ada integrasi antara penduduk, sistem ekonomi, dan sumber daya alam. Dengan kata lain, kelestarian hutan tidak terjamin apabila tidak terjadi pola hubungan integratif antara kepentingan masyarakat, sistem eksploitasi hutan, dan karakteristik hutan itu sendiri (Radjab, 1997: 33).

Pola hubungan yang integratif tersebut dapat tercapai kalau masyarakat ikut berpartisipasi di dalam program kehutanan (Prakosa, 1996). Partisipasi masyarakat di dalam program kehutanan adalah upaya masyarakat setempat/lokal untuk mengidentifikasikan, merumuskan, dan menerapkan berbagai alternatif pemecahan yang dihadapinya. Pentingnya melibatkan masyarakat setempat/lokal secara aktif sebenarnya mempunyai tujuan agar masyarakat tidak merasa tersingkirkan, dan hanya dijadikan obyek dari kebijakan yang pada akhirnya akan menimbulkan gejolak sosial yang lebih besar. Dengan mengikutsertakan masyarakat secara aktif di dalam berbagai program kehutanan, maka masyarakat akan merasa memiliki (sense of belonging) yang tinggi. Oleh karena itu masyarakat setempat/lokal akan ikut bertanggungjawab secara aktif di dalam upaya untuk kebersihan program, di mana masyarakat setempat/lokal turut terlibat secara aktif.

Hubungan antara manusia dengan lingkungan sosial, serta dengan lingkungan fisiknya bersifat timbal balik. Selama ini tindakan masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan di sekitar hutan, dalam memanfaatkan hutan dilakukan melalui aturan-aturan tradisional yang mengandung nilai-nilai bagi kelestarian hutan. Para petani di desa-desa yang perbatasan dengan hutan, melihat hutan di sekelilingnya selain sebagai sumber penghidupan, juga sebagai cadangan bagi perluasan lahan usaha tani, saat terjadinya kerawanan struktural seperti pertumbuhan penduduk yang begitu cepat.

Hutan bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya juga merupakan sumber ketahanan pangan, karena masyarakat bisa mendapatkan pangan, makanan ternak, kayu bakar, pekerjaan pada sektor kehutanan, obat-obatan/ramuan tradisional untuk kesehatan mereka. Semua itu untuk memperoleh persediaan pangan di dalam rumah tangga, serta pendapatan keluarga sehingga status gizi keluarga dapat terpenuhi. Sementara itu menurut Julia Falconer dan Mike Arnold (Mubyarto, 1992), hal tersebut dilakukan untuk tetap menjaga lingkungan, kesuburan tanah, serta mencegah erosi tanah.

C. SEJARAH KOMUNITAS SETEMPAT/LOKAL
Komunitas setempat/lokal di sekitar Gunung Betung sudah terbentuk semenjak masa penjajahan Belanda. Terbentuknya komunitas setempat/lokal di sekitar Gunung Betung berkaitan erat dengan migrasi penduduk sudah terjadi sebelum tahun 1940, migrasi dari Jawa ke Gunung Betung, Lampung ini berkaitan dengan kebutuhan pihak kolonial Belanda, untuk menjadikan mereka sebagai karyawan di perkebunan. Pada umumnya migran tersebut berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Setelah Indonesia merdeka pengelolaan perkebunan ditangani oleh pengusaha pribumi semenjak tahun 1954, dan mengalami kemunduran. Untuk bertahan hidup, para karyawan perkebunan mulai membuka hutan lindung yang ada di sekitarnya. Pembukaan hutan semakin meningkat semenjak tahun 1960 dengan datangnya para migran dari Jawa yang datang namun tidak sebagai tenaga perkebunan. Migrasi ini juga terjadi dengan alasan mengikuti orang tua, mengikuti tetangga, mencari pekerjaan sebagai tenaga upahan (biasanya informasi diperoleh dari kerabat/tetangga yang sudah terlebih dahulu tinggal di Lampung). Alasan kenapa mereka tinggal di sekitar Gunung Betung, karena mereka memang dilahirkan di tempat tersebut, ikut orang tua, tidak ada tempat tinggal lain selain di sini, daerahnya subur dan cocok untuk menetap, karena istri dari daerah ini, dan untuk mendapatkan penghasilan/nafkah.

Perkembangan selanjutnya, para migran yang datang ke daerah di sekitar Gunung Betung tidak hanya berasal dari Jawa saja, namun juga dari daerah Lampung sendiri, dari Palembang, dan dari Bengkulu. Migrasi ke daerah di sekitar Gunung Betung ini menyebabkan jumlah penduduk di Gunung Betung meningkat, seperti di kampung Sumber Agung saat ini berjumlah 500 KK lebih dengan jumlah penduduk sebanyak 4.747 jiwa lebih. Penduduk Talang Mulya pada umumnya berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, sedangkan ada sejumlah kecil yang berasal dari Lampung dan Palembang. Sedangkan penduduk Sumber Agung pada umumnya berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, serta sejumlah kecil dari daerah Lampung sendiri. Penduduk yang berasal dari Jawa Barat pada umumnya mulai berdatangan ke daerah ini sekitar tahun 1940. Sejak awal kehadirannya para pendatang dari Jawa Barat pada umumnya langsung berusaha menguasai lahan kawasan hutan, selain dijadikan sebagai lahan garapan juga dibangun untuk pemukiman di dalam kawasan hutan. Sebagaimana di Sumber Agung, proses pemanfaatan lahan di kawasan hutan oleh penduduk Talang Mulya telah mulai semenjak tahun 1940. Semenjak awal lahan di kawasan hutan dibuka selain untuk dijadikan lahan garapan, juga untuk dijadikan tempat pemukiman. Selama satu sampai dengan dua tahun pertama, lahan tersebut biasanya ditanami dengan berbagai tanaman pangan seperti padi, jagung, kacang, dan ubi-ubian. Setelah hasil panen berkurang, mereka mencari lahan hutan yang baru untuk dibuka kembali, sebelum ditinggalkan lahan tersebut ditanami dengan tanaman keras/tahunan seperti kopi, melinjo, durian, sebagai tanda kepemilikan lahan tersebut.

Waktu kedatangan dan proses pemanfaatan lahan di kawasan hutan dialami secara berbeda oleh penduduk di beberapa dusun dan kampung di Gunung Betung. Meskipun demikian dewasa ini semua penduduk yang bertempat tinggal bersama di sekitar kawasan hutan Gunung Betung, hanya sedikit memiliki lahan garapan di luar kawasan hutan. Sehingga mereka memiliki ketergantungan secara ekonomi atas sumber daya hutan lindung yang ada di sekitarnya. Ketergantungan penduduk terhadap sumber daya hutan Gunung Betung dapat dilihat dari dua hal, pertama sumber pendapatan utama penduduk berasal dari hasil yang diperoleh dari kebun garapan mereka di kawasan hutan, kedua mayoritas penduduk tidak memiliki lahan garapan di luar kawasan hutan, kecuali lahan yang dipergunakan untuk pemukiman, terbentuk komunitas lokal/setempat yang terdiri dari berbagai suku bangsa (Sunda, Jawa, Palembang, Lampung).

D. KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN
Petani merupakan kelompok masyarakat yang memegang peranan penting artinya bagi masyarakat yang tinggal di daerah ini. Usaha pertanian masyarakat di daerah ini pada umumnya adalah usaha tani kecil yang mengolah lahan terbatas, dan menggunakan semua atau sebagian besar anggota keluarga, dalam kesatuan usaha ekonomi yang mandiri.

Mayoritas penduduk (85%) yang hidup di daerah ini hanya mengandalkan dari sektor pertanian (atau sebagai petani). Hal ini menunjukkan bahwa keterikatan masyarakat dengan lahan di kawasan hutan sangat tinggi. Ketergantungan masyarakat sekitar hutan terhadap hutan juga nampak pada sedikitnya jumlah penduduk (10%) yang bekerja di bidang non petani seperti sebagai buruh, membuka warung kecil di rumah, tukang kayu, tukang batu, berdagang hasil pertanian, wiraswasta (membuka pabrik penggilingan kopi), menyadap aren, berternak ayam secara tradisional, tukang ojek.

Keadaan seperti ini menunjukkan bahwa kegiatan di sektor pertanian, merupakan tumpuan hidup sebagian besar keluarga di daerah ini. Kegiatan usaha di bidang pertanian sebagai upaya untuk menjamin keperluan hidup keluarga, dilakukan melalui produksi subsisten. Meskipun sudah mulai ada perkembangan ke arah diversifikasi usaha (meskipun sangat terbatas), namun kegiatan ekonomi ini juga masih dalam batas produksi subsisten. Sudah menjadi suatu kebiasaan masyarakat bahwa berbagai usaha untuk pemenuhan kebutuhan keluarga dilakukan melalui distribusi tugas rumah tangga antara suami, istri, dan anak-anak, serta keluarga yang tinggal serumah. Potensi tenaga kerja keluarga yang tersedia seringkali merupakan faktor pembatas bagi luas lahan yang diolah dan menghambat intensitas usaha. Tenaga kerja upahan jarang dipakai, karena keterbatasan kemampuan keluarga dan karena luas lahan yang diolah sudah cukup dikerjakan dengan tenaga kerja keluarga sendiri saja. Kadang-kadang anggota keluarga petani kecil dalam waktu tertentu bekerja di luar usaha sektor pertanian keluarga, agar dapat membantu menambah penghasilan keluarga (misalnya dengan berdagang pakaian, sepatu, sandal, tas, dompet).

Perihal tingkat pendidikan keluarga pada masyarakat di daerah ini, mayoritas penduduk (70%) memiliki tingkat pendidikan sekolah dasar (SD), sementara itu sebanyak 25% berpendidikan SLTP, dan hanya 5% berpendidikan SLTA. Namun pada saat ini kondisinya telah banyak mengalami perubahan, menurut data terakhir (2006) telah ada beberapa anak yang telah sekolah keluar daerah, bahkan ada yang telah kuliah (baik di Bandar Lampung maupun di Bandung). Namun berdasarkan pengamatan di lapangan nampaknya tidak ada kaitan secara langsung antara tingkat pendidikan dengan jenis pekerjaan, tidak selalu seseorang yang telah memiliki tingkat pendidikan tinggi kemudian lepas atau keluar dari pekerjaan di bidang/sektor pertanian, demikian juga sebaliknya.

Tingkat pendapatan masyarakat di daerah ini mayoritas memiliki penghasilan yang tidak tetap (80%), dan hanya 20% yang mempunyai penghasilan tetap (dengan pendapatan di bawah 300.000 rupiah sebanyak 16%), sementara itu 4% yang mempunyai penghasilan di atas 400.000 rupiah sampai dengan 700.000 rupiah. Sebagian besar keluarga yang pendapatannya tidak menentu, dalam kesehariannya mengandalkan hidupnya dari hutan. Hutan memberikan mereka kayu bakar, sayuran, buah-buahan, dan hasil hutan lainnya. Meskipun penghasilan masyarakat di sekitar hutan tersebut tidak menentu, mereka tetap bertahan hidup. Hal ini karena adanya jaminan sosial dari pihak keluarga dekat serta tetangga dalam bentuk saling membantu, hidup bergotong-royong.

Selain persoalan pendapatan keluarga yang tidak pasti, pendapatan keluarga juga sangat fluktuatif tergantung pada alam sekitarnya. Ketika alam sangat kondusif bagi pertumbuhan buah-buahan dan biji-bijian seperti kopi, maka pendapatan keluarga akan tambah membaik. Namun ketika alam kurang bersahabat (misalnya musim kemarau yang sangat panjang), akan berpengaruh pada hasil yang diperoleh, sehingga pendapatan dengan sendirinya akan menurun. Ketergantungan pendapatan keluarga pada alam sekitarnya tersebut masih disertai dengan pengaruh harga di pasaran tingkat propinsi, maupun nasional terhadap harga jual hasil hutan, yang selanjutnya berdampak pada pendapatan masyarakat/keluarga di sekitar hutan. Faktor lain yang menyebabkan pendapatan keluarga tidak stabil dan cenderung rendah, adalah budaya masyarakat yang memiliki kecenderungan hanya beradaptasi dan kurang menonjolkan adanya suatu pembaharuan, serta bekerja keras dalam sektor pertanian. Adaptasi masyarakat itu terwujud dalam keengganan mereka untuk berusaha agar berusaha mengurus pertaniannya sebaik mungkin ketika harga jatuh, dan baru mau mengurus tanamannya serta berusaha bertani dengan baik ketika harga membaik. Selain itu adaptasi lainnya adalah dalam bentuk pola produksi yang subsisten atau hanya sekedar untuk mencukupi kebutuhan sendiri, meskipun diperoleh dengan cara menjual hasil hutan. Pola produksi subsisten ini terlihat pada pola perilaku masyarakat yang baru mau berusaha bertani, ketika pendapatan yang diperoleh sudah hampir habis. Dengan kata lain selama pendapatan yang ada belum habis (hampir habis), maka mereka tidak berusaha melakukan kegiatan lain untuk menambah penghasilan.

Luas lahan yang dikuasai masyarakat ternyata beragam, meskipun secara umum terlihat bahwa sebagian besar (44%) menguasai lahan dalam luasan yang sempit (0,1 hektar), ada sekitar 34% yang menguasai lahan antara 1 hektar sampai dengan 2 hektar, dan sebanyak 22% menguasai lahan di atas 2 hektar. Luas lahan yang tersebut di atas bukan luas lahan yang ada di luar kawasan hutan lindung, namun lahan yang ada di luar hutan lindung ditambah dengan yang ada di dalam hutan lindung. Untuk diketahui bahwa sebagian besar masyarakat yang tinggal di daerah ini tidak mempunyai lahan di luar hutan lindung, kecuali yang dimanfaatkan/dipergunakan sebagai perumahan dan pekarangan di sekitar rumah. Keadaan ini menunjukkan adanya ketergantungan masyarakat terhadap hutan lindung sangat tinggi. Keberadaan hutan lindung sangat bermanfaat bagi masyarakat, mereka mendapatkan berbagai sumber kehidupan untuk mempertahankan kehidupan mereka. Oleh sebab itu program Hutan Kemasyarakatan yang memberikan keleluasaan bagi masyarakat untuk mengelola hutan sangat disambut dengan antusias, meskipun dengan beban yang tetap harus memperhatikan kelestarian hutan. Yang menarik adalah sebanyak 48% yang menguasai lahan berasal dari warisan, 50% menguasai lahan yang diperoleh bukan karena warisan, dan 2% yang masih hidup dari lahan milik orang tua. Cara untuk memperoleh lahan dilakukan dengan beberapa cara, sebagaimana kebiasaan masyarakat yang berasal dari daerah asalnya, sebagian besar masyarakat di sekitar Gunung Betung memperoleh tanah dengan cara warisan. Pada umumnya mereka masih mempergunakan sistem kekeluargaan bilateral, yang sudah ada jaminan agar tanah terbagi secara merata diantara anak tanpa menghiraukan jenis kelamin anak. Kecenderungan pewarisan tanah tanpa melihat status tanah akan berakibat pada penurunan kualitas hutan. Masyarakat di sekitar Gunung Betung selama ini melakukan pewarisan tanah tidak hanya pada tanah di luar hutan lindung, namun juga yang ada di dalam kawasan hutan lindung. Hal ini bertentangan dengan prinsip program Hutan Kemasyarakatan, bahwa lahan di kawasan hutan lindung tidak dapat diwariskan karena akan dikelola oleh kelompok.

Konsep pewarisan harta dari orang tua kepada anaknya masih dipegang dan dilaksanakan oleh masyarakat di sekitar hutan Gunung Betung, dengan demikian setiap orang tua berkeinginan untuk memperoleh harta yang kemudian dapat diwariskan ke anak-anaknya. Bagi masyarakat petani harta yang paling berharga adalah tanah, petani akan terus berusaha untuk memiliki dan menguasai tanah/lahan. Oleh karena itu yang paling mungkin dikuasai adalah lahan yang ada di hutan dan sekitarnya, maka lahan yang ada di hutan tersebut yang akhirnya dikuasai dan diwariskan ke anak-anaknya. Kenyataan yang ada memang menunjukkan bahwa semua lahan yang diperoleh dari warisan adalah lahan yang terletak di dalam kawasan hutan lindung. Kebiasaan pewarisan lahan dengan cara dibagi ke ahli waris, dalam jangka panjang akan menjadi masalah tersendiri dalam pelaksanaan program Hutan Kemasyarakatan. Kuranglebih 50% masyarakat menguasai lahan dengan cara bukan karena warisan, yakni dengan cara membuka hutan lindung. Mereka adalah para migran yang sengaja datang dengan tujuan untuk mendapatkan lahan, dan anak-anak dari orang tua yang sudah terlebih dahulu menetap, namun hanya memberikan sedikit warisan. Selain itu ada pula yang memiliki lahan dengan cara membeli. Pembelian tanah pada umumnya terjadi pada tanah-tanah yang terletak di luar hutan lindung. Kebiasaan mewariskan lahan, dan melakukan intensifikasi lahan dengan cara membuka hutan lindung dalam jangka panjang akan berdampak pada kelestarian hutan. Apabila diperhatikan tingkat fertilitas penduduk sangat tinggi, dengan melihat jumlah anak yang cenderung tinggi (rata-rata memiliki anak 3 orang atau lebih dari 3 orang). Maka involusi pertanian akan terjadi dalam tempo yang cepat, hal ini dimungkinkan karena adanya ketergantungan masyarakat untuk memperoleh pendapatan pokok dan sampingan yang berasal dari hutan lindung sangat tinggi. Apalagi apabila dilihat bahwa dengan tingkat pendidikan yang rendah, maka kemampuan untuk keluar dari sektor pertanian juga relatif kecil. Jumlah anak yang cukup banyak merupakan ancaman terhadap kelestarian hutan, apabila tidak ada alternatif lain bagi masyarakat untuk memperoleh penghasilan/nafkah yang tidak berkaitan langsung dengan hutan. Hanya saja persepsi masyarakat terhadap hutan sangat beragam, yakni suatu lingkungan yang tidak ada lahan, suatu tempat dengan banyak hewan dan tumbuhan, bagian dari hidup manusia, hutan adalah lahan, suatu tempat dengan tanaman keras yang bermanfaat, hutan adalah kebun, daerah yang dilindungi, daerah yang tidak boleh diolah dan dimasuki, suatu tempat dengan pepohonan yang masih utuh, daerah yang tertutup dengan tanaman keras dan hewan liar, pelindung alam, lahan yang belum dijamah manusia, sumber penghidupan manusia, hutan adalah tempat yang tidak diolah manusia.

E. PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG HUTAN
Pemahaman masyarakat terhadap fungsi hutan juga beragam antara lain untuk dimanfaatkan dan dilestarikan, untuk menyimpan air (daerah resapan air), mencegah banjir dan erosi, dimanfaatkan untuk generasi sekarang dan yang akan datang serta harus dijaga kelestariannya, sumber pendapatan/penghasilan dan kesejahteraan manusia, untuk mencukupi kebutuhan manusia, untuk menanam apa saja yang bisa dimakan.

Persepsi masyarakat tentang hutan yang begitu beragam, akan mewarnai sikap masyarakat yang beragam pula terhadap keberadaan hutan, dan akan membentuk perilaku masyarakat dalam memandang keberadaan hutan. Sebagian warga masyarakat (sekitar separuh jumlah masyarakat) menyatakan bahwa hutan berfungsi sebagai sumber kehidupan manusia, berperilaku eksploitatif terhadap hutan (yakni hanya memanfaatkan hutan untuk diambil hasilnya saja). Dan sebagian lagi hanya mengambil manfaat hutan dengan mengolah hutan serta mengolah lahan di hutan, namun juga menjaga keletarian hutan dengan menambah jenis tanaman yang sudah ada.

Persepsi masyarakat tentang hutan serta pemahaman masyarakat perihal fungsi hutan, kemudian perilaku masyarakat terhadap hutan yang cenderung eksploitatif, mengakibatkan terjadinya kerusakan hutan (seperti dalam wujud penebangan hutan secara liar). Sebagian besar warga masyarakat menyatakan bahwa kerusakan hutan yang terlihat seperti gundulnya lahan hutan, disebabkan adanya penebangan hutan untuk diambil kayunya. Persepsi, sikap dan perilaku yang eksploitatif terhadap hutan ini semakin menjadi-jadi ketika terjadi krisis ekonomi di Indonesia. Ada pendapat sebagian warga masyarakat yang menyatakan bahwa hutan menjadi tumpuan hidup masyarakat agar tetap bisa bertahan hidup, ketika terjadi krisis. Selain itu rusaknya hutan di sekitar Gunung Betung, menurut sebagian warga disebabkan karena adanya pembukaan hutan, namun tidak diikuti oleh penanaman kembali (reboisasi). Sebagian warga masyarakat mengatakan bahwa kerusakan hutan disebabkan karena menjadikan hutan sebagai areal perladangan, selebihnya menyatakan bahwa kerusakan hutan disebabkan oleh erosi.

Pemahaman masyarakat yang sangat beragam mengenai keberadaan hutan dan fungsi hutan ini di satu sisi akan menjadi kekayaan bagi masyarakat yang bersangkutan, di dalam mengembangkan program Hutan Kemasyarakatan. Namun di sisi lain akan menjadi hambatan di dalam pengembangan program Hutan Kemasyarakatan. Hambatan untuk program Hutan Kemasyarakatan akan terjadi apabila pemahaman masyarakat tentang hutan dan fungsi hutan lebih terarah pada hutan sebagai tumpuan hidup, tanpa ada keseimbangan untuk melestarikannya. Untuk itu perlu diupayakan berbagai pembaharuan sosial agar persepsi masyarakat terhadap hutan dan fungsinya, mengarah pada tujuan program Hutan Kemasyarakatan.

F. PENUTUP
Kesimpulan yang bisa ditarik adalah bahwa profil masyarakat di sekitar hutan Gunung Betung memiliki tingkat pendidikan yang relatif rendah, sehingga perlu adanya sosialisasi yang intensif agar mereka tetap menjaga keberadaan hutan lindung. Jenis pekerjaan mereka adalah di bidang pertanian dengan sebagian besar tanpa adanya diversifikasi di luar sektor pertanian, lahan pertanian sebagian besar berada di dalam kawasan hutan lindung karena kepemilikan di luar hutan lindung relatif kecil/sedikit (bahkan tidak ada). Pendapatan warga relatif rendah dan fluktuatif. Pemahaman masyarakat terhadap fungsi hutan juga beragam seperti hutan sebagai tempat penyimpan air, mencegah banjir, mencegah erosi, maka dari itu harus dijaga kelestariannya karena bisa bermanfaat bagi generasi sekarang maupun yang akan datang (pendapat ini didukung oleh separuh warga masyarakat). Sementara itu warga yang separuhnya lagi berpendapat bahwa fungsi hutan dianggap sebagai sumber kehidupan manusia.

Perilaku warga masyarakat dalam memanfaatkan kawasan hutan juga terbagi menjadi dua, sebagian menyatakan bahwa hutan berfungsi untuk memenuhi sumber kehidupan manusia, berperilaku eksploitatif terhadap hutan (hanya memanfaatkan hutan untuk diambil hasilnya). Sedangkan sebagian lagi menyatakan bahwa mereka mengambil manfaat hutan dengan mengolah hutan serta mengolah lahan di kawasan hutan, namun juga menjaga kelestarian hutan dengan menambah/memperbanyak jenis tanaman atau pohon yang telah ada.

DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa-Putra, HS. Tanda, Simbol, Budaya dan Ilmu Budaya. Makalah dalam Ceramah Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 2002.

Ahimsa-Putra, HS. Kearifan Tradisional dan Lingkungan Fisik. Makalah dalam Workshop Inventarisasi Aspek-Aspek Tradisi, diselenggarakan oleh Bidang Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Jakarta. 2005.

Anwar, Syaiful. Naskah Seni Tari Lampung Pesisir Daerah Lampung. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Pusat Pengembangan Kebudayaan Lampung. Bandar Lampung. 1979.

Djausal, Anshori. Reorientasi Budaya dalam Pembangunan (naskah orasi Kebudayaan Dewan Kesenian Lampung, di Taman Budaya Lampung. Bandar Lampung. 1995.

Hadikusuma, Hilman, dkk. Adat Istiadat Daerah Lampung. Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Daerah Lampung. Bandar Lampung. 1996.

Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi II, Pokok-pokok Etnografi. PT Rineksa Cipta. Jakarta. 1998.

Mayong, P. (penyunting). Geografi Budaya Daerah Lampung. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. Bandar Lampung. 1978.

Puspawidjaja, Rizani. Upacara Perkawinan Masyarakat Adat Lampung. Bandar Lampung. 1978.

Syani, Abdul. Sosiologi, Skematika Teori dan Terapan. PT. Bumi Aksara. Jakarta. 1994.

Syani, Abdul. Kebudayaan Daerah Setempat Sangat berarti Bagi Pembentukan Jatidiri Bangsa. Makalah, disampaikan dalam forum Penyuluhan Kebudayaan Daerah Lampung dalam rangka Pembinaan dan Pengembangan Kebudayan Daerah Lampung, di Balai Penataran Guru. Bandar Lampung. 1996.

Syani, Abdul. Peranan Pemimpin Formal dan Nonformal bagi Pengembangan Kebudayaan Nasional. Makalah, Penyuluhan Budaya, di Balai Penataran Guru. Bandar Lampung. 1997.

Syani, Abdul. Kontribusi Pelestarian Nilai-nilai Budaya Tradisional dalam Pembentukan Jatidiri Generasi Muda. Makalah, Penyuluhan Permuseuman, di Museum Negeri Ruwa Jurai. Bandar Lampung. 1998.

Sanusi, A. Effendi. Sastra Lisan LampungDialek Abung. Gunung Pesagi. Bandar Lampung. 1994.

Safei, Ahmad. Lampung Sang Bumi Ruwa Jurai (Tulisan tentang asal-usul Suku Lampung dan adat istiadatnya). Kotabumi. Propinsi Lampung. 1972.

Udin, Nazaruddin, dkk. Sastra Lisan Lampung Dialek Pubiyan. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. 1998.